Pricilla menyerahkan urusan Shreya kepada Cindy karena yang terpenting untuknya saat itu adalah Dio. Satu jam Pricilla menunggu sosok Dio di sana. "Tante, Dio mana, sih?" tanya Pricilla yang mulai kesal. "Tunggu di kamarnya saja. Sekarang Tante mau keluar sebentar. Oh, iya, kamu ke sini sama siapa?"Pricilla tersenyum. "Ada, deh!""Ya, sudah, Tante pergi dulu, ya." Cindy pun pergi. Pricilla yang semula di kamar Cindy, berpindah ke kamar Dio. Tiba di kamar Dio, Pricilla disuguhkan dengan kondisi kasur yang berantakan. Tidak hanya itu, baju milik Dio pun tergeletak di lantai. Pricilla mengembuskan napas kasar. Gadis itu memunguti baju sang kekasih. Namun, ada pemandangan lain yang membuat putri dari Felix itu tercengang, yakni di mana ada baju wanita di sana, tepat di kolong ranjang. "Baju siapa ini?" gumamnya sambil meraih baju itu. Tidak hanya baju, di sana ada celana dalam dan bra. Ceklek!Pintu terbuka. Pricilla pun menoleh. Gadis itu melihat ekspresi Dio yang kaget. Sambil
Pricilla merasa bersyukur karena seiring dengan lampu yang menyala, seseorang berhasil memukul Dio. Gadis itu duduk sambil memeluk lutut sembari terisak. Bug! Bug! "Kurang ajar! Kenapa lu sebejat ini, hah?!"Mata Pricilla membulat sempurna saat melihat siapa yang sedang memukuli Dio. "Kak Jody!"Bukan hanya Jody, tetapi juga Dila datang menghampiri. Pricilla melihat Dila meraih sprei dan menutupi tubuh polosnya. Namun, seketika dunia terasa gelap. Ya, Pricilla jatuh pingsan. "Cilla! Ya, Tuhan, Cilla, bangun, Cil!" Dila menepuk-nepuk pipi Pricilla.Jody yang mendengar teriakan Dila memberikan bogem mentah terakhir yang membuat Dio terkapar. "Mati lu!"Jody berlari menghampiri Dila dan mengangkat tubuh Pricilla. "Ada apa ini?!" tanya Cindy yang baru saja datang. "Ya, Tuhan, Cilla, kenapa?!" lanjutnya saat melihat Pricilla. "Tanyakan saja sama laki-laki tak berguna itu!" jawab Jody ketus, kemudian ia keluar diikuti oleh Dila. Cindy melotot saat melihat Dio tergelak dengan kondis
Shreya menangis. Bukan menangis karena ia terjatuh, tetapi menangis karena Shreya merasa takdir cinta tak lagi memihaknya. Jody membantu Shreya bangun sembari berkata, "Maafin aku, Kak. Tadi, bener-bener emosi!"Shreya menepuk-nepuk lengan Jody pelan sembari tersenyum. Wanita itu mengusap air matanya, lalu menghampiri Felix yang rupanya sedang dipapah oleh seorang sekuriti menuju ruang ICU, sedangkan Jody ke kamar inap Pricilla untuk mengambil ponsel dan kunci motor yang ia simpan di atas meja. "Kakak mau ke mana?" tanya Pricilla yang ternyata sedang duduk bersandar. Jody menghampiri Pricilla. "Oh, ya, gue udah hajar bokap lu sampe babak belur! Untung aja kakak gue datang dan memohon sama gue agar gak pukul bokap lu lagi. Gak ngerti gue sama pikiran Kak Aya, udah disakitin sama bokap lu, tapi dia tetep baik. Gue cabut!" Jody pun pergi. Pricilla hanya mampu menatap kepergian Jody. Bulir bening berhasil menetes di wajah cantiknya. Entah apa yang harus ia katakan nanti kepada Shreya.
Dokter sudah memeriksa kondisi Pricilla. Gadis itu tetap menolak berkonsultasi dengan seorang psikolog. Akhirnya hari itu dokter pun memperbolehkan Pricilla pulang. "Sayang, ada yang mau ketemu sama kamu," kata Shreya. "Siapa?""Temen Mama tentunya."Pricilla terlihat antusias. "Cewek apa cowok?""Cewek.""Cantik? Umur berapa?""Emm ... sekitar empat dua, empat tiga'lah. Tapi, masih cantik. Kenapa emangnya? Pricilla menggeleng. Tidak berselang lama wanita yang Shreya sebut teman itu datang. "Halo," sapa wanita itu. "Halo, Mbak, apa kabar?" Shreya menyambutnya ramah. "Baik," jawabnya. Perhatian wanita itu tertuju kepada Pricilla. "Wah, ini putrimu, Ay?""Iya, Mbak."Wanita itu memperkenalkan dirinya kepada Pricilla. "Ah, maaf, Mbak, Aya ke kantin sebentar, ya?"Wanita itu mengangguk. "Iya, silakan.""Sayang, Mama pergi dulu, ya? Kalian ngobrol saja," lanjutnya kepada Pricilla. Shreya pun meninggalkan kamar, tak lupa mengajak Felix yang sedari tadi duduk di sofa memperhatikan.
"Tidak usah dengarkan apa kata orang gila itu, Bu!" seru Felix yang ternyata sedari tadi mendengar percakapan mereka. Felix menghampiri Adelia. "Pergi kamu dari sini!" usir Felix kepada Cindy. Cindy mendengkus. Tatapannya sinis ke arah Shreya dan Felix. Setelah mengambil tas miliknya, Cindy melengos pergi. Tinggallah Pricilla yang tak enak hati kepada Shreya karena sudah membenarkan ucapan Cindy. Ya, itu memang benar, tetapi itu hari kemarin. Kini dan kedepannya tidaklah demikian, mungkin. Pricilla menyelami hatinya. Tidak semudah itu juga melupakan Cindy. Pricilla menunduk. "Bukankah sekarang Cilla pulang?" tanya Felix kepada Shreya. "Iya, Mas.""Kalau begitu bersiaplah."Betapa beruntungnya Pricilla, karena kehadiran Felix membantunya terbebas dari suasana canggung itu. "Nak Felix, wajahmu kenapa?" tanya Adelia. "Maaf, Ibu baru sadar kalo ternyata wajahnya penuh lebam."Felix tersenyum. "Ah, biasa, Bu, namanya juga laki-laki."Adelia tersenyum, sedangkan Shreya memalingkan w
Sore menjelang. Adelia dan Jody pun berpamitan pulang. Tidak ada saran dan kiat yang dapat Pricilla ambil dari obrolannya dengan Jody. Gadis itu tetap bersikukuh dengan keputusannya. Lorenza, wanita itu baru saja ke luar kamar. Namun, langkahnya terhenti saat melihat anak dan menantunya. "Bisa ke sini sebentar?!" pinta Lorenza kepada Shreya dan Felix saat mereka hendak menaiki anak tangga. Mereka menghampiri. "Ada apa, Ma?" tanya Felix. "Malam ini Mama akan balik Singapura," jawab Lorenza. "Mama titip Pricilla, ya, Nak," lanjut Lorenza kepada Shreya. "Iya, Ma. Mama jangan khawatir. Pricilla sudah jadi tanggung jawab Aya.""Kenapa harus balik? Tinggal di sini saja," ucap Felix. Lorenza mengatakan jika perusahaan membutuhkan dirinya dan dalam waktu dekat juga ia akan berangkat ke Negeri Sakura. "Ya, Tuhan ... mau apa Mama ke sana?" Felix terlihat cemas karena pasalnya sang Mama tidak pernah pergi jauh. "Mama ada bisnis di sana.""Apa? Sejak kapan? Kok, aku tidak tau?"Perdebat
Tujuh bulan sudah usia pernikahan Shreya. Setahun pula usia Nathan. Bayi tampan itu sudah mulai belajar berjalan. Tidak ada acara khusus di hari spesialnya karena Shreya tidak menginginkan itu. Tidak ada satupun kado yang Nathan dapatkan dari Felix karena pria itu benar-benar tidak mengingat usia Nathan. Ia hanya sibuk kerja, kerja dan kerja. Pricilla, gadis itu benar-benar patuh kepada Shreya. Tingkah dan lakunya sudah mencerminkan anak baik, bahkan rajin belajar. Seperti pagi itu, sebelum berangkat sekolah gadis itu belajar terlebih dahulu karena tepat di hari itu adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas. Tok tok tok! "Sayang, sarapan dulu!" seru Shreya sembari mengetuk daun pintu kamar Pricilla. "Ya, Tuhan, untung Mama ketok pintu dulu. Udah dulu, ya, sampai ketemu nanti." Rupanya Pricilla sedang melakukan panggilan. Gadis itu segera mematikan ponselnya. "Iya, Ma, Kakak nanti nyusul!" kata Pricilla balas berseru. "Ck! Duh, tadi sampe halaman berapa, ya?" gumam Pricilla semba
Di kantor, Felix baru saja selesai rapat. Pemilik perusahaan itu marah besar karena sudah dicurangi oleh rekan bisnisnya. "Antonio, putus kontrak dengan mereka!" titah Felix kepada asistennya. "Tapi, dengan demikian kita harus bayar denda, Tuan.""Tidak masalah! Aku tidak mau bekerjasama dengan perusahaan curang! Kita akan lebih merugi jika terus menjalin kontrak dengan mereka." "Baik, Tuan."Felix kembali ke ruangannya. Bergelut dengan pekerjaan ditambah lagi dengan segudang masalah membuat emosi pria itu naik-turun. Ia meraih ponselnya di atas meja. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Shreya. "Tumben, ada apa?" gumamnya. Felix melihat status aplikasi hijau itu. Ia mengembuskan napas kasar. "Nathan ulang tahun rupanya." Pria itu menaruh kembali ponselnya dan berpikir nanti akan membeli kado saja tanpa harus datang ke sana. Felix memilih fokus pada pekerjaan. Ia kembali membuka laptop dan menandatangani beberapa dokumen. Namun, tiba-tiba saja ... "Ya, Tuhan, Mas, Aya tele
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan