"Bukan kami menolak keinginan Ayah dan Ibu. Sebelumnya kami memang sudah sempat sepakat untuk tidak tinggal di rumah orang tua. Mau bagaimana lagi, aku anak tunggal dan Aruna anak bungsu. Orang tua masing-masing menghendaki untuk tinggal bersama mereka. Dari pada kami tidak adil, lebih baik aku membawa Aruna ke rumahku, Bu. Afnan juga akan dekat dengan sekolahnya. Maafkan kami ya, Bu, Ayah ...""Baiklah, Abid. Kalau memang itu sudah menjadi keputusan kalian. Sebenarnya kami sangat senang kalian ada di sini. Rumah menjadi ramai. Tapi sebentar lagi suasana akan kembali seperti dulu, kami hanya berdua saja dan ayahmu pun sering pergi untuk bekerja. Sepi. Tidak apa Abid, aku tahu orang tuamu juga hanya tinggal berdua saja. Jadi kami merasakan hal yang sama. Kurasa itu memang adil.""Kalau Ayah sedang kerja jauh, Ibu ke rumah kami saja, bukankah Ibu juga sering menginap di rumah mbak Alya?""Iya, Aruna. Ibu akan adil untuk mengunjungi kalian. Kecuali Alifia yang rumahnya jauh, ibu tidak bis
Aku berpamitan pada orang tua Abid setelah tadi berpamitan pada orang tuaku sendiri. Mereka sesama orang tua, mereka sama-sama merasakan sedih saat kami memutuskan untuk tinggal dirumah sendiri dan pada usia pernikahan yang baru berjalan selama seminggu."Aku akan senang jika Ibu dan Ayah berkunjung ke rumah kami."Ujarku pada mereka yang mencoba tersenyum pada Kami."Tentu saja kami akan berkunjung, Aruna. Oh ya Aruna tolong jaga Abid. Dia akan jarang ke sini karena sudah memiliki keluarga. Tapi dia suka lupa makan, tolong ingatkan dan jangan buat badannya kurus kering. Ibu takut jika dia melayang kalau ada angin."Ibu mencoba merubah suasana sedih menjadi suasana gembira. Kami tertawa meski semua tahu jika tawa kami hanya di mulut saja. Hati kami sama-sama merasa sedih. "Kakek dan Nenek tidak ikut?"Tanya Afnan yang sedang berpegangan tangan dengan Wati."Tidak, Sayang. Ini rumah kakek dan nenek, kami akan tetap di sini. Kau saja yang ikut ibu dan ayahmu. dan jadilah anak yang panda
"Wati, kalau nanti Afnan sudah pulang dari sekolah, katakan padanya jika aku ada pekerjaan. Jangan bilang aku mau menemui Antika. Kasihan, sebenarnya Afnan juga mau bertemu dengannya tapi aku ingin membicarakan sesuatu yang penting dan Afnan belum boleh tau." "Aman, Bu. Aku mengerti. Ibu yang hati-hati.""Iya, Wat."Hari ini aku berniat menemui Antika dengan modal alamat yang diberikan oleh mama Resti beberapa hari yang lalu. Mang Arman mengantarkanku, dia adalah sopir yang khusus dipekerjakan Abid untukku.Abid sedang berada di pabrik, sudah lama dia tidak ke sana, sebenarnya aku juga ingin ikut untuk bisa bertemu Bu Farida atau Arum tapi Abid melarangnya. Katanya malas terjadi masalah dengan Selin."Lain kali saja, saat ini Selin sepertinya masih dalam keadaan marah. Tapi percayalah, seiring waktu masalah ini pasti akan selesai dengan sendirinya.Tepatnya saat Selin sudah bisa menerima kenyataan.""Baiklah, aku percaya padamu."Abid tersenyum dan aku melepaskan kepergiannya.Selin,
"Antika, aku datang bukan sebagai siapa-siapa. Kenyataannya aku tak ada hubungan apa-apa lagi dengan mas Bara. Tapi tak bisakah aku meminta padamu untuk sedikit meringankan tuntutanmu. Hanya ... hanya sekedar karena rasa kemanusiaan saja, Antika."Antika terkejud. Air mukanya berubah drastis, aku juga melihat bagaimana Antika yang begitu marah, napasnya tersengal dan aku tahu ia sedang menahan tangis.Matanya tajam seakan menerkamku, aku bingung. Mengapa Antika yang terlihat lemah kini seperti singa yang hendak menerkam mangsanya."Tidak! Kau bisa memintaku menyayangi anakmu meskipun dia bukan anakku. Tapi tidak seenak hatimu juga, kau mengajukan permintaan itu padaku. Lagi pula kau bukan siapa-siapaku jadi untuk apa aku mendengarkanmu? Kau tidak tahu bagaimana rasanya bertarung dengan maut dalam beberapa hari, jika saja kau tahu bagaimana keadaanku saat itu, kau tak akan tega untuk mengucapkan itu."Aku sekarang yang terkejud. Tenyata Antika begitu trauma dengan kejadian yang menimpa
"Kenapa Ayah dan Ibu tidak mengajakku jakan-jakan? Bukannya ini bukan waktunya sekolah?"Afnan merengek saat aku dan Abid akan meninggalkannya. Sebenarnya kami berencana menemui mas Bara yang sedang berada di rutan. "Kami tidak mau jalan-jalan, Afnan. Kami ada pekerjaan. Kau di rumah saja bersama mbak Wati. Kau boleh beli es krim atau apa saja, nanti mbak Wati yang akan mengantarmu asal kalian hati-hati ya.""Tapi aku ingin ikut ibu dan Ayah, akan banyak makanan di luar.""Tidak bisa, Sayang. Kami mau ke pabrik, di pabrik itu banyak asap dan polusi itu buruk untuk anak kecil. Ya sudah Afnan mau makan apa, nanti kami akan bawakan. Terus lain kali kalau ayah sedang libur, kita bisa jalan-jalan bersama.""Benarkah?"Kami mengangguk dan merasa lega melihat binar di mata Afnan. "Kapan kita jalan-jalan, Ayah?"Tanyanya dengan memandang Abid penuh harap. "Kalau tidak ada halangan, Minggu depan.""Yea! "Afnan bersorak dan setalah itu dia memesan beberapa makanan yang harus kami beli untukn
Embun di ujung mataku menetes sudah.Saksi bisu perasaan hatiku yang sudah sangat tidak menentu."Aku tidak punya hubungan apa-apa lagi selain hubungan kerja. Kau percaya padaku?"Aku mengangguk dan tersenyum. Benda pipih yang terus saja menampilkan nama Selin di layarnya membuatku merasa tak nyaman. Abid mengambil alih benda yang menyebabkan perjalanan kami jadi tak menyenangkan lagi. Abid menolak panggilan Selin, dia tahu aku tidak suka.Sesampainya di rumah tidak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Aku langsung masuk ke dalam kamar tidak mempedulikan Abid yang pasti sedang menemani Afnan makan. Aku hanya mendengar suara kecil itu memanggil-manggil ayah barunya.Aku menatap bayangan wajahku di cermin. Aku memang cantik dan menarik tapi usiaku tak muda lagi terlebih lagi aku sudah menjadi seorang ibu. Selin lebih muda dan penampilannya selalu modis. Apa Abid tidak akan tergoda jika Selin selalu saja mendekatinya. Tidak mungkin aku akan memperlakukan Selin seperti Citra. Tapi aku ju
Abid menepati janjinya pada Afnan. Hari ini kami berangkat ke pantai. Afnan dan Wati tampak senang sekali bahkan dari tadi malam mereka sangat sibuk menyiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa. Baju ganti, makanan, mainan dan entah apa lagi, aku sampai ketiduran menunggu mereka siap.Sebenarnya aku juga sudah lama sekali tidak menikmati liburan seperti ini. Aku terus sibuk dan sibuk bekerja, tak terpikirkan olehku sedikit pun untuk pergi liburan."Lihat, mobil itu besar sekali di dalamnya itu apa ya?"Celetuk Afnan."Kau tanyakan saja sendiri, Afnan."Jawab Wati."Bagaimana caranya, Mbak.""Kau suruh Ayahmu mengejar mobil itu dan kau tanyakan langsung pada sopirnya."Afnan terdiam dan terdengar Wati tertawa."Mbak Wati mencandaiku saja, mana mungkin ayah memanggil sopir itu dia tak akan dengar.""Iya sopir itu tak akan dengar Afnan karena dia sudah tertinggal jauh di belakang kita, hahaha ...."Wati tertawa dan Afnan menggerutu, rupanya Afnan tidak sadar saat mengobrol dengan Wati
Aku tak menanggapi ucapan Selin, dia tampak marah sekali padaku."Dan sekarang kau berubah jadi bisu. Apa maumu, kenapa kau tak menjawabku. Apa sudah hilang nyalimu? Kau hanya cukup menyanggupi permintaanku dan aku akan melepaskanmu tapi dengan syarat aku menunggu kau tinggalkan Abid dalam jangka waktu satu bulan."Aku mendengus kesal, Selin kira dirinya itu siapa. Mengapa dia jadi mengaturku seperti itu.Memangnya waktu satu bulan itu lama, pasti tidak ada setitik kotoran kuku dibandingkan penantian Abid untuk bisa hidup berdampingan denganku. Terserahlah dia mau mengucapkan apa. Aku harus menghemat energi supaya tetap kuat untuk melarikan diri dari tempat sialan ini. Mataku mencari-cari celah dan cara bagaimana aku bisa ke luar. Meskipun aku tak tahu tempat ini ada di mana. Dan bagaimana keadaan sekitar rumah ini. Apa aku di jaga oleh banyak orang di luar sana atau hanya penculik atau mantan suami Antika tadi yang menjaga tempat ini?"Terserahlah padamu, Aruna. Kalau kau belum bisa
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de