Melani sudah pulang terlebih dahulu. Nathan yang bingung harus pergi ke mana, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke mall. Tak lupa ia membeli baju terlebih dahulu karena tidak mungkin memakai seragam sedangkan waktu masih jam sekolah. Tak ada yang banyak Nathan lakukan di sana. Hanya berkeliling, ke toko buku, kemudian bermain games sembari menunggu jam pulang sekolah. Jam masih menunjuk pada angka sebelas, tatapi Nathan sudah merasa jenuh. Akhirnya Nathan memutuskan untuk pulang. "Nathan?!"Seketika langkah Nathan terhenti saat mendengar sapaan dari suara yang tidak asing lagi baginya. Ia pun menoleh. "Pa-Papa?!"Dada Nathan berdebar kencang. Sungguh ia belum siapa jika saja Felix bertanya tentang keberadaannya di sana. "Papa, kok, ada di sini?" tanya Nathan cepat sebelum Felix bertanya terlebih dahulu. "Papa udah ketemu temen bisnis Papa. Abang sendiri ngapain di sini?""Emm ... anu, Pa ... Abang disuruh Bu Guru untuk order kaos untuk tim suporter nanti," dalihnya. "Oh, begitu
Hari demi hari sikap Nathan kian dingin kepada Shreya juga Felix, bahkan sampai dua bulan lamanya Nathan sulit diajak bicara. Felix yang gerah melihat tingkah putranya itu pun akhirnya mengajak bicara empat mata. Ya, siang itu tepat di hari minggu, Felix mengajak Nathan ke sebuah tempat yang terbilang cukup sepi. "Ke mana kamu kemarin?" tanya Felix. "Menemui Tante Cindy dan ke pusara Papaku!""Apa yang Cindy katakan?"Nathan tersenyum samar. "Papa tidak berhak tau!"Felix mengembuskan napas kasar. "Aku Papamu!""Papa tiri!""Kamu membenci kami?""Ya, sangat!""Kalau begitu, silakan luapkan kebencian dan kekesalanmu!"Bug! Bug! Tak disangka ternyata Nathan melayangkan bogem mentahnya kepada Felix. Felix yang mendapat serangan mendadak tentu saja tidak bisa menghindar. Felix tidak melawan, pun tidak menjauhkan dirinya. Ia membiarkan tubuh serta wajahnya menjadi sasaran kemarahan Nathan. Tidak mungkin dan tidak akan ia melawan, karena Felix sangat menyayangi Nathan seperti darah dagi
Jody melajukan mobil dengan kencang. "Jangan biarkan Kakakmu tidur!" seru Jody di balik kemudi.Nathan yang kalap menepuk-nepuk pipi Pricilla. Dengan suara bergetar ia berkata, "Kak, bangun, Kak. Maafin Abang, Kak, maaf!"Pricilla meringis. "Sakiittt!""Sabar, Sayang. Kita akan segera tiba di rumah sakit!" ucap Jody. Tibalah Jody di sebuah rumah sakit. Mobil pun ia parkir tepat di depan pintu IGD. Jody menekan klakson beberapa kali. Lama tak berselang tim medis mendorong kursi roda. "Brankar saja, Sus!" seru Nathan. Akhirnya Pricilla sudah terbaring di brankar dan tim medis segera membawanya ke ruang IGD. Nathan dan Jody menunggu di ruang tunggu. "Om, maafin aku, Om," ucap Nathan penuh penyesalan. Jody menepuk-nepuk pundak Nathan diiringi seulas senyum. Jody merogoh ponselnya. Ia mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi dengan melihat rekaman CCTV. Jody mengusap wajahnya kasar. "Suami Nyonya Pricilla?!" panggil seorang perawat. Jody berdiri. "Saya, Sus!""Mari ikut sa
Di rumah sakit, ada Shreya yang setia menunggu Pricilla. Tangan wanita itu menggenggam tangan sang putri. Dalam hatinya tak henti berdoa agar masalah yang terjadi cepat terselesaikan dan tidak ada kebencian satu sama lain. "Ah, kamu sudah bangun, Nak?" sapa Shreya. Pricilla menoleh ke arah suara. "Mama?!""Kamu mau makan, minum? Biar Mama siapkan. Atau lainnya, Sayang?"Pricilla tersenyum. Ia beringsut merubah posisinya. Shreya dengan sigap membantu. "Ma, maafin Kakak, ya? Sudah berani melawan, bahkan membentak Mama tadi," ungkap Pricilla sembari menangis. "Iya, Sayang. Udah, dong jangan nangis, ah." Shreya mengusap bulir bening di sudut mata Pricilla. "Papa mana, Ma?""Pulang dulu, Sayang.""Kalo Kak Jody?""Pergi sama Nathan."Pricilla mengembuskan napas kasar. Ia tidak menyangka jika Nathan bisa terpengaruh oleh Melani. "Ya, mau gimana lagi, Kak. Mama ikuti aja permainan Melani. Udah dua bulan, loh, dia minta uang sama Nathan.""Oh, ya? Berapa banyak?""Dua puluh juta.""What
Satu minggu sudah berlalu. Pricilla dan Jody pun mengisi hari-hari sesuai dengan kesepakatan yakni menginap di rumah Shreya, Adelia dan sekarang mereka sedang menikmati waktu berdua di apartemen. Ponsel Jody berdering.Ponsel yang berada tepat di samping Pricilla pun seketika mencuri perhatiannya. "Kak, telepon, tuh, dari Rey," ucap Pricilla sembari membaca nama yang tertera. "Angkat saja. Idupin spekernya, Yang!"Pricilla mengikuti perintah Jody. "Ada apa, Rey?" tanya Jody kepada asistennya. "Pak, masih di Indonesia, kan?""Iya, ada apa?""Bisa ke kantor, Pak?"Jody menyambar ponselnya dan mematikan pengeras suara. Ia beranjak dari kasur dan memilih pergi. Sikap Jody tentu saja meninggalkan tanda tanya bagi Pricilla. "Ada apa, ya? Kenapa main rahasia-rahasiaan, sih?" gumam Pricilla.Pricilla tak hentinya mencondongkan kepalanya menengok ke arah di mana Jody berdiri. "Ada apa, sih, Kak?" tanya Pricilla saat Jody kembali menghampiri. "Ah, tidak ada apa-apa.""Kalo gak ada apa-a
Di sekolah, ada Nathan yang merasa gerah karena pasalnya Airin adalah murid baru di kelasnya. Yang membuat Nathan risih adalah Airin duduk bersebelahan dengannya. "Hei, kita sekelas!" ucap Airin. "Tidak usah sok kenal, orang kaya baru!" kata Nathan ketus tanpa menoleh. "Ish! Aku minta maaf, deh. Dan tenang saja, aku akan ganti ponselmu yang rusak itu."Nathan menoleh, kemudian berkata, "Tidak perlu!""Kalian! Kalo mau kenalan nanti istirahat saja!" seru sang guru sembari menatap tajam ke arah Nathan. "Pelajaran Ibu tidak boleh ada yang mengobrol. Mengerti?!"Nathan mendelik ke arah Airin membuat murid baru itu menunduk. Bel istirahat diperdengarkan. Murid-murid berhamburan menuju kantin, termasuk Nathan. "Tunggu! Aku ikut, boleh?!" kata Airin sembari menarik lengan Nathan. Dengan cepat Nathan menepis tangan Airin sembari berkata, "Lu ngapain, sih, pegang-pegang gue, hah?!"Airin menunduk. Nathan melihat gadis itu menitikkan air mata. Tidak tega, akhirnya Nathan berkata, "Gue gak
Siang itu adalah hari pertama Nathan kerja di bengkel. Wajah yang tampan, badan tinggi tegap tentu saja mampu mencuri perhatian setiap pelanggan. Semula, Nathan merasa risih karena tatapan genit kerap ia dapatkan dari pelanggan wanita. "Aku mau sama Abang yang itu, ah!""Eh, aku dulu!""Aku datang duluan!""Loh, kenapa gak sama Abang-abang satunya lagi aja? Kan, ada tiga montir!"Perdebatan itu terdengar jelas di telinga Nathan. Merasa tidak enak kepada montir lain, Nathan angkat bicara, "Maaf, Kakak-kakak, silakan motor dan mobilnya diperbaiki oleh rekan saya saja. Saya baru masuk hari ini dan masih belajar. Bagaimana kalo nanti malah tambah rusak kalo saya yang perbaiki?""Emm ... iya juga, sih!""Tak apalah sama montir lain. Paling tidak, mata ini tetap bisa melihat kamu!"Nathan menggeleng mendengar itu. Kata maaf ia lontarkan kepada dua seniornya. "Tidak masalah. Kita jadi kecipratan rezeki. Akhir-akhir ini bengkel sepi," ucap salah seorang montir di sana. Nathan tersenyum dan
Di kamar, ada Nathan yang terus berpikir bagaimana caranya ia mendapatkan uang esok hari. Bukan puluhan ribu, tetapi ratusan atau bahkan jutaan rupiah. Tidak sengaja Nathan melihat sepatu serta koleksi lainnya di lemari pajangan. "Ahaa! Aku jual saja barang-barang kesayanganku itu!" Nathan berjalan menuju lemari. Dipilihnya barang-barang yang menurutnya tetap bernilai tinggi seperti sepatu dan topi. Sepatu dengan harga ratusan juta rupiah pemberian Shreya. Topi dengan harga puluhan juta rupiah pemberian Felix. Ada rasa ragu untuk menjualnya, tetapi Nathan akan berusaha menutupi dari orang tuanya. "Maaf, Ma, Pa. Abang akan jual barang pemberian kalian," gumamnya. Urusan Melani, Nathan sudah mendapatkan jalan keluar. Saatnya ia mengerjakan tugas sekolah. Hari sudah larut. Rasa kantuk menyerang seiring dengan tugas sekolah yang baru saja selesai. Nathan pun segera tidur. *Pagi menjelang. Keluarga besar Felix disibukkan dengan persiapan mereka menjalani hari. Termasuk Nathan. Ia si
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan