"Sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu padamu dan juga keluargamu, Aruna.""Ada apa?""Aku akan menundanya sampai masalahmu selesai.""Jangan kau buat aku merasa bersalah padamu, Abid.""Tidak, jika aku meneruskannya berarti aku yang akan terus merasa bersalah. Maafkan aku."Aku menatap Abid dengan bertanya-tanya. Mengapa dia tidak mau mengatakan maksud kedatangannya malam ini di rumahku. Apakah ada hubungannya dengan Afnan atau yang lainnya.Aku dan Abid terdiam, suasana hening menghiasi pertemuan kami malam ini. Ini adalah kali pertana aku berjumpa dengan Abid setelah pertunangan itu. Sebelumnya Abid tidak tahu jika aku sedang ada masalah tapi karena mas Yusuf memberi taunya akhirnya Abid datang mengunjungiku malam ini setelah beberapa hari dia berada di luar kota."Maaf jika mas Yusuf yang memberi tahumu. Sungguh aku tak tahu harus bagaimana untuk memberi tahukan ini padamu. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaan dan perjalananmu.""Seharusnya kau katakan saja aku tak mengapa. Tap
Aku beberapa kali mencoba menghubungi Arum namun sayang nomornya sedang tidak aktif. Mungkin Arum sedang ada pekerjaan penting. Aku meninggalkan pesan untuknya. Sepanjang waktu hatiku dag dig dug menanti balasan dari Arum. Ada apa Arum meneleponku sampai beberapa kali tadi?Aku tidak sempat melihat hpku karena aku sedang terlibat percakapan serius dengan Abid. Percakapan yang membawaku ke sebuah keputusan penting dalam hidupku. Yah, aku memutuskan segera menikah dengannya. Semoga apa yang sudah kuputuskan ini tidak salah. Aku berdoa dalam hati."Iya, Arum. Maaf aku tidak mengangkat panggilanmu tadi. Aku sedang bersama Abid tadi."Aku buru-buru memberikan keterangan saat mengangkat telepon dari Arum."Di mana Abid sekarang?""Dia tadi bilang akan ke rumah orang tuanya. Apa ada sesuatu yang sangat penting, Arum?"Aku mendengar Arum berdecak kesal.Aku berpikir buruk."Ada apa, Rum? Apa yang terjadi, di kantor atau di ...""Tidak Aruna, tidak ada masalah dalam hal pekerjaan. Tapi ...."A
Aku beringsut pelan dari tempatku duduk, berjalan sedikit berjingkat supaya tidak menarik perhatian mereka berdua. Saat sudah agak jauh dari Abid dan Selin, aku menoleh ke arah mereka yang tampak masih bicara dengan serius. Sepertinya mereka tidak menyadari ada aku di sana tadi.Aku melihat layar hpku yang sudah mati, mungkin Antika sudah bosan menungguku menerima panggilannya, aku terlambat mengangkat teleponnya. Salah dia juga tidak mengirimiku pesan terlebih dulu. Eh, aku tidak boleh marah pada Antika. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena dia sudah bersedia menghubungiku. Meskipun Antika itu ada udang di balik batu. Aku menyentuh tombol panggil nomor Antika yang baru, aku menunggu dan dia juga tidak segera mengangkatnya. Aku jeda tiga menit dan aku meneleponnya kembali."Hai Mbak Aruna. Kenapa tidak cepat tadi.""Tadi aku ada keperluan juga Antika. Share lock saja lokasimu, aku akan menjemput Afnan.""Kau kira akan semudah itu, akan kulakukan jika kau ingin melihat mayatku
"Kau ceroboh, Aruna. Kenapa kau tak segera mengatakan padaku atau mas Yusuf saat kau bisa berhubungan dengan Antika?""Maaf, Mbak. Aku begitu percaya padanya, aku tidak menyangka dalam beberapa hari saja nomor yang di pakai Antika tidak aktif. Apa mungkin dia ketahuan dan mas Bara memaksanya untuk membuang nomornya?""Entahlah, Aruna. Kau saja tidak tahu apa lagi aku."Tampak sekali mbak Alya kecewa saat aku menemuinya untuk mengatakan aku kehilangan jejak Afnan. Aku menyesal, saat ini aku percaya pada Antika dan aku juga sedang sibuk mengurus persiapan kedatangan orang tua Abid untuk menentukan hari pernikahanku di rumah ayah dan ibuku. Aku terlena dan hanya menunggu kabar darinya tanpa menanyakan sesuatu apa padanya. Antika sudah tidak menghubungiku dalam beberapa hari ini dan aku baru menyadarinya. Aku fokus pada urusan pernikahanku."Sebarusnya kau bilang pada kami kalau kau ada rencana bersama Antika, setidaknya kau memberikan nomor Antika jadi saat kau sibuk dan tak ada waktu ka
Besok adalah hari yang sangat kunantikan. Bukan cuma aku tapi seluruh keluargaku. Semua bersuka cita karena aku akan menikah dengan Abid. Pria baik yang datang melamarku setelah bermacam aral dan rintangan yang selalu menghalangi niat baiknya untuk mempersuntingku. Pria baik dengan keluarga yang baik pula. Mereka menerima keadaanku. Aku yang sudah pernah menikah dan mempunyai satu anak dari pernikahan pertamaku.Aku menutupi hatiku yang sedih dengan selalu tersenyum meski itu adalah senyum palsu. Aku tidak ingin ada yang kecewa karena calon pengantin sedang berduka.Bagaimana aku tidak bersedih, bagaimana aku tidak berduka jika di hari bahagiaku, Afnan anakku belum juga diketemukan. Segala daya upaya yang dilakukan oleh pihak mas Yusuf, pihak mama Resti dan juga pihak Abid nihil sampai sekarang."Aku ingin bertemu denganmu, tapi aku malu. Rumahmu ramai orang""Kau di mana? Mana Afnan?""Aku tidak jauh dari sini, Afnan sudah tidur.""Share lock, aku datang."Tak ada sedikit pun ada ras
Ya Allah, ada apa sebenarnya dengan mas Bara. Aku menatap Afnan dengan begitu iba. Anakku sudah seperti anak jalanan yang tak terurus. Badannya kotor, bajunya lusuh penuh keringat dan dia terlihat kelaparan sekali. Dua roti selai ukuran besar habis disantapnya begitu juga minuman rasa susu tersisa sedikit saja, membuktikan jika perutnya sedang menderita sekali."Kenyang, Nak."Tanyaku diantara deru mesin sepeda motor."Sudah, Bu. Ibu aku mau dibawa pulang ke mana?""Ke rumah kakek-nenek.""Benar, Bu? Hore, Afnan senang sekali. Ibu sekarang tinggal sama kakak-nenek ya?""Nggak.""Lalu kenapa ibu di sana?"Aku tidak menjawab pertanyaan Afnan karena kami sudah sampai di depan rumah. Aku membayar ongkos ojek dan melihat Afnan keheranan melihat tenda dan dekorasi."Ada acara apa di rumah Kakek, Bu?"Aku menggendong Afnan memasuki halaman yang sudah sunyi. Semua tampak sudah tertidur, ada yang di bangku dan ada yang di tikar. Aku harap pintu tidak di kunci dan aku bisa masuk."Dari mana kau
"Ayo Aruna, kita ke kamar saja kau harus tidur. Ini sudah jam tiga lebih. Kau harus istirahat. Besok adalah hari pernikahanmu."Mbak Alya menuntunku menuju kamar. Kulihat pangeran kecilku terlelap di sana, aku segera memeluknya. "Cepatlah tidur. Kau harus bangun pagi-pagi. Jangan khawatirkan Afnan. Aku akan mengurusnya besok. Dia akan menjelma menjadi pangeran tampan yang akan menemanimu di pelaminan."Mbak Alya berucap sambil menutup pintu. Berulangkali aku mencium pipi kotor milik Afnan. Pantas saja pangeran tampanku seperti ini keadaannya, ternyata ayahnya membawanya lari ke sana ke mari karena dia dalam pencarian polisi."Mengapa kau sampai melakukan perbuatan itu, Mas. Setan apa yang telah merasukimu sampai tega pada Antika yang katanya sangat kau cinta itu."Rintihku dalam hati.Aku memikirkan sedang apa mas Bara sekarang ini. Dia mau lari ke mana? Sepertinya dia sudah tidak punya uang lagi. Kalau dia punya uang, dia pasti membelikan makanan untuk Afnan saat itu tapi dia malah m
Aku sedang dirias di dalam kamarku ditemani oleh mbak Alya. Melihat bayangan diri yang sulit kukenal membuat diriku dibuai angan. Mengapa aku seolah akan menghadapi sesuatu yang tak pernah kualami dalam hidupku. Dadaku terus berdebar-debar. Sungguh aku tak ingat lagi bagaimana perasaanku dulu saat akan menikah dengan mas Bara. Sepertinya aku tidak merasakan perasaan seperti ini.Sudah berapa hari aku tidak bertemu Abid, apakah dia akan tetap seperti sebelum kami di larang untuk bertemu karena persiapan pernikahan. Aku tersenyum membayangkan pertemuanku nanti. Sumpah, aku merindukan Abid."Pengantin sudah datang."Ada suara seseorang dari arah luar kamar, aku tidak tahu siapa yang memberitahukan kedatangan rombongan pengantin pria itu. Aku sibuk menata hatiku. Aku benar-benar merasa grogi. Aku tidak ingat lagi apa dulu sewaktu mau menikah dengan mas Bara aku merasa grogi juga seperti saat ini?Aku ke luar kamar dituntun oleh mbak Alya. Aku tidak menyangka jika semua sudah hadir di tempa
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de