Felix dan Shreya sudah berada di rumah sakit. Keduanya lekas menuju ke ruang ICU. Di ruang tunggu ada seorang pria yang memang menunggu kedatangan mereka. Pria itu menjelaskan bagaimana dirinya bisa membawa Pricilla sampai ke rumah sakit. Putri Felix itu ditemukan tak sadarkan diri di toilet. "Maaf, Pak. Apa putri saya tidak ada yang menemani? Perempuan dengan ciri-ciri tinggi kurus?" tanya Shreya. "Tidak ada Nyonya. Tapi, kata beberapa orang, sih, wanita yang bersamanya pergi begitu saja sebelum kejadian.""Kalau begitu terima kasih, sudah mengantar putri saya ke sini," kata Felix seraya menyalami. Pun dengan Shreya. Pria itu pergi. Shreya dan Felix masuk ke ruang ICU. Tampak di sana Pricilla terbaring lemas. "Ya, Tuhan, Sayang, kenapa bisa begini, hem?" tanya Shreya, kemudian mencium kening Pricilla. Seorang dokter menghampiri. "Orang tua Nona Pricilla?""Iya, benar, Dok. Putri saya sakit apa, Dok?" tanya Felix. Setelah melakukan pemeriksaan dan keluhan dari Pricilla, Sang do
"Sudah selesai?" tanya Felix. "Ah, be-belum, Mas. I-ini Cilla buang hajat lagi," jawab Cindy tergagap. Felix meminta agar Cindy memberitahunya jika sudah selesai. Cindy membuka tirai sedikit. "Mas dari tadi ada di dalam?" Cindy berusaha tenang. "Tidak! Kenapa?" Felix mengernyit. Cindy tersenyum. "Tidak pa-pa, Mas. Ya, sudah, kalau begitu Mas keluar lagi saja. Di sini bau!" Cindy mengibaskan tangan di depan hidungnya, kemudian menutup tirai. Tanpa Cindy tahu Felix menyeringai, lalu keluar. Dua puluh menit berselang, Cindy menghampiri Felix dan memutuskan untuk ke kantin. "Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Felix saat duduk di kursi dekat pembaringan Pricilla. "Tidak begitu lemas. Tapi, mual masih ada. Pusing juga masih ada."Felix menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Matanya tak lepas dari wajah sang putri, lalu kembali bertanya, "Masih mau memiliki ibu seperti wanita itu?""Maksud Papa, Tante Cindy?"Felix mengangguk. "Tentu saja mau!" jawab Pricilla senang. "Pap
Hari berganti. Hari itu adalah hari kedua dimana Pricilla dirawat. Seperti hari kemarin, Shreya akan membersihkan tubuh Pricilla dan mengganti pakaiannya. "Udah cantik, deh!" kata Shreya saat selesai melakukan rangkain terakhir, yakni mengikat rambut Pricilla bak ekor kuda. Shreya mengusap pipi putrinya itu. "Senyum, dong."Pricilla tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang rapi walau terlihat terpaksa. "Ya, sudah, Mama ke ruang laktasi dulu, ya. Telepon aja kalau ada apa-apa." Shreya pergi dengan membawa perlengkapan perah.Pricilla memegang perutnya pertanda ingin membuang hajat. Melihat Shreya baru saja memegang handle pintu, gadis itu menyeringai. Bukan tanpa alasan. Pricilla ingin mengerjai Shreya karena baru pagi itu perutnya kembali terasa mulas. "Tunggu, Ma!" serunya dengan tangan masih memegang perut. Shreya menoleh. "Kenapa, Nak? Perutnya sakit lagi?" Shreya menghampiri. "Iya. Yaaahh, malah keburu pup!"Shreya tersenyum. "Tidak apa-apa, Sayang. Biar Mama bantu be
Hidup adalah pilihan dan perjuangan, dimana beragam tantangan dan risiko mewarnai perjalanannya. Seperti Shreya, saat itu ia harus memilih mempertahankan rumah tangga walaupun batu sandungan bertambah besar. Shreya yang tidak mau rumah tangganya hancur karena orang ketiga lagi pun berkata, "Aku tidak akan memberikan apa yang sudah menjadi milikku, Cindy!""Dan untuk Ibu ... dulu Ibu menuduh mandul dan mengusir Aya dari rumah Aya sendiri, lantas kenapa sekarang Ibu menginginkan putraku?"Melani diam. "Ada tamu rupanya?" ucap Felix yang baru saja datang. Semua menoleh. "Pasti ini calon suami Cindy, kan?" tanya Melani sembari menghampiri Felix. Yang dihampiri hanya tersenyum samar, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Melani. Melani kembali menghampiri. "Ibu sudah mendengar semuanya. Bahwa Pricilla ingin Cindy yang menjadi mamanya. Jadi, kapan akan melamar?"Felix menatap wajah Melani. "Memangnya siapa yang mau menikahi putri Ibu itu?""Loh, katanya mau menebus kesalahan denga
Joko memarkirkan mobilnya di halaman rumah Andreas. Sang Nyonya turun, Joko pun kembali pulang. Kedatangan Shreya dan Nathan disambut suka cita oleh Adelia. "Ya, ampun, Sayang, apa kabar kalian, hem?" sapa Adelia sembari menciumi Nathan. "Baik, Bu. Ibu apa kabar?""Sangat baik. Apalagi ada kalian ke sini.""Oh, iya, ini ada sedikit oleh-oleh." Shreya memberikan satu buah kantong berukuran besar. Adelia menerima itu dan mengajak putrinya itu masuk. Di ruang keluarga tampak Andreas dan Jody sedang menonton televisi. Sambutan tak kalah hangat Shreya dapatkan dari mereka. "Loh, kamu gak sekolah, Dek?" tanya Shreya kepada Jody. "Nih!" Jody memperlihatkan tangannya yang dibalut perban."Kenapa itu?""Biasa, anak muda," jawab Jody, kemudian terkekeh-kekeh, sedangkan Shreya mendengkus. "Mana suamimu?" tanya Andreas. "Beresin kerjaan yang beberapa hari kemarin tertunda karena liburan." Shreya menceritakan ke mana keluarga kecilnya pergi. "Wah, kapan-kapan ajak aku, dong, Kak?" sambar
Setelah perdebatan yang sedikit alot, akhirnya Pricilla setuju. Ibu dan anak tiri itu pun turun dari mobil. "Sayang, sini dulu." Shreya menarik lengan Pricilla. Dirapikannya dasi, seragam sampai rambut. "Udah rapi! Yang semangat, ya, belajarnya." Shreya mencium kening Pricilla. "Udah, ih! Aku bukan anak kecil tau gak?! Dicium segala!" Pricilla mengusap keningnya. Shreya hanya terkekeh-kekeh, kemudian menuntun Pricilla. "Ih, gak usah dipegang juga tangannya, Mamaa!" protes Pricilla. Akhirnya Pricilla memilih masuk dan akan menemui kepala sekolah sendiri. "Oke! Tapi, ingat pesan Mama, ya?""Iya, iya, bawel!" Shreya tersenyum melihat kepergian Pricilla. Ia berharap anak gadisnya mampu melewati semua syarat yang Shreya berikan meskipun risikonya adalah Shreya harus pergi dari rumah Felix. Tak mengapa, karena yang terpenting untuk Shreya adalah dirinya sudah berhasil mendidik Pricilla. Tak menampik pula jika Shreya berharap Pricilla bisa bersikap baik dan menerima kehadirannya, pun
Ucapan Jody benar-benar membuat Pricilla dirundung gelisah. Satu sisi ia percaya dengan apa yang dikatakan Jody. Tidak hanya Jody, bahkan Nury berkata demikian. Di sisi lain, Pricilla merasa tidak percaya. "Cilla! Lu di sini rupanya?" sapa Nury. "Huwaaaa!" Tangis Pricilla pecah. "Astaga! Lu kenapa nangis, sih? Ada apa?!" Nury panik. Dalam tangisnya Pricilla berkata bahwa yang dikatakan Nury ternyata benar, jika Dio adalah playboy. "Ya, Tuhan, gue pikir lu kenapa? Yuk, masuk! Udah bel tauk!" Nury menyeret Pricilla. Pricilla yang tidak ingin sang guru serta teman lainnya tahu, ia memutuskan untuk membasuh muka terlebih dahulu, setelah itu masuk. Dua mata pelajaran sudah guru sampaikan, tetapi entah apa bahasannya Pricilla tidak dapat mencerna. Hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Pricilla bergegas meninggalkan kelas. Di gerbang, Pricilla diam mematung sembari menunggu Shreya menjemput. Tin! Suara klakson motor berhasil mengagetkan Pricilla dan menoleh. "Naik!" titah Jody. P
Shreya turut merasakan sedih melihat Pricilla. Cinta Pricilla terlihat sangat tulus walaupun bisa disebut masih cinta monyet. Gadis itu benar-benar rapuh. Kepalanya ia sandarkan di dada Shreya. Lagi lagi moment yang tepat bagi Shreya. "Menangislah jika itu bisa membuat hatimu merasa lega," kata Shreya sembari mengusap kepala Pricilla. Anak baru gede itu merasa diberi petunjuk. Ia pun menangis sejadinya. Shreya benar-benar membiarkannya sampai akhirnya Pricilla tenang, barulah angkat bicara."Laki-laki yang baik itu pasti akan menjaga perasaan wanitanya. Laki-laki yang baik itu menepati setiap janji. Laki-laki yang baik itu bisa dipercaya. Lalu menurutmu Dio itu seperti apa?""Yang jelas, sekarang perasaanku hancur. Dia tidak menepati janjinya untuk setia kepadaku. Jadi, aku gak percaya sama dia."Shreya memeluk Pricilla erat. "Jadi, bukan karena si wanita tidak bisa menjaga dengan baik si prianya?"Pricilla diam. Mendengar Shreya bertanya demikian mengingatkan atas tuduhannya kepad
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan