Pricilla benar-benar tidak fokus bekerja sampai akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Bukan ke rumah Lorenza, tetapi apartemen miliknya. Tak hentinya ia menghubungi Jody, tetapi hasilnya sama. Nomor Jody tidak bisa dihubungi. Kalaupun dicari, entah harus dicari ke mana. Ting! Ponsel Pricilla berbunyi pertanda pesan masuk. "Bisa kita bertemu?" Isi pesan itu, yang ternyata dari Dio. "Tidak! Ternyata apa yang dikatakan Kak Jody itu benar adanya. Kak Dio sudah melecehkanku!" Balasan pesan Pricilla. "Itu tidak benar! Mana buktinya!"Lantas Pricilla ngirim rekaman CCTV itu. Tentu saja Dio tidak bisa mengelak dan langsung meminta maaf. Pun ia mengakui jika dirinya mempunyai kekasih yang sedang berbadan dua. Dio tetap ingin berteman dengan Pricilla dan berkomunikasi seperti biasanya layaknya sahabat. Pricilla menerima itu, tetapi dengan syarat yakni Dio harus bertanggungjawab kepada pacarnya dan memperkenalkan. Berbalas pesan pun berakhir saat Pricilla mendapat jawaban bahwa Dio menyanggu
Mata indah Pricilla terbuka. Betapa kagetnya ia saat mendapati dirinya tengah berada di kamar mewah dan luas bernuansa putih dalam posisi terlentang. Pricilla menyingkap selimut yang menutupi, memastikan kelengkapan pakaiannya. "Tidak! Kenapa pakaianku lain? Siapa yang mengganti pakaianku?" Pricilla panik. Pricilla memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing. Pun mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Teringat dua orang membawanya pergi dari apartemen, lalu membekapnya menggunakan kain sampai akhirnya ia tidak ingat apa-apa. Ceklek!Seseorang membuka pintu. Pricilla beringsut. "Selamat pagi, Nona?" sapa seorang wanita paruh baya sembari membawa nampan dengan piring berisikan sandwich dan segelas air mineral di atasnya. "Silakan, sarapannya, Non." Wanita itu menyimpan nampan di atas meja. Pun ia menjelaskan bahwa semua perlengkapan pribadi untuk Pricilla sudah tersedia. Tak ada kata dari Pricilla. Ia hanya mengamati. "Permisi, Non?!" Wanita paruh baya itu pergi. "Eh, tung
Pricilla memeluk Shreya erat bahkan tangis tak bisa ia bendung. Kata terima kasih tak hentinya terucap. Bagaimana tidak? Laki-laki yang akan dinikahinya adalah laki-laki pujaan hatu. Ya, dialah Jody. "Sudah, jangan nangis. Nanti make-upnya luntur, loh," kata Shreya. Pricilla mengibaskan tangan ke arah matanya dengan harapan agar air matanya tidak menetes meskipun kenyataannya air mata itu meluncur juga. Seorang MUA dengan sigap mendekat dan siap memoles yang menurutnya perlu ditouch-up.Pricilla kembali ke altar. Senyum tak hentinya ia persembahkan untuk sang calon suami. Pun sebaliknya. "Bisa dimulai?" tanya sang pendeta. "Bisa!" jawab Pricilla dan Jody serempak dengan semangat. Janji suci perkawinan terdengar syahdu di telinga calon pengantin itu. Sumpah janji saling setia, menemani dalam suka maupun duka menjadi pengikat hubungan mereka. Status suami dan istri sudah mereka sandang. Rasa bahagia terpancar jelas dari wajah keduanya. Pun dengan keluarga besar. Cincin sudah t
Pagi menjelang. Embusan napas hangat menyapa wajah Pricilla membuat kedua mata indahnya perlahan terbuka. Aroma khas tubuh Jody seketika menyeruak. "Ya, ampun!" Pricilla hendak bangun, tetapi Jody menahannya. "Biarkan seperti ini. Kakak suka," cicitnya walau mata masih terpejam. "Maaf, pasti Kakak keberatan, ya?" tanya Pricilla. Jody menggeleng. Bahkan lengannya kembali memeluk Pricilla. "Aku pindah aja. Dari semalem, loh, aku tidur di atas badan Kakak."Mata Jody terbuka. Ciuman di bibir ia berikan sebagai morning kiss untuk sang istri. Pricilla melotot. Bagaimana tidak? Jody mengangkat tubuh Pricilla yang tentu saja membuat benda tumpul itu kembali merangsak masuk. "Tanggung, Yang. Udah posisi uwenaakk!" ucap Jody, kemudian terkekeh-kekeh. Pricilla hanya bisa pasrah dan kembali menjalankan kewajibannya. Olah raga pagi itu akhirnya usai ketika matahari berada di atas kepala."Maaf, Yang," sesal Jody saat melihat Pricilla meringis kesakitan di bawah selimut. Sisa sakit semal
