Share

2. Kartu Pos

Penulis: Laquisha Bay
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-02 14:46:41

Alice menutup kasar sampul tabloid miliknya. Kegiatan sederhana yang dia pikir akan mampu mengalihkan perhatiannya dari insiden dua hari lalu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berarti. Dia bahkan sudah mengurung diri di kamar sejak kemarin sore.

Setelah melihat kolom iklan dengan gambar cincin berlian dan gaun pengantin, dipenuhi renda ikal yang indah, suasana hati Alice langsung hancur berantakan. Belajar melepaskan sesuatu yang harus dilepaskan memang tidak mudah. Namun, dia toh sudah melakukannya.

"Dasar bajingan!" maki Alice sambil menyandarkan kepalanya di kosen jendela.

Penelope Cove, adik tiri Alice yang mengaku sedang hamil, kini telah menyematkan 'Walcott' sebagai nama belakangnya. Dean yang tidak punya pilihan lain, kecuali menikahi Penelope pun lebih banyak diam di sepanjang sisa acara. Mereka lalu meninggalkan Alice di depan altar seorang diri selepas pembacaan sumpah perkawinan selesai dilaksanakan. 

Alice yang merasa dipermalukan langsung mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja hari itu juga. Kalimat simpati dari rekan-rekannya pun terus mengalir melalui surel dan pesan singkat di ponselnya. Dalam kondisi rapuh dan patah hati Alice kemudian pulang ke rumah, menyingkirkan seluruh barang-barang milik Dean ke tempat yang seharusnya, dan mengubur dalam-dalam mimpi konyolnya untuk menikah.

Hari-hari sialku baru saja dimulai, pikir Alice muram. Dan pagi itu, langit yang mendung kembali meniupkan angin kencang ke seisi kota, mengundang hujan lebat turun sesudahnya. Cuaca yang Alice benci karena dia tidak suka temperatur dingin, tetapi London nyaris selalu dikelilingi oleh kelembapan sepanjang tahun. 

"Sempurna," erang Alice sambil memutar bola mata saat menyaksikan petir menyambar di kejauhan melalui jendela jungkit flatnya.

Di tengah-tengah rasa frustrasi yang mengepungnya, Alice lantas memutuskan untuk pergi menenangkan diri ke dapur. Membuat secangkir teh panas dan duduk di salah satu kursi tanpa lengan di dekat sudut perapian kuno yang tidak lagi aktif. Menyeruputnya sedikit demi sedikit sambil mengasihani diri sendiri.

Alice sudah merencanakan kepindahannya tadi malam. Setelah mempertimbangkan begitu banyak hal, dia yakin dia bisa melupakan sekaligus menyembuhkan luka-lukanya lebih cepat di kota lain. Jauh dari akses orang-orang yang pernah dikenalnya, menata hidup dari awal lagi, mungkin rasanya akan sama seperti membuka lembar baru di halaman pertama sebuah buku dan Aberdeen akan jadi tempat pelarian diri yang tepat bagi Alice.

Seiring dengan hujan yang mulai reda dan cangkir tehnya yang sudah kosong, Alice lalu bergegas kembali ke dalam untuk mengepak koper. Saat akan melangkah melewati kulkas, selembar kartu pos dari sang bibi yang ditempelnya di sana mendadak menarik minat Alice lebih dari biasanya. Dia memutar tubuhnya, menarik pin magnet yang menahan benda itu, dan membaca ulang isi surat bibinya.

"Selamat atas pernikahanku... selai murbei... punya dua ekor kucing baru..." Alice menggumamkan beberapa poin penting di dalamnya.

Mata Alice bergerak ke arah kanan dengan cepat, mengecek setiap kalimat yang dia pikir bisa jadi terlewatkan olehnya, hingga mata sembabnya kemudian menyipit dan menemukan yang dia cari di baris paling akhir. Alice baru saja membuat perubahan besar untuk seluruh rencananya. Aku akan tinggal di Birmingham, putusnya mantap.

"Teman bibi menawarkan pekerjaan sebagai copy editor di sana. Bukankah itu permulaan yang baik?" bisik Alice yang diam-diam merasa lega karena satu masalahnya sudah terselesaikan.

Alice lalu melipat kartu pos dan menyisipkannya di kantong piamanya. Berniat membalas surat Bibi Clementine yang menolak segala bentuk alat komunikasi modern yang jauh lebih praktis seperti telepon seluler. Alice dengan sabar menulis setiap huruf, membubuhkan salam sayang, dan membungkusnya dengan amplop yang disegel menggunakan lilin.

"Kadang-kadang aku merasa aku hidup di abad delapan belas. Siapa yang masih mengirim surat melalui kantor pos zaman sekarang?" gerutunya sambil menghela napas dan meletakkan amplop itu ke dalam laci untuk dikirim esok pagi.

Dan ketika Alice tiba di Birmingham lusa, hujan ringan turun mengguyur kota. Setelah keluar dari taksi yang membawanya pergi ke area Pershore Road, salah satu roda koper Alice rusak sebelum sampai di flat yang dia tuju, dan kesialannya tidak cukup berhenti hanya di situ. Tas totenya, yang dia gantung di dekat koper, dijambret oleh dua orang pria tidak dikenal.

"Apa yang kalian—tidak! Tidak! Copet!" teriak Alice yang syok.

Para kriminal itu langsung berlari ke arah persimpangan jalan raya dan membaur bersama kerumunan pejalan kaki yang melintas di sepanjang trotoar. Alice berusaha mengejar mereka, tetapi dengan kondisi koper yang rodanya tidak lengkap usahanya jelas tidak sepadan. Alice yang panik spontan menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan lalu lintas yang padat sore itu.

Suara klakson dari sebuah mobil sedan yang tengah melaju di atas kecepatan rata-rata lantas datang dari sisi kanan Alice. Sadar dengan kecerobohannya, kesiap Alice sontak mengudara, dan peristiwa tersebut mendadak membuat tubuhnya membeku di tempat. Alice memejamkan mata, mengira akan membuka matanya di atas ranjang crank rumah sakit atau bahkan tidak akan pernah bangun sama sekali, kemungkinan paling buruk yang bisa saja menimpanya.

"Kau! Apa kau sudah gila?" Pemilik kendaraan itu meneriaki Alice dari balik kaca kemudi yang diturunkan, kepalanya mendongak miring keluar, seorang pria dengan desibel suara yang sanggup menulikan kedua telinga Alice detik itu juga.

Keributan di antara mereka mulai menarik perhatian orang-orang sekitar, tetapi tidak ada yang repot-repot melibatkan diri. Mulut Alice terasa kering sekarang. Kopernya lepas dari genggaman dan jatuh ke atas permukaan aspal yang basah. Aku masih hidup, pikirnya.

"Apa kau sadar bahwa kau tidak hanya membahayakan dirimu sendiri? Kau juga bisa membuat pengguna jalan yang lain celaka. Apa yang akan terjadi bila aku gagal menginjak rem tepat pada waktunya?" Pengendara itu masih mengomeli Alice, suaranya parau, sarat dengan emosi.

Mata Alice terbuka perlahan. Mengamati pria yang baru saja berteriak padanya. Seseorang yang tidak asing. Seseorang yang pernah berbagi masa lalu bersamanya. Namun, sosok itu menghilang tanpa kabar dua tahun yang lalu.

Rasa gugup merayap ke dada Alice. Kedua lututnya yang gemetar membuat tubuh Alice merosot ke bawah dan dia jatuh pingsan di tengah-tengah hujan yang kian lama kian lebat. Sebelum kesadaran Alice hilang sepenuhnya, dia sempat mendengar pria itu memaki dengan aksen Inggris-nya yang sempurna dan merasakan punggungnya terangkat ke atas oleh perubahan gravitasi.

Ada sepasang lengan kokoh yang mendekap tubuh Alice dan bau samar yang anehnya juga familier baginya. Aromanya seperti musk dan rempah, sedikit tajam, perpaduan khas antara jejak maskulin dan testosteron. Alice yakin dia tidak akan salah mengenali sebab hormon dalam tubuhnya memberi reaksi yang mengejutkan bahkan untuk dirinya sendiri.

"Apa yang harus kukatakan padamu nanti, Alice Harper? Kaukah yang menemukanku atau justru akulah yang menemukanmu?" bisiknya lalu merebahkan tubuh Alice di belakang kursi kemudi.

***

Bab terkait

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   3. Sihir dan Ciuman

    "Aku minta dua helai handuk bersih dan obat untuk luka lecet. Bawa ke lantai atas." Dastan melirik pada Augusta, pengurus rumah tangganya, wanita paruh baya keturunan Nigeria itu mengangguk cepat dan menutup pintu depan dengan buru-buru.Augusta langsung bergegas pergi ke dapur dan mengambil kotak obat. Pelayan itu kemudian mengantarkan semua yang diperlukan Dastan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar dengan sopan, menaruh barang-barang yang majikannya minta di atas nakas, dan keluar tanpa menanyakan identitas wanita yang dia pikir sedang tidur dalam gendongan Dastan.Setelah bunyi klik dari pintu kamar terdengar di belakangnya, Dastan lalu membaringkan Alice yang masih belum sadar di ranjang. Pakaian Alice basah dan Dastan tahu dia harus segera menggantinya. Alice benci suhu dingin, kenangnya."Sudah dua tahun dan itu waktu yang cukup lama, tetapi pesonamu masih sama seperti dahulu." Dastan berbisik di dekat bibir Alice, jemarinya menyentuh ujung rambut Alice yang lembut dan setenga

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-02
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   4. Obsesif

    "Itu tidak akan terjadi." Alice sadar suaranya serak, tetapi dia tidak peduli."Kau salah. Jika aku ingin itu terjadi, maka pasti akan terjadi." Nada Dastan merendah berbahaya."Dastan—""Ya, Alice. Panggil aku. Panggil namaku." Dastan kembali menyeringai dan ekspresi pria itu membuat Alice takut.Bukan karena wajah Dastan yang menawan. Bukan juga karena senyumnya yang meremehkan. Namun, Alice tahu Dastan akan mendapatkan apa pun yang dia mau."Aku tidak sedang ingin bermain-main denganmu, Dastan Lancaster." Alice menyentak kedua tangannya dan menatap Dastan dengan sorot mata yang mengancam."Kau bahkan menyebutkan nama lengkapku. Haruskah aku merasa tersanjung karenanya?" goda Dastan yang lalu mendekatkan wajah mereka dan membuat Alice bisa merasakan napas Dastan yang menggelitik permukaan bibirnya. "Menjauhlah dariku," pinta Alice tegas, meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah kungkungan Dastan."Aku tidak bisa melakukannya, Alice. Aku tidak bisa menjauh darimu lagi. Setelah dua t

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-02
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   5. Bercinta Dengan Sang Presdir

    "Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice."Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir."Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja.""Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice."E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal."Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang."Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah."Well, itu masuk akal. Bagai

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-05
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   6. Bukan Pangeran Dari Negeri Dongeng

    Tubuh Alice gemetar. Dia mendongakkan kepala, membusungkan dada dengan gaya sensual, dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya terangkat ke atas, menggapai tiang ranjang, mencengkeramnya seperti sedang menarik tali pelana pada kuda.Celaka, pikir Alice. Mengira bahwa dia akan hancur berkeping-keping di bawah dominasi Dastan yang sudah lama tidak dirasakannya. Sensasinya bahkan jauh lebih hebat dan menggairahkan.Alice tidak pernah menggunakan morfin, tetapi Dastan akan jadi candu yang mematikan untuknya. Rasanya seperti menyuntikkan energi baru pada setiap pembuluh darah Alice. Kulit kontak kulit di antara mereka telah menciptakan badai besar yang berpusar pada dirinya, seolah-olah tubuh Dastan memiliki koneksi magnetis di setiap sentinya."Luar biasa, Alice. Kau cantik dan luar biasa dalam posisi ini," geram Dastan yang kembali bergerak melesakkan tubuhnya ke tubuh Alice.Daya tarik dan kepiawaian dalam bercinta merupakan kombinasi yang berbahaya. Dan Alice, yang sedang membu

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   7. Umpan Besar

    "Gin dan tonik, please. Dengan sebanyak mungkin jeruk nipis yang bisa kau campur di dalamnya." Suara ceria Penelope membuat bartender wanita itu mengerling sesaat sebelum meracik koktail yang baru saja dipesan oleh pelanggannya."Alkohol untuk makhluk rakus dalam perutmu? Kau bahkan sudah mengajarinya untuk jadi bajingan kecil di usia yang begitu muda," komentar Mortimer yang kemudian duduk di samping Penelope, mata birunya yang seperti warna bunga hydrangea mengedip jahil, menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh Penelope."Tidak ada bayi, Mortimer." Penelope memutar bola mata lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja bar."Demi darah anjing kudis. Tidak ada? Maksudmu, kau keguguran?"Penelope menggertakkan gigi. Satu tangannya meraih tas trendi miliknya dan memukul belakang kepala Mortimer dengan benda itu. "Kau dan mulut lancangmu akan menjerumuskanku dalam masalah besar.""Ma-maaf," bisik Mortimer sambil mengusap kepala, bibirnya yang dipolesi lipstik itu mengerucut, dan dua ja

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   8. Mantan Kekasih

    "Jadi, apa yang membuatmu pergi kemari? Kabur dari pernikahan paksa? Dicampakkan kekasihmu?" Dastan menyorongkan cangkir panas itu ke depan Alice."Terima kasih," gumam Alice sambil memperhatikan asap yang menggeliat naik dari mulut cangkir kopi miliknya."Anggap saja seperti rumahmu sendiri.""Kau masih suka basa-basi.""Aku menyebutnya etika. Sopan santun pada tamu, kau tahu." Dastan mengangkat cangkirnya lalu menyeruput dengan suara kecap yang berlebihan."Espresso tanpa gula. Dua sendok krimer. Kau masih Dastan yang sama?" komentar Alice yang juga mengangkat cangkirnya dan mencicipi kopi itu.Tawa Dastan meledak. Dia meletakkan cangkirnya ke tempat semula, lantas mengawasi Alice yang baru saja menjilat bibirnya dari sisa kopi. "Kita bahkan punya selera yang sama.""Aku tidak akan lupa tentang itu.""Aku juga," sahut Dastan menyunggingkan senyumnya.Alice menghindari pandangan Dastan. Kepalanya menunduk menatap sendok yang lengket dari bekas krimer. Kewarasannya mulai kembali, teta

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   9. Album Foto

    "Dia pindah?""Benar dan kami sudah melakukan semuanya sesuai perintah," sahut pria dengan hidung besar itu pada Penelope."Ha. Birmingham," dengusnya sinis lalu menaikkan pandangan dan menatap penuh selidik pada pria berambut gelap di depannya."Tidak ada barang berharga di dalam tas bututnya. Hanya album foto.""Album foto?" Mata Penelope menyipit mendengarnya.Pria itu mengangguk sebelum menyerahkan tas milik Alice yang berhasil mereka curi tiga hari lalu. Penelope membukanya dengan kasar. Mengeluarkan sebuah buku lama tanpa sampul yang ditempeli dua lembar foto keluarga, Ibu Alice, ibu tirinya, ada di sana.Wanita dengan gaun pendek itu sedang menggendong Alice yang masih kecil. Di sampingnya ada seorang pria berkumis tebal yang mendongak ke arah kamera dengan sorot mata angkuh. Mengenakan suspender dan rompi yang besarnya dua kali lipat dari ukuran tubuhnya."Aku tidak membutuhkan foto bodoh ini," desis Penelope yang menyingkirkannya dengan ekspresi jijik."Dia hanya membawa satu

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26
  • Bercinta Dengan Sang Presdir   10. Racun Serangga

    "Apa kau akan menawanku lebih lama lagi, Tuan Presdir?" sindir Alice di tengah-tengah aktivitas makan siang mereka.Bunyi denting garpu Dastan mengenai piringnya. Pandangannya lalu terangkat ke wajah Alice. "Kau harus makan lebih banyak, Sayang.""Berhentilah memanggilku begitu.""Begitu bagaimana?" Dastan menyuapkan ikan panggangnya ke mulut. Alice menggertakkan gigi dan menyingkirkan mangkuk supnya ke samping. Sengaja mengembuskan napas keras-keras. "Aku muak, Dastan. Kau sudah mengurungku tiga hari di sini.""Kau berlebihan, Sayang. Aku tidak mengurungmu. Aku memanjakanmu." Dastan mengedipkan satu matanya sebelum menusuk ikan panggangnya lagi dan menyuapkannya ke mulut."Aku tidak tertarik dengan kemewahan.""Aku tahu.""Kau tahu, tetapi kau tetap melakukannya." Alice kembali menggertakkan gigi.Dastan memindai penampilan Alice yang menurutnya fantastis siang itu. Kedua alisnya naik, lantas mengangguk sambil memamerkan seringainya. "Kau selalu cantik, Alice.""Gaun pendek lace dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-26

Bab terbaru

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   28. Misi

    "Sazerac, please. Dua." Mortimer mengaitkan kacamatanya di tengah-tengah dada, sementara Penelope sudah duduk tenang di salah satu kursi bar."Terlalu awal untuk mabuk," kata Penelope ketika Mortimer duduk di sampingnya."Tidak ada yang terlalu awal untuk bersenang-senang, Darling. Aku bisa menemanimu ke salon esok pagi. Kita akan selalu punya waktu seharian, kau tahu.""Kalau begitu, jemput aku di rumah ayahku." Penelope meletakkan tas jinjingnya di atas meja."Di rumah ayahmu?" Mortimer melongo, seolah-olah Penelope baru saja mengatakan sesuatu yang salah."Ya, memangnya ada apa?" Penelope mengabaikan nada sinis dalam suara Mortimer lalu mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati suasana bar yang sepi sebelum mengembalikan tatapannya pada Mortimer lagi."Kau serius?""Aku tidak punya pilihan." Penelope mengangkat bahu. "Aku baru saja bebas hari ini. Aku lelah. Aku belum tahu apartemen mana yang akan sesuai untuk kutinggali. Lagi pula, aku tidak ingin repot-repot mengurusi barang-b

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   27. Ratapan Sang Pengantin

    Penelope mengibaskan ujung rambutnya yang setengah ikal karena tidak disisir. Cat rambutnya sudah luntur dan dia butuh perawatan ekstra untuk mengembalikan penampilannya seperti semula. Sisa-sisa kecantikannya bahkan tidak memudar, meskipun Penelope berada di dalam penjara selama hampir dua bulan lamanya.Setelah melewati hari-hari pahit dan menyedihkan itu, Penelope kini bisa kembali menghirup udara bebas. Tidak lagi terkungkung atau mati membusuk seperti yang pernah dia pikir akan terjadi padanya. Dengan melalui proses persidangan yang begitu panjang, hakim akhirnya memutuskan bahwa Penelope tidak bersalah.Untuk pertama kalinya, Penelope merindukan London sebagai tempat kelahirannya. Perasaan itu terselip seperti sapu tangan yang lupa dia ambil di mesin cuci sebelum kemudian berubah jadi prioritas yang harus dinomorsatukan. Sesuatu yang dia ingat untuk selalu dibawa pergi."Aku tidak tahu aroma kebebasan bisa tercium semenyenangkan ini," katanya pada Mortimer yang sengaja berjalan

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   26. Di Atas Kertas

    "Alice?" Dastan memanggilnya lembut dan membuat Alice seketika menoleh. "Aku mencarimu. Ternyata kau di sini."Alice meletakkan gelasnya yang sudah kosong. Dia meraih botol cider lalu mengisinya lagi ke dalam gelas. "Aku tidak bisa tidur. Mungkin pemandangan Birmingham di malam hari dapat membuatku sedikit lebih tenang.""Hanya cider? Aku akan mengambilkan wiski untuk kita." "Tidak. Aku ingin tetap berpikiran jernih. Setidaknya untuk saat ini," tolak Alice yang langsung menenggak habis minumannya.Dastan mengambil posisi paling dekat dengan Alice. Duduk tepat di sampingnya dan menyilangkan kedua tangan di atas meja. "Orion baru saja pulang. Aku pergi melihatmu di kamar, tetapi kau tidak di sana.""Aku akan baik-baik saja. Aku hanya... sedikit syok. Ada begitu banyak hal yang telah terjadi." Alice menggoyangkan gelasnya."Segalanya terjadi di luar kendali. Apa Penelope sudah menghubungimu?" Dastan memperhatikan wajah muram Alice."Untuk apa dia melakukannya? Kami hanya saudari tiri."

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   25. Berita Duka

    Orion melemparkan jam tangan milik Benoit ke depan Dastan yang refleks mengangkat dua tangannya untuk menangkap. Siluet Alice lalu muncul di belakang Orion. Kehadiran mereka secara bersamaan mendadak membuat Dastan bertanya-tanya."Jam tangan?" Satu alis Dastan melengkung ke atas."Milik pria sinting yang hampir saja membunuh kekasihmu. Aku sudah membereskannya. Jam tangan itu kuambil sebagai kenang-kenangan." Orion mengangkat bahu sambil mencibir."Tunggu. Membunuh?""Dia dibayar oleh seseorang untuk melakukannya."Alice kemudian berjalan di antara mereka. Masih gemetar dan ketakutan, Alice menatap mata Dastan sesaat sebelum pria itu memeluknya erat hingga napasnya akan habis. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi pun tumpah.Setelah puas menangis dan menyalurkan emosinya pada Dastan, Alice baru bisa bicara. Menceritakan segalanya dengan detail tanpa melewatkan satu momen pun. Tentang Benoit yang tiba-tiba datang dari arah belakang dan menodongkan belati ke punggungnya sampai

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   24. Dalam Penjara

    "Dean sudah tiada, Penelope." Mortimer buru-buru masuk melepaskan mantel dan meletakkannya asal.Mortimer lalu duduk di samping Penelope yang masih belum beranjak dari posisinya. Dia bergelung seperti huruf C di sofa tiga dudukan di depan televisi. Hanya mendongakkan kepalanya sedikit saat Mortimer datang membawakan kabar buruk itu padanya."Aku melihat garis polisi, darah, dan kekacauan yang telah terjadi. Tempat itu berubah seperti mimpi buruk," katanya lagi.Kondisi Penelope tidak kalah kacaunya dengan kasus itu, berwajah sembab dan berantakan, dia menatap Mortimer lekat-lekat. Tidak biasanya dia lupa mengenakan maskara dan lipstik, pikir Penelope. Mortimer jelas ikut terguncang dengan kematian Dean yang bisa menyeret Penelope ke dalam penjara."Kau menyaksikan segalanya?" tanya Penelope memastikan."Aku menyelinap ke sana untuk mendapatkan informasi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka datang mencarimu." Mortimer menggeleng sedih."Tidak ada yang bisa kulakukan," bisiknya p

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   23. Kekacauan

    Penelope mengetuk berulang kali sambil menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu merapatkan jaket ke tubuhnya. Udara dingin membuat kedua kaki Penelope terasa membeku karena dia pergi dengan buru-buru dan lupa mengenakan mantel.Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Mortimer terperangah sesaat sebelum dia menyadari bahwa orang yang sedang berdiri di hadapannya adalah Penelope. "Penelope? Apa yang kau lakukan di sini?""Ka-kau harus menolongku, Mortimer. Aku tidak tahu... astaga, apa yang sudah kulakukan? Apa yang telah kuperbuat? Aku tidak sengaja... itu memang tidak sengaja. Sungguh, aku berani sumpah aku tidak bermaksud untuk membunuhnya." Penelope menangis, syok, dan dalam keadaan yang luar biasa gemetar itu merosot di depan apartemen Mortimer. "Ada apa, Penelope? Kau tampak kacau. Ayo, cepat masuk!" Mortimer menggandeng tangan Penelope, menyeretnya lebih kuat saat Penelope masih bergeming dalam ketakutannya, dan membuat Mortimer harus mendorong punggungnya ke dalam."Masuklah. Kau ha

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   22. Basah dan Erotis

    "Bagaimana perasaanmu?" Dastan mengaitkan rambut Alice ke salah satu telinganya."Mungkin aku adalah orang yang paling bahagia saat ini." Alice mendongak menatap wajah Dastan dari balik bulu matanya."Tunggu sampai kau mengenakan gaun pengantin yang kau suka. Kau pasti akan jadi mempelai yang memesona.""Kau membayangkanku dalam gaun pengantin?" Alice terkekeh."Aku lebih suka membayangkanmu tanpa baju, tetapi bisa melihat kau muncul sebagai pengantinku di altar merupakan mimpi paling menyenangkan yang akan terjadi. Melampaui semua obsesi yang pernah kuimpikan." Jari-jari Dastan menelusuri punggung Alice lalu turun hingga ke pinggulnya."Obsesi bisa menyesatkanmu, Dastan.""Aku memang sudah tersesat sejak lama," sahutnya mendaratkan kecupan di rahang Alice."Cincin ini," kata Alice mengangkat tangan kirinya mengamati cincin. "Kau sendiri yang memilihnya?""Apa seleraku terlalu kuno?" Dastan menyeringai malu."Kuno? Hal pertama yang terlintas dalam kepalaku ketika melihat cincin ini ad

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   21. Noda-Noda Kelam

    Alice tidak menyangka akan dilamar oleh orang yang dahulu pernah mengisi masa lalunya. Jika dia menerima cincin itu, maka Dastan bukan lagi sekadar jadi pria yang dia cintai. Namun, masa depannya juga.Keraguan tiba-tiba menghantam perasaan Alice. Dia mengamati pendar gemerlap yang akan menawarkan begitu banyak akses kemudahan hidup di depannya. Dalam hati bertanya-tanya keputusan yang tepat untuk menyikapi kegagalan dan keberhasilan kisah cintanya pada satu waktu.'Akankah pernikahan bahagia yang pernah kubayangkan bisa terwujud saat aku menerima cincin yang disodorkan Dastan padaku? Aku memang mencintainya, tetapi tidakkah penyatuan kami terlalu cepat?' renung Alice. Tanpa pikir panjang, tangan kiri Alice kemudian terulur dan Dastan menyambutnya. Dia menyematkan benda itu di jari manis Alice. "Kupegang janjimu, Tuan Presdir.""Terima kasih sudah menerimaku, Alice. Aku tidak akan mengecewakanmu." Dastan mengecup punggung tangan Alice yang dipasangi cincin lalu memeluk erat tubuh kek

  • Bercinta Dengan Sang Presdir   20. Cincin

    "Kekasih? Kau dan... kau dan Alice?" Wajah Dean berubah pucat, seolah-olah pria itu baru saja muntah dan kerongkongannya dipenuhi cairan asam lambungnya sendiri."Apa ada masalah, Tuan Walcott?" Dastan memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil menatap lurus ke dalam mata Dean.Sadar bahwa pertanyaan yang dilontarkannya tadi mulai memancing perhatian orang-orang, Dean lalu berdeham-deham dan menarik kerahnya. Melonggarkan ikatan dasi yang awalnya baik-baik saja kini justru terasa mengimpit jalan napasnya. "Ti-tidak ada. Maaf."Dastan mengangguk pada Dean sebelum mengalihkan tatapan pada Alice yang berdiri di samping bayang-bayang layar. Mengamati ekspresi gugup dalam wajah kekasihnya. "Tidak perlu khawatir. Aku selalu menjunjung profesionalitas. Jadi, Nona Harper," Dastan mengerling pada Alice. "Bisakah kau menampilkan presentasi di halaman pertama dan kedua untukku? Terima kasih." Rapat berjalan lancar. Persis seperti yang Dastan rencanakan. Kepuasan mengaliri pembuluh darahny

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status