Mungkin Bara hanya mengancamku saja, buktinya tidak ada selembar surat pun yang datang padaku. Tapi itu tidak membuatku berhenti untuk tidak mengkhawatirkan Afnan. Apa lagi Afnan sudah mulai masuk sekolah."Wati, jika ada orang asing yang mau mengajak Afnan, tolong jangan boleh ya. Walaupun dia bilang apa pun. Misalnya bilang saudara, kerabat jauh atau apa.""Iya, Bu."Aku mencium pipi Afnan kiri dan kanan."Belajar yang rajin biar pandai ya?""Iya, Bu."Afnan mencium punggung tanganku dan melambaikan tangan. Tak terasa aku sudah mempunyai seorang anak yang kini sudah bersosialisasi di lingkungan sekolah. Dia akan merasakan bagaimana itu bermain dan belajar bersama rekan dan gurunya. Dia tidak hanya mengenalku dan keluarganya saja. Akh, Afnan ... Mengapa waktu begitu cepat berlalu.Aku beranjak untuk memulai pekerjaanku hari ini. Aku tidak berniat ke kantor, aku akan menghandle semua kegiatan hari ini dari rumah saja. Mbak Alya pun sedang berada di rumah orang tua mas Yusuf. Dia sed
Aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi padaku, yang penting tidak akan terjadi apa-apa pada Afnan.Aku tak bisa kehilangannya, dia separuh jiwaku. Aku tak akan bisa melanjutkan kehidupanku tanpanya. Dia adalah Afnan, putra kesayanganku."Ayah Yusuf dan om Abid tadi datang ke rumah pas Ibu pergi.""Benarkah?""Iya, tanya saja Mbak Wati. Iya kan Mbak?"Lanjut Afnan. Aku memegang kedua bahunya untuk meminta kepastian atas apa yang disampaikannya padaku.Wati mengiyakan apa yang disampaikan Afnan. Aku duduk dalam diam, menyesal mengapa aku tadi harus meninggalkan rumah dan tanpa membawa hp. Ada keperluan apa mereka datang ke rumahku dan berdua? Sebelumnya tidak ada yang mengatakan kalau mereka ada kepentingan denganku.Sebenarnya aku keluar untuk melakukan usaha. Usaha agar aku bisa berpisah secara resmi dari mas Bara dan aku sudah menemukan orang yang akan membantuku. Aku akan segera mengajukan surat gugatan cerai, semoga mas Bara akan mengabulkan permohonanku. Aku tidak minta
Tidak ada yang menduga sedikitpun jika hari ini aku datang ke pengadilan agama untuk sidang pertamaku. Sidang gugatan cerai pada Barata Hardiyanto, suamiku yang sudah menelantarkan diriku dan anak kami yang bernama Afnan Syabil kurang lebih selama empat tahun. Dan yang lebih fantastik lagi ternyata mas Bara bersedia menghadiri sidang pertamanya."Kenapa kau tak bilang pada kami kalau kau akan menggugat cerai Bara?""Aku tidak menyangka jika mas Bara mau menghadiri sidang ini. Awalnya aku punya rencana lain, Mbak.""Rencana apa?""Tidak cukup kalau di ceritakan di sini. Nanti saja kalau sudah di rumah. Yang jelas rencanaku gagal Mbak. Ternyata mas Bara menghadiri sidang pertama ini dan itu pasti akan menyulitkanku."Mbak Aya terdiam. Tampak sekali dari raut wajahnya jika mbak Alya sedang kecewa padaku."Kau terlalu terburu-buru. Mas Yusuf sedang di Bali, kau malah menggelar persidanganmu."Mbak Alya sangat menyesali apa yang telah kulakukan ini"Mana aku tahu jadwalnya, Mbak?"Mbak Alya
Apa yang harus kusiapkan untuk menghadapi sidang keduaku? Saksiku tidak begitu kuat untuk membuktikan kesalahan mas Bara. Selama ini aku memang begitu tertutup pada semua orang, itulah salahku.Aku bingung bila akhirnya nanti mas Bara tidak menjatuhkan talaknya padaku dan tetap ingin melanjutkan rumah tangganya denganku. Hakim pasti tidak akan pernah menyatakan keputusan perceraianku. "Aku sudah bilang padamu, kau berikan Afnan padaku dan aku akan mengantarkan surat cerai ke rumahmu. Kau tak perlu sibuk mencari bantuan ke mana-mana, itu semua akan menghabiskan uang dan waktumu saja bukan?Kau tinggal duduk manis dan kau akan punya status baru yang kau inginkan itu.""Aku tidak sudi menukar apa pun dengan Afnan, bahkan nyawaku sekalipun.""Kau tetap sombong dan keras kepala walaupun nasibmu sudah laksana telur di ujung tanduk.""Kau terlalu percaya diri untuk menekanku. Kau akan melihat bagaimana aku akan mempertahankan anakku. Aku tidak akan rela jika anakku jatuh ke tanganmu apa lagi
Aku merengkuh Afnan dalam pelukanku, dia menurut tapi pandangan matanya tetap tertuju pada mas Bara. Mas Bara mencoba mengulurkan tangannya pada Afnan yang terus memperhatikannya dengan ribuan pertanyaan. "Jangan, dia akan takut padamu. Aku sudah mengajarinya untuk tidak dekat-dekat dengan orang asing."Mas Bara menarik tangannya, dia duduk di lantai, bersimpuh di depan kami. "Sayang, aku adalah ayahmu. Aku bukan orang asing. Maafkan ayah yang tidak bisa menemuimu dalam waktu yang sangat lama. Ayah harus bekerja dan tampaknya ibumu marah, sampai tidak mengizinkanku untuk memelukmu."Mendengarkan ucapan mas Bara, tatapan Afnan beralih padaku.Aku menggeleng sebagai kode jika yang di katakan mas Bara itu tidak benar. Afnan mengangguk."Afnan, ayah ingin memelukmu sebentar saja, kemarilah Sayang."Kembali mas Bara mengulurkan tangannya. Sepertinya Afnan percaya padaku, dia melekatkan dirinya ke tubuhku. "Tidak usah takut, ada Ibu di sini untukmu. Ayo katakan kau mau ikut dia atau tida
"Bagaimana kalau kita beristirahat dulu, ibu janji besok ibu akan menjelaskan semua pada Afnan."Afnan melepaskan pelukannya dan membuatku menatapnya."Ibu janji?"Aku mengangguk."Istirahatlah, Bu. Afnan juga mau mengerjakan PR. Afnan masuk dulu ya Bu.""Iya."Langkah kecil itu berjalan menuju ke kamar membawa tas punggungnya ke ruang tengah. Tempat favoritnya untuk berkutat dengan pelajaran sekolahnya. Wati menghampirinya, pasti dia akan membantu Afnan.Aku menutup kembali pintu depan yang masih terbuka. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, bahkan bayangan mas Bara pun sudah tak ada. Aku kembali ke kamarku.Peristiwa tadi sanggup menyita perasaanku. Mas Bara terlihat baik sekali. Sifat buruknya tidak di nampakkan sama sekali di depan Afnan. Dia menunjukkan sikap yang penuh kelembutan dan penuh kasih sayang kepada Afnan. Coba dari dulu dia bersikap seperti itu, aku tidak akan membencinya dan mungkin aku bisa kembali mempunyai simpati padanya. Tapi tidak mungkin itu terjadi, mas Bara sud
"Seharusnya kau tetap menjaga jarak antara Afnan dan Bara, Aruna"Mbak Alya membuka pembicaraan."Tapi aku tidak bisa Mbak, Afnan begitu bahagia saat bersama ayahnya.""Bagaimana kalau itu hanya triknya Bara untuk menjatuhkanmu?"Tanya mas Yusuf."Maksud Mas Yusuf bagaimana?""Dengar Aruna, tidak lama lagi kau akan menjalani sidang keduamu dan kau bilang sendiri kalau kau sudah pesimis untuk menghadapinya. Saat kau jatuh, Bara akan semakin mempunyai peluang untuk mendapatkan Afnan. Bara sudah berhasil mendapatkan simpati Afnan, bisa saja Bara akan memperpanjang tuntutanmu demi mendapatkan Afnan.""Bukankah saat aku kalah, aku akan tetap berstatus istrinya mas Bara dan aku tidak akan kehilangan Afnan. Bagaimana mas Bara akan memperpanjang urusannya?"Sanggahku. "Nanti, Aruna. Nanti yang kumaksud. Saat kau kembali berstatus sebagai istri Bara, dia akan semakin leluasa untuk dekat dengan Afnan, kau tak bisa membatasinya lagi. Dia bisa menuntutmu, karena hak kalian sama. Dan kau Aruna, ka
Ada yang memintaku untuk bertemu siang ini, aku tidak mengenalnya sama sekali. Foto profilnya hanya gambar animasi tapi dia ingin bertemu langsung denganku karena urusan pekerjaan katanya. Sebenarnya aku kurang mood karena terlalu capek memikirkan masalah internal kehidupanku. Tapi setelah kupikir-pikir, ini tuntutan profesi. Mau bagaimana lagi, aku pun bersiap untuk menemuinya."Jaga Afnan ya, Wat. Tidak usah memasak. Nanti aku beli makanan dari luar saja. Jangan sampai lengah ya?""Iya, Bu. Beres."Aku berpamitan pada Wati dan kemudian mencium Afnan untuk kutinggalkan barang beberapa jam saja. Afnan melambaikan tangan saat motorku sudah melaju pelan."Aku ada di meja nomor delapan belas, Mbak."Pesan itu masuk saat aku baru saja memarkirkan sepeda motorku. Aku celingukan mencari meja yang disebutkannya."Oh, itu.""Iya, Abid. Boleh saja asal kau menelepon dulu, siapa tahu aku sedang ada keperluan lain.""Tentu saja aku akan meneleponmu dulu."Aku tersenyum saat mengakhiri panggilan
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de