Lega!
Bersyukur sekali rasanya masalah Ratna sudah teratasi dengan baik secara alami. Ratna, Ratna ... Apa yang sudah merasuki kamu? Kita tidak kenal satu sama lain bukan, tidak juga ada masalah, mengapa tega menyakiti? Senangkah hatimu jika suatu saat nanti dalam kehidupan rumah tangga kamu, ada seorang wanita yang datang mengusik ketenteraman hati? Tidak, kan?
Oke, fine!
Mungkin dulu Mas Tyas pernah menjanjikan sesuatu padamu tapi kan itu bukan aku? Di sini aku adalah korban dari kejahatan kalian, paham? Mas Tyas sampai selingkuh denganmu, mendulang puluhan juta rupiah darimu untuk kepentingan pribadinya ... Apa itu salahku? Kamu tentu tidak tahu Ratna, perjuangan seperti apa yang sudah kulakukan untuk keluargaku termasuk Mas Tyas. Meskipun di matamu aku tidak berkualitas, tetapi setidaknya aku tak pernah menjadi perusak rumah tangga orang. Tidak pernah menjadi perebut laki orang. Menurutku itu a
Benar-benar musim semi yang indah di Frankfurt. Walaupun belum pernah melihat musim-musim semi sebelumnya, sih. Tapi menurutku ini sangat indah, semua tanaman bertumbuh menghijau. Seolah-olah gambar polos yang warnai dengan pensil warna, krayon atau cat air hijau muda. Sejuk, segar dan berseri-seri. Sungguh, di sini aku benar-benar takjub, kagum pada kekuasaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta. Pohon-pohon yang tadinya gundul terlihat kering kerontang, tiba-tiba bersemi indah.Oh, aku sampai tak tahu harus berkata apa lagi. So beautiful lah, pokoknya.Tapi itu, semua itu masih belum ada apa-apa jika dibandingkan dengan kelahiran Baby Elora semalam. Ya, Ema sudah melahirkan bayi perempuan yang sangat cantik. Mengadopsi wajah tampan Kenzo seutuhnya kecuali mata dan bibir, copy paste Ema. Rambut dan bentuk jari kaki dan tangan juga mewarisi Ema. Cantik, lucu, imut-imut dan menggemaskan.Benar-benar lega sekarang. Perjuangan berat, panjang dan be
Rasanya seperti terkepung musuh di sebuah ruangan sempit, pengap dan gelap gulita. Tanpa sependar cahaya pun menerangi, tak seorang pun menemani. Di luar, musuh terus menerus memuntahkan timah panas dari tangan-tangan yang dialiri dendam kesumat. Berteriak-teriak dengan nada mengancam, memintaku menyerah. Sekarang aku hanya punya satu pilihan, keluar dari ruangan persembunyian yang berarti harus rela kehilangan nyawa atau terus bertahan di sini? Itu pun berarti harus rela kehilangan nyawa secara perlahan-lahan, karena kekurangan oksigen."Ibu, tolong dengarkan Ayung, Bu?" aku setengah meratap. Berharap dukungan. Sebab bagaiamanapun Ibu kan orangtua Mas Tyas, mustahil menginginkan kehancuran dalam rumah tangga kami. "Ayung hanya ingin Mas Tyas berubah baik, Bu. Memperbaiki diri. Bukan berarti Ayung pelit atau bagaimana, Bu. Kalau Ayung kirim uang ke Mas Tyas, Ayung nggak tahu untuk apa? Ya, jujur saja Ayung nggak rela kalau untuk perempuan lain, Bu. Ayung bekerja keras d
Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah arti kebahagiaan hidup itu? Maka inilah jawabannya, bahagia adalah hidup rukun, damai dan seiring sejalan bersama keluarga. Bisa saling memberi, menerima dan mendukung satu dengan yang lain. Jika ada masalah, bisa duduk bersama dan berbicara. Jika ada kesalahan yang terjadi, tidak mencari siapa yang salah tetapi memperbaikinya. Ada tak ada, lebih atau kurang bisa sama-sama menerima. Saling mengingatkan dengan kebaikan dan kesabaran.Itu, seperti itu arti kebahagiaan hidup bagiku. Entah, apa artinya di mata Mas Tyas? Aku tidak mengerti.Sebenarnya pagi ini, aku hanya ingin menceritakan kalau Mas Tyas sudah menceraikan aku. Talak tiga. Baginya aku perempuan, istri dan ibu yang tak berguna. Untuk apa lagi dipertahankan?Sejujur-jujurnya kukatakan, walaupun sudah menduga dari sejak dia sering mengancam akan menceraikan aki sudah tahu kalau hal ini akan terjadi, tetap saja merasa hancur. Rumah Tangga yan
Sebab tahu kalau tak ada gunanya sama sekali melawan Mas Tyaslah aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan. Kalau sudah seperti itu, jangankan diajak berbicara. Dilihat atau dilirik sedikit saja, dia bisa meledak seperti bom. Dahsyat.Tut, tut, tuuuttt!Dengan menahan segenap perasaan yang kian berkecamuk, aku menghubungi Ibu. Tidak mungkin kan, Mas Tyas menguasai ponsel Ibu juga? Kecuali kewarasan dalam dirinya sudah tak tersisa lagi."Ayung?"Lega, aku menyahut sambil menghapus kering-kering air mata. "Ya Bu, ini Ayung.""Oh iya, Yung." Ibu menyahut singkat. Sempat kudengar isakan-isakan kesedihan tapi berusaha untuk mengesampingkan. Sadar benar, ini bukan saat yang tepat untuk emosional apa pun yang terjadi."Ayung minta maaf, Bu." kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku yang kering dan pahit. "Ayung nggak mampu mencegah Mas Tyas untuk melakukan semuanya. Ayung minta maaf …?"Tak pelak, air ma
Akhirnya Mas Tyas pergi juga. Sejujur-jujurnya kukatakan, masih seperti mimpi rasanya. Masih tak percaya, semua perjuangan dan pengorbanan selama ini sia-sia belaka. Mas Tyas benar-benar egois. Oh tidak, tidak! Dia bukan egois ataupun jahat tapi tak memiliki perasaan sama sekali.Bagaimana dengan anak-anak sekarang, setelah tahu kami berpisah? Terlebih aku tak ada di sana untuk menguatkan mereka. Minimal, mendengarkan keluh kesah atau curahan hati. Saling memeluk, membangun kembali harapan yang mungkin sudah terserpih. Seperti yang selama ini kami lakukan lah, maksudku. Ah! Rasanya ingin sekali melempari Mas Tyas dengan tanah berlumpur tepat di wajahnya. Biar dia tahu, apa yang dia lakukan lebih dari meremukkan hati. Sungguh menyakitkan. Ternyata semua janji manisnya selama ini benar-benar palsu, lautan fatamorgana."Yung?" Mas Tyas merangkulku dari belakang. Dia baru saja pulang dari kampus, mengurus perpanjangan cuti kuliah. Waktu itu semangat untuk merai
Ya, Tuhan!Begitu banyak kejutan yang datang dalam hidupku dan ini yang paling besar, meninggalnya Kenzo. Siapa sangka kalau ternyata Ema yang telah menjadi pembunuhnya? Aku tidak sama sekali tetapi begitulah hasil akhir penyidikan pihak kepolisian, selaras dengan hasil autopsi di rumah sakit. Semua itu masih dikuatkan lagi oleh rekaman CCTV, tentu saja."Hi, Ema!" sapa Kenzo yang baru pulang, entah dari mana. "How is Elora?"Ema diam tak menyahut, hanya mengangkat kedua pundak. Mencebikkan bibir lalu berjalan ke ruang keluarga.Di ruang tamu, sambil melepas jaket Kenzo berteriak dengan kesal. "Ema, I talked to you. Didn't you listen …?"Sekitar tiga detik setelahnya Ema kembali ke ruang tamu. Terlihat jelas dia sangat marah. Aku menebak karena Kenzo pulang pagi dan itu berarti dia harus menjaga Elora seorang diri setelah aku pulang. "Yes, I listened to you. I am OK and Elora is OK too!"Kenzo berdiri, mendekati Ema
Pesan Pendek Baru@Anonim[Halo Ayung, ini aku Mas Wangi][Boleh telepon ke chat room?][BTW benarkah kabar yang kudengar?][Semoga kamu tabah ya Yung?][Tapi jangan khawatir, ada aku][Aku akan penuhi janji hatiku padamu]Ya Tuhan!Kejutan apa lagi ini? Mas Wangi. Kenapa dia harus muncul sekarang? Tepat di saat sebagian hidupku hancur berkeping-keping. Di saat aku masih belum tahu harus bagaimana?Eh!Benarkah itu Mas Wangi? Mendadak sontak, ketakutan itu mengisi penuh hati kecilku. Sekali lagi, benarkah itu Mas Wangi? Jika benar, dari mana dia tahu nomor ponselku? Dari mana pula dia tahu kalau aku dan Mas Tyas sudah berpisah?Den ting, ting, ting, tiiinggg!Kebingungan dalam diriku semakin membesar ketika ringtone voice call berdering nyaring. Unknown Number, membuatku semakin ragu. Benarkah itu Mas Wangi atau …? Mungkin tidak sih, ada seseorang yang berniat jahat padaku? Pura-pura menj
"Maaf Tuan Barlie, saya tidak bisa pergi atau pindah begitu saja dari apartemen ini." sesopan mungkin aku menolak tawaran Barlie untuk mengajak kami pindah ke rumah mereka. "Bagaimanapun saya masih terikat perjanjian kerja dengan Ema hingga enam bulan ke depan. Jadi, saya harus berbicara dengan Ema terlebih dahulu, Tuan. Saya tidak mau melanggar perjanjian."Semenjak Ema masuk penjara, aku membawa Baby Elora pindah ke apartemen Ema yang selama ini kutempati. Selain takut dan selalu terbayang-bayang jenazah Kenzo, pihak kepolisian pun menyarankan hal yang sama. Tetangga kanan kiri juga. Jadi, keputusanku semakin bulat dan kuat. Toh, masa sewanya juga masih lama, tiga tahun ke depan. Apa masalahnya?Akhirnya aku mendapatkan informasi itu dari Mbak Kinan. Dia yang mencarikan untukku entah bagaimana caranya. Satu-satunya hal
"Pakai nama Mama saja, Ma?" Langit mengusulkan setelah Laut dan Bumi sibuk mencari nama untuk usaha tanaman hias yang akan kami rintis. "Payung Teduh Flowers. Cantik kan, Mama?" Sejenak, Laut dan Bumi saling memandang lalu tos dengan penuh semangat perjuangan. "Setuju berat, Mas Langit. Cantik banget namanya, Payung Teduh Flowers!" Laut memandangku dengan senyum tipis tetapi manis yang khas. Tak mau kalah, Bumi juga mengapresiasi nama yang diusulkan Langit tadi. "Cantik dan viral pasti. Karena kan unik banget namanya."Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Payung Teduh Flowers. Memang cantik, ya? Unik. Semoga juga bisa menjadi magnet berkahnya rezeki. "Oke, Mama juga setuju." lembut tapi tegas aku memungkas acara diskusi kami. "Kalau gitu, Mas Langit sama Mas Laut harus segera cetak banner, ya? Nanti kita buat dulu konsepnya. Mas Bumi bantu Mama memilih bunga apa saja yang akan menjadi icon PTF. Nah, habis itu kita cari grosir tanaman hias. Harus banyak survei nih Le, seka
Tiga hari berlalu sejak family time yang so sweet, aku sakit. Demam, batuk, pilek parah sampai tidak bisa bangun dari tempat tidur. Kata Dokter, aku terlalu lelah dan letih. Butuh beberapa hari untuk istirahat total. Dokter sempat menawarkan rawat inap di rumah sakit tetapi aku menolak, tentu saja. Bukankah istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan? Ya, begitulah dan akhirnya Anak-anaklah yang dengan kompaknya merawat. Lova terlihat senang hati setiap mengambilkan minum atau menemani minum obat. Langit dan Laut, mendapat tugas membersihkan rumah plus mencuci pakaian. Sedangkan Bumi, mencuci piring dan menyiram tanaman setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah. Siapa yang memasak?Koki di rumah makan, hehehehe. Sorry, just kidding! Sebagai koordinator rumah tangga sementara, Langit memutuskan untuk membeli lauk dan sayur saja selama aku sakit. Kalau memasak sendiri, menurutnya terlalu ribet. Untuk nasi, dia yang memasak. Maka, nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"G
Aku berusaha mengikuti arahan Bu Bidan tetapi belum berhasil. Sabar, Bapak terus menyemangati dan mendoakan keselamatan kami."Nah, ayo ngeden lagi Mbak, ini kepalanya sudah kelihatan. Yuk, ngeden yang kuat. Terus, terus…!"Aku tidak terlalu ingat, bagaimana akhirnya. Hanya ketika kepala Laut sudah keluar, aku menjerit memanggil Mas Tyas. Mengejan lagi, mengikuti daya kontraksi lalu lahirlah dia, Laut Surgawi. Tidak dapat mendengar lagi kah hati Mas Tyas? Hanya Allah Yang Tahu."Sop iga, bakso rusuk, pecel lele, ikan bakar … Kita mau makan apa, Ma?" Hampir saja aku menyerempet sepeda motor karena terkejut demi mendengar pertanyaan Laut. Wah, semua ini gara-gara Mas Tyas yang tak berperasaan, jahat! "Kalian, mau makan apa?" lega tetapi sedikit geragapan aku membalikkan pertanyaan. "Mama ngikut saja, Le. Eh, tapi kayaknya enak ya, kalau makan sop iga? Sudah lama juga kan, Mama nggak masak …?"Laut mengiyakan lalu memberi tahu kalau rumah makan sop iga sapinya tinggal satu setengah kil
"Yuk, turun, anak-anak!" kataku sambil menepikan mobil di perempatan jalan kecil menuju makam Bapak. "Kita parkir di sini saja ya, takutnya Mama nggak bisa atret nanti?"Tanpa berkata-kata, anak-anak mengikuti ajakanku. Langit yang duduk si sebelahku, segera turun sambil menggendong Lova. "Bunganya sudah aku bawa turun, Ma!" lapor Bumi setengah berteriak. "Eh, Mas Laut, tolong bawa air mineralnya!'Kudengar, dengan penuh semangat Laut menyahut, "Siap, Bos!"Entah bagaimana, aku tertawa lirih. Menertawai diri sendiri, Mungkin? Why? Karena belum sempat membahagiakan Bapak semasa hidup. Bahkan, ketika Bapak meninggal dunia pun aku masih dalam keadaan susah. Bukan susah secara ekonomi, tetapi kritisnya hubungan dengan Mas Tyas. Kami sudah benar-benar tenggang, waktu itu, sudah pisah ranjang. Seperti itulah, keadaannya sampai-sampai Mamak dan Limas menghakimi. Bapak terkena serangan jantung karena stressed memikirkan aku. Padahal aku sama sekali tidak memberi tahu Bapak perihal rumah tan
Apakah ini yang disebut dengan penghalang kebahagiaan? Aku tidak tahu! Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku memilih untuk menyebutnya dengan challenge. Tantangan kemanusiaan. Bagaimana tidak? Kami sudah sampai di samping pintu mobil ketika tiba-tiba air ketuban Ajeng pecah. Byok …! Seperti itulah bunyinya, menciptakan panik. Anehnya, aku hanya bisa tertegun hingga beberapa detik lamanya saat cairan seperti putih telur itu membasahi punggung kaki Ajeng."Yung, aku nggak tahan lagi, Yung!" rintih Ajeng sambil merapatkan rahang. "Bayinya sudah mau lahir, Yung!""Ha, apa?" reflek, aku merespon dan tidak menyesal sedikit pun walau mungkin terkesan bodoh. "Jangan bercanda deh Jeng, sudah mau lahir gimana?"Terengah-engah, Ajeng berusaha memberikan penjelasan. "Serius, Yung. Hah, hah, haaahhh …!" Ajeng mencengkeram pintu mobil, mendobrak kesadaranku."Oke, oke!" kataku berusaha meredam panik. "Oke, tahan sebentar. Tahan sebentar ya, Jeng?" Gemetar, aku merogoh ke dalam saku gami
Sebenarnya apa salahku? Pada Mamak, Bapak dan Limas, maksudku sehingga mereka begitu membenciku. Karena menikah darurat dengan Mas Tyas? Karena gagal menjadi Sarjana? Karena akhirnya berpisah dengan Mas Tyas yang berarti kegagalan paling besar bagi mereka? Seharusnya mereka tahu tanpa disalahkan, dibenci dan dihakimi pun aku sudah remuk bubuk. Lumat oleh penyesalan dan perasaan bersalah yang begitu besar, tak tergambarkan. Jelas mereka tidak melihat itu, kan? Jelas, jelas! "Kalau aku jadi kamu ya Mbak, sesakit apa pun nggak akan pernah pisah. Ya ampun, itu kan nyakitin banget buat anak-anak, Mbak. Kasihan juga kan, status mereka jadi anak-anak broken home? Lagian, kenapa dulu kalian pacaran sampai ngawur gitu, coba? Sudah buat malu orangtua eh ujung-ujungnya pisah! Heran deh Mbak, sama kamu!" itu yang dikatakan Limas melalui saluran telepon yang super buruk saat tahu aku sudah berpisah dengan Mas Tyas. Seakan-akan dia yang bertanggung jawab atas hidupku selama ini saja! "Ya,
"Waduh, waduh yang punya rumah baru sampai cuek bebek sama keluarganya!" seloroh Mamak sambil mengulurkan tangan, menyalamiku. "Tapi kayaknya kami nggak bisa nginep, Yung. Adikmu lagi sibuk banget, banyak kerjaan. Besok malah Mamak nggak ada yang nganterin pulang."Aku merasa, otakku sudah berhenti berputar saat ini, sehingga hanya bisa diam tercenung. Oh, pasti aku terlihat sangat bodoh, sekarang. Bodoh dan lemah, tak punya harga diri. "Lah, kan, Mama bisa nganterin Mbah Mamak pulang?" pertanyaan sekaligus pernyataan Laut memulihkan separuh kekuatanku yang tadi hilang entah ke mana. Separuh lagi, berasal dari Bumi, Langit dan Lova yang tiba-tiba mengerubungi kami. Senyum tulus, sorot mata teduh mereka menyemai rasa tenteram dalam hati. "Sekalian jalan-jalan. Iya kan, Mama?"Reflek, aku mengangguk. Menyuguhkan senyum tulus. Biarlah Mamak atau siapa pun bersikap semau mereka tetapi aku tak boleh goyah. Maksudku, meskipun harus mengorbankan diri sendiri, jangan sampai balas menyakiti.
Mas Tyas juga datang? Wah, ini baru bencana! Sejujur-jujurnya kukatakan, tak ingin ada dia malam ini dan selanjutnya. Jangan ada Mas Tyas lagi, karena dia hanyalah selembar masa lalu. Masa lalu yang sangat menyakitkan! "Iya, Mas Bumi?"Bumi mengangguk. "Iya, Mama. Kayaknya, kalau aku nggak salah lihat, Ayah bawa buket bunga mawar putih, Ma." Ha, apa? Ck, Mas Tyas pasti sudah terjangkit skizofrenia. Tak bisa lagi membedakan antara khayalan dan kenyataan. Jelas-jelas kami sudah bukan siapa-siapa lagi, kan? "Mama mau temui Ayah?" pertanyaan polos sekaligus tulus dari Bumi mendobrak kesadaranku. "Mau apa nggak, Ma?"Terlambat. Semuanya sudah terlambat. Aku tak sempat lagi menghindar karena Mas Tyas sudah masuk ke ruang keluarga ini, bersama Ibu. Itu terlalu lancang bagiku tetapi sayang, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa berdiri hampa."Selamat ya, Yung?" suara Mas Tyas terdengar gemetar. Entah karena efek dingin dari air conditioner atau karena efek lain salam dirinya. "Maaf,
"Ibu …!"Walau sudah berpisah dengan Mas Tyas, aku tak pernah berubah. Sama seperti dulu waktu masih menjadi anak menantu, menyambut dengan sopan lalu bersalaman. Tidak hanya mengecup punggung tangan, aku juga mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah, Ayunng senang Ibu bisa datang." ungkapku jujur dan apa adanya ketika Ibu merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. "Ibu sehat kan, Bu?""Sehat Yung, Alhamdulillah." lembut, Ibu melepaskanku dari pelukannya. "Ibu juga senang bisa datang ke sini. Selamat ya Yung, sudah punya rumah baru? Ibu doakan semoga diberkahi Allah semuanya.""Aamiin. Makasih banyak, Bu." Ibu menyimpulkan senyum tulus. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang sejak sore tadi sudah berubah menjadi taman bunga. Hehe. Anak-anak yang memilih tema dekornya. Beberapa ikat balon warni menghiasi sudut-sudut ruangan. Ada juga yang tergantung di langit-langit berplafon putih melati. Konsepnya memang sederhana tetapi terlihat manis dan hangat. Indah."Sama-sama, Ayung."