Ganes telah berada di ruang kerja Rajendra. Ia benar-benar tak bisa berbicara sepongah beberapa menit belakangan. Terlebih, setelah dipergoki oleh orang yang tengah menjadi bahan perbincangannya dengan Faruk."Sepulang bekerja, kamu masih mau ngojek, kan?"Pertanyaan Rajendra itu berhasil membuyarkan lamunan Ganes. Tanpa mendongak, ia mengangguk mantap."Iya, Pak. Benar.""Kenapa? Karena kamu merasa tak mampu lagi bekerja di sini, jadi membiasakan diri untuk kembali ngojek?"Terang saja, Ganes mendongak. Kedua matanya membeliak. "Bapak jangan asal ngomong. Saya betah di sini. Saya masih mampu kerja di sini. Bahkan lebih dari mampu. Buktinya, saya masih bertahan."Rajendra tak lagi menatap Ganes penasaran. Ia lebih memilih membaca informasi yang disampaikan oleh narasumber yang bisa ia percaya."Lantas?""Karena sejak awal, kerja saya ya itu. Di jalanan. Ngojek sana-sini. Dari ngojek, saya bisa punya banyak tabungan. Kalau saya masih ngojek setelah pulang kerja, bukan berarti saya engg
Betapa terkejutnya Ganes saat ia tiba di depan gedung sesuai alamat yang diberi oleh sang direktur utama. Alih-alih langsung masuk demi sejumlah uang yang besar tanpa harus mencari penumpang, ia malah menelan ludah susah payah. Diedarkannya pandang, lantas makin merinding bulu romanya saat sadar tak ada kendaraan lain di sana. Tidak ada selain mobil Rajendra.Beruntung, ingatannya akan nominal uang yang dijanjikan membuatnya kembali meneguhkan tekad. Diparkirkannya motor pada lahan yang disediakan. Tak lupa pula, diamankannya motor dengan kuncian ganda.Usai demikian, ia masuk dengan langkah yang ragu. Lantas merasa de javu. Ia benar-benar teringat akan sesuatu. Namun, dengan secepat kilat diempas begitu saja hingga hanya tersisa ingatan mengenai taruhan berapa hari silam.Meski banyak lampu-lampu temaram gantung yang menghangatkan, ia tetap merasa kedinginan. Semilir angin yang berembus nyatanya kian membuat suasana dalam gedung kesenian itu kian menakutkan.Ganes terus berjalan, me
Ganes baru saja sadar saat jam menunjuk ke angka tiga. Dikerjap-kerjapkannya kedua mata sebab merasa silau tak keruan. Terlebih, seluruh sudut langit-langit ruangan yang putih bersih."A-aku di ma--"Belum juga usai pertanyaannya digaungkan saat ingatannya akan sosok Nyonya Saras di tengah panggung teater dalam gedung kesenian membuatnya terperenyak. Bukan hanya itu saja. Kenangan akan masa lalunya yang silam kembali berkelebat di depan mata.Ganes kembali gemetar. Ia memukul-mukul udara kosong di hadapan seolah-olah mengusir bayangan yang ada di depan mata. Ia menjerit, ketakutan.Diana terperenyak. Ia terbangun sebab merasakan brankar yang disandarinya bergoyang. Ia tergeragap, lantas mencoba menyadarkan Ganes yang tampak ketakutan."Nes! Nes, kamu kenapa? Bangun, Nes!"Sayang, perempuan itu masih megap-megap. Tenaganya yang mulai habis membuat Ganes tak lagi banyak tingkah. Ia berubah menggigil bak orang kedinginan.Diana tak mau ambil pusing. Ia berlari keluar, lantas mencari seor
Ganes tersadar tepat di jam delapan pagi. Silau sinar mentari dan cahaya lampu dari langit-langit kamar perawatan membuatnya mengerjap-ngerjap dengan pelan.Diedarkannya pandang ke segala penjuru arah.Betapa terkejutnya ia saat melihat pada jarum jam yang sudah menunjuk ke angka jam kerja. Dengan cepat, Ganes bangkit dan duduk di brankar. Namun, pening yang menjalar membuatnya berhenti untuk bergerak.Dari pojok ruang perawatan, Diana telah keluar dari kamar mandi. Ia yang terkejut sebab melihat Ganes dalam posisi duduk, langsung beranjak dan mendekat. Disentuhnya sang kawan sambil mengerutkan kening sebab khawatir tanpa sebab."Kamu kenapa, Nes?"Ganes langsung menoleh. Tatapannya tertumbuk tepat pada Diana yang mengernyit heran. Diraihnya tangan Diana sebentar, lantas teringat akan kejadian semalam."Kenapa malah dibawa ke sini akunya, Di? Uang sebanyak itu sayang kalo dikasih ke orang, Di. Ayo, aku mau pulang. Aku udah telat buat berangkat kerja, Di."Tanpa disangka-sangka, Rajend
"Katakan padaku, Bu. Apa yang terjadi padaku saat itu?"Permintaan Ganes itu tak benar-benar langsung dijawab. Sudah sejak empat puluh menit yang lalu ia terus meminta penjelasan mengenai apa yang terjadi sepuluh tahun silam. Sayang, tak ada yang mau buka suara."Ganes, kami tak tahu apa pun."Ganes mulai frustrasi. Padahal, ia sudah jauh-jauh datang ke Lamongan demi menguak mengenai trauma seperti yang dikatakan oleh dokter yang menangani. Diabaikannya rasa nyeri, melaju sekencang mungkin demi mendapatkan informasi yang bisa ia percayai."Ternyata memang benar."Pernyataan itu diiringi dengan bangkitnya Ganes dari sofa di ruang kerja para pengurus panti. Ia lebih memilih menatao jauh ke luar jendela sembari mengingat banyak kenangan di sana. "Benar aku pernah punya trauma mendalam. Padahal, aku sudah susah payah untuk mengelak beberapa informasi dari paramedis sebab lebih mempercayai kalian."Ganes menunduk, lantas mengusap air yang menggenang di pelupuk mata. "Nyatanya, aku bukan s
Ganes telah duduk berhadapan dengan Faruk di warung. Tak ada aksara yang mereka untai meski telah sepuluh menit duduk berdua.Keduanya masih sibuk menyelami masing-masing rasa yang sebelumnya terpendam. Terlebih, setelah Ganes mengungkit mengenai kematian salah satu pengurus panti asuhan yang disebut-sebut dengan mama."Kenapa enggak cerita?"Sekali lagi, Ganes kembali mengungkit. Ditatapnya gelas es teh manis yang ada di hadapan. Sesekali, tangannya akan mengaduk minuman yang esnya telah mencair sepenuhnya.Faruk menelan ludah susah payah. Ia menunduk, lantas memilih untuk membuang muka."Mama sendiri yang minta."Sontak saja, Ganes menoleh pada Faruk. Diraihnya lengan sang kawan sembari berkaca-kaca kedua matanya. "Kamu di sana? Saat mama meninggal, kamu ada di sana? Kenapa tak pernah memberitahuku, Ruk?"Amarah Ganes telah memuncak. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pilihan sang pengurus panti yang paling ia sayangi.Faruk mengangguk. Ia telah memutar tubuhnya agar bisa berhada
Ganes kecil yang tersenyum cukup lebar telah keluar dari panggung setelah mendapat penghargaan. Tropi juara satu berada dalam genggamannya yang erat. Namun, tepat saat kakinya berpijak pada anak tangga, ada kaki lain yang menjegal.Ia terjatuh, lantas kembali bangkit dengan tegar. Beruntung, ia memang bukan orang yang mudah menangis apa pun rintangannya."Kenapa menjegal?"Perempuan berambut cokelat itu mulai bersedekap. Ia menyeringai, lalu meludah tepat di depan kaki Ganes muda."Kamu hanya beruntung. Keberuntungan yang tepat. Hanya karena suaramu lebih lantang, bukan berarti bakatmu lebih menantang."Sontak saja, Ganes mengedar pandang. Ada beberapa panitia di sana, tetapi tak ada yang berani menghentikan aksi tak terpuji salah seorang lawannya kala beradu peran."Jika aku menang, apakah ini sebuah kesalahan?"Pertanyaan Ganes itu berhasil membuat Tari memicing tajam. Tangannya yang bersedekap telah berkacak pinggang."Tentu saja! Karena kamu, aku tak bisa membuat kedua orang tuaku
Diana telah menyeringai. Usai mengistirahatkan sang kawan, akhirnya ia punya kesempatan untuk menghubungi Nyonya Saras.Tanpa ragu, diraihnya kartu nama sang aktris ternama. Lantas, dihubunginya nomor yang tertera.Tanpa menunggu waktu lama, panggilannya telah terhubung dengan sosok yang selama ini ia idolakan. "Nyonya Saras, ini aku. Diana. Aku tau, apa yang terjadi setelah Ganes menerima penghargaan itu."Di ujung lain panggilan, Nyonya Saras meminta izin untuk berlalu. Ia yang tengah melihat bagaimana minat dan bakat aktris-aktris muda yang didapat dari audisi yang dihelat oleh Jendra, harus keluar dari ruangan tanpa bisa dicegah.Sosok Ganes telah membuatnya lupa bahwa masih ada beberapa aktris muda lain yang mungkin punya kemampuan hebat. Yang ia tahu hanya satu. Kemampuan Ganes masih kuat sejak sepuluh tahun silam."Katakan."Hanya butuh satu kata bagi Nyonya Saras untuk mampu membuat Diana mengangguk mantap. Ia mengerjap-ngerjap, lalu menceritakan segalanya tanpa jeda.Betapa t
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka