Diana telah menyeringai. Usai mengistirahatkan sang kawan, akhirnya ia punya kesempatan untuk menghubungi Nyonya Saras.Tanpa ragu, diraihnya kartu nama sang aktris ternama. Lantas, dihubunginya nomor yang tertera.Tanpa menunggu waktu lama, panggilannya telah terhubung dengan sosok yang selama ini ia idolakan. "Nyonya Saras, ini aku. Diana. Aku tau, apa yang terjadi setelah Ganes menerima penghargaan itu."Di ujung lain panggilan, Nyonya Saras meminta izin untuk berlalu. Ia yang tengah melihat bagaimana minat dan bakat aktris-aktris muda yang didapat dari audisi yang dihelat oleh Jendra, harus keluar dari ruangan tanpa bisa dicegah.Sosok Ganes telah membuatnya lupa bahwa masih ada beberapa aktris muda lain yang mungkin punya kemampuan hebat. Yang ia tahu hanya satu. Kemampuan Ganes masih kuat sejak sepuluh tahun silam."Katakan."Hanya butuh satu kata bagi Nyonya Saras untuk mampu membuat Diana mengangguk mantap. Ia mengerjap-ngerjap, lalu menceritakan segalanya tanpa jeda.Betapa t
Ganes telah tiba di gedung kesenian seperti yang sebelumnya. Dihelanya napas panjang sebelum akhirnya mulai masuk dengan degup jantung berdebar kencang.Beruntung, kegiatan untuk seleksi dan pembelajaran mengenai pendalaman peran telah berhenti sejam sebelumnya. Jika tidak, bisa jadi Ganes akan kembali tremor saat melihat dunia peran yang telah membuatnya hancur sepuluh tahun silam.Alih-alih menyambut, Jendra bersedekap di dekat panggung teater yang megah. Mimik wajahnya tampak menyeramkan.Lantas, tergagap Ganes mendekat. "Maaf, Pak. Saya tadi ketiduran. Mohon maafkan kelalaian saya."Jendra tak menjawab. Ia memilih untuk berdecak, lantas menoleh ke lain arah. "Persetan dengan semua omong kosongmu!"Sontak saja, Ganes menelan ludah susah payah. Hampir saja ia mendekat sembari meraih tangan sang direktur utama jika tak melihat sosok Nyonya Saras yang tengah berdeku di hadapan Rajendra.Ganes membeliak. Ia baru sadar bahwa kedua orang di hadapannya tengah bersandiwara. Namun, apa lagi
Ganes menganga tak percaya. Bukan hanya ia, Nyonya Saras yang ada di hadapannya pun turut membeliak saat mendengar usulan dari Rajendra.Jendra telah mendekat dengan kedua tangan bersedekap. Disunggingnya senyum lebar sebelum akhirnya duduk tepat di hadapan dua perempuan berbeda usia."Bukankah itu jalan satu-satunya untuk jalan keluar kalian? Nyonya Saras akan mendapatkan kembali sosok yang dicari selama ini, sedangkan kamu bisa kembali ke dunia peran? Bukankah itu merupakan simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak?"Nyonya Saras menggeleng pelan. Ia benar-benar tak menyetujui tentang ide gila Rajendra."Jangan gila, Jendra! Dia masih punya luka di masa silam!"Rajendra menghela napas. Ia menggeleng dengan pelan. "Bu, luka itu harus diobati. Bukan dihindari. Bagaimanapun juga, bekas luka akan selalu ada dan tampak. Enggak bisa hilang begitu saja. Bukan begitu, Nes?"Ganes masih terdiam. Dipikirkannya banyak kemungkinan yang ada. Terlebih mengenai neraka yang mungkin
Ganes bersikukuh untuk tetap melanjutkan keputusannya. Ia telah mampu menguasai keadaan meski sesekali bayangan masa lalunya datang berkelebat.Ganes kembali menimbang-nimbang. Bukan sebab keputusannya beberapa menit silam, melainkan karena penampilannya yang telah memukau.Di hadapan standing mirror, Ganes yang telah mengganti pakaiannya sesuai dengan kepribadian yang telah diamati kala berjumpa dengan Nyonya Saras.Bukan hanya pakaian. Ia juga telah mengenakan rambut palsu yang serupa. Hanya saja, potongannya jauh lebih pendek dari rambut asli sang aktris ternama.Selain mempertimbangkan penampilannya, Ganes juga tengah memikirkan mengenai pernyataan sang kawan tepat setelah ia memasuki kawasan di balik panggung kesenian.Meski permintaannya terbilang cukup mudah dikabulkan, tetapi melihat adanya ketegangan antara Rajendra dan Nyonya Saras, ia jadi segan.Sembari me-re touch penampilan, tangan kirinya sibuk mengetik balasan pada sang kawan. "Dengar, Di. Bukannya aku menolak, tapi ka
Rajendra terkejut bukan kepalang. Ia terdiam, lantas membuang muka.Nyonya Saras tertawa. Telah ia papah Ganes untuk masuk ke balik di balik panggung saat Rajendra mulai mengepalkan kedua tangan dengan erat. Alih-alih menurut, Ganes menggeleng pada mentor barunya. "Akan butuh waktu lebih untuk belajar, Nyonya. Bisakah Anda sedikit lebih sabar dari biasanya? Aku akan sangat berterima kasih untuk itu."Nyonya Saras mengangguk mantap. Telah ia peluk kedua bahu Ganes untuk kembali dipapah. "Jangankan menunggumu untuk belajar lebih dalam, sepuluh tahun pun aku masih mampu menantimu yang hilang bak ditelan kenyataan."Tanpa diduga, Ganes merasa terenyuh dan tersentuh. Ditatapnya kedua mata Nyonya Saras dengan dalam nan lekat.Melihat kedekatan Nyonya Saras dan Ganes, Rajendra terlihat muak. Ia telah berlalu dari sana menuju ke ruang kerjanya. "Sial! Kenapa neraka yang ingin kuciptakan malah menarikku masuk ke jurang yang sama?"Amarah Rajendra benar-benar membuatnya pening tak keruan. Ia t
Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh saat Ganes tiba di kediamannya di pinggiran kota. Telah ia rebahkan badan saat tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa. Sedetik kemudian, Diana telah menerobos masuk dan membuat pintu kamarnya terbanting cukup keras.Ganes yang tak lagi terkejut dengan kelakuan sang tetangga pun hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu, ke mana pembicaraan ini akan bermula."Nes, gimana?"Benar saja. Ganes memejam. Ia telah memutar bola mata setelah didudukkan oleh sang kawan. "Ngebet bener. Mau apa sih? Dapet berapa kalo kerja jadi aktris?"Diana mendesah. Ia telah bersedekap sembari memanyunkan bibirnya. "Enggak semua bisa diukur pake uang, Nes. Ini bukan karena dapet berapa. Tapi, karena ini itu udah jadi mimpiku sejak lama! Kamu sih, enggak pernah punya mimpi!"Celetukan Diana membuat Ganes teringat akan masa silam. Banyak potongan kejadian yang tiba-tiba berkelebat di depan mata. Terlebih, saat sambutan kala menjadi pemenang di audisi yang diadakan oleh rum
Jam sudah menunjuk ke angka empat saat Ganes hendak pulang. Namun, dering ponsel membuatnya teringat akan permintaan Diana. Diliriknya sosok sang direktur utama yang masih berada dalam ruang kerja. Dikabarkannya hal tersebut pada sang kawan."Udah berangkat? Pak Jendra masih di tempat, kok."Pesan Ganes pada Diana. Ia masih memilih duduk di tempatnya biasa stand by. Dikirimkannya pula pesan baru tanpa menanti balasan."Aku mulai ke sana ntar kalo kamu dah selesai urusan. Kabari segera. Jangan lupa!"Usai demikian, tak berselang lama pesan-pesannya telah terbaca. Diana segera membalas, terlebih ia telah berada di gedung kesenian. "Siap, Nes. Aku udah di depan gedung, mau masuk."Entah mengapa, senyum telah Ganes kembangkan. Ia benar-benar turut merasa senang dengan jalan yang dilalui sang kawan. "Gudlak!"Setelah mengirim pesan terakhir, Ganes kembali mendongak, mencoba menatap ruang kerja Rajendra. Sayang, ia kehilangan jejak. Ruangan sang direktur utama tampak kosong penghuninya. D
Dengan terbata-bata, Ganes menjelaskan segalanya. "Sa-saya hanya menerima permintaan antar customer, Pak. Jadi saya antar Mbak Gracia ke jalan Panglima Sudirman. Setelah itu, karena mendengar pembicaraannya dengan teman lewat panggilan, saya jadi penasaran."Mendengar itu, Rajendra mulai berpikir panjang. Diingat-ingatnya kejadian saat Gracia mempermainkan simpatinya. Tangannya bersedekap. Ditahannya amarah sebab mulai penasaran. "Lalu?"Ganes mengangguk, mencoba menjelaskan tanpa mau bicara. Sayang, Rajendra masih menunggunya melanjutkan cerita."Saya melihatnya, Pak. Bapak datang ke sana. Juga saat Bapak mencari keuntungan dengan menyentuh tubuh Mbak Gracia."Sengaja, Ganes sedikit memelintir apa yang dilihat. Bukan tanpa sebab, ia tak tahu entah sampai kapan harus mengulur waktu demi sang kawan. Itu sebabnya, ia hendak memutarbalikkan fakta. Terang saja, Rajendra membeliak tak percaya. Ia telah berdiri dengan tegak, lantas mendekati Ganes dengan penuh kemurkaan."Jangan ngarang!"
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka