“Bapak tidak bisa seenaknya memecat saya begitu. Itu masalah pribadi, dan tidak bisa disangkut pautkan dengan urusan kantor!” protesku tidak terima.Pasti ini ulah si tua bangka dan Velly. Mereka berkonspirasi untuk membuat Pak Haidar memecatku. Licik sekali cara mereka.“Saya tidak mau dikeluarkan begitu saja dari perusahaan ini. Memangnya Bapak lupa kalau saya juga ikut andil dalam memajukan perusahaan Bapak? Bahkan saya sampai rela menggadaikan kehormatan agar proposal yang diajukan disetujui oleh para kolega. Sekarang, hanya gara-gara masalah sepele seperti ini Bapak langsung memecat saya!” sungutku semakin mutap.“Maksud kamu apa, Imel. Menggadaikan kehormatan?” Dia menatap menyelidik.“Mmm... Maksud saya, sudah lah, Pak. Lupakan saja. Pokoknya saya tidak akan keluar dari perusahaan ini!” gagapku. Pake keceplosan lagi. Bisa bahaya kalau orang-orang kantor tahu aku bisa pernah dipakai oleh rekan bisnis Pak Haidar. Bisa dicap wanita tuna susila nanti.“Terserah kamu. Pokoknya saya
Mas, sebaiknya kita segera meresmikan hubungan kita. Aku nggak mau terus terusan seperti ini. Tinggal satu atap tanpa ikatan apa-apa, apalagi dalam perut aku ada calon anak kita. Kapan kamu nikahin aku?” tanyaku seusai kami menyelam ke samudera cinta yang begitu memabukan.“Secepatnya, Sayang. Kamu maunya kapan?”“Besok. Lusa. Pokoknya nggak mau lama-lama.”“Kan nggak bisa buru-buru begitu Sayang. Pernikahan aku sama Velly juga belum berakhir. Kamu sabar ya?”“Ya minimal nikah siri dulu gitu, Mas. Habis itu baru nikah resmi. Makanya kamu buruan gugat cerai istri kamu. Biar status kamu jelas dan kamu jadi milik aku seorang!”“Mas nggak mau mengeluarkan uang untuk mengurus perceraian Mas sama Velly. Biar dia sendiri yang ngeluarin uang. Lebih baik uangnya untuk kamu, Sayang.“Pokoknya kalau dia sudah melayangkan surat gugatan cerai, nggak usah ada mediasi-mediasi segala. Aku maunya kalian cepat pisah.”“Iya, Sayang.” Mas Bima mengecup puncak kepalaku.“Yasudah. Kalau begitu besok kita n
Malam kian beranjak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam, akan tetapi Mas Bima belum juga kembali ke rumah. Rasa khawatir pun terus menghinggapi sanubari, takut dia sedang membagi hati dengan perempuan lain di luar sana.Mengambil gawai yang sejak tadi tergeletak di atas nakas. Aku berusaha menghubungi suami berniat menanyakan keberadaannya sekarang, namun, nomornya malah sedang berada di luar jangkauan.Ke mana kamu, Mas. Aku benar-benar mengkhawatirkan kamu. Tolong jangan khianati kepercayaan aku.Karena sudah lelah menunggu, aku memilih merebahkan bobot di atas kasur sebab mata juga sudah mengantuk. Semoga saja ketika membuka mata Mas Bima sudah berbaring di sebelahku.Dering alarm pagi terdengar menjerit-jerit. Aku lekas menggeser tangan ke sebelah kiri tempat Mas Bima biasa berbaring, akan tetapi tidak ada siapa pun di tempat itu. Kosong.Gegas membuka mata, menyibak selimut lalu mengayunkan kaki ke luar dari kamar mencari keberadaan suami.Tetap sepi.
Saya usahakan. Tapi tidak sekarang. Kasih saya waktu tiga hari.” “Oke. Tapi apa jaminannya?”“Saya tidak punya jaminan apa-apa.” “Serahkan Kartu Tanda Penduduk kamu buat jaminan!” Dia menodongkan tangan. Mau tidak mau akhirnya kuberikan juga kartu itu, daripada urusannya bertambah panjang. “Ini nomor telepon saya. Kalau sudah ada uangnya kamu harus segera ganti.”Ingin rasanya menjerit sekeras-kerasnya. Apes banget. Sudah dipecat dari kerjaan. Suami semalam tidak pulang. Sekarang kena kasus seperti ini. Tuhan memang tidak pernah adil.Sambil mengutuki Velly aku kembali ke rumah, membanting bokong di atas kursi dengan perasaan dongkol luar biasa.Heran. Setiap berniat membalas perbuatan Velly pasti saja ada halangan. Apa sih istimewanya dia sampai selalu dilindungi oleh Tuhan.Sekarang, aku tidak tahu di mana dia tinggal. Masa iya harus menghampiri perempuan itu ke kantornya dan melabrak dia di depan umum?
Selama berjalan di lobi, laki-laki dengan perut buncit itu terus saja memeluk pinggangku, seolah takut aku akan pergi meninggalkan dia. Tidak akan, Pak. Sebab aku butuh uang Bapak.Masuk ke dalam kamar yang sudah dipesan, menutup pintu lalu berbincang-bincang sebentar sebelum akhirnya si hidung belang memulai aksinya.Uang lima juta pun masuk ke dalam rekening, ditambah tips dua ratus ribu karena katanya dia puas dengan pelayanan dariku.“Mel, ada temen saya mau pakai jasa kamu kira-kira kamu bersedia tidak?” tanya Pak Petra seraya mengenakan pakaiannya.“Asal bayarannya cocok saya mau dong, Pak. Lumayan buat makan sama jajan saya karena sekarang sudah tidak lagi bekerja,” jawabku.“Yasudah. Nanti saya kasih nomer kontak kamu ke dia.”“Siap, Pak? Kapan dia mau ketemu?” “Kalau sekarang bisa? Apa kamu sudah capek?”Aku menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya menyetujuinya. Sudah te
Dengan perasaan dongkol kembali memanggil tukang ojek yang kebetulan mangkal tidak jauh dari pos satpam. Kali ini tujuanku adalah kafe Mandala, ingin melabrak Velly di tempat itu supaya dia semakin malu nanti. Biar orang-orang juga tahu siapa sebenarnya perempuan itu. Cafe dalam keadaan sangat ramai ketika aku sampai. Semakin banyak pengunjung semakin seru, supaya lebih banyak yang menyaksikan pembalasanku terhadap si Velly. Sudah tidak sabar rasanya untuk mempermalukan dia di depan umum.Byur!Perempuan berkemeja merah muda itu terkesiap dan langsung beranjak dari duduknya ketika secara tiba-tiba kusiramkan segelas jus ke wajah sok cantiknya. Dia terlihat syok. Pun dengan si tua bangka."Apa-apaan ini, Imel? Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan wajah sudah memerah menahan malu. Itu belum seberapa, Velly. Kita belum ke intinya."Kembalikan uang yang kamu ambil, breng-sek. Jangan pernah menguasai harta orang lain, apalagi sam
“Kamu ngapain liatin dia begitu, Mas?” tanyaku sambil menarik tangan suami.“Dia cantik.” Kata itu meluncur begitu enteng dari mulut laki-laki di sebelahku.“Apa kamu bilang?!” Memukul pundak Mas Bima menggunakan tas.“E—enggak, Mel. Maksud Mas kamu lebih cantik daripada Velly!” ralatnya kemudian. Awas saja kalau berani macam-macam.POV Bima.Aku menatap kagum perempuan berambut panjang menjuntai di hadapanku. Dia sekarang terlihat begitu menawan, lebih cantik daripada Imelda.Tetapi, kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Mengapa setelah berpisah dia baru berubah?Dulu, ketika masih hidup bersama diriku, Velly selalu terlihat kusam juga bau bawang, tidak memedulikan penampilan. Sekarang dia malah berubah persis seperti bidadari.Beginikah rasanya menyesal paska kehilangan?Lagian perempuan itu. Saat bersuami bukannya rajin-rajin dandan dan perawatan, malah begitu cuek dengan pen
[Sayang. Mas boleh minta uang lima ratus ribu nggak? Ini temen ada yang nelepon katanya anaknya sakit. Dulu Mas punya hutang sama dia dan sekarang ditagih.] Send, Imelda.Terlihat dia sudah membaca pesan dariku dan sedang menulis pesan balasan. Semoga saja dia percaya. Kan selama ini juga Imelda memang mudah sekali dibohongi. Selalu mempercayai ucapan yang keluar dari mulut ini, padahal semua yang terucap hanya dusta semata.Lama-lama enak juga punya istri seperti dia. Bucin, mudah percaya karena saking cintanya.[Aku ada, sih, Mas. Kebetulan teman tadi langsung ngasih DP ke aku sebelum kerja. Tadinya mau aku pakai buat beli baju karena kebanyakan baju aku sudah kekecilan, tapi kalau Mas butuh gak apa-apa dipakai dulu. Kan Mas Bima itu prioritas aku.]Tuh, kan. Apa aku bilang. Imelda itu mudah percaya kepadaku, bahkan ketika pergi pulang pagi setelah bermalam di rumah Arzeti teman kuliahku dan aku beralaskan mencari kerja dia percaya begit
Sesuai permintaan suaminya, Velly merubah penampilan menjadi lebih tertutup. Ia mulai mengenakan hijab sebab Bahrudin selalu mengatakan kalau semua dosa yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan oleh suaminya di akhirat kelak, termasuk jika Bahrudin terus membiarkan istrinya tetap membuka aurat.Makanya ia secara perlahan mulai mengubah tampilan, bukan karena keterpaksaan tetapi karena kesadaran juga dorongan hati untuk menjadi wanita yang lebih baik lagi. Velly juga mulai berhenti bekerja dan lebih fokus mengurus anak-anak serta bunda sebagai tanda baktinya kepada sang suami.“Mbak, sebelumnya aku minta maaf, aku sama Mas Rofiq niatnya pengen cari rumah kontrakan yang baru. Nggak enak kalau terus menerus numpang sama Mbak,” kata Imelda ketika mereka sedang santai bersama di ruang keluarga.“Lho, memangnya kenapa kalau kalian tinggal di sini? Kami nggak pernah merasa keberatan kok. Lagian saya sama Dek Velly juga mau
“Mel, aku mohon. Aku janji akan berubah. Aku mencintai kamu. Aku menderita hidup bersama Arzerti.”“Silakan nikmati hidup kamu bersama dia. Bukan kah kamu yang memilih untuk hidup bersama dia dan sudah membuang aku?”“Aku khilaf waktu itu.”“Tetapi aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.”Bima mendesah kecewa mendengar jawaban dari Imelda. Padahal, tadinya dia berharap masih ada kesempatan kedua dari istrinya, sebab Bima merasa sudah tidak tahan dengan perlakuan Arzerti kepadanya dan ingin kembali merajut asa bersama Imelda serta putri mereka.“Tolong talak aku, Mas,” pinta Imelda lagi.“Tidak, Imel. Kalau kamu tidak mau kembali sama aku, aku juga tidak akan pernah menjatuhkan talak sama kamu. Biar status kamu menggantung terus dan tidak bisa menikah lagi dengan siapa pun!” jawab Bima dengan lugas.Imelda menggelengkan kepala sambil menangis. Melihat kejadian itu, Bahrudin segera menghubungi Arzeti, memberi
Hari ini Imelda sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik.Velly mengajak sang adik untuk tinggal di rumahnya, sebab takut terjadi sesuatu jika Imelda tinggal sendiri di rumah kontrakan, apalagi paska operasi seperti sekarang ini.Awalnya Imelda menolak. Akan tetapi Velly terus saja mendesak dan tidak mau ditolak. Akhirnya mau tidak mau Imelda pun menyerah dan menuruti semua permintaan kakaknya.Danis dan Dariel terlihat begitu senang ketika tantenya datang menggendong adik bayi. Mereka segera mengerubungi anak Imelda, menciumi pipi bayi berusia tiga hari itu secara bergantian.“Mama, kapan Dariel punya dedek kaya Tante Imel?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan polos.“Insyaallah secepatnya. Abang jangan lupa sering-sering minta sama Allah supaya di perut Mama bisa ada dedek bayinya,” jawab Velly seraya mengusap lembut rambut anaknya itu.“Abang Dariel, Dedek, ayo ikut Papa ke masjid. K
“Mbak Imel kenapa? Sakit? Kok wajahnya pucet banget?” tanya Rofiq yang sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam tas obrok di motornya.“Nggak tahu, Mas. Dari semalam perut aku sakit. Ini malah makin terasa nyeri banget!” jawab Imelda seraya meringis kesakitan.“Jangan-jangan Mbak Imel mau melahirkan?”“Nggak tau, Mas. Emang HPL-ku sudah lewat tiga hari sih, dan baru sekarang ada tanda-tanda kaya mau melahirkan.”“Sudah hubungi Mbak Velly?”“Belum. Nanti saja kalau sakitnya sudah mulai berasa banget. Kasihan dia kalau direpotin terus.”“Tapi kan, Mbak. Daripada nanti kenapa-kenapa, mendingan Mbak kabari saja Mbak Velly sekarang.”“Iya.”“Sini nomernya Mbak Velly. Biar saya yang menghubungi dia!” Rofiq mengeluarkan ponsel lalu menekan dua belas digit angka yang disebutkan ole
Cup!Bahrudin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup. Gemas melihat bibir sang istri yang dimajukan beberapa centimeter.“Nyosor mulu kaya bebek!” protes Velly pura-pura merajuk.“Aku kecanduan nyium kamu, Sayang.”“Memangnya aku obat bikin candu?”“Iya. Obat luka di hati aku.” Mengambil tangan istrinya, Bahrudin menautkan telapak tangan Velly di dada sambil mengunci netra perempuan itu dengan tatapannya.“Udah, ah! Pagi-pagi udah menggombal. Ayo, sarapan dulu. Malu sama Bunda kalau di kamar terus. Nanti dikira lagi ngapa-ngapain lagi!”“Memangnya kalau lagi ngapa-ngapain kenapa? Bunda juga pernah muda dan menjadi pengantin baru. Pasti beliau paham lah.”“Tapi aku laper...”“Oke. Ayo kita keluar.” Tangan Bahrudin merangkul pundak istrinya lalu segera keluar dari dalam bilik.Bunda melekuk senyum bahagia melihat kemesraan anak serta menantunya. Ia juga sangat bersyuku
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Seluruh tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing, pun dengan Bunda yang sudah sejak habis isya masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan oleh menantunya. Velly masuk ke dalam bilik, membuka kebaya yang melekat di tubuhnya lalu menggantinya dengan daster seperti biasa setiap mau tidur. Tidak lupa juga membersihkan wajah dari sisa make-up yang menempel menggunakan miccelar water dan dilanjut dengan mengoles sedikit krim malam. Dari pantulan cermin terlihat Bahrudin masuk ke dalam kamarnya, menerbitkan senyuman membuat jantung perempuan berambut sebahu itu berdetak tidak karuan. Bahrudin terus menelisik tampilan sang istri dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa ada yang aneh melihat Velly yang biasa berpakaian rapi hanya mengenakan daster sebatas lutut, membuat jakun laki-laki bertubuh tambun itu naik turun kala melihat kaki jenjang istrinya. “Kenapa liatinnya seperti itu, Mas? Aku jelek ya
Velly turun dari sepeda motor dan lekas mengayunkan kaki menuju halaman taman kanak-kanak tempat dimana Dariel mulai menimba ilmu.Bocah berusia lima tahun itu sudah menunggu di ruangan guru bersama wali kelasnya, dan langsung berlari ke luar saat melihat ibunya datang menjemput."Bye...Bye, Miss Titi. Aku pulang dulu ya?" Dariel menyalami tangan ibu guru lalu segera naik ke atas motor."Duluan, Miss," pamit Velly kemudian."Iya Bunda. Hati-hati!" Mantan istri Bima itu kembali menyalakan mesin sepeda motornya, melajukannya membelah jalanan kota sambil mengobrol panjang lebar dengan Dariel.Mereka kemudian berhenti di sebuah minimarket untuk membeli beberapa camilan juga kebutuhan pokok yang sudah habis di rumah, serta membeli ice cream seperti biasa."Apa kabar, Vel?" Wanita berambut sebahu itu menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar suara berat seorang laki-laki. Dia terus menelisik tampilan orang y
“Siapa kamu ikut campur urusan rumah tangga saya?” Bima menunjuk wajah si pria sambil menahan amarah luar biasa.“Saya memang bukan siapa-siapa. Tetapi saya tidak akan membiarkan kamu menyakiti Imelda!” jawab pria yang bekerja sebagai kurir ekspedisi yang biasa mengambil barang jualan Imelda.“Saya ini suami dari perempuan itu. Jadi kamu tidak usah sok jadi pahlawan kesiangan di sini!”“Oh, jadi ini suami tidak tahu diri dan tidak bertanggungjawab itu? Berani muncul juga kamu setelah sekian lama menghilang tanpa jejak. Sudah dibuang kamu sama istri baru kamu sampai akhirnya kembali mencari orang yang sudah kamu campakkan?!”“Tahu apa kamu tentang saya dan istri saya?!”“Saya tahu segalanya!”“Pasti kamu yang sudah menjelekkan aku di depan orang ini, Imel? Dasar perempuan murahan. Pela**r. Bisa-bisanya menjelekkan suami di depan orang lain!” Bima berjalan menghampiri Imelda, melayangkan tangan hendak menampar, akan tet
“Coba ulangi sekali lagi ucapan kamu, Arzerti?” Bima mencengkram erat rahang istrinya.“Letoy!!” seru Arzeti sambil tertawa mengejek.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi perempuan yang tengah dipengaruhi minuman beralkohol itu. Ini kali pertamanya Bima berbuat kasar kepada Arzeti, sebab ia merasa kalau istri barunya telah menginjak-injak harga dirinya.Imelda memang bar-bar. Tetapi dulu ketika dia masih hidup bersama, istri sirinya itu tidak pernah sekali pun menghina dia, apalagi sampai menjatuhkan harga dirinya seperti itu.Terlebih lagi Velly yang selalu menghormati dia juga memperlakukan ia dengan teramat baik hampir tanpa cela. Hanya saja karena sifat serakah juga tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki Bima akhirnya mengkhianati cinta wanita yang telah memberi dia dua orang jagoan itu.Pun ketika sudah bersama Imelda yang sekarang sedang mengandung benih cintanya. Bima merasa bosan karena semakin hari istr