“Hallo Bu Rania?”, sapa Pak Joko karena tak juga mendengar respon dari Rania di sebrang telpon.“Oh ya, maaf saya terlalu konsen mendalami keterangan bapak. Terima kasih sudah bersedia berbagi informasiya pak. Ini sangat berguna sekali untuk stabilitas perusahaan saya”, ucap Rania jujur.“tidak masalah, Bu, dengan senang hati”, jawab Pak Joko.Panggilan telpon diakhiri. Semua orang di ruangan itu terdiam beberapa detik hingga akhirnya Rania bersuara.“Jadi bagaimana? Semua sudah mendengar dengan jelas, tak ada yang ditutupi. Pak Aldi, ada yang ingin anda sampaikan atau klarifikasi? Pak Robert bagaimana menurut bapak?”, tanya Rania pada kedua orang itu sekaligus dengan posisi masih dengan kursi membelakangi.Hening tak ada jawaban, semua tampak berpikir. Robert tidak berani bicara untuk sekedar mengiyakan keputusan Rania. Aldi juga takut untuk membela diri, ia merasa pembelaannya tidak akan berguna mengingat sang nara sumber sudah berbicara dengan begitu gamblang.“Apakah kita masih p
“Berhenti bicara omong kosong kamu, jangan memaksa!”, hardik Robert. Aldi terkejut tapi dia memilih menahan emosi dan tidak menanggapi Robert. Dia fokus pada sang direktris yang akan menentukan hidupnya ke depan.Mendengar itu Rania hanya diam saja.“Saya mohon ibu Rania”, pinta Aldi dengan nada lemah. Hati Rania terenyuh mendengar nada memelas itu, Aldi mengucap namanya dengan intonasi berbeda kini. Sepuluh tahun yang lalu lelaki ini meneriaki namanya dengan kasar, menghardiknya, menghinanya mandul, menceraikan dan mengusirnya di depan selingkuhannya kala itu. Tanpa sadar dia mengusap perut bagian bawahnya, kista itu sudah lama menghilang dari rahimnya. Rania yang kala itu mengidap kista ovarium tetap dipaksa pergi meninggalkan rumah malam hari dalam keadaan hujan lebat. Rasa nyeri masih terasa di bawah sana saat pergi berjalan menembus hujan, tapi beberapa waktu kemudian tak lagi ia rasakan sakit apapun pada daerah kewanitaannya itu. Entah karena memang karena dipaksa kuat oleh kea
“Tolong bawa dia ke ruang kesehatan, beri dia obat-obatan yang cukup”, perintah Rania.Semua mulai bergerak mengikuti perintah Rania.Pintu ruangannya ditutup, ia tetap di dalam ruangan. Dipijitnya pelipis mata yang mulai terasa berdenyut. Rasanya Rania terlalu terbawa perasaan. Niat hati ingin bermain-main sejenak dengan emosi Aldi, ternyata dia sendiri yang termakan emosi hingga tak bisa menahan diri untuk terus bermain pintar sampai akhirnya si target jatuh pingsan. Rania memejamkan matanya, ia merasa lelah pikiran dan tubuh hari ini. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Sebelum pulang dia butuh sesuatu untuk bisa menahan rasa kantuk yang mungkin menderanya dalam perjalanan pulang ke rumah nanti. Rania bangkit dari tempat duduknya, baru saja membuka pintu dirinya dikejutkan dengan kehadiran Fahmi yang tiba-tiba ada di depannya.“Pa-pak Fahmi”, sapa Rania gugup karena tubuh mereka hampir bertabrakan.“Ma-maaf tidak mengetuk pintu dulu Ran”, ucap Fahmi tak kalah gugup.
Rania mengangguk pasrah. Sebetulnya dia punya sedikit niat untuk membantu Aldi tapi dia tak enak hati bila menerimanya bekerja langsung pada hari ini juga, dia perlu meminta izin pada Fahmi terlebih dahulu sebelum memberi persetujuan untuk penerimaan karyawan baru apalagi posisi yang Rania pikir cocok untuk Aldi ini sedang tidak kekurangan karyawan. Jadi perlu ada persetujua khusus sebelum mengajukan pada departemen kepegawaian.Heri menoleh ke arah Rania meminta persetujuan. Rania mengangguk dengan berat hati. Dia sesungguhnya tak tega membayangkan wajah mantan suaminya yang pulang ke rumah dengan tangan kosong setelah dipermalukan seperti tadi. Walau Rania tidak berniat mempermalukan Aldi, ia hanya ingin memberi pelajaran agar Aldi tidak sombong dan hidup dengan penuh kejujuran, tetapi mungkin dampak psikologis yang dirasakan Aldi begitu berat karena ia terbiasa hidup dalam kepura-puraan dan gila hormat.Menilik ke belakang, apalah artinya konfrontasi virtual yang Rania lakukan tadi
Aldi berjalan gontai ke luar ruangan itu, entah bagaimana dia akan pulang ke rumah, jam sudah menunjukkan angka 22.00, hari sudah cukup malam walau tak selarut malam waktu sepuluh tahun yang lalu ia mengusir Rania malam itu, yang sudah hampir mendekati jam 24.00. Saat tiba di lobby lantai bawah gedung saat dia akan keluar, tiba-tiba hujan deras mengguyur kota Jakarta. Tak bisa dielakkan lagi semua ini mengingatkan Aldi pada Rania, ya Tuhan jahat sekali aku waktu itu pada Rania, apakah semua yang terjadi di hidupku ini merupakan balasan atas kejahatan sikapku padanya dulu? Maafkan aku Rania, ampuni aku ya Allah. Tanpa bisa dicegah lagi air matanya jatuh tak terkira di pipinya yang tampak memucat. Sungguh dia merasa semakin lemas, tungkai kakinya juga terasa sulit berpijak, kepalanya terasa melayang. Hatinya juga terasa nyeri, mungkin terlalu dalam didera rasa malu dan bersalah pada Rania membuatnya kehilangan keseimbangan untuk berdiri tegak.Aldi terjatuh tapi pikirannya masih sadar.
Rania sengaja mengosongkan jadwal kerjanya sore ini. Dia sudah meminta Heri mengatur waktu agar rapat diadakan sampai siang saja, karena dia akan pulang tepat pukul lima sore, lalu dari kantor akan langsung menuju rumah Fahmi. Boleh dengan beriringan mobil masing-masing atau langsung ketemu di rumah Fahmi saja. Nanti dia akan meminta sang atasan untuk membagikan lokasi rumahnya. Begitu pikir Rania.Setelah jam makan siang usai, Fahmi menemui Rania di ruangannya.“Bagaimana Ran?”, Fahmi menagih janjinya.“Baik Pak, inshaAllah saya akan datang. Jam 5.30 sore saya berangkat dari kantor menuju rumah Pak Fahmi, mohon dishare saja lokasinya ya Pak”, jawab Rania dengan senyum tipisnya.Fahmi memandang Rania sejenak sebelum akhirnya bicara.“Rania, biar saya jemput saja kamu di rumah. Tidak usah terlalu formil, kita akan makan malam dengan ibu saya, bukan ketemu calon klient”, balas Fahmi sekenanya. Rania tertawa kecil diikuti senyuman juga di wajah Fahmi. Keduanya merasakan hangat di hati ma
Aldi dan Angela harus menunggu sekitar empat orang pasien yang masih mengantri, sementara satu orang pasien sedang dilayani oleh dokter umum.Aldi menunggu dengan gelisah. Kuatir tiba-tiba Angela hilang nafas, apalagi suhu badannya semakin panas.“Mbak, apakah giliran kami masih lama? Badan istri saya sudah panas dan menggigil ini”, tanya Aldi pada staf administrasi puskesmas. Dia tak lagi bisa menyembunyikan kepanikannya.Wanita muda yang ditanya Aldi itu mulai mengecek tekanan darah dan suhu badan Angela, ia sedikit terkejut karena suhu badannya panas sekali. Kemudian dia mengecek sejenak layar komputernya lalu masuk ke ruang pemeriksaan dokter. Tak lama ia keluar lagi menemui Aldi dan mengatakan kalau sisa pasien sebetulnya masih tiga orang lagi, tapi mempertimbangkan kondisi Angela yang buruk maka Aldi diperbolehkan masuk untuk mendahului dua orang pasien lain.“Tunggu setelah pasien ini keluar ya Pak, Setelahnya istri bapak bisa langsung diperiksa”, terang wanita itu.“Baik, Mbak
