Pernikahan pun digelar setelah satu minggu Shreya menerima lamaran Felix.
Di sini, di sebuah gereja keluarga Shreya dan Felix berada, termasuk Lorenza --ibu Felix, yang sengaja pulang dari luar negeri demi menyaksikan pernikahan kedua sang putra.Namun, tidak ada pesta resepsi sesuai permintaan Shreya.Gaun putih mewah membalut tubuh janda berbadan sintal yang tentu saja membuat penampilannya bertambah anggun dan seksi.Wanita berumur dua puluh delapan tahun itu berhasil mencuri perhatian semua yang hadir. Pun dengan Felix Henry, yang tampak gagah mengenakan tuxedo berwarna putih.Ini adalah kali kedua Shreya menikah, tetapi dadanya berdetak kencang seakan-akan itu adalah pernikahannya yang pertama.Shreya menarik napasnya dalam dan mengembuskan perlahan berusaha menghilangkan rasa grogi. Tidak ia pungkiri jika Felix sangat tampan.Senyum yang terukir di bibir pria di hadapannya itu seketika menghipnotis dirinya. Shreya memang tidak mencintai Felix, tetapi pernikahan yang dilakukan secara sadar, terencana, bisa menciptakan cinta. Shreya berharap itu.Sumpah janji setia sudah terucap dari keduanya. Dengan demikian, Shreya sudah resmi menjadi istri Felix. Kehidupan baru dengan keluarga baru, baru saja dimulai. Shreya berharap Felix menjadi pendamping kedua dalam hidupnya dan menjadi labuhan terakhir di hatinya."Selamat, Sayang. Maaf, dulu Mama tidak bisa mendampingi kamu saat musibah itu," ujar Lorenza. Wanita berusia enam puluh tiga tahun itu pun mengatakan bahwa setelah kejadian itu ia dan keluarga memilih tinggal di luar negeri. Tepatnya karena Felix yang ingin melupakan semua tentang Debora. Maklum saja, Debora adalah cinta pertama Felix. Dalam hitungan bulan, Felix kembali bersemangat dan kembali pulang ke tanah air. Ternyata ucapan Lorenza yang membuat putranya kembali bangkit, yakni tidak hanya Felix yang dikhianati dan ditinggal mati. Ada Shreya yang turut menelan luka."Felix merasa kecewa karena Debora berhasil menorehkan perih untuknya dan Pricilla. Semoga saja Felix sudah seratus persen melupakan bayang-bayang Debora. Nah, sekarang tugasmu untuk mengambil hatinya," lanjut Lorenza berbisik."I-iya, Ma." Shreya balas berbisik.Shreya mematung. Siapapun pasti tidak mudah untuk melupakan orang yang sudah membersamai kita, menjalin cinta dan memadu kasih. Apalagi sudah ada buah hati. Hanya saja, bisakah orang itu melupakan cinta masa lalunya demi terciptanya masa depan dengan cinta yang baru?Shreya melihat ke arah Felix yang sedang disalami oleh sanak saudara lainnya sambil memangku Nathan. Dalam hatinya ia berdoa agar Felix lebih baik dari Alexander."Ish! Manten, kok, melamun!" ucap Andreas sembari mencolek lengan Shreya. Colekan itu berhasil membuat Shreya tersadar dari lamunan."Eh, Ayah, Ibu." Shreya terkekeh-kekeh."Selamat, Nak. Ayah dan Ibu selalu berdoa yang terbaik untukmu. Jangan lagi ada air mata kesedihan. Berbahagialah kamu selalu," ungkap Andreas dengan suara sedikit serak.Shreya meyakini jika sang ayah merasa terharu dan bahagia di momen itu. Begitu juga ketika ia menatap Adelia. Sepasang mata wanita paruh baya itu terlihat sembab. Pelukan dan ciuman turut Shreya dapatkan.Shreya tersenyum melihat siapa selanjutnya yang akan menyalami."Selamat, ya, Kak. Semoga Kakak bahagia selalu. Kalo Mas Felix macam-macam, aku yang ada di garda depan," ucap Jody Andreas --adik Shreya.Shreya tersenyum. "Kamu ini .... Makasih atas doanya.""Ingat pesan Kakak, ya? Kakak minta tolong banget