Satu bulan sudah berlalu. Setelah perdebatan itu sikap Shreya masih seperti biasanya. Ramah, perhatian, dan selalu mementingkan keluarga, terlebih kepada Pricilla. Seperti pagi itu, istri pemilik sebuah perusahaan ternama itu tetap sabar mengahadapi Pricilla walau gadis itu ketus terhadapnya. "Cari apa, Sayang?" "Ck! Kepo!"Shreya tersenyum. "Kalo Tante bisa bantu, kan, kamu bisa cepet sarapan, Nak.""Iket rambut!"Tidak kurang dari satu menit, Shreya menemukan benda itu."Ini apa?" Shreya mengacungkan ikat rambut itu. "Sini!" Pricilla menyambar, tetapi secepat kilat Shreya menjauhkannya."Duduklah, biar Tante bantu.""Gak! Sana, Tante keluar aja, ah!"Shreya tidak memedulikan apa kata Pricilla. Ia menuntun putrinya untuk duduk di kursi meja rias walau gadis itu sempat berontak. Shreya memulai dengan merias wajah Pricilla, tipis saja. Memoles pelembab bibir dan mengikat rambut. "Perfect! Jerawatnya sudah hilang, jadi tambah cantik, deh! Anak Tante!"Pricilla memutar bola matanya.
Sementara di kediaman Felix, ada Lorenza datang berkunjung. "Pada ke mana, Bi, kok, sepi?""Kalo gak salah denger, tadi Nyonya bilang ke klinik spa terus pulangnya ke kantor bapak, Bu.""Kantor Felix maksudnya?"Sang ART itu terkekeh-kekeh. Karena kemiripan Felix dengan mendiang suami Lorenza'lah membuat dirinya selalu menyapa Felix dengan sebutan bapak. "Iya, Bu, maksudnya Tuan Felix.""Ya, udah, tolong bawakan koper di mobil, ya?""Baik, Bu." Sang ART melenggang pergi. Lorenza hendak ke kamar yang biasa ia tempati saat berkunjung. Namun, langkahnya terhenti saat melihat kamar dekat tangga. "Bi, tunggu, Bi! Ke marilah!""Iya, ada apa, Bu?""Apa semua barang milik Debora masih ada di sana?""Masih, Bu. Bahkan Nyonya pernah masuk."Lorenza menghela napas, kemudian meminta kunci cadangan kamar itu. Pintu sudah terbuka lebar. Lekas majikan dan pembantu itu masuk. Lorenza memijat keningnya. Sungguh ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Felix. Entah sampai kapan putranya itu bisa melu
Shreya benar-benar menjalankan komitmennya. Kemarin ia kecewa, semalam ia menangis, tetapi pagi itu Shreya harus terlihat ceria. Tidak mungkin juga jika Shreya harus menunjukkan wajah muram karena ada Lorenza di sana Namun, ada pemandangan berbeda di mata Shreya, yakni sikap Pricilla. Gadis itu tampak murung. "Sayang, kenapa gak dimakan? Apa tidak enak masakannya?" tanya Shreya kepada Pricilla. Pricilla hanya menggeleng. "Makanlah. Sarapan itu penting," timpal Lorenza yang mampu membuat Pricilla patuh. "Mas juga, kenapa hanya diaduk saja nasi gorengnya. Ayok, dimakan! Apa mau Aya suapin, hem?" Shreya menggoda Felix. Terlihat bibir Felix melengkungkan senyum. "Tidak usah. Mas bisa sendiri, kok."Dret! Suara kursi yang bergesekan dengan lantai terdengar nyaring. "Pa, aku berangkatnya diantar Pak Joko aja," ucap Pricilla, kemudian berlalu begitu saja tanpa berpamitan kepada Shreya dan Lorenza. Shreya memerhatikan Pricilla sampai gadis itu hilang di balik pintu. "Apa yang sebenar
Setelah menemui Melani, Cindy kembali ke club. Rasa penasaran yang membuncah membuat ia menepikan mobilnya. Diraihnya ponsel yang ia simpan di dasbor. Jarinya berselancar membuka situs internet mencari informasi tentang Felix, karena setahu dirinya ayah dari Pricilla itu adalah seorang pengusaha. Mata Cindy membulat sempurna saat membaca sebuah laman yang menyebutkan bahwa Felix Henry adalah seorang pengusaha sukses, memiliki dua perusahaan besar dan beberapa cabang perusahaan di luar negeri. "Waw! Amazing!" pujinya dengan bibir melengkungkan senyum. "Gila! Si Aya beruntung. Setelah jadi janda Kak Alex dia dapat yang lebih kaya!" lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ponsel masih dalam genggaman. Cindy terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Melani, 'menjadi istri Felix'. "Boleh juga ide Ibu! Kalo Mas Felix jadi suamiku, aku tinggal ongkang-ongkang kaki saja di rumah."Cindy tersenyum penuh arti karena jalannya menjadi seorang pelakor sudah terbuka lebar, yakni hati Pr
"Emm ... wangi!" ucap Lorenza saat memasuki dapur. "Eh, Mama, Aya lagi coba bikin iga bakar. Tadi Mas Felix telepon minta dianterin dokumen, sekalian aja Aya bawain makan siang."Lorenza tersenyum. "Good idea! Semoga perlahan Felix luluh.""Iya, Ma, semoga."Lorenza menyarankan agar Nathan tetap di rumah bersamanya. Selain cuaca di luar panas, tanpa Nathan, Shreya akan lebih leluasa bersama Felix. "Tapi, nanti Mama repot.""Tidak usah sungkan. Sana, perah dulu ASI-nya."Shreya tersenyum senang. Lekas ia mencuci tangan dan siap untuk memerah ASI. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Dokumen dan menu makan siang sudah di tangan, Shreya pun berangkat menunggangi mobil kesayangannya. *Shreya sudah memarkirkan mobil di basement. Lekas, istri dari Felix itu turun. Senyum tak hentinya terukir di bibir ranum Shreya saat ke luar dari lift. Menarik napas panjang dan mengembuskan napas kasar ia lakukan terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu ruangan Felix. Lekas ia masuk setelah ter
Malam itu Shreya dan Lorenza sedang berkumpul di ruang keluarga, tak lupa si kecil Nathan yang sedang belajar merangkak. Hanya saja tidak ada Pricilla di sana. Sedari siang gadis itu tak kunjung ke luar kamar. "Malam," sapa Felix. Pria jangkung itu baru saja pulang kerja. "Eh, Papa, baru pulang," kata Shreya menirukan suara anak kecil. "Sibuk kerjanya, Mas?""He'em," jawab Felix singkat. Perhatiannya beralih kepada Nathan. "Kok, jagoan Papa belum tidur, sih?" Felix menggendong Nathan. "Mungkin sebentar lagi. Jagoan Papa lagi semangat belajar merangkak sepertinya."Felix hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Gimana rasa iga bakarnya tadi. Enak, kan?" tanya Lorenza kepada Felix. Sejenak Felix terdiam, lalu melihat ke arah Shreya. "Emm ...,"Dari gelagat Felix, Shreya bisa menyimpulkan jikalau Felix tidak memakan masakannya. "Pokoknya hari ini Aya seneng, Ma. Mas Felix melahap habis iga bakar bikinan Aya. Katanya enak," ucap Shreya cepat. "Iya, kan, Mas," lanjutnya bertanya kepada F
"Papa perhatikan kamu senyum-senyum terus. Kenapa? Kamu senang di keluarkan dari sekolah? Begitu?" tanya Felix di bibir pintu kamar Pricilla. Pricilla menoleh dan Seketika senyum itu lenyap. "Bukan, Pa. Aku hanya seneng aja mau ikut ke Bali. Coba Papa ingat-ingat, deh, kapan terakhir kali aku liburan?"Felix menghela napas dan memilih masuk, kemudian duduk di samping Pricilla. "Waktu kamu masih kecil, pernah, kok, liburan. Tahun kemarin juga bukannya kita ke luar negeri, ya?"Pricilla menepuk keningnya. "Liburan, ya, Pa, bukan pindah rumah!" Pricilla mengingat saat mereka tinggal di luar negeri tak lama setelah Debora meninggal. "Bikin momen indah yang bisa aku inget juga, dong, Pa," lanjutnya. Felix mengelus kepala Pricilla dengan sayang. Tak hentinya kata maaf terucap. Ia berjanji akan menebus semua waktu yang hilang itu. Maklum saja, setelah Pricilla beranjak dewasa perusahaan baru mendapatkan tender besar, ditambah lagi Felix harus kehilangan ayah untuk selama-lamanya yang meng
"Tunggu!" seru Shreya saat kedua bibir itu hampir saja bertemu. "Biar Aya aja, Mas!" lanjut Shreya sembari menarik lengan Felix agar menjauh. Shreya tersenyum penuh arti. "Tak semudah itu, Cindy!" Batinnya. Shreya memetik daun yang ada di pot pinggir kolam, lalu berjongkok dan mendekatkan mulutnya di telinga Cindy. Daun itu ia usapkan pelan di bagian dada Cindy dan berteriak, "Kecoa!""Aaaaa! Mana kecoanya, mana?!" Cindy beranjak. Ia berlari menjauh dari kolam diikuti Pricilla. Jurus ampuh! Untung saja Shreya mengingat apa yang sangat Cindy takuti. Shreya melihat jika Felix melongo, menggeleng, lalu duduk untuk berjemur. Dari kejauhan, rupanya Lorenza memperhatikan dan mengacungkan ibunya jarinya kepada Shreya, sang menantu pun membalasnya dengan senyuman. Shreya menghampiri Cindy. Terdengar jika Pricilla berkata bahwa ia rela menangis demi menyempurnakan akting Cindy, tetapi hasilnya tak sesuai yang diharapkan. "Yaaaah, gagal, deh!" ejek Shreya, kemudian terkekeh-kekeh. "Kamu
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan