Ganes telah kembali masuk ke gedung kesenian dengan lunglai. Tak ada binar dalam matanya meski tahu, sepulang bekerja ia akan mendapat dua lembar uang nominal terbesar sebagai pemasukan harian.Bak dihantam gada, kepalanya pening tak keruan. Ia tak menyangka, usahanya untuk membantu Diana malah berbalik bak bumerang. Seperti makan buah simalakama. Ia benar-benar tak lagi mampu membedakan keputusan bagian mana yang membuatnya harus menelan luka.Untuk pertama kalinya, ia harus mengecewakan sang kawan. Padahal, ia pun baru teringat dengan masa kecilnya silam. Padahal, ia tak berniat apa pun selain untuk membantu Diana bertemu sang idola.Ganes telah berada di hadapan sang mentor seni peran. Dianggukkannya kepala sembari menatap Nyonya Saras dengan lekat."Apa maksud Nyonya dengan menunjukkan rekaman masa laluku pada Diana?"Nyonya Saras mengernyit. Telah ia benarkan posisi duduknya untuk berhadapan."Apa yang salah? Kau ingin aku membantunya, kan? Dia kawanmu, kan? Apa salah jika membua
Ganes memejam. Ia mengangguk, lalu memohon pada sang mentor ternama. "Nyonya, kumohon. Aku kenal betul dengan Diana. Di--""Jika kau merasa kenal dia dengan baik, kenapa tak bisa membedakan mana wajahnya yang tulus dan modus, Ganes?"Merasa tak terima sang kawan diperlakukan dan dikatai sedemikian rupa, akhirnya Ganes menelan ludah. Tak akan ada yang berubah dengan apa yang akan ia jelaskan. Ganes menganggukkan kepala, lalu mulai mengulum senyum sebentar."Maaf jika Diana tak sebaik yang Anda pikirkan, Nyonya. Kurasa, cukup sampai di sini pembahasan ini. Kita bisa mulai pelajaran baru mengenai penjiwaannya."Sayang, Nyonya Saras menyeringai hebat. Ia menggeleng dengan pelan."Kau kira, minta maaf akan menyelesaikan segalanya? Kau pikir, aku bisa memberimu pelajaran baru dalam keadaan yang dipenuhi amarah dan kekecewaan?"Ganes mengerjap. Bahkan, permintaan maaf yang ia untai secara tulus pun ditolak mentah-mentah. "Lantas, apa yang bisa saya lakukan untuk meredam kemarahan Anda? Setid
Empat jam sudah Ganes mendapat pelajaran berharga dari sang mentor ternama. Dimulai dari segi penjiwaan yang menurutnya begitu berharga.Sayang, saat ia sendiri mencoba menjadi sosok lain dari naskah yang telah dipilihkan, Ganes tak mampu menjiwai dengan benar. Terlebih, jika menyinggung soal prinsipnya pada uang.Bukan Ganes namanya jika tak merasa sengsara saat menghambur-hamburkan uang. Ia memang memilih untuk menyimpan uang daripada membawanya untuk dibelanjakan. Bahkan, saat membaca naskah pun ia sudah membayangkan sesengsara apa ia harus memerankan sikap yang berlawanan dengan dirinya sendiri.Butuh waktu lebih lama baginya untuk mencoba menjiwai. Hingga waktu menunjuk ke angka sembilan pun, ia belum mampu menjadi sosok yang baru. "Ini pasti akal-akalan si Jendra. Dia tau aku paling suka pada uang. Kenapa diberi peran yang suka menghambur-hamburkan uang? Sialan emang!"Makian terus keluar dari mulut Ganes sejak ia keluar dari gedung kesenian. Selama perjalanan pulang pun, ia t
Ganes hampir tiba di rumah sakit tempatnya bekerja. Alih-alih langsung masuk ke lahan parkir yang disediakan, ia memilih menepi tepat di samping warung yang bersebelahan dengan rumah sakit salah satu panca indra manusia."Kenapa berhenti di sini?" tanya Rajendra. Ia yang berada di balik punggung Ganes pun merasa terheran-heran dengan tingkah sang karyawan. Ganes mendesah panjang. Ia menoleh, lalu mencoba membuka pengait helm yang dikenakan Rajendra tanpa mau turun dari jok depan."Bapak, rumah sakitnya tinggal jalan lima langkah. Apa Bapak enggak malu kalo ketauan berangkat sama saya? Bapak ini direktur, lo. Bisa pesen ojek mobil yang lebih berkelas. Bukannya motor butut kayak punya saya. Bisa turun harga diri Bapak, ntar."Bukannya menuruti apa kata Ganes, Rajendra memilih untuk tetap diam di balik punggung sang karyawan. Dimundurkannya badan agar jarak yang tercipta sedikit lebih jauh dari jangkauan."Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan itu. Tapi, saya akan tetap turun tepat
Ganes mulai lelah. Ia muak. Terlebih, sejak pagi telinganya terus mendengar gosip-gosip tak sedap yang sering digaungkan.Sembari terus moping salah satu ruangan PJ di lantai tiga, dengung akan citra buruk mengenai dirinya tak henti-hentinya menggema. Meski berulang kali ia berdecak, nyatanya tak berhasil menghentikan fitnah-fitnah keji yang ditujukan pada dirinya.Dengan gemas, mau tak mau Ganes mengentakkan alat pel pada bak moping. Bukan hanya debuman yang membuat seisi ruang terkejut, deburan air yang meluber dari ember pun membuatnya kembali teringat akan satu hal.Ia ingat betul pada apa yang dikatakan oleh Rajendra pagi tadi. Mengenai peringatan apa lagi yang akan ia dapatkan jika kembali membuat ulah."Lihat, kan? Bapak egois! Padahal tadi saya sudah bilang untuk turun di sebelah, tapi Bapak nolak. Lihat sekarang betapa mereka mengutuk saya? Saya tak bisa tinggal diam lebih lama lagi, Pak."Rajendra berkacak pinggang. Disaksikan Faruk yang juga tengah berada di kamar mandi, ma
Wajah Ganes terlihat lesu, tak seceria biasanya. Terlebih, ia harus tetap menahan amarah yang memuncak bahkan sejak pagi belum beranjak.Bagaimana tidak?Mau tak mau, Ganes menerima semua caci dan maki yang telah ia dapatkan dari banyak karyawati. Bukan sebab sesuai dengan fakta yang ada, melainkan demi pekerjaan yang masih sangat dibutuhkan.Baru juga ia keluar dari bangunan rumah sakit saat melihat Blacky yang tampak digembosi kedua bannya. Ganes menghela napas panjang sembari memejam. Ia berjalan pelan menuju ke satu-satunya kendaraan yang paling disayang."Mereka mau apa sih sebenarnya?"Melihat wajah Ganes yang diliputi amarah, penjaga keamanan yang posnya berada tak jauh dari area parkir hanya bisa menunduk dan menyesal."Maaf, Mbak Ganes. Saya endak bisa menyelamatkan Blacky. Ada beberapa ketua PJ yang tadi ngancem saya, Mbak."Alih-alih terkejut, Ganes hanya mengulas senyum. Bukannya tak tahu dan tak mau tahu, hanya saja, apa gunanya pihak keamanan jika orang-orang tinggi nan
Dengan seringai menakutkan, Ganes telah terbahak-bahak. Ditunjuknya sang direktur utama dengan pongah. "Kamu takkan pernah tau betapa aku menyimpan dendam selama belasan tahun! Akan tiba masanya, kamu akan menuai karma atas perilakumu yang pongah karena telah menyia-nyiakanku yang tak pernah memilih dari mana aku harus dilahirkan!"Sontak saja, Rajendra memicing. Ditatapnya lembaran adegan yang telah ia rencanakan. Lantas, kembali menatap Ganes yang telah berubah karakternya di atas panggung hiburan."Jadi ibunya!" teriak Nyonya Saras. Kedua tangannya menepuk dengan kuat seolah-olah menjadi tanda bagi Ganes untuk segera beralih adegan."Kamu tak tahu apa pun, Nak. Aku meninggalkanmu di panti hanya demi kebaikan bersama. Siapa yang tega membuang anak sendiri? Ibu hanya tak ingin, kamu menanggung malu, Sayang."Hanya dalam sekejap, kedua mata Ganes yang dipenuhi amarah berubah sayu nan berkaca-kaca. Punggungnya sedikit membungkuk tanda raga yang dimakan usia. Suaranya lemah, serta terba
Nyonya Saras membeliak. Ia menggeleng sembari mengembalikan naskah yang telah diberikan oleh Rajendra. "Ini terlalu berat, Jendra. Dia masih terlalu muda. Jangan bebani dia dengan hal-hal yang memang tak akan mampu dikuasai oleh seniman baru sepertinya. Ini tidak adil meski kamu memandangnya dari kacamata berbeda."Mendapat penolakan, Jendra tak langsung marah besar. Ia memilih bangkit dari sofa, lantas berdiri tepat di hadapan sang seniman senior yang telah ia anggap bak ibu sendiri."Dengar, Bu. Bukan aku yang memilihnya. Tapi Anda. Aku memang tak menunjuk Ganes untuk menjadi pemeran utama pada awalnya."Nyonya Saras masih terdiam. Ia menghela napas, lantas bersedekap. "Apa pun alasannya, dia belum cukup kuat untuk memerankan itu, Jendra. Naskah ini memang naskah lama, tapi pembawaan karakter yang kuat, sudah pasti mampu menarik minat banyak penikmat sandiwara. Hanya saja, tidak untuk orang-orang baru yang bahkan belum pernah tau jalan cerita itu sendiri."Jendra mencebik. Ia kembal
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka