Aku mendengar suara azan subuh berkumandang dari sebuah masjid, aku mencari-cari dari mana arahnya. Aku berjalan mendekati sumber suara. Ternyata sebuah mushola kecil. Aku mendekat, mencari tempat berwudhu yang biasanya terdapat di samping atau di belakang mushola. Air dingin kugunakan untuk membersihkan muka kaki dan tanganku, aku mengambil air wudhu."Mau ikut sholat subuh, Neng?""Tapi, tapi aku tidak membawa mukena.""Ada mukena di dalam, Neng. Khusus untuk orang yang menumpang sholat di sini.""Baiklah, terima kasih, Nek."Sekarang Nenek tua itu mengajakku masuk ke dalam dan menunjukkan lemari tempat menyimpan mukena dan yang lainnya. "Aku tidak berani ambil, Nek.""Baiklah Neng, Nenek ambilkan."Nenek yang ternyata sudah sangat tua itu menyodorkan sepasang mukena berwarna putih. Aku senang sekali menerimanya dan segera memakainya.Aku menjadi makmum shalat subuh bersama si nenek, dalam hati aku bertanya-tanya mengapa tidak ada yang lain selain di shaf depan yang kulihat ada emp
Aku hanya bisa berdoa dan berdoa saja supaya Abid, mbak Alya atau siapa saja segera menjemputku di sini. Pak kepala desa menawarkan padaku untuk mengantarku tapi aku takut jika nanti berselisih jalan dengan Abid yang menjemputku. Aku percaya Bu bidan akan segera mengabarkan keadaanku di sini pada nomor yang sudah kusimpan di kontak teleponnya."Kau sudah gelisah sekali, Nak. Bagaimana kalau Bapak mengantarmu sekarang?""Bukan aku tidak mau, Pak. Aku juga ingin segera pulang tapi takutnya Bu Bidan sudah mengabari dan suamiku sudah berangkat menjemput, nanti kita malah saling mencari. Terlebih lagi Bapak akan kehilangan banyak waktu untuk mengantarku, padahal tenaga Bapak sangat di perlukan di sini ""Nak, tolong jangan bicara seperti itu. Tugas bisa di tunda terlebih dahulu, kami ikhlas membantumu.""Maafkan aku, Bu. Baiklah jika dalam satu malam ini suamiku belum datang, besok kita pergi saja. Bapak bisa mengantarku pulang."Akhirnya sepasang suami istri baik hati itu tersenyum padaku
Aku memeluk tubuh mungil Afnan. Beberapa hari berpisah darinya membuatku sangat sedih, memandang wajahnya yang tampak sekali memendam kerinduannya padaku."Afnan sedih?""Iya, Bu. Aku takut ibu tidak kembali. Selanjutnya aku harus hidup bersama dengan siapa? Ayah sudah pergi dan ibu juga menghilang, aku takut sekali, Bu.""Tenanglah Sayang, Ibu sudah kembali dan tak akan pernah meninggalkanmu lagi. Dan kau tahu Afnan, sebentar lagi kau akan punya tenan bermain, teman kecil.""Siapa?"Aku menunjuk ke arah perutku.""Di sini ada calon adikmu, dia akan menemanimu bermain. Kau mau adik perempuan atau kaki-laki?"Afnan tersenyum, deretan giginya langsung terlihat. "Benarkah, Bu. Aku akan punya seorang adik seperti mas Bahir.""Iya, berarti kau juga mau adik perempuan seperti Bella?""Tapi kalau perempuan nanti cengeng, suka nangis seperti mbak Bella. Aku suka adik laki-laki. Nanti aku akan ajak dia main bola dan naik sepeda, Bu.""Baiklah, baiklah. Laki-laki atau perempuan akan sama saja,
"Mbak Aruna?""Iya, ini aku. Kenapa?Aku masuk ke rumah Antika dan duduk di kursinya tanpa dipersilakan.Aku merasa muak mendengar kabar yang kudapat dari mas Yusuf. Antika benar-benar tidak punya toleransi sedikit pun terhadap mas Bara, dia menuntut sepuluh tahun penjara dan itu sudah di kabulkan. Terhitung dari masa tahanan. Aku tahu Antika memang sudah hampir meregang nyawa karena mas Bara tapi semua juga karena kesalahannya. Antika sama sekali tidak peduli bahkan dia sudah menipu mama Resti.Mama Resti mengurungkan niatnya untuk mencarikan pengacara handal untuk mas Bara dengan perhitungan biaya yang akan di keluarkan lebih baik di berikan pada Antika untuk perdamaian. Awalnya Antika menyetujui dan mama membayarkan sejumlah uang secara kontan pada Antika saat perjanjian itu. Ternyata setelah sampai dimana hari mama Resti mengharap Antika untuk menepati janji ternyata hanya penyesalan yang di dapat oleh pihak mas Bara. Antika sudah menipu mereka, uang sudah di terima tapi janji di
Aku belum punya keberanian untuk menemui mama, meski hatiku kian bimbang memikirkannya. Pasti mama sangat membutuhkan teman untuk berbagi perasaan. Aku masih bingung bagaimana aku menyikapi masalah mantan mertuaku itu. Di relung hatiku yang terdalam sungguh tak ada lagi dendam atau kebencian padanya, seiring waktu aku sudah melupakan perilaku buruknya padaku. Malah sekarang aku begitu merasa iba pada mama dan papa."Mbak Aruna ... Mbak Aruna benar."Antika mendatangiku dengan sangat tergesa-gesa sekali. Sepertinya sesuatu telah terjadi padanya.Aku memegang kedua lengannya dan mengajaknya duduk. Saat itu aku sedang berjalan-jalan di sekitar komplek rumahku. Sekedar untuk untuk menghibur diri dan menghabiskan waktu bersama Afnan."Ibu? Ibu Antika?"Antika mengurungkan niatnya untuk mengatakan sesuatu padaku, anakku mendekatinya dan memandangnya penuh harap. Dia pasti merindukan Antika yang sudah lama tidak ditemuinya."Iya, Sayang. Ini ibu Antika. Apa kabarmu?"Antika mengangkat tubuh
"Papa ...""Eh, Aruna. Kamu ke sini? Ke mana saja kamu selama ini?"Hari ini aku ingin sekali menemui mama Resti tapi malah Papa yang berada di rumah. Aku memang tidak menelepon mama terlebih dahulu, maksudku datang langsung begitu saja. Papa juga terlihat heran dengan kedatanganku yang mendadak."Aku di rumah, Pa. Lagi agak kurang sehat saja."Aku bingung mau menjawab apa, akhirnya aku memilih sedikit memberikan jawaban yang mengada-ada."Ayo masuk."Papa mempersilakanku masuk. Aku merasa canggung dengan situasi ini. Memang aku sedikit kurang berkomunikasi dengan papa sejak dahulu. Aku bisa bebas bicara dengan mama saja."Mama dimana, Pa?"Tanyaku setelah aku sudah duduk dengan tenang."Mama sedang menjenguk Bara. Apa tidak bilang dulu tadi kalau mau ke sini?""Tidak, Pa.""Kamu ke sana saja Aruna. Sepertinya mama membutuhkanmu karena katanya ada beberapa hari ini nomormu tidak bisa dihubungi dan dia segan untuk menanyakanmu pada suamimu."Aduh, kenapa aku harus menemui mereka? Seben
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
"Apakah itu kewajibanku, Ayah? Apakah aku harus tinggal bersama Ayah?"Pertanyaan Afnan membuat aku tercekat."Aku ayahmu, Nak. Dan aku ingin sekali merawat dan membesarkanmu. Aku ingin mengurusmu sampai kau dewasa, sampai kau bisa meraih semua yang kau inginkan. Aku tahu kau disini tinggal bersama dengan ibumu. Aku yakin kau tidak kekurangan kasih sayang dari ayahmu. Dan kebahagiaanmu semakin lengkap saat hadirnya adik perempuanmu. Tapi lihatlah ayah, Nak. Aku juga ingin bersama dirimu. Ayah hanya punya Ibu Antika, Oma dan Opa. Ayah ingin ada anak kecil di rumah ayah. Ayah ingin ada yang meneruskan nama ayah kelak. Apa kau merasa keberatan atau ada yang melarangmu untuk ikut dengan ayahmu ini?"Mas Bara sudah memulainya, itu membuat hatiku kian teriris. Aku tidak tega menempatkan Afnan kecilku di posisi ini. Aku yakin dia sedang kebingungan untuk memberikan jawaban untuk ayahnya. Maafkan Ibu Afnan, ibu sudah menyeretmu ke dalam urusan orang dewasa yang seharusnya kau belum boleh menge
"Kenapa Ibu terus memelukku, apa ibu akan pergi meninggalkanku?"Tanya Afnan. "Ibu mau ke mana? Ibu yang takut jika kamu meninggalkan ibu.""Aku anak kecil, Bu. Aku mau ke mana? Kalau aku besar nanti mungkin aku akan meninggalkan ibu untuk pergi ke sekolah tinggi atau pergi bekerja. Kalau sekarang mana mungkin aku pergi Bu. Naik bus sendiri saja aku belum berani."Celoteh Afnan membuatku tersenyum tapi hanya di bibir, nyatanya terasa terluka di hati. Apakah Afnan akan mengucapkan itu saat mas Bara datang menjemputnya besok? Aku tidak berani berharap, mas Bara adalah ayahnya. Mungkin Afnan juga sedang mendamba untuk bisa dekat dekat dengan sosok ayahnya. Meski dia tak pernah mengatakan padaku tapi aku tahu Afnan juga sangat menyayangi ayahnya.Masih terngiang di telingaku kalimat Antika tadi pagi."Hari ini kami menjemput mas Bara, Mbak. Dan tunggu kabar selanjutnya. Kami akan segera datang untuk menjemput Afnan."Aku tidak menjawab Antika. Dan kemudian Antika memutuskan sambungan te
"Satu Minggu lagi aku pulang, Aruna."Kalimat yang seharusnya biasa saja di terima oleh telingaku demikian pun saat tersampaikan ke syaraf otakku. Tetapi tidak seperti yang kurasakan. Di dalam kalimat sederhana itu tersimpan ribuan pertanyaan, kemungkinan, harapan dan lain-lain dan itu berkecamuk jadi satu di dalam hatiku."Iya, Mas."Jawabku lemah."Kau sudah tahu maksudku bukan?""Iya, tahu.""Kau sudah bilang pada Afnan.""Belum."Aku menjawab dengan jujur pertanyaan mas Bara. Aku memang belum mengatakan apa pun terkait tentang permintaan mas Bara untuk membawa Afnan ke rumahnya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada Afnan. Ada kalanya aku ingin menyinggungkan masalah ini, menyisipkan sedikit saat kami mengobrol bersama tapi sungguh hati ini tidak tega sama sekali. Apa lagi saat kulihat betapa Afnan semakin menyayangi adiknya yang sudah pandai di ajaknya bermain bersama, terlebih saat kudengar untaian doa yang selalu di panjatkan Afnan saat sedang shalat di rumah. Tidak henti-
Pagi ini aku sudah tidak melihat Afnan di tempat tidurnya, hatiku berdebar. Mengapa sepagi ini dia sudah meninggalkan tempat tidurnya?Aku mencoba melihat kamar mandinya, juga sudah kosong tapi lantainya sudah basah dan suhu ruangannya terasa hangat, berarti Afnan sudah mandi pagi.Aku tidak memanggilnya tapi aku terus mencarinya. Sampai lah aku ke halaman depan, aku mengira dia ada janji dengan temannya untuk jalan lagi. Ternyata tidak ada. Sandal yang biasa dipakainya untuk ke luar rumah masih tergeletak di tempatnya. Aku kembali masuk. Terdengar sayup suara lantunan ayat suci Alquran. Siapa yang mengaji, Abid kah? Tentu bukan karena aku tahu Abid belum bangun dari tidurnya."Aamiin ..."Aku melihat Afnan mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya, dia mengakhiri bacaannya."Ya, Allah ... Semoga Ayah dan ibuku selalu Kau beri kesehatan, lindungi lah mereka selalu. Semoga mereka selalu menyayangiku, aku tidak ingin kehilangan cinta ayah dan Ibuku. Jika aku ada kesalahan, semoga m
Abid belum juga kembali. Dadaku terasa penuh sesak. Aku menatap kedua buah hatiku yang sedang terlelap. Wajah-wajah polos tanpa dosa. Haruskah nanti mereka hidup terpisah, apa yang akan aku katakan pada mereka kelak?Aku menghapus air mata yang mengalir begitu saja. Tidak seharusnya aku menangis lagi. Apa kurang cukup untukku bersedih selama ini?Aku bangkit, aku harus melakukan sesuatu sejak dini untuk Afnan. Afnan akan terpisah dariku, dia harus bisa melakukan apa pun tanpaku. Kembali aku meratap. Antara menerima dan melawan perasaan hatiku."Ayo Afnan, kau harus segera bangun. Jangan bermalas-malasan begitu. Saat kau sudah membuka mata, jangan sampai kau menghabiskan waktu dengan berbaring saja. Kau harus segera mengerjakan apa yang seharusnya kau kerjakan.""Tapi aku masih mengantuk, Bu.""Kau sudah bangun dan nanti malam lagi kau bisa tidur dengan waktu yang lebih lama. Kau harus makan dan bersiap ke tempat les.""Iya, Bu."Sebenarnya hatiku sangat sakit saat mengucapkan itu. Bias
Abid menggendong Amayra yang sepertinya mulai mengantuk, sebotol susu mengantarkan tidur Amayra dalam gendongan ayahnya.Aku enggan beranjak meninggalkan Afnan yang sedang bersama mas Bara. Detak jantungku seakan terus berpacu mengiringi obrolan demi obrolan ayah dan anak yang tak satu pun terlewatkan olehku. Aku tidak mau mas Bara mempengaruhi Afnan untuk ikut bersamanya. Sungguh aku tidak akan rela.Sejauh ini sudah banyak yang mereka obrolkan tetapi belum sampai pada kalimat permintaan mas Bara. Aku tidak tahu kenapa. Apa belum saat ini, karena mas Bara merasa masih harus meneruskan masa tahanannya terlebih dahulu. Aku tidak menanyakan kapan dia akan resmi ke luar. Aku membatasi komunikasiku seperti membatasi hubunganku dengannya atau keluarganya."Sudah kamu tidurkan?"Tanyaku pada Abid yang kembali tanpa membawa Amayra."Iya, sudah. Kenapa kau tidak ke belakang sama sekali.""Itu," jawabku sambil mengarahkan daguku pada Afnan yang sedang duduk di pangkuan ayahnya."Kenapa, Afnan t
"Oek ....oek ...."Tepatnya tujuh tahun yang lalu telingaku mendengar jerit tangis bayi yang kulahirkan dan hari ini untuk kedua kalinya aku mendengar jerit tangis itu kembali. Adik Afnan sudah menghirup udara bebas, tangisnya melengking memecah malam. Tepat jam tiga dini hari, bayi mungil berjenis kelamin perempuan hadir ke dunia ini dan menyandang status sebagai putri dari pasangan suami istri Abid dan Aruna.Tidak ada perasaan sedih dan duka nestapa sepeti waktu dulu, hanya ada rasa syukur dan bahagia yang tiada tara untuk kelahiran putri cantikku ini. Abid tidak meninggalkanku barang sedetik pun dari awal aku mulai merasakan kontraksi, dia selalu berada disisiku untuk selalu memberiku support.""Wati, jika bangun nanti bilang pada Afnan, adiknya sudah lahir, perempuan. Minta mang Arman untuk mengantarkan kalian ke rumah sakit ya?"Aku segera menghubungi Wati yang kutinggal di rumah karena harus menjaga Afnan. Aku mengajak Ibu untuk membantuku, ibunya Abid tidak bisa menemaniku kare
Aku hanya bisa menggigit bibir dan sesekali memejamkan mataku, semua terjadi karena pemandangan yang berada di depan mataku. Tingkah Selin membuatku ingin sekali melukis mukanya dengan ribuan s*ya*an. Di dalam dadaku terdengar gemuruh amarah yang saling bersahutan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Abid berusaha menghindari Selin, Abid tahu aku memperhatikannya dari tempatku ini. Tapi memang Selin yang sengaja bertingkah seperti *alang. Dari pintu masuk kulihat tangan Selin sudah bergelayut manja seperti Abid yang berjalan di sisinya itu adalah suami atau kekasihnya. Aku pun tahu dia sedang menebar pesonanya pada suamiku. "Ini tempat umum, tidak pantas kau seperti ini, Selin.""Ini masih termasuk wilayah pabrik kita. Apa salahnya, bukankah ini ibarat rumah kita sendiri.""Tapi apa kau tak malu, akan banyak yang berpikir negatif tentang kita. Kita ini rekan kerja dan aku adalah pria yang sudah beristri.""Sudah jadi hal yang biasa jika pengusaha muda sepertimu tidak c
Aku mengajak mama masuk, aku ingin segera bertemu mas Bara dan mengakhiri pertemuan hari ini. Aku juga tidak tahu kapan akan bisa bertemu kembali. Tapi yang jelas hari ini aku harus bertemu dengan mas Bara, mantan suamiku. Mas Bara tidak lagi berambut panjang, penampilannya sedikit rapi. Tapi badannya semakin kurus dan tatapannya begitu layu. Mas Bara tersenyum melihat kedatanganku."Apa kabar, Mas?""Seperti.yang kau lihat, bagaimana denganmu?""Sama, seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Aku ke sini karena ingin meminta maaf padamu, aku tidak bisa hadir di persidanganmu Mas. Aku sedang dalam masalah waktu itu.""Tidak apa-apa Aruna, semua sudah selesai.""Dan aku tidak bisa memberikan bantuan untukmu sedikitpun."Mas Bara berdecak, entah kesal entah menyesal. Aku melirik nama Resti yang duduk di sampingku sementara mas Bara ada di hadapanku."Sepertinya tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan mas, aku tadi sudah panjang lebar bercerita dengan Mama. Mama bisa menyambungnya de