Malam itu Shreya dan Lorenza sedang berkumpul di ruang keluarga, tak lupa si kecil Nathan yang sedang belajar merangkak. Hanya saja tidak ada Pricilla di sana. Sedari siang gadis itu tak kunjung ke luar kamar. "Malam," sapa Felix. Pria jangkung itu baru saja pulang kerja. "Eh, Papa, baru pulang," kata Shreya menirukan suara anak kecil. "Sibuk kerjanya, Mas?""He'em," jawab Felix singkat. Perhatiannya beralih kepada Nathan. "Kok, jagoan Papa belum tidur, sih?" Felix menggendong Nathan. "Mungkin sebentar lagi. Jagoan Papa lagi semangat belajar merangkak sepertinya."Felix hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Gimana rasa iga bakarnya tadi. Enak, kan?" tanya Lorenza kepada Felix. Sejenak Felix terdiam, lalu melihat ke arah Shreya. "Emm ...,"Dari gelagat Felix, Shreya bisa menyimpulkan jikalau Felix tidak memakan masakannya. "Pokoknya hari ini Aya seneng, Ma. Mas Felix melahap habis iga bakar bikinan Aya. Katanya enak," ucap Shreya cepat. "Iya, kan, Mas," lanjutnya bertanya kepada F
"Papa perhatikan kamu senyum-senyum terus. Kenapa? Kamu senang di keluarkan dari sekolah? Begitu?" tanya Felix di bibir pintu kamar Pricilla. Pricilla menoleh dan Seketika senyum itu lenyap. "Bukan, Pa. Aku hanya seneng aja mau ikut ke Bali. Coba Papa ingat-ingat, deh, kapan terakhir kali aku liburan?"Felix menghela napas dan memilih masuk, kemudian duduk di samping Pricilla. "Waktu kamu masih kecil, pernah, kok, liburan. Tahun kemarin juga bukannya kita ke luar negeri, ya?"Pricilla menepuk keningnya. "Liburan, ya, Pa, bukan pindah rumah!" Pricilla mengingat saat mereka tinggal di luar negeri tak lama setelah Debora meninggal. "Bikin momen indah yang bisa aku inget juga, dong, Pa," lanjutnya. Felix mengelus kepala Pricilla dengan sayang. Tak hentinya kata maaf terucap. Ia berjanji akan menebus semua waktu yang hilang itu. Maklum saja, setelah Pricilla beranjak dewasa perusahaan baru mendapatkan tender besar, ditambah lagi Felix harus kehilangan ayah untuk selama-lamanya yang meng
"Tunggu!" seru Shreya saat kedua bibir itu hampir saja bertemu. "Biar Aya aja, Mas!" lanjut Shreya sembari menarik lengan Felix agar menjauh. Shreya tersenyum penuh arti. "Tak semudah itu, Cindy!" Batinnya. Shreya memetik daun yang ada di pot pinggir kolam, lalu berjongkok dan mendekatkan mulutnya di telinga Cindy. Daun itu ia usapkan pelan di bagian dada Cindy dan berteriak, "Kecoa!""Aaaaa! Mana kecoanya, mana?!" Cindy beranjak. Ia berlari menjauh dari kolam diikuti Pricilla. Jurus ampuh! Untung saja Shreya mengingat apa yang sangat Cindy takuti. Shreya melihat jika Felix melongo, menggeleng, lalu duduk untuk berjemur. Dari kejauhan, rupanya Lorenza memperhatikan dan mengacungkan ibunya jarinya kepada Shreya, sang menantu pun membalasnya dengan senyuman. Shreya menghampiri Cindy. Terdengar jika Pricilla berkata bahwa ia rela menangis demi menyempurnakan akting Cindy, tetapi hasilnya tak sesuai yang diharapkan. "Yaaaah, gagal, deh!" ejek Shreya, kemudian terkekeh-kekeh. "Kamu
Suasana seketika hening dan semua mata tertuju kepada Felix."Begini, Sayang ... menikah itu tidak mudah. Bukan baru bertemu, lalu menikah. Banyak proses sebelum itu," ujar Felix yang diharapkan akan dimengerti oleh Pricilla. "Bukankah Papa sama Tante itu langsung menikah?" tanya Pricilla sambil menunjuk Shreya. Yang ditunjuk hanya tersenyum sembari menunggu jawaban Felix. Lain halnya dengan Lorenza. Wanita itu memperingatkan sang cucu agar menjaga sikap. Sejenak Felix berpikir. Jawaban apa yang sekiranya akan membungkam putrinya itu. "Oh, kalo sama Tante Shreya, dulu kami pernah dijodohkan. Hanya saja, dulu Tante Shreya masih sekolah dan kami menolak perjodohan itu.""Masa, sih?" Pricilla menyipit tidak percaya. Lorenza turut angkat bicara, membenarkan apa yang sudah Felix katakan. "Papa mencintai Tante Shreya?" tanya Pricilla lagi. Felix tersenyum. "Setiap pasangan yang saling mencintai, mereka pasti akan memutuskan untuk menikah."Pricilla cemberut. Shreya menatap Felix lek
Tiga hari sudah mereka di Bali. Namun, tidak ada kesan berarti untuk Shreya. Bukan karena suasana dan fasilitas di sana, tetapi karena adanya Cindy. Wanita itu tak kunjung pulang karena Pricilla yang meminta. Pagi-pagi sekali Shreya sudah bangun. Dibukanya gorden agar sinar mentari pagi bisa masuk ke dalam kamar. Namun, ada pemandangan yang berbeda kala itu, yakni Felix masih tertidur pulas. "Mas, bangun!" Shreya mengguncang kaki Felix yang terbungkus selimut. Shreya memicing memerhatikan wajah Felix yang terlihat pucat. Segera Shreya meletakkan punggung tangannya pada kening. "Ya Tuhan, badan Mas panas sekali.""Mas, bukalah matamu!" lanjut Shreya sambil menepuk pipi Felix pelan. Mata Felix terbuka dan beringsut duduk dengan tangan yang memijit kening. "Mas jangan duduk!" Shreya terlihat panik. "Duh, emm ... kalau begitu tunggu sebentar, Aya ambil air panas dulu." Shreya berlari ke dapur. Setelah mengisi baskom dengan air panas, ia kembali lengkap dengan handuk kecil. Shreya me
Felix dan Shreya sudah berada di rumah sakit. Keduanya lekas menuju ke ruang ICU. Di ruang tunggu ada seorang pria yang memang menunggu kedatangan mereka. Pria itu menjelaskan bagaimana dirinya bisa membawa Pricilla sampai ke rumah sakit. Putri Felix itu ditemukan tak sadarkan diri di toilet. "Maaf, Pak. Apa putri saya tidak ada yang menemani? Perempuan dengan ciri-ciri tinggi kurus?" tanya Shreya. "Tidak ada Nyonya. Tapi, kata beberapa orang, sih, wanita yang bersamanya pergi begitu saja sebelum kejadian.""Kalau begitu terima kasih, sudah mengantar putri saya ke sini," kata Felix seraya menyalami. Pun dengan Shreya. Pria itu pergi. Shreya dan Felix masuk ke ruang ICU. Tampak di sana Pricilla terbaring lemas. "Ya, Tuhan, Sayang, kenapa bisa begini, hem?" tanya Shreya, kemudian mencium kening Pricilla. Seorang dokter menghampiri. "Orang tua Nona Pricilla?""Iya, benar, Dok. Putri saya sakit apa, Dok?" tanya Felix. Setelah melakukan pemeriksaan dan keluhan dari Pricilla, Sang do
"Sudah selesai?" tanya Felix. "Ah, be-belum, Mas. I-ini Cilla buang hajat lagi," jawab Cindy tergagap. Felix meminta agar Cindy memberitahunya jika sudah selesai. Cindy membuka tirai sedikit. "Mas dari tadi ada di dalam?" Cindy berusaha tenang. "Tidak! Kenapa?" Felix mengernyit. Cindy tersenyum. "Tidak pa-pa, Mas. Ya, sudah, kalau begitu Mas keluar lagi saja. Di sini bau!" Cindy mengibaskan tangan di depan hidungnya, kemudian menutup tirai. Tanpa Cindy tahu Felix menyeringai, lalu keluar. Dua puluh menit berselang, Cindy menghampiri Felix dan memutuskan untuk ke kantin. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Felix saat duduk di kursi dekat pembaringan Pricilla. "Tidak begitu lemas. Tapi, mual masih ada. Pusing juga masih ada."Felix menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Matanya tak lepas dari wajah sang putri, lalu kembali bertanya, "Masih mau memiliki ibu seperti wanita itu?""Maksud Papa, Tante Cindy?"Felix mengangguk. "Tentu saja mau!" jawab Pricilla senang. "Pap
Hari berganti. Hari itu adalah hari kedua dimana Pricilla dirawat. Seperti hari kemarin, Shreya akan membersihkan tubuh Pricilla dan mengganti pakaiannya. "Udah cantik, deh!" kata Shreya saat selesai melakukan rangkain terakhir, yakni mengikat rambut Pricilla bak ekor kuda. Shreya mengusap pipi putrinya itu. "Senyum, dong."Pricilla tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapi walau terlihat terpaksa. "Ya, sudah, Mama ke ruang laktasi dulu, ya. Telepon aja kalau ada apa-apa." Shreya pergi dengan membawa perlengkapan perah.Pricilla memegang perutnya pertanda ingin membuang hajat. Melihat Shreya baru saja memegang handle pintu, gadis itu menyeringai. Bukan tanpa alasan. Pricilla ingin mengerjai Shreya karena baru pagi itu perutnya kembali terasa mulas. "Tunggu, Ma!" serunya dengan tangan masih memegang perut. Shreya menoleh. "Kenapa, Nak? Perutnya sakit lagi?" Shreya menghampiri. "Iya. Yaaahh, malah keburu pup!"Shreya tersenyum. "Tidak apa-apa, Sayang. Biar Mama bantu be
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan