"Aku tetap tidak bisa datang, Abid. Di rumah sudah ramai orang. Aku tidak enak hati untuk meninggalkan acara pentingnya mbak Alya. Aku mohon pengertianmu."Abid terdiam tidak segera merespon suaraku yang di dengarnya melalui hpnya."Baiklah, sebenarnya aku ingin sekali ada dirimu di acara pentingku ini. Oh ya kapan acara pernikahan Bu Alya, eh Mbak Alya?""Dua hari lagi. Kami semua mengharap Abid Group bisa turut serta dalam acara ini.""Kami akan usahakan. Oh ya, Aruna. Bolehkah aku bertanya tapi pertanyaan ini sangat sensitif. Jika kau berkenan bilang iya jika nantinya kau tersinggung lebih baik aku urungkan niatku."Deg!Ada apa ini. Adakah hal penting yang di rahasiakan Abid padaku? Aku harus menjawabnya apa, aku belum siap jika pertanyaan itu akan membuatku terluka tapi jika aku tidak mengatakan ya, selamanya aku tidak akan tahu apa yang ada dalam hatinya.Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya pelan-pelan."Katakan Abid, aku siap mendengarnya.""Kau janji dulu untuk tidak
Aku menggeleng. "Apa pun yang akan terjadi karenanya, aku sudah tak ingin untuk menundanya lagi. Cepat atau lambat jika aku harus tau mengapa tidak sekarang saja, Abid.""Tapi aku lebih suka melihatmu dengan kehidupanmu yang sekarang. Kau sudah tampak bahagia meskipun kau menjalani hidupmu hanya berdua saja, Aruna.""Tolong, jangan berbelit-belit. Aku sudah lama menunggu."Aku menatap Abid dengan penuh pengharapan. Sepertinya dia sangat tidak tega padaku. Sebenarnya apa yang dia sembunyikan selama ini. Aku tahu itu tentang mas Bara. Tapi setahuku Abid tidak mengenal Mas Bara sama sekali. Aku menyatukan tanganku di depan dadaku. Abid membasahi bibirnya yang mengering, kemudian mengusap wajahnya dengan pelan.Perlahan dia merogoh saku celananya. Dia memegang hpnya. Aku masih menunggu Abid.Di serahkannya hp yang di pegangnya padaku."Bukalah galeri foto Aruna."Perintahnya.Meskipun dengan bertanya-tanya aku mengikuti apa yang dikatakan oleh Abid."Tidak ada sandinya?"Tanyaku sekedar
Aku membantu Ibu, ayah, mbak Siti, pak Joni juga pasangan pengantin baru yang berbahagia bersama-sama membersihkan rumah. Kami semua bergotong royong penuh suka cita. Canda tawa mewarnai hari pertama mas Yusuf menjadi anggota keluarga ini. Semua bahagia dan aku pun turut larut di dalamnya. Aku berusaha menyembunyikan luka dengan serapi mungkin. Walaupun bayangan foto-foto itu terus membuatku risau, aku tetap berusaha untuk melupakannya.Tak sedikit pun terbayangkan olehku jika mas Bara akan bersanding dengan wanita lain, tapi itu adalah kenyataannya. Sudahlah untuk apa aku memikirkannya."Mbak, aku mau pulang.""Secepat ini?""Aku mau tidur seharian Mbak, capek sekali."Ucapku konyol, semua tertawa karenaku.Aku pun berpamitan kepada semua. Aku melihat sekilas layar hpku yang menampilkan pesan dari mama yang entah dari jam berapa dikirimnya. Aku tidak menyadarinya karena asik dengan keluarga besarku "Ada apa?"Begitu balasannya."Penting sekali."Balasku. Tentu saja mama belum memba
Aku pulang dengan membawa sejuta luka di hatiku. Tapi aku yakin duniaku tidak akan berakhir karena mas Bara sudah positif meninggalkanku dan bukannya hilang.Hatiku hampa dan tak lagi aku menginginkan sesuatu untuk saat ini. Tubuhku lunglai menyandar di tembok, tak kupedulikan rambutku yang kumal tergerai tak beraturan. Benda canggih hasil tekhnologi modern yang sudah menghadapkanku pada kenyataan hidup yang pahit ini tergeletak disisiku tanpa kusentuh. Aku mendengar beberapa kali notifikasi masuk, tapi aku tidak peduli. Aku sedang menikmati rasa sakit yang menghujam jantungku. Air mata yang berebut untuk keluar sekarang pun telah kering kerontang.Afnan yang sebelumnya sibuk memanggil dan merengek kini terdiam dengan sendirinya. Entah tidur entah masih bermain dengan mainannya aku tak tahu."Kau sepertinya menangis?"Tanya mbak Alya di seberang sana. Aku terpaksa mengangkat teleponnya karena beberapa kali panggilannya tak aku jawab dan dia juga meninggalkan pesan penting."Tidak, Mba
"Mbak, aku mau pergi dulu. Tolong jaga Afnan ya.""Beres Mbak Aruna."Aku mengendarai sepeda motorku untuk menemui konsumen yang bermasalah dengan pesanannya. Kebetulan dia konsumen yang masih berada dalam wilayah ini."Aku ingin mengembalikan barangnya secara langsung, Bu. Bukan lewat kurir. Biar Ibu bisa lihat sendiri kondisi barang itu.""Baiklah karena kebetulan ada waktu kita bertemu di titik tengah ya, agar aku tak kejauhan dan kau juga tak kejauhan.""Terima kasih Bu, aku akan menunggu Ibu ditempat yang telah Ibu tentukan tadi."Ya beginilah yang namanya kerja dari hari ke hari selalu saja ada masalah yang mengharuskan aku terjun langsung untuk menanganinya. Terkadang konsumen juga memerlukan perhatian kita.Ternyata dia adalah seorang gadis remaja yang sepertinya sangat pemberani, tak jauh beda dengan diriku. Dengan gaya bahasanya yang gaul dan terdengar begitu percaya diri diserahkannya produk yang ternyata memang rusak dan dia bersikeras tidak mau menerimanya."Aku akan mengi
"Tidak seperti itu, bukan begitu, Abid. Aku sudah menyelesaikan semua dengan Bu Farida. Tidak ada masalah sama sekali.""Aku tahu, Aruna. Aku memang bukan ingin menyelesaikan masalah pekerjaan denganmu.""Nah jadi benarkan jika aku menolak untuk datang, tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan."Abid terdiam tidak menjawab, aku memandang layar hp yang masih menampilkan sambungan telepon yang masih berlangsung.Aku menunggu Abid untuk menjawabku dengan hati was-was. Aku takut sekali jika ia akan tersinggung. Masalahnya, ini bukan kali pertama aku menolak ajakannya untuk bertemu."Baiklah, Aruna. Tampaknya aku sangat mengganggumu."Kata Abid dengan lemah."Tidak ada yang mengganggu tapi tolong mengertilah aku yang harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Kasihanilah aku yang single parent ini, aku harus mengurus Afnan dan aku harus tetap mengurus pekerjaanku.""Baiklah, aku akan menunggumu sampai kau punya sedikit waktu untukku."Nada kecewa itu terdengar begitu jelas.Aku tak ber
"Kau sibuk sekali sampai jarang sekali membalas chatku.""Bukan seperti itu, kadang aku yang suka lupa jika ada pesanan mendadak. Aku melupakan tadi sedang mengobrol dengan siapa. Maafkan aku yang pelupa ini.""Asal kau tak melupakan aku.""Tentu saja tidak."Sebenarnya aku sangat terluka dengan apa yang telah kuperbuat sendiri. Aku menghindari Abid secara terus menerus, seberapa besar usahanya untuk dekat denganku sedemikan besar juga upayaku untuk menghindarinya.Mengapa itu kulakukan? Karena aku tidak mau terluka lebih dalam lagi. Aku merasa sangat tak pantas untuk bersama Abid, sangat tidak setara dan aku takut jika akan ada penolakan dari pihak keluarganya nanti.Aku tahu Abid adalah anak yang sangat patuh kepada orang tuanya. Dan orang tua mana yang mau melihat anaknya bersama dengan orang sepertiku. Tidak, aku harus segera menepiskan semua harapan itu sebelum rasa itu berkembang di hatiku.Sungguh aku tidak bisa melupakan Abid, gelak tawanya, perhatiannya ... semua kurindukan.D
Mungkin Bara hanya mengancamku saja, buktinya tidak ada selembar surat pun yang datang padaku. Tapi itu tidak membuatku berhenti untuk tidak mengkhawatirkan Afnan. Apa lagi Afnan sudah mulai masuk sekolah."Wati, jika ada orang asing yang mau mengajak Afnan, tolong jangan boleh ya. Walaupun dia bilang apa pun. Misalnya bilang saudara, kerabat jauh atau apa.""Iya, Bu."Aku mencium pipi Afnan kiri dan kanan."Belajar yang rajin biar pandai ya?""Iya, Bu."Afnan mencium punggung tanganku dan melambaikan tangan. Tak terasa aku sudah mempunyai seorang anak yang kini sudah bersosialisasi di lingkungan sekolah. Dia akan merasakan bagaimana itu bermain dan belajar bersama rekan dan gurunya. Dia tidak hanya mengenalku dan keluarganya saja. Akh, Afnan ... Mengapa waktu begitu cepat berlalu.Aku beranjak untuk memulai pekerjaanku hari ini. Aku tidak berniat ke kantor, aku akan menghandle semua kegiatan hari ini dari rumah saja. Mbak Alya pun sedang berada di rumah orang tua mas Yusuf. Dia sed
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de