Di rumah Andre."Dre, kamu dari mana?" tanya Ayah Andre."Dari rumah Mosa, yah," sahut Andre.Ayah Andre membulatkan matanya. "Serius? Terus?" "Iya. Baik Mosa maupun Ibunya menolak aku. Tetapi yang aku merasa kesulitan adalah ibunya Mosa, Yah. Ibunya seperti melarang aku untuk menemui Mosa. Menurut Ibunya, Mosa tidak mau dekat lagi dengan siapa pun. Aku juga diminta Ibunya Mosa untuk mencari gadis saja," jawab Andre."Itulah yang Ayah katakan sama kamu. Mosa itu tidak semudah yang kamu bayangkan Andre. Dia itu terlalu spesial jadi perempuan. Tetapi yang Ayah heran teman kamu itu yang menjadi suami Mosa kenapa begitu bodohnya melepaskan Mosa. Apalagi dia juga menyia-nyiakan Mosa.""Yah, aku juga nggak tahu, Yah. Karena waktu itu juga Roni tidak pernah cerita apa-apa ke aku. Tahunya saat pernikahan saja. Tetapi yang aku paham adalah Mosa terlalu baik untuk Roni. Roni itu, ah tidak perlu diceritakan Yah. Kasihan Mosa. Tetapi justru dengan itu memperlihatkan mana yang berlian dan mana ya
Di rumah Roni.Laila sedang menikmati kehamilan tanpa diketahui oleh Roni. Ia yang seperti dikurung di rumah tidak pernah merasa kesepian karena sudah ada yang menemaninya, yaitu Ronald. Setiap hari bahkan setiap saat Laila dan Ronald saling memberikan perhatian satu sama lain. Laila juga kerap dikirimi uang oleh Ronald karena uang yang diterima dari Roni dirasa tidak cukup.Hari ini Roni sedang libur. Ia memilih untuk berdiam di rumah. Roni melihat Laila yang memesan makanan cukup banyak tetapi tak ada satupun yang untuk dirinya. Kemudian Roni mulai bertanya pada Laila yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Laila, kamu beli makanan banyak sekali! Harusnya kamu harus bisa berhemat!" tutur Roni."Hey, Mas. Kamu kasih uang aku sedikit begitu memangnya cukup buat aku makan, hah? Aku ini juga makan nggak untuk sendiri," sahut Laila, ia keceplosan."Maksud kamu? Kamu makan sendiri saja kan tanpa aku juga ikut makan?" balas Laila.Laila yang tidak tahan lagi menahan bahwa dirinya hamil akh
Ya karena surgaku ada di bawah kaki ibuku. Kamu tentu tahu itu, kan? Memang apa salahnya jika aku memprioritaskan ibuku?" balas Roni."Oh iya. Aku lupa, Mas. Surga mu ada di kaki ibumu. Tetapi asal kamu ingat ya. Kalau anak ini nantinya jika laki-laki surganya ada di kakiku. Aku nggak izinkan kamu untuk menyentuhnya!""Maksud kamu, Laila? Anak ini adalah anakku juga. Aku berhak atas dia.""Itu kan menurut kamu, Mas. Aku bebas untuk menuntun anakku mau dibawa kemana. Sama seperti ibuku memperlakukanmu. Bisa menyuruh-nyuruh kamu kapanpun dan bagaimanapun. Aku heran kok ada laki-laki yang seperti kamu. Anak "Mama"," cibir Laila."Berhenti kamu mengataiku, Laila! Aku sudah mencoba untuk memberikan perhatian pada kamu tetapi kamu masih saja bersikap tidak baik sama aku.""Kamu bilang perhatian? Cuih, Mas! Kamu itu sekali anak Mama juga tetap anak Mama. Nggak akan pernah berubah kamu. Umur sudah sangat matang ternyata tidak menjamin bahwa akan dewasa pemikirannya.""Hentikan! Kamu kenapa t
"Dia tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan, Bu. Dia selalu di rumah kan nggak pernah keluar?" balas Roni."Ya memang dia selalu di rumah tapi kan kamu nggak tahu apa yang ada di ponselnya Laila. Bisa saja dia berselingkuh dari ponselnya. Kamu itu jangan bodoh banget, Ron!" Roni kembali terdiam. Ia takut apa yang dikatakan ibunya memang benar."Nanti aku coba lihat ponsel Laila jika tidak sedang dibawanya.""Kalau memang ketahuan selingkuh biarkan saja dia pergi! Ngapain kamu menampung perempuan murahan," cibir Sarni."Tapi, Bu. Sebenarnya aku masih sayang sama dia. Hanya saja sikapnya yang berubah beberapa hari ini. Dia menyebutkan kalau aku anak Mama terus. Itu yang membuat aku sedikit terganggu," balas Roni."Dasar perempuan gila. Dia berani mengatai mu seperti itu, Ron? Ya baguslah ada orangtua yang masih perhatian sama anaknya. Kalau dibiarkan begitu saja pasti anak atau menantu merasa bingung. Istrimu itu benar-benar nggak tahu diuntung. Sudah mau kamu membawanya kemari ma
"Kurang ajar kamu!" hardik Sarni. Ia meraih rambut Laila kemudian menariknya dengan paksa. "Aduh, sakit!" keluh Laila. Ia mencoba menyibakkan tangan mertuanya yang begitu keras menarik rambutnya.Roni mencoba melerai Ibunya tetapi cukup kesulitan karena Sarni begitu kuat menariknya.Refleks Laila mendorong Sarni, hingga Sarni terjatuh.Brak!Sarni terjatuh tepat di depan pintu hingga pintu itu mengeluarkan suara cukup keras. Laila merasa lega karena sakit di kepalanya telah usai.Roni mencoba menolong Sarni yang terjatuh kemudian memapah untuk duduk di kursi."Roni, usir dia dari sini! Dia sudah membuat Ibu celaka," perintah Sarni."Anda itu yang membuat gara-gara. Saya kesakitan karena ditarik rambut. Tetapi Anda tak juga melepaskannya," sahut Laila sembari memegangi kepalanya yang masih merasakan nyeri."Tidak bisa, Bu. Dia hamil anakku. Aku harus menjaga anakku," tolak Roni."Kamu ini dengar Ibu atau tidak? Dia sudah mencelakai ibumu yang telah melahirkan kamu bertaruh nyawa. Teta
Di rumah Mosa.Saat Mosa baru pulang dari sekolah. Ternyata ada pesan dari nomor yang tidak dikenal. Ia membuka dan membaca pesan itu.[Mosa, kalau kamu tidak keberatan dan hanya mau berbincang dengan mu besok aku tunggu di cafetaria. Aku tunggu kamu jam 10 siang. Tetapi kalau sampai jam 11 kamu tidak datang, berarti kamu memang enggan bertemu denganku. Andre.]Entah mengapa setelah membaca pesan itu, perasaan Mosa berdesir. Seakan ingin langsung datang tanpa menunggu esok. Tetapi ia tidak mau ibunya melarang. Mosa ingin merahasiakan sementara pesan itu dan mencari jalan keluar agar bisa mencari alasan tanpa harus berbohong.Malam harinya, Mosa masih terjaga padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Biasanya Mosa selalu tidur cepat, apalagi jika kegiatan di sekolah cukup padat, selepas isya dirinya sudah tenggelam dalam mimpi.Tidak biasanya Mosa terjaga hingga malam hari. Ada yang sedang ia fikirkan kali ini. Yaitu Andre. Seseorang yang akan menunggunya esok hari di sebuah caf
Mosa ingin langsung kembali, tetapi melihat kemacetan yang ada membuat ia ingin beristirahat sejenak. Karena menurutnya, Andre hanya menunggu sampai pukul sebelas saja. Ini sudah lewat dari itu.Melihat cafetaria cukup banyak pengunjung, karena memang akhir pekan sehingga wajar tempat yang menjadi favorit anak muda itu diserbu. Mosa dengan langkah pelan menuju pintu utama cafetaria. Ia melihat ponsel tanpa melihat ke depan. Saat memasuki pintu, tidak sengaja ia menabrak seseorang dan membuat ponselnya terjatuh cukup keras.Lalu laki-laki yang menabraknya mengambil ponsel Mosa dan mengembalikan pada Mosa."Ini Mbak, ponselnya," ucap laki-laki itu."Terima kasih, saya yang minta maaf tidak melihat ke depan," sahut Mosa lalu melihat wajah laki-laki itu. "Andre!""Kamu datang, Mosa," ucap Andre. "Yuk masuk!" ajaknya.Mosa hanya mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Setelah berhenti di sebuah meja di lantai dua dengan bisa melihat kemacetan jalan, mereka duduk di sana."Aku senang kamu da
"Tetapi apa, Mosa?" tanya Andre."Terkadang aku merasa aku masih jauh dari kata sempurna. Mempelajari hal-hal baru yang aku tidak mengetahuinya, menunjukkan aku masih sangat minim ilmu pengetahuan," jawab Mosa."Kamu memang luar biasa, Mosa. Aku makin kagum sama kamu," puji Andre."Memangnya apa yang kamu kagumi dari aku?" balas Mosa."Sebelum aku bertemu dengan kamu, aku sudah menyukai mu, Mosa. Begitu aku melihat kamu secara langsung aku makin menyukaimu.""Kenapa? Dari mana kamu tahu aku sebelum bertemu denganku?""Aku pernah melihat foto mu di meja kerja ayahku di rumah. Di sana ada foto kamu. Aku pernah bertanya siapa perempuan itu. Katanya kamu adalah Mosa. Aku melihat wajahmu saja di foto sudah membuat aku menyukaimu," jawab Andre.Mosa bergeming. Ia tidak mau besar kepala. Perkataan itu persis dengan apa yang dikatakan Roni sebelum menikahinya. Kata-kata manis terucap, tetapi setelah menikah dibuang bahkan dirinya juga ikut terbuang. Mosa tidak ingin hal itu terjadi lagi."Kam