"Gila!" Devan berdecak melihat baliho iklan perumahan di depannya. Angka 750 juta tercetak besar di sana dan di dahului dengan kata mulai. Membuat Devan semakin tercengang. Ia tidak tahu kalau harga rumah sebesar itu. "Mas, mahal sekali," bisiknya pada Laki yang sedang mengobrol dengan temannya yang entah menjadi apa di proyek perumahan itu.Saat ini Devan dan Laki sudah berada di kantor pemasaran perusahaan elit yang Laki bicarakan tempo hari. Walaupun pembangunannya di seberang jalan sana baru 50%, tapi setelah melihat maket perumahan di depannya, perumahan itu benar-benar layak dikatakan perumahan elit. Yaaa setidaknya di Sulawesi Tenggara termasuk yang paling bagus.Devan dikasih brosurnya, mengenai harga, fasilitas denah rumah, juga tentang DP dan cicilan. Devan benar-benar meringis melihat harganya. Memang rumahnya besar dan bagus, tapi untuk membelinya Devan merasa belum mampu. Lagi pula untuk apa dia punya rumah besar-besar, repot ngurusnya."Yang tipe 36 sudah habis ya?" Deva
Setiap orang pasti mempunyai rasa cinta dalam hatinya. Entah sadar atau tidak, entah banyak atau sedikit, tetap lah pasti ada. Sama seperti Keenan. Dinginnya ia bukan berarti mati rasa. Karena sekarang ia rindu dengan Zia dan anaknya.Bukan baru sekarang, tetapi sejak ia melangkah keluar rumah meninggalkan Zia dan Baruna dua bulan lalu untuk pergi ke sini ikut Eleanora. Sebenarnya rasa cintanya begitu besar sampai ingin terus bersama dan lengket, tapi tanpa ia sadari pikiran tentang kewajibannya pada Eleanora mendominasi, menutup rasa di hatinya. Dan kini Keenan tidak tahu harus menyesal atau tidak sekarang karena telah meninggalkan Zia dan Baruna sendirian di sana."Kamu kenapa, Bang?"Keenan mendongak, menatap Devan yang duduk di sampingnya."Tidak apa-apa. Cuma gelisah."Devan mengangguk. "Wajar sih ya. Baruna sakit dan Abang tidak di sana."Mata Keenan melebar. "Sakit? Baruna sakit?"Devan membalas menatap Keenan dengan alis naik sebelah, keningnya berkerut merasa heran. "Abang ti
"Kamu mau ke mana?”Keenan menatap Zia, tepat ke bola matanya yang jernih. Keenan pernah melihat mata itu tanpa riasan, cantik dan Keenan terpesona, tetapi dengan riasannya Keenan malah merasa kasian, Keenan melihatnya berbeda, seperti sedih teramat dalam.Keenan melepaskan tangan Zia yang menahannya. "Ke manapun saya pergi, tidak ada urusannya dengan kamu.""Adain lah!"Keenan mendengkus pelan, dan berjalan meninggalkan Zia. Namun, wanita itu masih mengikuti."Dengan kamu ikuti saya, kamu tidak akan mendapat uang ataupun kesenangan."Zia maju menghalangi jalan Keenan membuat lelaki itu berhenti. "Ada, kayaknya ikut kamu seru."Mata Keenan yang sipit makin menyipit. Sebenarnya ia sedikit mencurigai Zia, ia pikir Zia mungkin adalah orang suruhan Diego Lim. Namun setelah ia amati makin dalam, Ia ragu. Keenan merasa Zia cukup bodoh dan sembrono. Contohnya seperti Keenan yang bisa tahu nama lengkap Zia tanpa perlu usaha lebih.Saat itu Zia mendatanginya dalam keadaan mabuk parah, lalu ter
Hampir sebulan setelah menikah, hubungan Keenan dan Zia bukannya semakin dekat mereka malah canggung.Mereka belum melakukan hubungan suami istri. Mungkin malu dengan satu sama lain, padahal mereka sudah sama-sama dewasa. Namun suatu malam entah angin apa, mereka sama-sama menginginkannya.Zia sudah terbaring pasrah di bawah Keenan, menikmati rangsangan yang Keenan beri. Jangan berpikir kalau untuk bisa bebas busana, mereka akan saling melucuti dengan brutal. Nyatanya mereka sudah telanjang sejak setengah jam lalu, dan baru beraksi lima menit lalu. Pakaian yang sebelumnya mereka gunakan bahkan terlipat rapi di ujung tempat tidur.Keenan berhenti merangsang Zia. Mata mereka sudah sama-sama sayu, menginginkan lebih. Keenan menatap Zia lama seakan meminta persetujuan, hingga akhirnya Zia mengangguk barulah ia menggerakkan kepunyaannya untuk masuk. Zia sudah sangat basah, tapi entah mengapa Keenan masih kesulitan untuk masuk, bahkan semakin Keenan berusaha masuk, suara tertahan Zia semaki
"Sayaaaaaaaang!"Devan meringis, dua blok perumahan yang ia tinggali memang belum ramai, masih banyak rumah yang kosong, tapi setidaknya dua rumah di depannya, juga satu di belakang rumahnya sudah ada penghuninya. Bahkan penghuni wanita di depan rumahnya yang kini sedang duduk mengobrol dengan Vanela sampai menoleh karena mendengar teriakan Eleanora yang menggelegar.Devan mengernyit ketika anaknya membisikkan sesuatu pada wanita tetangga itu. Alih-alih menjawab atau mendatangi Eleanora, Devan malah mengamati interaksi Vanela dengan tetangga depan itu. Tetangga depan rumahnya tinggal berdua dengan adiknya, hampir setiap hari terlihat di depan rumah duduk di atas bak sampah tetangga yang masih kosong dengan pakaian rata-rata hitam, paling sering terlihat saat malam hari. Bisa dipastikan perempuan yang seumuran Eleanora itu pasti tidak pandai bergaul. Bisa tampak akrab dengan Vanela saja karena Vanela yang terus lebih dulu menyapa dan menghampiri. Devan tenang membiarkan mereka akrab ka
"Bagaimana?"Eleanora menunjukan hasil tangkapan layar saat melakukan panggilan video bersama Keenan tadi. Dalam tangkapan layar itu terlihat Keenan sangat marah dengan wajah merah padam, mungkin juga efek matahari yang sedang terik-teriknya.Zia meremas tangannya, ia takut kalau Keenan akan mengamuk padanya. Memang ini ide Eleanora, tapi suaminya itu pasti tidak bisa marah pada Eleanora. Dan sebagai gantinya ia yang akan menjadi sasaran empuk. Memang selama ini ia tidak pernah menjadi tempat pelampiasan, tapi untuk masalah sekarang Zia tidak bisa menjamin, karena masalah ini perannya juga besar.Eleanora menyadari kekhawatiran Zia, ia menggenggam tangan Zia erat. "Nggak apa-apa, tenang aja. Kalau dia macam-macam sama kamu, aku yang akan maju. Sekarang kamu bisa liburan di sini dengan tenang, Keenan tidak akan datang."Zia tersenyum tipis. Ia sendiri juga bingung dengan perasaannya sekarang. Zia rindu pada Keenan, tapi dilain sisi ia belum ingin bertemu. Ia takut kalau ia akan lemah d
"Gimana liburan?"Keenan melempar boneka Vanela yang ada di kursi ke muka Devan. Devan melempar balik, tidak terima dengan perlakuan Keenan karena bukan dirinya yang mengejek.Tawa Eleanora makin keras melihat Keenan yang kesal. "Kalau ditanya itu dijawab."Keenan menghela napas. Ia menjatuhkam tubuhnya ke sofa berbeda dari yang diduduki Devan dan Eleanora."Kusam dan tampak tua. Padahal anaknya masih bayi."Keenan menutup matanya, ia berusaha menutup telinga. Ia tidak bisa membalas Eleanora, kalau ia serang Devan juga ada pengawalnya yang sejak tadi melihatnya dengan tatapan tidak suka.Tidak jauh dari tempat mereka berkumpul, ada meja belajar Vanela yang sengaja di simpan di sana agar saat mereka berkumpul, Vanela masih bisa ikut sembari belajar. Vanela sesekali melirik tajam Keenan yang telah melempar ayahnya dengan boneka miliknya. Ia tidak suka ada yang menyakiti ayahnya sekalipun itu semut yang menggigit karena takut terinjak."Kalau rindu itu, temuilah, jangan jadi pengecut. Ca
Sembari menunggu Eleanora selesai di operasi, Rafit terus berkoordinasi dengan Yudi tentang keberadaan Vanela. Lokasi jam tangan Vanela sudah ditemukan, akan tetapi ternyata hanya jam tangan dan barang-barang Vanela saja. Barang-barang Vanela itu di buang di hutan luar kota.Keenan menyuruh Yudi untuk tidak dulu memberitahukan pada Devan. Apalagi Eleanora masih dalam seperti ini. Devan butuh Keenan di sisinya, tapi karena Eleanora belum sadar, Keenan memutuskan untuk memberi obat tidur Devan agar lelaki itu bisa tenang.Karena Keenan diberitahu, kalau dalam setengah hari ini Devan sudah seperti mayat hidup.Tak berselang lama dokter yang mengoperasikan Eleanora keluar, mengatakan operasinya berjalan lancar ada dan Eleanora akan dipindahkan ke ruang inap yang sudah Keenan pilih, VIP. Tadinya Keenan ingin langsung membawa Eleanora pulang, dengan niatan dirawat di rumah, tapi dokter menahan, setidaknya sehari untuk menjaga. Takutnya jika dipindahkan sekarang juga, ada kompilasi atau se
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas