*Enjoy it*"Jelaskan!" ujar Raid dengan suara dingin dan tegas. Sambil menatap tajam deretan orang-orang yang selama ini ia percayakan menjaga dan memantau Nissa dari jauh. Sekuat tenaga Raid menahan diri agar tak mengamuk pada orang-orang di hadapannya ini. Dia sungguh merasa di khianati karena kecolongan atas gagalnya pernikahan Nissa dan Ustad Darul. Raid marah, tapi juga senang. Akhirnya bidadarinya tidak jadi dimiliki orang lain. Meski begitu, Raid tetap butuh penjelasan. Kenapa semua kacau di detik terakhir seperti ini. "Kenapa tidak ada yang menjawab? Apa kalian sudah kehilangan suara? Atau, perlu kuhilangkan juga leher kalian?" desis Raid kesal saat belum mendapat satu orang pun yang berani menjawab tuntutannya. Mendengar ancaman Raid, orang-orang tadi pun menelan saliva kelat tanpa sadar. Mereka jelas tahu jika sang Bos tak pernah main-main dengan ancamannya. "Ma-maaf, Bos. Ka-kami juga sebenarnya kurang tahu apa yang sudah terjadi hingga--"Brak!"Lantas apa kerja kalia
*Happy Reading*Bukan Raid namanya jika akan puas hanya dengan dugaan-dugaan semata. Karenanya, demi benar-benar mendapatkan kebenaran akan kejadian hari itu. Raid pun mendatangi Ustad Abdul dan bertanya langsung akan kejadian sebenarnya. Dengan berat hati, Ustad Abdul pun menceritakan detail kejadian malam itu tanpa menutupi satu hal pun, hingga keluarlah keputusan Nissa yang tak bisa diubah siapa pun. "Maaf kan kami karena semuanya jadi begini. Tapi, kecelakaan itu dan permintaan ibunya Kim diluar kendali kami. Saya sudah mencoba memberikan pilihan agar pernikahan itu tetap terjadi. Meski terdengar egois dan keterlaluan, tapi saat itu, hanya poligami lah menjadi jalan keluar seandainya Darul dan Nissa tetap mempertahankan pernikahan tersebut. Karena kami benar-benar tak bisa mengabaikan Kim." Itulah kata Ustad Abdul setelah menyelesaikan ceritanya. Raid masih diam, tak menunjukan tanggapan berarti untuk cerita yang diberikan Ustad Abdul. Dia bingung harus sedih atau senang sekara
*Happy Reading*Dengkusan kasar langsung Naira lakukan saat baru saja tiba di cafe, melihat keberadaan Raid. Wanita itu menoleh datar sebelum melengos begitu saja melewati pria itu. Raid mengekori Naira tanpa beban, seakan tak punya dosa sama sekali."Di mana Nissa?" Raid bertanya tanpa basa basi, sesampainya mereka di ruangan yang Naira fungsikan sebagai office cafe N'3."Nggak ada." Naira menjawab acuh, seraya duduk di kursi kerjanya. "Jangan bercanda, Nai." Raid tak suka dengan jawaban Naira.Naira menatap tanpa minat ke arah Raid, "Apa aku terlihat sedang bercanda?" tanya balik Naira. "Kalau begitu jawab dengan jelas, di mana Nissa? Kenapa di apartemen dan Cafe nggak ada? Sejak pulang dari pondok pesantren aku tidak melihat keberadaannya. Sebenarnya kamu bawa dia ke mana?" tuntut Raid mulai kesal. "Apa perdulimu? Mau aku bawa ke mana kek, ya terserah aku. Kan sudah kubilang, biar sekarang aku yang menjaganya.""Nai!--""Lagipula ini juga atas permintaan Nissa." Naira memangkas
*Happy Reading*"Bisa! Pasti bisa!" Raid berkata tegas meyakinkan Naira, pun dirinya sendiri. Raid bukan tidak sadar berapa banyak luka yang telah ia torehkan pada Nissa dan sedalam apa. Namun, ia coba meyakinkan dirinya sendiri kalau itu tak akan menghalanginya untuk memiliki Nissa lagi.Nissa itu bucin pada Raid. Cintanya buta. Jadi bukan hal sulit bukan, membuat Nissa kembali percaya dan melupakan dosa-dosanya selama ini. Cinta akan selalu memaafkan. Karena meski bersama itu sakit, jelas berpisah akan lebih sakit. Meski begitu, untuk kali ini Raid janji tidak akan seenaknya lagi memperlakukan Nissa, dan tidak akan membiarkan sang pujaan menangis lagi. Raid sudah sadar sekarang. Dia tidak akan menyia-nyiakan Nissa!"Oh, ya?" Naira menyahut guyon. "Tapi menurutku, sekalipun kamu bisa menemukan dan membuatnya jatuh cinta lagi, tetap saja kalian tidak akan bisa bersama.""Kenapa?" tanya Raid tak terima. "Karena ... kalian kan .... berbeda."Raid kembali bungkam saat mendengar alasan
*Happy Reading*"Sialan!" Raid mengusap wajahnya dengan kasar. Kesal karena ingatan masa lalunya tak kunjung pergi. Kenangan itu tak akan pernah bisa Raid lupakan. Karena sejak saat itu, Raid benar-benar jadi kacungnya Smith. Tak hanya itu, Raid juga di didik dan di ubah menjadi seorang monster. Ia yang dulu biasa berkelahi demi memperebutkan sepotong roti dan uang recehan. Berubah menjadi orang yang tak segan menyakiti bahkan membunuh orang lain tanpa merasa bersalah sedikit pun. Sialnya, Raid malah terlena dan menyukai hal keji tersebut. Berawal dari terbiasa, suka, dan malah ketagihan. Rasanya ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya, jika sehari saja tak mendengar teriakan ketakutan seseorang dan melihat darah tergenang. Ya, segila itu dulu Raid.Dalam didikan Smith. Empati yang sempat Raid miliki perlahan berkurang lalu menghilang. Hatinya dibuat mengeras dan malah menikmati sebuah kekejaman. Raid tidak pandang bulu dalam menyakiti orang lain. Mau itu laki-laki atau perempuan. Bes
*Happy Reading*"Yah, faster! Sial, kenapa kau liar sekali?"Pundak Raid di cengkram, lalu di kecup hangat. Basah bergetar nikmat hingga ubun-ubun."Enak?" Bibir ranum berwarna pink itu tetap tersenyum."Yeah.""Raid!""Ya ....""Raid!""Hmm ....""Bangunlah, bangsat! Apa yang kau lakukan?!"Kenapa suaranya berubah? Raid pun membuka mata dan seketika terkejut bukan main saat akhirnya menemukan wajah Frans yang sudah kelam dengan sorot mata horor."Apa yang kau lakukan? Lepaskan tangan sialmu ini dari tubuhku!"Shit! Raid baru sadar kalau yang ia pegang bukanlah tangan wanita yang sangat dirindukannya, yaitu Nissa, melainkan tangan Frans. "Apa yang kau mimpikan sampai celanamu basah kuyup begitu?" Sambung Frans lagi, membuat Raid sontak melirik pangkal pahanya, yang sialnya memang sudah basah. "Kamu mimpi enak?""Diam kau!" sentak Raid, lalu gegas ke kamar mandi. Raid melihat celananya lagi, dan ini memang basah. Tidak, ini benar-benar basah.Sial! Sial! Sial! Kenapa Raid begini? Ke
*Happy Reading*Pada akhirnya Raid memilih tak terlalu mengikuti saran dari Frans, kawannya yang mendadak bijak. Tetapi, tak jua bersikeras mencari Nissa. Ya ... intinya Raid memilih pasrah saja pada keadaan. Nggak ngeyelan lagi. Terserah saja Tuhan mau mempertemukan Nissa dengannya cepat atau lambat. Yang jelas, mau itu cepat atau tidak, Raid meyakini Nissa hanya akan menjadi miliknya. Raid terlalu PD? Oh ya jelas harus. Terlalu banyak bukti yang menunjukan Nissa memang hanya untuknya. Jadi ya ... memang harus percaya diri. Raid yakin kali ini author pasti membantu. Ya kan, Mih? Sementara menunggu Author--eh, Tuhan mempertemukannya dan Nissa lagi, Raid memilih fokus mencari keberadaan Abyan yang kini dalam perlindungan Smith. Tidak mudah tentu saja. Karena Smith yang menciptakan seorang Raid, dan pastinya sedikit banyak bisa membaca rencana pria itu. "Bagaimana?""Nope!"Helaan napas kasar lolos dari Raid. Matanya memejam erat, mencoba menenangkan gejolak amarah dalam diri yang k
*Happy Reading*Matilah! Tidak ada jalan keluar untuk menghindar lagi. Ketiganya kini menatap seseorang yang tengah menyeringai dingin, seraya menelan saliva kelat tanpa sadar. "Ra-Raid, ba-bagaimana kau bisa masuk?" Smith yang biasa garang dan tegas pun bahkan kini hanya bisa tercicit menghadapi Raid. "Tentu saja lewat pintu itu." tunjuk Raid santai ke arah partisi yang baru saja ketiganya lewati beberapa saat lalu. "Ta-tapi bagaimana mungkin? Bukankah ini ruang rahasia yang hanya Tuan Smith dan Brush yang tahu?" sambar Farida yang ikut heran di sebelah Tuan Smith dan Abyan. Raid malah melirik Smith dengan seringai mengejek, "Apa kau tidak menceritakan bagaimana pintarnya aku, Smith?" tanya Raid jumawa. Smith melengoskan wajah sambil mengepal kuat. Tak sudi mengakui kecerdasan Raid yang memang di atas rata-rata. Di antara orang-orang yang pernah Smith didik, memang hanya Raid lah yang paling cepat menyerap ilmu dan mengaplikasikannya dengan sangat sempurna. Membuat Smith pernah