sama kamu, Dek," lanjut Shreya berbisik.Jody mengacungkan ibu jarinya. "Siap, Bos! Jangan lupa, transferan tiap bulannya."Shreya mendengkus. "Selesaikan misi dulu, lah."Shreya melihat sang adik menepuk kening dan berlalu dari hadapannya membuat ia terkekeh-kekeh.Setelah sesi foto bersama, acara pun usai."Oh, iya, Mas, Pricilla mana? Kok, sedari tadi Aya tidak melihatnya," tanya Shreya sambil celingukan."Tadi ada, kok. Mungkin sedang ke toilet."Shreya, Felix serta lainnya meninggalkan Gereja. Pasangan pengantin itu menuju mobil. Di sana mereka mendapati Pricilla yang tengah duduk di jok depan dengan kaca yang terbuka."Halo, Sayang. Kamu di sini rupanya," sapa Shreya.Pricilla menoleh ke arahnya. Hanya senyuman manis yang Shreya dapatkan darinya.Shreya mengambil alih Nathan dari pangkuan Felix, kemudian naik ke mobil."Pricilla, kamu pindah ke belakang. Pangku adikmu sana!" titah Felix di belakang kemudi.Pricilla menaikkan kedua pundaknya, lalu berpaling muka dari Felix. Shreya yang menyaksikan interaksi keduanya pun angkat bicara, "Tidak usah, Mas. Pricilla pasti capek."Felix hanya bisa diam. Mobil pun melaju menuju kediaman Andreas untuk mengambil beberapa koper pakaian milik Shreya dan Nathan.*Tiba di sana, rupanya Nathan tertidur. Akhirnya Shreya mengatakan agar mereka berangkat setelah Nathan bangun. Felix pun setuju.Shreya bergegas turun dan membawa Nathan ke kamarnya. Setelah menyelimuti bayi tampan itu, Shreya segera ke kamarnya yang terletak bersebelahan dengan kamar Nathan. Selagi Nathan tidur, wanita itu memilih membuka gaunnya. Tiba-tiba saja ..."Terima kasih sudah mau menjadi istriku," ujar Felix sembari memeluk Shreya dari belakang. Shreya yang baru saja menurunkan resleting dan tali gaun tentu saja kaget."I-iya, Mas, sama-sama. Semoga Aya juga bisa menjadi ibu yang baik untuk Pricilla." Shreya merasa gugup."Pun sebaliknya aku.""Kok, aku? Gak ganti jadi Mas, gitu?"Felix memutar tubuh Shreya. Perbuatan Felix tentu saja membuat Shreya deg-degan sampai-sampai ia menelan saliva. Bagaimana tidak? Dua gundukan daging kenyal nan besar sudah sebagian terlihat. Sebisa mungkin Shreya menutupi dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya.Terlihat Felix tersenyum dengan mata mengarah pada dada Shreya."Mas, ngobrolnya dilanjut di luar saja. Gimana? Mas gak keberatan, kan?""Baiklah, Mas gak keberatan. Mas tunggu di ruang tamu, ya?"Shreya mengangguk."Oh, iya, ini koper yang harus dibawa?""Iya, Mas. Maaf, ya, jadi repot."Felix tersenyum, kemudian menyeret beberapa koper ke luar kamar.Shreya bernapas lega. Meskipun hak Felix untuk melihat tubuhnya atau bahkan mencicipinya, tetapi Shreya sungguh belum siap.Shreya sudah berganti pakaian seiring dengan bangunnya Nathan. Wanita cantik berambut panjang itu segera mengganti baju sang bayi."Eh, Ibu, Ayah," sapa Shreya saat membuka daun pintu."Sudah mau berangkat?" tanya Adelia."Iya, Bu. Kasian Pricilla menunggu."Adelia mengambil alih Nathan. Wanita paruh baya itu memeluk dan menciumi cucu pertamanya. "Nenek pasti rindu sama Athan. Sering-sering main ke sini, ya?""Pasti, Nek," kata Shreya dengan nada yang dibuat seperti anak kecil.Andreas menepuk pundak Shreya seraya berkata, "Ayah senang akhirnya kamu menikah dengan Felix. Ini impian Ayah sedari dulu. Yakinlah, Felix itu baik. Ingat! Perlakukan Pricilla seperti putri kandungmu sendiri. Jangan sampai ada pembeda dengan Nathan.""Satu yang harus kamu tahu, Ay. Keluarga itu tidak ditentukan hanya dengan nama belakang saja atau ikatan darah, tetapi ditentukan oleh komitmen dan cinta," lanjut Andreas.Shreya tersenyum. "Iya, Yah, Aya paham. Doakan saja, semoga Aya bisa jadi ibu dan istri yang baik di keluarga Aya yang baru ini.""Tentu, tentu kami akan selalu mendoakanmu, Nak," timpal Adelia sembari mengelus kepala Nathan."Ibu harap kamu bersabar dalam menghadapi apa pun kelak yang di hadapkan denganmu. Kedekatan anak dan ibu tiri memang bisa dibilang sulit, tetapi menjadi ibu tiri yang baik bisa merubah kehidupan seorang anak," lanjut Adelia."Iya, Bu. Aya akan ingat dan lakukan apa yang sudah Ibu dan Ayah sampaikan."Percakapan pun diakhiri. Shreya menuruni anak tangga disertai kedua orang tuanya. Tiba di ruang tamu, tampak Felix berdiri, lalu menghampiri."Yah, Bu, kami tinggal, ya? Tapi, Ayah sama Ibu jangan khawatir, kami akan sering-sering main ke sini atau Ayah Ibu mainlah ke sana biar nanti aku jemput," ucap Felix.Terdengar embusan napas yang terkesan berat dari Andreas. "Jaga putri Ayah. Perlakuan dia selayaknya seorang istri. Ingat! Jika kamu tak mampu mencintainya dan tak mau lagi dia sebagai istrimu, mohon dengan sangat ... kembalikan dia kepada Ayah."Mendengar sang ayah berkata demikian mampu membuat air mata Shreya menetes.Felix menggenggam tangan sang istri dengan erat. "Ayah sama Ibu jangan khawatir. Aku akan perlakukan Shreya selayaknya seorang istri. Aku akan berusaha membahagiakan Shreya dan Nathan."Andreas mengangguk-anggukkan kepalanya.Setelah berpamitan, mereka pun meninggalkan kediaman Andreas.Di mobil, Pricilla masih bertahan dengan posisinya yang duduk di kursi depan dan tampak acuh tak acuh dengan kedatangan Shreya."Maaf, lama menunggu," kata Shreya."Iya," jawab Pricilla singkat.Di perjalanan, hanya terdengar suara Nathan. Shreya yang tidak ingin sang bayi bosan pun mencoba mengajaknya bermain. Tawa sang bayi berhasil menggema."Kenapa Papa tidak meminta pendapatku dulu mau menikah lagi?!" tanya Pricilla, yang berhasil membuat Shreya terdiam.Deg!Ya, benar! Shreya melupakan itu. Menerima pinangan Felix tanpa meminta persetujuan Pricilla terlebih dahulu. Ia hanya melihat dari satu sisi saja jika Pricilla memang butuh seorang ibu."Ya, Tuhan, apa dengan dia bertanya demikian, dia tidak menerima aku? Bagaimana ini?" Batin Shreya.Nasi sudah menjadi bubur. Selebihnya Shreya harus mencari cara agar Pricilla suka kepadanya. Sepanjang perjalanan Shreya hanya diam. Pun dengan dua orang yang duduk di depan. Ia tahu, jika Felix tidak mungkin menjawab pertanyaan sang putri sementara ada dirinya.Mobil sudah terparkir tepat di halaman nan luas sebuah rumah mewah bernuansa putih. Felix bergegas turun dan membukakan pintu untuk Shreya. Pria itu mengambil alih Nathan yang ternyata tertidur. Shreya turun. "Ayok, Sayang!" ajaknya kepada Pricilla yang ternyata sedang menutup pintu. "Tante duluan aja!?" kata Pricilla yang terdengar dingin di telinga Shreya. Shreya menghela napas. Dari sikap dan cara Pricilla memanggil dirinya saja sudah bisa disimpulkan bahwa gadis itu belum menerima dirinya. Shreya tersenyum, kemudian berjalan cepat mengikuti langkah Felix. Rupanya sang suami memerintahkan seseorang agar mengeluarkan koper di bagasi. "Ayok, masuk," ajak Felix kepada Shreya. Felix membuka pintu. Tampak jelas perabot mewa
Shreya bergegas masuk ke kamarnya dan berdiri di samping box bayi. Ia harus berpura-pura bersikap biasa saja saat Felix masuk.Ceklek! Terdengar suara pintu terbuka."Jagoanku rewel?" tanya Felix. Shreya menoleh. "Tidak. Dia terbangun tadi, minta mimik," dalihnya. "Mas dari mana?"Felix duduk di tepi ranjang. Shreya melihat sang suami menghela napas. Wajah muramnya sangat jelas terlihat. Shreya turut duduk dan bertanya, "Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang Mas pikirkan. Kalau Mas percaya sama Aya, ceritalah."Felix menatapnya bahkan tangan Shreya turut ia genggam. "Mas serahkan dan percayakan Pricilla padamu. Pun dengan semua urusan rumah tangga."Felix beranjak. Ia mengambil sesuatu di laci nakas. Semua itu tak luput dari perhatian Shreya. Mata memanglah melihat ke arah Felix, tetapi pikiran terfokus kepada Pricilla. Mampukan ia menaklukan hati Pricilla? Paling tidak, ia bisa merubah Pricilla menjadi lebih baik lagi. Shreya akan mengesampingkan urusan hati. Ya, Shreya harus menjag
Sang kepala sekolah menjelaskan jika hari itu adalah bukan kali pertama pihak sekolah memanggil orang tua Pricilla. Tetapi, yang datang adalah seorang wanita yang dipanggil tante oleh Pricilla, sehingga pihak sekolah selalu kecewa karena sang tante selalu tidak menerima teguran prihal kenakalan Pricilla. "Pricilla banyak melanggar aturan sekolah, Bu. Selain sering bolos, Pricilla selalu memakai make-up. Itu tentu saja membuat siswi lain mengikuti. Bahkan pernah putri ibu memanjat tembok demi meninggalkan jam pelajaran dan pergi dengan anak SMA dengan pakaian minim yang ia ganti terlebih dahulu tentunya."Sungguh Shreya terkejut mendengar penjelasan dari kepala sekolah. Seketika kepalanya berdenyut. Entah ia harus memulai dari mana untuk merubah watak sang anak. "Jika sekali lagi Pricilla melanggar, maka dengan terpaksa dia di-DO dari sekolah ini, Bu, meskipun Pricilla anak dari Pak Felix, donatur tetap kami. Lebih baik kami kehilangan donatur daripada semua siswi di sini rusak karen
Waktu begitu terasa cepat berlalu menurut Shreya. Sampai langit gelap, otaknya tak luput dari Pricilla, Pricilla, dan Pricilla. Bak seorang prajurit yang akan berperang memikirkan taktik bagaimana esok ia menghadapi musuh.Tangisan Nathan berhasil membuyarkan lamunan Shreya. Lekas ia menghampiri box bayi, mengecek popok, kemudian menggendong sang bayi dan membawanya duduk di tepi ranjang. Shreya yang paham akan tangisan Nathan pun perlahan membuka kancing dan mengeluarkan benda kenyalnya. Bayi tampan itu tampak rakus menyedot puting sang ibu. Tangan Shreya dengan sayang mengusap kepala Nathan. "Kuat sekali kamu mimiknya, Nak," ucap Shreya, yang kemudian merubah posisi sang bayi agar menyusu di payudara sebelah lagi. Shreya mendongak sembari memegang punggung karena merasa pegal. Seketika matanya membulat sempurna karena di hadapannya Felix sudah berdiri. "Ya, Tuhan!" Shreya kaget. "Se-sejak kapan Mas berdiri di situ?" Shreya mencoba menutupi bagian dadanya itu. Felix berpaling muk
"Sini, Aya bantu," ucap Shreya saat Felix sedang memasang dasi. Hal yang tak diduga terjadi dimana Felix menepis tangan Shreya. "Mas bisa sendiri, kok."Shreya melongo. Semalam mereka baru saja memadu kasih. Sekarang, kenapa sikap Felix seolah-olah seperti jijik terhadapnya? Ah, pantaskah itu disebut memadu kasih kala hati belum sama-sama terpatri? Apalagi semalam dengan jelas Shreya mendengar jika Felix mengigau, mengingat mendiang istrinya. Bukan, bukan cinta yang ada dalam diri Felix, melainkan nafsu birahi. Tidak, Shreya tidak menyesali karena ia anggap itu adalah sebagai bukti dan bakti bahwa dirinya adalah sosok istri yang patuh yang berkewajiban melayani sang suami. Shreya mencoba tersenyum. "Baiklah, kalau begitu Aya ke bawah duluan, ya?" pamitnya seraya menggendong Nathan. "Nathan biar Mas saja yang gendong." Felix mengambil alih Nathan. "Aaaaa!"Terdengar suara teriakan dari kamar Pricilla. "Ya, Tuhan, Pricilla!" seru Shreya, kemudian berlari meninggalkan kamar diikuti
Siang itu bel terdengar nyaring pertanda kegiatan belajar mengajar hari itu telah usai. Raut bahagia tampak jelas menyertai langkahnya menuju gerbang. Di sana sudah teronggok mobil mewah berwarna hitam dimana Joko sudah membuka pintu lebar-lebar untuknya. "Ini buat Bapak." Pricilla menyerahkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah tepat saat Joko duduk di belakang kemudi.Joko menoleh dan tak lekas menerima. "Wah, itu uang apa, Non?""Ck! Bonus buat Bapak. Cepat ambil!"Joko menerimanya walau ragu. "Terima kasih, Non. Moga rezeki Non makin bertambah."Pricilla mengangguk. "Oh, iya, PakAntar aku ke bandara, ya? Tadi pagi Papa minta aku buat jemput Tante Cindy. Tapi, sebelumnya kita jemput Kak Dio dulu di sekolahnya, ya, Pak?!"Joko terdiam. Jelas saja pria paruh baya itu bingung karena sang majikan tidak memberi instruksi demikian, melainkan agar Pricilla segera diantar pulang. "Pak, kok, diem?! Ayok, jalan!""I-iya, Non." Joko pun melajukan mobilnya. **Setelah menempuh perja
Angin bertiup semakin kencang dan terasa sangat dingin. Shreya pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh, tetapi Felix belum juga masuk kamar. Akhirnya Shreya keluar hendak ke ruang kerja. Namun, langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Pricilla masih terbuka. Lekas ia menghampiri. "Sayang, udah malam, kok, belum tidur?" sapa Shreya saat melihat Pricilla masih asyik bermain ponsel. Tatapan sinis'lah yang Shreya dapatkan berikut dengan jawaban dingin Pricilla. "Ngapain ke sini? Ganggu aja!"Shreya meraih gel lidah buaya dengan kemasan tube yang sengaja ia simpan di atas meja rias Pricilla. "Sini, Tante olesin dulu jerawatnya," kata Shreya sembari duduk di samping Pricilla. Trak! Pricilla menepis tangan Shreya yang menyebabkan tube itu terlempar. Shreya mengikuti ke mana arah tube itu terlempar, kemudian tersenyum simpul. "Tadi Pak Joko sudah mengatakan semuanya sama Tante," ucap Shreya. "A-apa?" Pricilla terkejut, kemudian ia terbatuk men
Siang itu mobil Shreya sudah terparkir di luar gerbang sekolah Pricilla. Sembari menunggu sang putri, Shreya menghubungi Felix melalui sambungan vidio. "Mas, Aya mau ajak Cilla ke mall. Kita makan siang bareng, yuk!""Wah, dalam rangka apa?"Shreya tersenyum. "Sebetulnya Aya mau ajak Cilla ke dokter kulit, tapi Aya bikin janjinya nanti jam dua, jadi kita mau makan siang dulu sama belanja kebutuhan Nathan. Mas mau, ya?""Siapa takut! Kamu sharelock aja, oke?""Oke, Mas." Sambungan pun terputus seiring dengan senyum yang terus menghiasi wajah Shreya. Tidak berselang lama, Shreya melihat Pricilla yang baru saja ke luar gerbang. Namun, perhatian Shreya beralih kepada seonggok motor yang diyakini milik Dio. Sebelum Pricilla pergi dengan Dio, Shreya bergegas turun. "Halo, Sayang!" sapa Shreya membuat Pricilla terkejut. "Kok, Tante, sih, yang jemput?"Shreya tersenyum sembari menarik lengan Pricilla. "Yuk, ikut Tante!""Tapi ...,"Shreya tidak memberi waktu Pricilla untuk bicara. Ia mem
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan