Jam sudah menunjuk ke angka delapan saat mobil Rajendra berhenti tepat di parkiran yang disediakan oleh rumah sakit ternama tengah kota. Ia merapikan dasi sebelum akhirnya matanya tertuju pada salah satu motor yang juga berada di area parkir yang sama.
Rajendra mengernyit, lantas mengingat-ingat di mana ia melihat motor yang serupa. Demi bisa menyelesaikan rasa penasarannya, Jendra beranjak. Ia turun dari mobil, lantas memperhatikan motor yang hampir seluruh bagian kanannya penyok dari depan hingga belakang.Rajendra bersedekap. Ia teringat tentang motor yang semalam mengantarnya pulang usai ditipu oleh sang ayah. Dijentikkannya jemari sebab benar-benar ingat bahwa motor yang dilihat di depannya adalah kendaraan yang sama.Rajendra meraih ponsel pada saku celana, lalu membuka aplikasi ojek online terkemuka. Benar saja, saat ia menekan tab riwayat, ada nomor plat yang sesuai dengan sopir bernama Ruslan."Dia benar-benar membawa suaminya berobat! Tapi kenapa kemari? Apa jangan-jangan, mata suaminya yang paling parah?"Tanpa menunggu lagi, Rajendra langsung bergegas. Ia langsung menuju lobi di mana para pasien akan diberi nomor antrean. Usia demikian, diedarkannya pandang.Sembari mengangguk-angguk sebab beberapa karyawan menyapa, kedua matanya tak bisa lepas untuk memperhatikan sekitar. Sayang, hingga sampai ke ujung ruangan pun, ia tak melihat sosok ibu yang semalam mengantarnya pulang.Karena khawatir yang tak berkesudahan, Jendra akhirnya memilih untuk pergi ke ruangan administrasi. Tak mungkin rasanya jika data para pasien yang baru masuk datang itu tak langsung berada dalam tabel rekam jejak informasi.Dengan tergesa, Rajendra masuk tanpa mengetuk pintu. Hampir saja beberapa karyawan lain mengumpat jika saja mereka tak langsung menoleh pada keberadaan sang tamu."A-ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya Gracia, karyawan tercantik yang menaruh hati pada sang direktur muda."Aku butuh data pasien secepatnya. Carikan datanya. Atas nama Ruslan. Segera!"Tanpa menunggu diperintah kali kedua, Gracia dan beberapa karyawan lain pun turut mencari nama yang diungkapkan oleh sang direktur. Beberapa di antaranya pun mencari pada tumpukan berkas yang belum diinput pada keranjang loket depan.Sayang, gelengan kepala menjadi jawaban yang membuat Rajendra tak puas. "Aku melihat motornya di luar. Mana mungkin tak ada pasien atas nama Ruslan?""Mungkin masih diobservasi di ruang pemeriksaan, Pak."Jawaban Gracia membuat Jendra mengangguk, lalu mengambil duduk pada sebuah bangku tak jauh dari tempatnya berada."Di ruang tunggu, aku tak melihatnya juga. Kemungkinannya hanya dua. Seperti yang kamu katakan atau sedang berada di toilet. Kalau begitu, kutunggu di sini."
Alih-alih merasa tak nyaman karena kehadiran yang pimpinan, Gracia malah senang. Hampir saja ia duduk tepat di samping Rajendra yang tengah menanti berkas rekam jejak pasien lainnya, saat salah seorang karyawan berceletuk begitu saja."Daripada nungguin di sini, kenapa enggak nunggu di kantor, Pak? Kami bisa memforward berkasnya pada email Bapak, nanti."Mendengar itu, Gracia melirik kesal. Sedangkan Rajendra menoleh dengan mengernyit heran. "Kalau begitu, segera kabari jika ketemu."Melihat sang pujaannya pergi begitu saja, Gracia mengepalkan kedua tangan sembari melirik pada salah seorang kawan. Ia berdecak, sebelum akhirnya mengentakkan kedua kaki dengan kesal.
Sekali lagi, Rajendra mencoba mencari pada ruang tunggu di lobi depan. Sayang, sejauh mata memandang ia tak menemukan sosok yang dicari sejak sepuluh menit belakangan. Meski hanya melihat kedua matanya yang tampak sekelam malam, setidaknya ia bisa mengenali dari suara, anak, atau mungkin kondisi suami yang bagian kanannya mengalami luka, seperti yang terjadi pada motor yang dilihatnya di parkiran.Namun, nihil. Tak ada pasien dengan ciri-ciri serupa.Terang saja Rajendra kian cemas. Alih-alih langsung naik ke atas, tempat di mana kantornya berada, Jendra memilih untuk memeriksa di toilet pasien. Namun, sekali lagi ia harus menelan pil pahit. Tak ada pasien di sana.Dengan penuh kekecewaan, akhirnya Rajendra bergegas naik ke lantai tiga. Diempaskannya badan saat tiba di ruang kerjanya yang begitu nyaman. Telah diraihnya komputer jinjing yang dibawa dalam tas, lalu mencari dalam laman pencarian."Kenapa bagian administrasi belum juga mengirim email?"
Karena penasaran, bukannya mulai bekerja memperhatikan tabel dalam Ms Excel, Jendra malah mencari pada laman pencarian. Hanya butuh kata kunci plat motor yang ia dapatkan dari riwayat pemesanan ojek semalam. Sayang, tidak ada apa pun yang bisa ditemukan."Sial! Kecelakaannya enggak diberitakan?"Merasa membuang waktu, Jendra akhirnya memilih fokus. Sayang, betapa kuat ia mencoba, ia kembali memikirkan kedua mata yang berkaca-kaca semalam saat diliriknya dari spion motor. Ia yakin, mata itu tak berbohong walau sebentar.Betapa terkejutnya Jendra saat bayangan akan kedua mata kelam milik sopir ojek online semalam, berubah menjadi sosok yang beberapa hari silam membuatnya baik pitam. Mata yang hampir serupa dengan sosok yang dimakinya usai melihatnya mengiba. Ia menghela napas panjang, terlebih saat mengingat taruhan keduanya."Jika aku kalah, bukan hanya rumah seni yang kudirikan bersama seniman senior yang akan malu, tetapi juga harga diriku yang akan runtuh. Sial. Bisa-bisanya aku tar
Rajendra menggebrak meja. Kedua matanya yang bulat kecokelatan membeliak dipenuhi angkara murka. Diabaikannya sambungan telepon yang masih terhubung demi pergi ke area HRD dengan langkah tergesa.Sembari berjalan dengan geram, dihubunginya salah seorang tim panitia pelaksanaan audisi pada sanggar seni tempo hari. "Kirimkan padaku, semua data perempuan yang pernah datang terlambat dan minta perpanjangan waktu. Kirim dengan cepat!"Beberapa karyawan yang melihat kemarahan badan gurat wajah Rajendra, tampak menunduk seolah-olah tak melihat apa pun. Mereka lebih memilih diam daripada menggunjingkan banyak bahan pembicaraan.Bukan tanpa sebab, mereka menahan diri untuk tak membicarakan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan sang direktur. Pernah sekali, saat kali pertama Rajendra diangkat menjadi direktur, demi menggantikan mendiang sang kakak, banyak orang yang menggunjing meragukan.Lantas, tak perlu waktu lama bagi Rajendra untuk membalas seluruh gunjingan orang dengan cara yang leb
Jam sudah menunjuk ke angka delapan tiga puluh saat ketukan pada pintu membuat Rajendra menggeram. Alih-alih menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda sebab melihat motor hitam atas nama Ruslan, ia memilih untuk meluapkan segala amarah pada yang bersangkutan.Jemari tangan Jendra telah menekan salah satu tombol yang bisa langsung terhubung dengan bagian HRD melalui sambungan interkom. "Kemari dan bawakan surat pemutusan hubungan kerja sekarang juga."Usai memutuskan panggilan, Rajendra pun berseru pada sosok yang ada di balik pintu ruang kerja. "Masuk!"Benar saja dugaannya. Ia melihat Ganes yang tengah membawa bungkusan air kelapa segar. Kedua matanya menatap tajam seolah-olah siap menembus jantung siapa saja di hadapan.Melihat aura yang tak biasa, Ganes pun menunduk sembari melewati Rajendra. Ditujunya salah satu meja di ujung ruangan demi bisa menyalin air kelapa muda pada gelas tinggi yang disediakan.Setelah itu, dibawanya segelas besar air penuh elektrolit tinggi pada sang e
Ganes telah membeliak tak percaya. Kedua matanya yang lentik nan kecokelatan itu menatap tajam pada gurat wajah Rajendra yang lebih menakutkan daripada sebelumnya.Untuk sesaat, dadanya terasa begitu sesak sebab ketakutan. Namun pada detik berikutnya, ia yang telah menguasai keadaan, tertawa sembari bersedekap. "Anda sudah lihat, bukan? Akan selalu ada yang mau mempekerjakanku. Tak butuh waktu tiga bulan bagiku untuk memberikan slip gaji pertamaku, Pak. Lantas, kenapa tak mengaku kalah mulai sekarang?"Keoptimisan Ganes membuat Rajendra mengernyit heran. Ia mundur, lalu duduk di tepian meja kerja sembari bersedekap."Aku tak tahu, ada perempuan setangguh kamu. Tapi, jangan sebut aku Jendra jika tak bisa menendangmu dari sini. Detik ini juga. Aku seorang direktur. Mudah bagiku untuk membuatmu dipecat dan tak akan pernah lagi bekerja di mana pun setelah ini."Alih-alih ketar-ketir sebab diancam sedemikian rupa, Ganes memilih membuang muka."Apa jadinya jika seorang direktur menyalahi at
Sementara itu, Ganes yang sudah dibakar amarah sebab memasang wajah manis di depan Rajendra, mau tak mau harus bertahan. Diteriakkannya amarah yang mulai meletup-letup dalam dada.Bukan tanpa sebab ia begitu marah. Alih-alih melampiaskan, ia harus menahan diri demi bisa tetap kembali bekerja.Dengan cepat, ia melangkah menuju gudang demi bisa mengambil alat kerjanya. Sembari demikian, dientakkannya kedua kaki sembari mengetatkan rahang hingga bunyi gemeletuk giginya terdengar.Beruntungnya, Faruk yang tengah berkeliling demi melihat situasi yang ada, mewujud pahlawan bagi Ganes hanya dalam sekejap mata."Nes? Kenapa basah kuyup? Kamu mandi?"Disindir sedemikian rupa tak membuat Ganes tertawa. Ia mencebik, lalu mengedikkan bahu dengan kesal. "Diudani!"Faruk yang memang jomlo dan suka jajan melalui aplikasi ajang kenakalan pun, mau tak mau menangkap konotasi buruk pada kata yang diucapkan oleh Ganes. Ia mendelik, sebelum akhirnya mengedar pandang."Siapa? Siapa yang berani nelanjangin
Faruk tengah mondar-mandir di depan toilet yang dijaga Ganes di lantai tiga. Kedua tangannya telah saling bertaut satu sama lain sebab gelisah.Kebiasaan yang tak akan pernah bisa dilepas begitu saja. Tangan kanan Faruk telah menggenggam tangan kirinya. Namun dari arah dalam, tangan kirinya keluar melalui celah yang tercipta di antara jempol dan telunjuk tangan kanan.Sesekali, Faruk akan berdecak kesal. Tepat saat terdengar bunyi langkah kaki dari toilet, ia langsung menghadang sang kawan dengan berdiri di tengah pintu dengan wajah garang."Apa yang kamu lakukan, Nes?"Melihat kecemasan dalam gurat wajah Faruk, Ganes pun menelan ludah susah payah. Ia menunduk, lantas menggigit bibir atasnya dengan pelan sebelum membela diri."Masih ingat apa yang kukatakan tempo hari? Tentang aku yang punya masalah pribadi dengan Dirut muda itu?"Alih-alih marah, Faruk memilih untuk menebak-nebak apa yang telah terjadi sebelumnya."Dia melihatmu? Dia mengenalimu? Itu sebabnya dia terlihat begitu ingi
"Jiangkrik!" maki Rajendra kesal. Tangannya menggebrak meja, lalu ia berdiri dengan kedua mata yang membeliak dipenuhi amarah.Sontak saja, para petinggi kontraktor dan pihak rumah sakit yang tengah menghadiri rapat kerja langsung menoleh pada Rajendra. Masing-masing dari mereka mulai mengernyit, lantas mempertanyakan apa yang menjadi beban pikiran sang direktur utama."Apa yang terjadi, Pak?""Bapak tak suka dengan konsepnya? Bagaimana jika kita ubah kembali? Unit rawat inap di lantai yang lebih tinggi bersama ruang lasik misalnya?"Tanya demi tanya kian membuat Rajendra tergeragap. Ia menelan ludah, lantas menggeleng sembari kembali duduk dengan gusar."Maaf. Lanjutkan saja sesuai rencana. Aku tak mempermasalahkan hal itu."Sadar ada yang tak beres, sekretaris dadakan Rajendra pun berdeham. "Mari lanjutkan," ajak Gracia. Ia mempersilakan para petinggi kontraktor untuk meneruskan penjelasan mengenai denah bangunan.Mengalami ketidakbiasaan, Rajendra pun berdecak. Bahkan, kala ia digu
Sebab kebanjiran, hampir seluruh seragam Ganes kebasahan. Ia yang belum tahu betul jika ada insiden tak terduga bisa meminta bantuan dari unit lain, mau tak mau membersihkan segalanya sendirian.Berbekal cikrak dan wiper lantai, ia membersihkan semuanya. Diabaikannya ponsel yang terus berdering agar bisa segera menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan tambahan yang sengaja diberikan oleh sang direktur utama.Beruntung, tinggi lantai kamar mandi tak sama dengan tinggi lantai bangunan. Ada perbedaan tinggi lantai di antara keduanya sebesar sepuluh sentimeter. Namun meski hanya sepuluh senti, jika dikalikan dengan banyaknya volume air yang memenuhi kamar mandi pun tak akan mampu dikerjakan Ganes sendirian dalam waktu yang singkat.Faruk yang tiba giliran untuk segera pulang, merasa janggal sebab tak melihat Ganes sedari pagi. Ia juga menunggu kemejanya yang dikenakan Ganes sebagai pengganti seragam pagi tadi.Lantas, dengan langkah tergesa ia naik ke lantai tiga. Betapa terkejutnya Faruk sa
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka