Pesan Pendek Baru@Anonim
[Halo Ayung, ini aku Mas Wangi][Boleh telepon ke chat room?][BTW benarkah kabar yang kudengar?][Semoga kamu tabah ya Yung?][Tapi jangan khawatir, ada aku][Aku akan penuhi janji hatiku padamu]Ya Tuhan!
Kejutan apa lagi ini? Mas Wangi. Kenapa dia harus muncul sekarang? Tepat di saat sebagian hidupku hancur berkeping-keping. Di saat aku masih belum tahu harus bagaimana?
Eh!
Benarkah itu Mas Wangi? Mendadak sontak, ketakutan itu mengisi penuh hati kecilku. Sekali lagi, benarkah itu Mas Wangi? Jika benar, dari mana dia tahu nomor ponselku? Dari mana pula dia tahu kalau aku dan Mas Tyas sudah berpisah?
Den ting, ting, ting, tiiinggg!
Kebingungan dalam diriku semakin membesar ketika ringtone voice call berdering nyaring. Unknown Number, membuatku semakin ragu. Benarkah itu Mas Wangi atau …? Mungkin tidak sih, ada seseorang yang berniat jahat padaku? Pura-pura menj
"Maaf Tuan Barlie, saya tidak bisa pergi atau pindah begitu saja dari apartemen ini." sesopan mungkin aku menolak tawaran Barlie untuk mengajak kami pindah ke rumah mereka. "Bagaimanapun saya masih terikat perjanjian kerja dengan Ema hingga enam bulan ke depan. Jadi, saya harus berbicara dengan Ema terlebih dahulu, Tuan. Saya tidak mau melanggar perjanjian."Semenjak Ema masuk penjara, aku membawa Baby Elora pindah ke apartemen Ema yang selama ini kutempati. Selain takut dan selalu terbayang-bayang jenazah Kenzo, pihak kepolisian pun menyarankan hal yang sama. Tetangga kanan kiri juga. Jadi, keputusanku semakin bulat dan kuat. Toh, masa sewanya juga masih lama, tiga tahun ke depan. Apa masalahnya?Akhirnya aku mendapatkan informasi itu dari Mbak Kinan. Dia yang mencarikan untukku entah bagaimana caranya. Satu-satunya hal
Ide cemerlang!Entah bagaimana tiba-tiba ia muncul begitu saja dalam benakku. Menyewakan apartemen yang ini dan menyewa apartemen yang lain. Toh, kalaupun tidak langsung ada yang mau menyewa, bisa menggunakan uang Ema dulu.OK, fine!Belum pernah mencoba untuk menarik uang dari ATM tapi Mbak Kinan sudah berjanji akan mengajarkan bagaimana caranya. Bukan, bukan berarti selama ini belum pernah punya kartu ATM atau bagaimana, ya? Ini kan German alias Jerman, bukan Sleman. Aku takut salah pencet, jujur."Ya Mbak Ayung, bagaimana?" sapa Mbak Kinan super ramah begitu mengangkat teleponku. "Nggak ada apa-apa kan, Mbak Ayung?""Nggak kok, Mbak.
"Ibu minta maaf ya, Yung?" cakap Ibu mengawali teleponnya pagi ini. Terus terang aku tidak pernah mempermasalahkan apalagi menyalahkannya. Semua kegagalan ini terjadi karena aku dan Mas Tyas, tentu saja. Sama-sama tak pandai mengayuh dayung, tak pandai menjaga bahtera dari kebocoran. "Ibu benar-benar minta maaf, Ibu nggak bisa mencegah Tyas."Ya Tuhan!Jangankan Ibu, tiga anak cinta kami pun sudah tak mampu lagi menyentuh harinya. Seharusnya Mas Tyas melihat mereka, bukan? Meskipun berada jauh di sini, bukan berarti aku tak bisa melihat air mata mereka. Bukan berarti pula tak bisa merasakan bagaimana penderitaan Langit, Laut dan Bumi. Tapi Mas Tyas, dia justru sampai hati membiarkan air laut terus masuk menerjang bahtera kami.Aku bisa apa?&n
"Apa Mbak Kinan, benarkah itu?" aku terpekik, antara tak percaya dan bahagia.Pihak kepolisian membebaskan Ema karena ternyata setelah melalui semua tahapan pemeriksaan, dia dalam masalah kejiwaan, ODS (Orang Dengan Skizofrenia). Motivasi untuk merenggut nyawa Kenzo pun karena dalam keadaan depresi.Lebih detailnya, Ema mengalami depresi setelah mengetahui kehamilannya sementara Barlie malah pergi. Ema berusaha untuk pulang ke rumah orangtuanya tetapi mendapat penolakan yang sangat menyakitkan. Akhirnya Ema mencoba untuk bertahan hidup dengan membeli apartemen, melanjutkan karir hingga akhirnya bertemu denganku dulu.Oh, Ya Tuhan!Sekarang baru kusadari, mengapa dulu itu Ema terlihat begitu labil. Emosio
Kusadari sekarang, ada dua sisi kehidupan yang harus kujalani dengan sabar dan ikhlas. Satu, kehidupan bersama anak-anak di rumah. Dua, Ema dan Baby Elora yang harus kurawat dan kujaga dengan sepenuh hati. Ya, walaupun kadang-kadang masih tak percaya kalau semua ini nyata tetapi begitulah adanya. Aku bisa apa, selain pasrah? Semoga Ema lekas sembuh, sehat dan pulih kembali seperti sedia kala.Oh, Ya Tuhan!Enam bulan itu bukan waktu yang panjang, bukan? Aku harus pulang. Harus. Bagaimana jika Ema belum sembuh juga? Maksudku, siapa yang akan dia temui, ke mana dia akan pulang nanti? Jika sewaktu-waktu sembuh dan diperbolehkan pulang, maksudku. Lalu Baby Elora, bagaimana dengan dia? Mustahil aku membawanya pulang."Mbak, Mbak Ayung?" panggilan Dek Uji mengutuhkan k
[Halo, apa kabar kalian di sana?]Di tengah malam yang sunyi ini, aku membaca chat Mamak dengan berurai air mata. Bagaimana tidak? Bukannya menguatkan atau bagaimana, Mamak justru menghakimi tanpa perasaan sedikit pun. Seakan-akan aku ini bukan anak kandungnya. Lagi-lagi aku salah di matanya.Salah, salah dan salah.[Mamak bilang juga apa, jangan teruskan pernikahan kamu sama Tyas. Cukup nikah saja biar nggak malu terus pisah. Jadi janda kembang. Bisa nyari yang lebih baik dari dia. Makanya jadi anak jangan ngeyel kalau dikasih tahu. Terus kalau sudah kayak gini kejadiannya, gimana? Cuman bisa nyesel kan, sekarang? Nggak kasihan apa Yung, sama anak-anak kamu?]Ya Tuhan!
"Ya jelas ikut Mama, lah!" jawaban Langit membuatku tersirami kesejukan tanpa akhir. "Dek Laut sama Dek Bumi juga ikut Mama. Aku sudah tanya sama mereka. Kan, kami sayang Mama. Selama ini kan, Mama yang selalu ada buat kami? Berjuang dengan tulus buat kami, siang dan malam. Sampai harus ke Jerman juga kan, buat kami mana mungkin kami berpaling?"Sampai di sini, mendadak aku terserang gagu. Bisu. Begitu banyak kekuranganku tapi mereka begitu tulus menerima, menyayangi. Oh, rasa ini sungguh tak bisa terwakilkan oleh kata-kata."Mama jangan khawatir ya, Ma?" kata Langit lagi masih dengan nada, intonasi dan volume yang sama. "Apa pun keadaannya, kami tetap bersama Mama. Mama lupa, ya? Kami kan, anak laki-laki? Sampai kapan pun tetap menjadi anak Mama?"
"Oh, Tuhan …!"Tak ingin mengeluh lagi, sungguh. Tapi lihatlah sekarang, hidupku sudah seperti dua sisi mata uang yang tak pernah dapat terpisahkan.Sisi pertama, aku senang karena akhirnya berhasil pindah ke Weinsberg. Mbak Kinan dan Kastil baru saja pulang ke Heidelberg. Baru saja aku tersenyum di depan foto Ema dan Kenzo, bercerita pada mereka, kalau kami baru saja pindah.Sisi ke dua, Ibu menelepon dan memberi tahu kalau surat perceraian kami sudah keluar dari Pengadilan Agama. Walaupun tahu, sadar bagaimana jahatnya Mas Tyas, tetap saja rasanya sakit. Sakit sekali. Hancur. Remuk. Terserpih-serpih tanpa tepi. Oh, seperti ini ternyata rasanya kehilangan cinta. Seperti tubuh kehilangan ruh.
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."