“Ya, suster”, Aldi menghampiri.“Apakah bapak akan segera mengurus BPJS atau bagaimana? Pasien bisa kita bantu tangani dulu jika ada niat baik dari keluarga untuk mengurus administrasi dengan baik. Kebetulan dokter Wina bersedia menjaminkan sementara”, terang petugas pada Aldi.“I-iya baik, sus, akan saya urus segera”, jawab Aldi tak enak, sebetulnya tadi dia sempat ragu mau mengurusnya, tapi diberi kelonggaran ini membuatnya yakin untuk mengaktifkan kembali kepesertaan dirinya dan Angela, ia khawatir juga jika sewaktu-waktu membutuhkan perawatan intensif akibat penyakit kelamin yang dideritanya, yang semakin lama dirasa semakin memburuk kondisinya. Teringat dokter di puskesmas, Aldi merasa tersanjung, ternyata masih ada orang baik yang mau menolongnya. Lucunya ia merasa tersanjung, bukan terharu. Parahnya lagi, Aldi merasa cukup percaya diri jika dokter Wina menolong karena menyukainya, padahal hanya naluri kemanusiaannya sebagai dokter sajalah yang membuatnya bersedia membantu, apal
Rania benar-benar merasa tak nyaman satu kantor dengan Aldi. Untungnya memang setelah menikah dengan Fahmi nanti dia berencana untuk resign dan mencari pekerjaan lain demi menjaga profesionalitas keduanya. Karena Rania dan Fahmi sama-sama memegang jabatan tinggi di perusahaan itu.Saat tak sengaja akan berpapasan, Rania selalu berputar arah demi menghindari pertemuan dengan mantan suaminya itu. Sungguh ia tak ingin melihat Aldi lagi, walau seluruh perasaan cinta dan benci mungkin sudah hilang, tapi rasa trauma akan kesakitan yang pernah Aldi tumpahkan padanya sangat membekas di hati wanita itu. Meskipun ia telah memaafkan Aldi dan Angela tapi ia tak ingin benar-benar memiliki urusan dengannya lagi.Rapat bulanan yang rutin diadakan di divisi penjualan yang dipimpin Rania membuatnya tak bisa sepenuhnya menarik diri dari Aldi. Karena dirinya merupakan orang nomor satu di divisi itu yang mengharuskannya memimpin rapat dan memastikan strategi tim penjualan berjalan sesuai target perusahaa
Beberapa hari kemudian di kantor.Pagi itu Rania tengah berjalan ke arah pantry untuk membuat teh manis hangat favoritnya saat langkahnya tiba-tiba terhenti karena tanpa sengaja ia melihat Aldi lewat di depannya. Rania hampir saja oleng jika tidak dengan cepat menguasai keadaan. Aldi tengah diajak berkenalan dengan departemen-departemen lain di kantor oleh staf HRD.Dengan cepat Rania berbalik badan demi menghindari pertemuan itu, dia ingin mendengar langsung dari Fahmi sendiri apa yang sebenarnya terjadi.Rania membatalkan keinginannya meminum teh di pagi hari ini, dia memilih melanjutkan langkahnya lurus ke depan ke arah ruangan Fahmi. "Pagi Rona", sapa Rania sambil tersenyum."Pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?", jawab sekretaris Fahmi sopan sambil berdiri membetulkan rok pendeknya. Rania hanya tersenyum melihatnya."Apa jadwal bapak kosong sekarang? atau beliau ada meeting pagi ini?", tanya Rania datar."Saat ini kosong, Bu. Tapi setengah jam lagi ada meeting dengan komisaris PT
Senin pagi di kantor, pintu ruangan Fahmi diketuk."Masuk", kata Fahmi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar notebook.Aldi masuk bersama sekretaris Fahmi."Ini Pak Aldi, Pak, ada yang bisa saya bantu lagi?", tanya Rona, sang sekretaris dengan sopan."Tidak perlu, terima kasih, Ron", jawab Fahmi. Janda satu anak itu mengangguk lalu meninggalkan ruangan.Fahmi dan Aldi saling bersalaman lalu mempersilahkan Aldi duduk di sofa untuk menunggu."Tunggu sebentar ya Aldi, ada yang harus saya selesaikan dahulu", terang Fahmi.Aldi menurut. Ia mengitari pandangannya ke sekitar ruangan, betapa besar dan mewahnya ruangan ini, Aldi membatin. Dirinya saja bahkan belum sempat sampai di posisi ini dulu, tapi sudah sombong sekali dengan mantan istrinya waktu itu. Sekarang, dunia berputar. Orang yang akan ia mintai pekerjaan adalan calon suami dari mantan istri yang dibuangnya. Aldi memejamkan matanya berusaha mengusir galau yang melanda. Duh, aku harus fokus, jangan memikirkan Rania terus, Aldi b
Rania terkejut."Aldi! itu mas Aldi", tunjuk Rania spontan ke arah pintu pagar rumahnya. Fahmi ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Rania. Ia bergegas menghampiri pagar dengan langkah tergesa. Rania mengikutinya di belakang."Untuk apa dia datang kesini, mas? Apa mas mengundangnya datang?", tanya Rania sedikit panik, ia memandang Fahmi dengan bingung, begitu pun Fahmi menatap Rania dengan kebingungan."Apa yang sedang kamu pikirkan, Rania? Disini tak ada siapa-siapa, tidak ada Aldi", terang Fahmi."Nggak mungkin, mas, tadi aku melihat dengan jelas dia ada disini", balas Rania dengan nada sedikit meninggi."Aku tidak mengundangnya, Rania. Lagian buat apa juga aku mengundang dia?", Fahmi balik bertanya. Rania tak menjawab. Ia pun bingung.Pak RT yang mengikuti Rania dan Fahmi sejak tadi juga berada di depan pagar rumah Rania memperhatikan sekeliling, dia tak menemukan siapa-siapa disini, apalagi Aldi yang dimaksud Rania. Rasanya tak masuk akal jika Aldi masih mempunyai muka bertemu Rania.
“Hah? Jadi Aldi kena penyakit kelamin juga?”, tanya Rania kaget.Fahmi mengangguk.“Astagfirullah!", ucap Rania sambil menutup mulut dengan tangannya. Fahmi hanya diam memperhatikan Rania yang tak dapat menyembunyikan kesedihan dan rasa kagetnya."Aku sama sekali tak menyangka Aldi dan Angela bisa terkena penyakit mematikan itu, mas. Aku sendiri bahkan tak pernah terpikir untuk mendoakan kejelekkan bagi mereka. Aku sungguh ikut prihatin dengan keadaan yang menimpa mereka”, ucap Rania sunguh-sungguh . Ternyata memang hanya belum usai saja pembalasan Tuhan kepada mantan suaminya itu, Rania membatin dengan sedih. Sejujurnya ia juga tak tega membayangkan kehidupan Aldi nanti jika terus menerus digerogoti penyakit seperti itu, tapi Allah yang Maha Lebih Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Fahmi mengangguk mengerti. Ia pun tahu persis seperti apa sifat Rania, wanita itu tak akan mampu mengucap doa jelek sekalipun kepada orang yang mungkin pernah menghancurkan dan menyakitinya.“Semoga A
"Aku benar-benar sayang sama kamu, jangan pernah kamu ragukan itu", ucap Fahmi lembut. Ia menatap wanita di hadapannya dengan rasa sayang yang teramat dalam.Ia tak punya alasan untuk mendebat Fahmi. Ia hanya merasa sangat melankolis saat dihadapkan pada dua orang lelaki yang kini ada di hidupnya, yang satu sangat ia benci, yang satu sangat ia sayang.“Maaf…”, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rania.Fahmi tersenyum mengangguk lalu mengajak Rania kembali ke ruangan Angela.Di ujung jalan, Aldi melihat kejadian itu dengan sedih, ia mendengar semua perkataan Fahmi dan ia merasa cemburu. Ya, walau kecemburuannya sama sekali tidak berdasar, tapi penyesalan menyeruak ke dasar hatinya karena telah menyia-nyiakan wanita sebaik Rania. Aku benar-benar bersalah sama kamu, Rania, kamu terlalu baik buat aku makanya Allah memisahkan kita, ucap Aldi dalam hati. Ia pun berbalik arah untuk segera kembali ke ruangan dimana istrinya berada. Ia tak ingin Rania dan Fahmi mengetahui bahwa dirinya mend
Pintu ruangan diketuk pelan, Rania dan Fahmi masuk ke dalam dengan raut muka penyesalan, apalagi Rania yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya menyaksikan kepergian Angela secepat itu setelah berbicara panjang lebar kemarin. Rania bersyukur telah memberitahu Angela bahwa ia telah memaafkan segala kesalahan yang pernah doperbuat Angela padanya. Fahmi menghampiri Aldi sementara Rania membuka kain penutup wajah Angela, dadanya mulai terasa sesak menyaksikan semua yang menimpa wanita perebut suaminya dulu, sungguh ia tak mengira begini akhir cerita hidup wanita yang dulu menghina dan mencemooh dirinya. Air mata membasahi pipi Rania, perlahan ia menghapusnya. Fahmi dan Aldi menghampiri Rania. Aldi menunduk melihat Rania, ia seperti tak sanggup menatap wajah teduh mantan istrinya. Betapa banyaknya dosa yang telah dia lakukan pada Rania, menghina dan mengusirnya tanpa menyadari bahwa Allah tak pernah tidur menyaksikan perbuatan hamba-hamba-Nya yang lewat batas dan lupa diri.“Rania...” ra
Aldi menoleh ke arah Rania dan menatapnya sekian detik, entah mengapa setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rania terasa sangat indah saat ini untuk Aldi. Meskipun kalimat itu adalah bentuk teguran nyata untuk dirinya, bahkan masih tersirat kebencian di sorot matanya, tapi Aldi cukup lega karena setidaknya Rania masih mau menatapnya saat berbicara tadi.Fahmi berdehem untuk memecah kesunyian yang tercipta beberapa detik diantara mereka bertiga."Hmm... kalau begitu kami pamit dulu. Semoga istri kamu lekas sadar dan pulih. Kalau ada kemajuan ataupun penurunan kondisi, bisa hubungi saya. Rania butuh istirahat, kasihan dari kemarin dia sibuk bolak balik ke rumah sakit, besuk ibu saya juga. Jadi jangan sungkan menghubungi saya. ", Fahmi menyerahkan kartu nama miliknya ke depan Aldi.Aldi menerimanya dengan tatapan tak enak."Baik pak Fahmi, terima kasih", jawab Aldi.Rania dan Fahmi sudah meninggalkan kamar rawat Angela, mereka pulang setelah menjenguk nyonya Lastri di ruang perawatan da
"Jangan membuat keributan disini, ingat ini rumah sakit!", seru Rania dengan penekanan.Fahmi memandang tajam ke arah Aldi."Jangan jadi laki-laki pengecut, saya paling ngga suka lelaki kasar yang beraninya hanya sama perempuan. Kamu jangan pernah membangunkan macan tidur, saya disini untuk membantu kamu dan Angela, dan jelas itu semua karena Rania. Jadi kalau kamu memang tidak mau istri dan bayi kamu selamat, lebih baik bilang dari sekarang, jangan buang waktu saya dan Rania! Saya akan menarik kembali uang jaminan saya!", Fahmi memperingatkan Aldi dengan serius, raut mukanya memancarkan kemarahan yang dalam. Aldi menunduk mendengarnya. Ia merasa tak enak mendengar penuturan Fahmi. Apalagi dia masih berharap Fahmi dapat membantunya mendapat pekerjaan di perusahaannya, kalau belum apa-apa Fahmi sudah kesal padanya, bagaimana dia bisa membantu aku nanti? Aldi bermonolog dalam hati. Ditengah keadaan Angela dan bayinya yang sakit, Aldi masih sanggup memikirkan dirinya sendiri.Rania menat