Pasangan pengantin baru itu sudah masuk ke dalam restoran dan menempati kursi di meja yang sudah Lolita booking. Tanpa Jody tahu, itu adalah restoran milik Pricilla. "Mana orangnya?" tanya Pricilla sambil celingukan. "Entah, Kakak juga gak tau.""Kalo gitu aku ke toilet dulu, ya, Kak?""Mau Kakak antar?"Pricilla menepuk pundak Jody. "Ish! Gak usah." Pricilla pergi. "Pagi, Bu," sapa salah satu karyawan Pricilla yang tak lain adalah manager di sana. "Pagi. Oh, iya, meja nomor tujuh itu yang pesan cewek cantik?""Iya, Bu. Atas nama Nona Lolita.""Jadi bener dia cantik?""Saya sebagai laki-laki, mengakui jika Nana Loli itu emang cantik, Bu. Kalo dia mau, saya bersedia jadi suaminya, hehehe ...."Pricilla memutar bola matanya malas menanggapi anak buahnya itu, kemudian masuk ke dalam ruangannya dan bergegas ke toilet. *Sepeninggal Pricilla, Jody disibukan dengan laptopnya sampai tak menyadari Lolita sudah duduk di hadapannya. "Kadar tampanmu ternyata makin bertambah ya?!" ucap Loli
Setelah pertemuannya dengan Melani, membuat perasaan Nathan tak menentu. Bagaimana tidak? Foto yang ditunjukan Melani adalah foto Shreya bersama Alexander. Tok tok tok"Abang, makan malam udah siap!" Suara ketukan pintu dan suara cempreng Nathalie mampu membuat Nathan terkesiap.Nathan berjalan menuju pintu. "Iya, Dek, nanti Abang nyusul."Nathalie cemberut. Kedua tangannya ia lipat di dada seraya berkata, "Abang gak makan, Lili juga gak makan, ah!"Nathan menghela napas. "Iya, iya, adek Abang yang bawelll!" Nathan menggendong Nathalie di atas pundaknya. "Yeeee, terbang!" Nathalie bersorak. Sesampainya di ruang makan, Nathan segera menurunkan Nathalie, lalu duduk di kursi yang biasa ia tempati. "Tumben Abang gak grecokin Mama di dapur?" tanya Shreya heran. Ya, susah menjadi kebiasaan Nathan setiap menjelang makan malam, remaja itu membantu Shreya memasak atau sekadar menemani Shreya diiringi candaan dan keisengan Nathan lainnya. "Lagi males, Ma.""Abang sakit?" tanya Shreya semb
Melani sudah pulang terlebih dahulu. Nathan yang bingung harus pergi ke mana, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke mall. Tak lupa ia membeli baju terlebih dahulu karena tidak mungkin memakai seragam sedangkan waktu masih jam sekolah. Tak ada yang banyak Nathan lakukan di sana. Hanya berkeliling, ke toko buku, kemudian bermain games sembari menunggu jam pulang sekolah. Jam masih menunjuk pada angka sebelas, tatapi Nathan sudah merasa jenuh. Akhirnya Nathan memutuskan untuk pulang. "Nathan?!"Seketika langkah Nathan terhenti saat mendengar sapaan dari suara yang tidak asing lagi baginya. Ia pun menoleh. "Pa-Papa?!"Dada Nathan berdebar kencang. Sungguh ia belum siapa jika saja Felix bertanya tentang keberadaannya di sana. "Papa, kok, ada di sini?" tanya Nathan cepat sebelum Felix bertanya terlebih dahulu. "Papa udah ketemu temen bisnis Papa. Abang sendiri ngapain di sini?""Emm ... anu, Pa ... Abang disuruh Bu Guru untuk order kaos untuk tim suporter nanti," dalihnya. "Oh, begitu
Hari demi hari sikap Nathan kian dingin kepada Shreya juga Felix, bahkan sampai dua bulan lamanya Nathan sulit diajak bicara. Felix yang gerah melihat tingkah putranya itu pun akhirnya mengajak bicara empat mata. Ya, siang itu tepat di hari minggu, Felix mengajak Nathan ke sebuah tempat yang terbilang cukup sepi. "Ke mana kamu kemarin?" tanya Felix. "Menemui Tante Cindy dan ke pusara Papaku!""Apa yang Cindy katakan?"Nathan tersenyum samar. "Papa tidak berhak tau!"Felix mengembuskan napas kasar. "Aku Papamu!""Papa tiri!""Kamu membenci kami?""Ya, sangat!""Kalau begitu, silakan luapkan kebencian dan kekesalanmu!"Bug! Bug! Tak disangka ternyata Nathan melayangkan bogem mentahnya kepada Felix. Felix yang mendapat serangan mendadak tentu saja tidak bisa menghindar. Felix tidak melawan, pun tidak menjauhkan dirinya. Ia membiarkan tubuh serta wajahnya menjadi sasaran kemarahan Nathan. Tidak mungkin dan tidak akan ia melawan, karena Felix sangat menyayangi Nathan seperti darah dagi
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan