inggu lalu bikin mereka rugi banyak. Gajinya juga tidak dipotong, malah ia diberikan pesangon lumayan. Devan bingung, tapi senang juga. Devan pulang malam kali ini, menyelesaikan tugas untuk terakhir kalinya pakai motor Rifqi. Ia tidak berani memakai motornya sendiri yang tiba-tiba muncul secara misterius. Ia takut ada apa-apa dengan motor itu.Saat menaiki anak tangga, ponselnya berbunyi. Salah satu teman kampusnya menelepon, gadis yang pernah ia taksir dulu. Agak lama Devan membiarkan panggilan itu, ia perlu mengatur detak jantungnya lebih dulu. Ia grogi meski merasa sudah tak punya rasa apa-apa.Devan menarik napas sebelum menyapa. “Assalamu’alaikum, Ra. Ada apa?”“Wa’alaikumsalam, Van sibuk kah?”Devan tidak langsung menjawab, bingung harus bilang sibuk atau tidak. Harusnya sih tidak, karena ia pengangguran sekarang, tapi kalau ditanya capek atau tidak ya pasti capek. “Tidak, cuma ini baru pulang kerja. Kenapa?”Ia penasaran, kenapa wanita secantik Nara yang dulu jarang mengajakn
Devan terbangun ketika samar samar mendengar suara azan asar yang berasal dari ponselnya. Ia bergegas bangun meski beberapa kali menguap dan menutup mata.Devan berdiri dan bergegas masuk ke kamar mandi lalu mencuci wajahnya dengan brutal. Jika tidak begitu, ia takut akan tertidur lagi. Ia sangat mengantuk saat ini, dan tidur siang adalah rutinitas yang sangat jarang ia dapatkan.Usai mandi dan solat asar, Devan mengaktifkan ponselnya yang sengaja dinonaktifkan sebelum tidur tadi. Selang dua-tiga menit, notifikasi beruntun masuk. Ada beberapa mantan customer yang menanyakan paket pesanan mereka, entah itu pertanyaan kapan sampai, kenapa lama, kapan di antar, ataupun pemberitahuan jangan dulu diantar atau harus di mana di taruh paket itu.Ia membalas satu persatu, mengatakan bahwa ia sudah resmi berhenti jadi tukang paket. Balasnya satu persatu, tapi isi balasannya sama semua hasil copy paste.Tak lama, terdengar suara Rifqi yang memanggil. Devan pura-pura budek karena rencana ia berni
Kata orang putus cinta itu lebih menyakitkan daripada sakit gigi. Namun, banyak yang tidak tahu kalau ditolaknya lamaran kerja oleh HRD lebih menyakitkan daripada dua hal itu.Sakit gigi dan putus cinta rasanya tidak ada apa-apanya dengan melihat email lamaran kerja yang tidak kunjung mendapat balasan atau membaca email penolakan berkali-kali. Rasanya sakit sekali sampai isi dompet meronta-ronta.Saking kesalnya, Devan sampai berguling ke sana kemari di atas tempat tidur, yang berujung jatuh ke lantai. Jatuh dari ketinggian lima puluh centimeter rasanya seperti jatuh dari gedung lantai lima. Sakitnya remuk redam.Devan menggeram, ia butuh udara segar. Dan pilihannya jatuh pada dipan di bawah pohon mangga. Sedikit bodoh memang memilih berada di bawah pohon pada tengah malam. Bukan hanya suasana yang horor, tapi juga akan berdampak pada tubuhnya akibat menghirup banyak gas karbondioksida. Namun sekarang Devan hanya butuh udara dingin malam hari. Berharap bisa menghangatkan hatinya yang
Eleanora Dei GratiaDia mencintai seseorang apa adanya.Dengan bodoh, dengan tergesa. Melakukan apapun agar seseorang yang dia cintai itu menjadi miliknya. Bahkan ... Ia sampai melakukan sedikit hal-hal licik. Seperti mematikan mcb listrik agar lelakinya tak bisa memasak mi instan dan berakhir menerima makanannya. Selicik itu Eleanora. Dan kalau mau lebih licik lagi, Eleanora bisa, selagi itu bisa membuat Devan, yang dia cintai, menjadi miliknya.Seperti memberikan uang yang banyak kepada Devan. Harapannya laki-laki itu akan semakin terpesona padanya. Mau menerimanya lebih dalam dan menjadikannya seseorang yang spesial.Namun, harapan tinggal harapan. Devan menerima uangnya tapi tidak dengan dirinya. Atau mungkin uangnya juga tidak diterima, hanya belum dikembalikan saja. Perjuangannya tidak berharga di mata Devan."Uang yang kamu kasih itu uang haram, kan?"Pagi-pagi sekali, biasanya Eleanora yang menghampiri Devan, tetapi hari ini Devan yang mendatanginya. Namun bukan dengan raut ba
"Eleanora yang kasih. Curigaku hasil dari sini.""Anjir, buat apa Eleanora kasih kau sebanyak itu? Bagiii ...."Reflek Devan memukul Rifqi. Bukan itu poin yang ingin dia kasih tahu. "Lihat pi ini berita!" Devan memberikan ponselnya, membiarkan Rifqi membaca berita itu dengan seksama. "Ingat Eleanora habis pergi semingguan kemarin?"Rifqi mengembalikan ponsel Devan. "Jangan suuzan, Van. Mana ada pembunuh cantik?""Ada. Aya Cahaya di novel Kamuflase juga pembunuh bayaran."Balik Rifqi memukul Devan. "Itu novel."Devan berdecak. "Di kehidupan nyata juga banyak pembunuh yang cantik-cantik. Salah satunya ya Eleanora itu." Kemudian Devan menceritakan apa yang ia dan Eleanora obrolkan pada malam itu. Tentang janji Eleanora yang akan menjual organ tubuh orang lain untuk mendapatkan uang yang banyak."Anjir lah." Rifqi menggigit kukunya. "Berarti da kasih uang kau sebanyak itu buat cuci tangan, cuci uang."Devan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung mana istilah yang benar cuci tang
Devan membungkus Eleanora dengan selimut. Sebenarnya Eleanora bisa melawan, tapi ia diam saja, keenakan dipegang-pegang Devan.Tepat setelah Devan selesai menutup rapat tubuh Eleanora dengan selimut yang hanya menyisakan kepala dan kaki, pintu diketuk.Tukang nasi pecel yang mengantar itu adalah Keenan. Melihat Devan yang membukakan pintu, ia berlagak kehilangan keseimbangan sehingga bisa membuka pintu lebih lebar. Terlihat Eleanora duduk di atas ranjang, mengangguk dan memberikan senyum tipis. Kode kalau Eleanora baik-baik saja. Keenan pun segera pergi setelah menerima uang dari Devan.Sementara itu Devan langsung kembali menutup pintu."Pintunya nggak mau dibuka aja? Kayaknya kamu seneng banget sekarang berduaan sama aku di ruangan tertutup." Eleanora mengulum senyum sambil memainkan matanya, berkedip-kedip menggoda Devan.Devan terdiam, ia baru ingat akan hal itu. Biasanya kalau ada Eleanora di kamarnya, pintu kamar akan selalu ia buka, soalnya takut ada fitnah. Meski baru beberapa
Devan menatap Eleanora dari ujung kepala sampai ujung kaki. Persiapan Eleanora memang kurang dari satu jam, tapi ia tidak menyangka Eleanora akan keluar dengan penampilan seperti ini. Ia pikir Eleanora akan terlihat feminim dengan dress selutut dan rambut terurai dijepit sederhana seperti cewek cewek kebanyakan saat diajak jalan. Tidak ada yang salah dengan penampilan Eleanora, ia saja yang berekspektasi lebih.Kurang dari sejam lalu Eleanora baru kembali dari kamar Devan. Devan pikir ia akan menunggu lama dan berakhir pergi lebih sore. Namun ternyata Eleanora keluar kamar tepat jam empat sore. Eleanora memakai celana jeans pensil hitam dan kaus putih dipadukan dengan jaket jeans denim, sepatunya sneaker bersol tinggi dan rambutnya diikat asal agak berantakan."Kenapa?”Devan tersenyum lalu menggeleng. Eleanora benar-benar tidak peduli dengan penampilannya bahkan saat ingin menarik perhatian laki-laki. Karena Eleanora sama sekali tidak memakai riasan
"Aku memang terlanjur mencintaimuDan tak pernah kusesali ituSeluruh jiwa telah kuserahkan ...."Eleanora mencuci pakaian sembari menyanyikan salah satu lagu grup musik Kerispatih dengan judul Bila Rasaku Ini Rasamu. Ia berusaha mendalami perannya yang ditinggal tanpa kepastiaan setelah dilambungkan setinggi langit.Kalau dipikir-pikir, semakin ke sini Devan memang pantai membuatnya naik turun seolah ada di rollercoaster. Membuatnya senang, takut, deg-degan, campur aduk.Sudah lima belas hari kamar Devan kosong, dan Eleanora memilih menempati kamar itu. Berharap Devan segera datang. Namun, hari demi hari kosong itu kian terasa.Pandangan beberapa orang-orang kos, masih tidak menyenangkan tapi Eleanora tidak peduli. Setidaknya orang-orang yang ia anggap teman di kosan itu kini sudah mau dekat dengannya lagi. Eleanora tidak tahu siapa yang meluruskan gosip yang tersebar itu, atau mungkin mereka lihat berita dan tersadar
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas