Ganes mematung di tempat. Ia mengerjap-ngerjap saat melihat telunjuk Rajendra. Alih-alih mencoba menjelaskan, ia masih terdiam. Terlebih, saat gurat wajah Indri tak mencerminkan keterkejutan yang sempat dibayangkan.Indri menderap langkah anggunnya dengan pelan. Dilewatinya Ganes yang masih tak bergerak. Lantas, terus menderap langkah menjauh dari tempat Ganes masih berpijak.Sadar bahwa bukan ia yang ditunjuk Rajendra, Ganes memejam. Ia menghela napas panjang. Entah kenapa, ia merasa begitu gugup tak keruan. Padahal, jika memang benar pun sang direktur telah menunjuknya, bukankah harusnya Ganes merasa bangga?Belum usai keterkejutan Ganes, tepukan pada bahu berhasil membuatnya kembali terkesiap. Ia mendongak, menatap sang direktur yang menyungging senyum penuh kemenangan."Kenapa? Kamu merasa tersaingi dengan kehadirannya?"Pertanyaan Rajendra hampir membuat Ganes meluapkan amarah. Selain nyeri hati, ia juga merasakan sensasi tak biasa. Bak meledak-ledak. Namun, belum juga ia buka su
Ganes telah mengganti pakaian. Wajahnya suram. Kecamuk dalam kepalanya tak berarti apa pun lagi selain dengan kekecewaan yang begitu mendalam.Alih-alih bersiap, gurat wajah Ganes terlihat begitu lesu tak keruan. Ia memilih untuk merebah pada wastafel di kamar mandi.Entah mengapa, sejak mendengar gosip yang berembus mengenai Indri dan Rajendra, Ganes murung tanpa sebab. Meski ia sendiri ingin menyangkal, ia sendiri tak mampu menahan kecewa yang begitu mendalam.Ganes melirik jam. Butuh lebih dari setengah jam lagi untuknya masuk dalam teater, melihat sendiri dengan kedua mata mengenai intimnya kedekatan Indri dan Rajendra.Cepat, Ganes menggeleng pelan. Dihelanya napas panjang sebelum akhirnya bangkit dengan pelan. "Entahlah. Badmood rasanya."Ganes telah keluar dari kamar mandi di ujung lorong. Meski ia ingin keluar, enggan rasanya untuk melewati teater tempatnya berlatih selama beberapa minggu belakangan."Harus gimana aku?"Pertanyaan Ganes benar-benar membuatnya bingung sendiri.
"Ya, Ganes. Dia adalah pelaku perundunganmu. Dialah yang membuatmu harus membayar mahal atas apa yang tak kau inginkan. Dialah Batari Indri. Tari yang dulu membuatmu begitu sengsara."Terang saja, Rajendra menganga tak percaya. Bukan hanya itu, ia sampai harus menatap Tari dengan begitu lekat. "Apa itu benar, Indri?""Dia pergi ke luar negeri untuk menghapus jejak. Nama Tari tercemar. Itu sebabnya, ia mengganti nama panggilannya dengan nama belakang. Lantas, setelah mengetahui hal ini, apakah kau akan tetap diam di sana, Ganes? Adakah sesuatu yang ingin kau sampaikan?"Ganes terlihat tak percaya. Sisi lain dirinya menggeram. Otot-otot pada sekitar rahang dan lehernya pun mencuat. Napasnya memburu kencang. Terlebih, ia ingat betul bagaimana perundungan itu terjadi seolah-olah baru kemarin ia menjadi korban.Melihat itu, Indri mengelak. Ia benar-benar menggeleng dengan mantap."Bu, itu tidak benar! Siapa yang telah memfitnahku? Aku bahkan tak pernah mengenal perempuan itu! Aku baru bert
Ganes telah dalam perjalanan pulang. Senyum tak kunjung berhenti terpatri di wajahnya yang rupawan. Nyatanya, hanya dengan meluapkan semua kemarahan yang sempat dipendam bertahun-tahun lamanya, ia merasa begitu lega.Nyatanya, debar dalam dadanya yang meranyah kala pagi tiba, bukan dikarenakan nama Rajendra yang disebutkan, tapi sebab suara Tari yang alam bawah sadarnya kenal baik sebagai pembully di masa silam.Ia telah melewati traffic light terakhir sebelum tiba di bangunan dua lantai yang disewa saat teringat akan kekecewaannya yang mendalam. Ia mengernyit, lantas mencoba menerka-nerka sendiri."Mungkin, karena melihat orang yang mempercayakan peran itu padaku malah mencoba memberikan peran yang sama pada orang lain. Ya, sudah pasti begitu!"Ganes terus melaju setelah lampu berubah hijau. Keyakinannya yang kuat diiringi tekad yang besar rupanya cukup untuk membangkitkan keinginannya untuk maju selangkah lebih jauh sekali lagi. Terlebih, ia telah mengangguk, menyanggupi apa yang di
Ganes telah merebah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa hari ini begitu berarti dalam hidupnya. Bukan hanya itu, ia sendiri mulai tenang sebab pencerahan yang diberikan oleh Diana mengenai sikapnya yang berubah-ubah siang tadi.Benar saja. Ia telah memasuki masa menstruasi bulanan. Itu sebabnya, mood-nya naik-turun tak keruan. Terlebih, ia mengenali betul pembuat onar dalam hidupnya di masa silam.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh saat ia hampir memejam. Namun, sekali lagi bayang akan Rajendra hadir di depan mata. Dengan sigap, Ganes bangkit tergesa. Napasnya kembali memburu tatkala teringat akan tatapan Rajendra padanya.Ia ingat betul, apa yang dikatakan oleh Rajendra sesaat setelah Tari pergi dari panggung pementasan. Ia yang hendak menutup pintu yang masih terbuka lebar, dihentikan oleh sang direktur utama."Ini belum berakhir, Nes. Sebelumnya aku memang ingin mengusirmu dengan cepat. Sayang, aku masih ingin melihat penderitaanmu sebelum masa taruhan kita tiba."Ganes berhenti m
Sudah berhari-hari Ganes memilih untuk menepi dari kebimbangan hati. Alih-alih menenangkan diri, ia masih tetap bekerja demi memenangkan taruhannya dua bulan lagi.Sesuai janji, usai mendapat gajinya di bulan kali pertama bekerja, ia akan mentraktir Diana untuk makan-makan. Tak lupa pula, dikirimkannya makanan untuk Faruk sebagai ucapan terima kasih sebab diberi pekerjaan di waktu yang tepat.Sayang, kebaikan Ganes dinilai lain oleh Faruk. Sekali lagi, ia harus menelan ludah susah payah saat mengetahui niat sebenarnya dari makan siang yang dikirimkan.Lantas, keduanya kembali membentang jarak. Tak ada candaan atau guyonan yang bisa mereka lempar meski dari kejauhan. Tak ada pesan singkat atau pesan suara yang bisa mereka saling kirim untuk saling menenangkan.Hari sudah hampir senja saat Ganes memilih beristirahat di gudang belakang gedung kesenian. Meski ia telah diperkenalkan pada beberapa seniman pendukung untuk saling bersinergi dalam drama yang akan didebut, tetap saja ia tetap b
Ganes mondar-mandir di depan kamar perawatan. Ia yang tampak gusar, mau tak mau menggigit bagian bawah bibirnya hingga hampir berdarah.Sesekali, ia akan melongok ke dalam kamar, mencoba memastikan bahwa Nyonya Saras masih baik-baik saja. Terlebih, setelah usaha sang mentor yang menyelamatkannya dari marabahaya.Beruntung, letak strategis gedung kesenian tak membuat banyak pihak kelimpungan. Ambulans yang dihubungi bisa langsung tiba lima menit kemudian. Lantas, membawa Nyonya Saras untuk dirawat sebab mengalami sesak napas hebat.Pintu kamar ruang UGD telah terbuka. Ganes terburu-buru mendekat, mempertanyakan keadaan sang mentor utama."Ibu Saras hanya sesak napas. Mungkin, dia terkejut akan sesuatu dan merasa shock. Itu saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."Pernyataan sang dokter jaga, berhasil membuat Ganes meluruh ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya usai mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan pertama yang diberikan.Ganes bangkit dengan pelan. Ia hendak masuk saat m
Ganes masih diam seribu bahasa meski Nyonya Saras mengajaknya bicara. Keduanya telah tiba di sebuah rumah yang cukup besar di tengah kota tepat sebelum jam menunjuk ke angka delapan malam.Ganes yang masih terkejut dengan fakta yang ada hanya bisa mengunci mulut rapat-rapat. Tak ada yang bisa ia katakan selain kekecewaan yang lebih dalam dari sebelumnya.Melihat sang murid yang masih enggan bicara, Nyonya Saras memilih membuatkan wedang rempah. Ia sendiri merasa begitu terkejut dengan pengakuan Rajendra. Akan tetapi, yang lebih ia takutkan adalah mental Ganes menjelang debut kali pertama.Di tanah seluas sembilan puluh meter persegi, rumah split level dengan nuansa minimalis yang ditinggali Nyonya Saras, kedua perempuan beda usia itu sibuk mengeja masing-masing perasaan. Ganes dengan banyak praduga, sedangkan Nyonya Saras menggeprak banyak rempah.Beberapa kali, geprakan Nyonya Saras yang kencang nan keras tak membuat Ganes teralihkan. Sebaliknya, perempuan dua puluh satu tahun itu me
Ganes menghela napas panjang. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran sang kawan. Terlebih, niat yang dikukuhkan demi bisa menyainginya.Padahal, Ganes tak pernah melupakan Diana. Ia bahkan selalu berterimakasih atas segala hal, meski tak pernah diterima. Namun kini, alih-alih mendukung ia akan mendapat tusukan dari kawan sendiri.Ganes telah menyelesaikan tiga permintaan antar dari aplikasi ojek online yang menaunginya. Ia memilih menepi sebentar di pinggir jalan. Bukan untuk sarapan, melainkan untuk membuka pikiran.Sudah barang pasti ada hal yang tak memuaskan bagi Diana hingga harus berniat hendak menusuknya dari belakang. Walaupun Ganes tak tahu pasti apa itu, tapi ia memaksa untuk mengingat banyak hal.Nyatanya, ia merasa memang tak pernah punya salah. Begitu pun Diana. Tak ada tanda-tanda sikap Diana yang berubah. Terlebih, setelah ia diberikan peran untuk debut pertama.Mau tak mau, Ganes mencoba menghubungi sang kawan. Telah ia kirimkan pesan singkat pada Diana hanya
"Apa yang membuatmu begitu ikut campur atas masalah keluargaku, Nes? Masalahmu sendiri saja, kamu tak mampu menyelesaikannya! Lantas, kenapa ikut campur masalah orang?"Pertanyaan Diana terus terngiang dalam kepalanya. Sudah berhari-hari ia tak lagi bertemu dengan Diana. Jangankan bertemu dan kembali bersenda gurau, untuk saling menyapa dalam pesan singkat pun keduanya terlihat enggan.Ganes dengan kekecewaannya yang mendalam sedangkan Diana dengan kekesalannya sebab dituduh sedemikian rupa. Sudah tujuh hari pula ia bekerja lebih dari delapan jam tiap harinya demi menebus jam tayangnya saat pertunjukan.Bak didatangi Dewi Fortuna. Hal itu lantas membuat Ganes terlihat lebih sibuk dari biasanya. Dengan begitu, ia tak harus segera pulang ke rumah. Usai bekerja, ia akan melanjutkan pekerjaan utamanya sejak beberapa tahun silam, yakni menjadi sopir ojek online.Selama bekerja pun, tak ada satu patah kata yang bisa ia ungkap selain menjawab sapaan para aktris muda. Penampilannya dalam debu
"Saya tak pernah kenal dengan orang tua saya, Bu. Jangankan nama, darah yang mengalir saja tak akan mampu lagi mengenali mereka."Pernyataan yang masih terngiang-ngiang dalam kepala Ganes itu benar-benar membuatnya memikirkan banyak hal. Meski ia sendiri yang mengatakan demikian, tetapi saat mengingat ucapan Rosmana, ia mulai resah nan bimbang.Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh setelah ia ngebit beberapa jam sepulang dari kediaman Nyonya Saras. Tujuh permintaan antar pun telah ia selesaikan dalam waktu dua jam. Lantas, segera ditujunya bangunan dua lantai yang menjadi tempatnya berpulang setelah sadar hari kian malam.Ganes telah merebahkan badan di kasur lantainya. Spon busa densiti tinggi itu berhasil meredam sakit punggung dan pinggangnya seketika. Ia mendesah panjang, lantas kembali terpikirkan mengenai jawaban Nyonya Saras.Bukan tanpa sebab. Tepat usai ia membersihkan badan, kala ia sibuk menenggak teh rempah buatan Nyonya Saras, ada yang membuatnya begitu resah. Melihat sang
Tujuh hari pertunjukan Ganes telah usai. Namun, hutang pekerjaan Ganes belum juga terbayar. Sejak awal, Rajendra memang telah menyiapkan segalanya. Mengenai neraka yang berkemungkinan akan membuat Ganes jera.Meski ada tanda tangan di atas kertas mengenai pertunjukan yang masih berada di jam kerja telah dihitung kerja, tetapi nyatanya ada catatan terakhir yang membuat Ganes rugi besar."Sialan emang si Jendra. Aku baru tau kalo pas tanda tangan mesti baca semua poin yang tertuang. Yang kutahu kan, cuma perjanjian bahwa pertunjukanku termasuk jam kerja."Gerutuan Ganes tak juga berhenti meski jam sudah menunjuk ke angka lima. Meski ia tak lagi berlatih di aula seperti yang sudah-sudah, tetapi tetap saja ia sudah bekerja lebih dari delapan jam."Sialnya, itu poin malah tercetak lebih kecil dan ditebalkan. Bodohnya, aku enggak baca. Halah. Emang otak si Jendra aja yang liciknya enggak kira-kira."Sekali lagi, Ganes tengah moping sembari terus mengomel tanpa jeda. Padahal, tak ada lagi se
Ganes baru saja usai memerankan pertunjukan di hari keduanya usai debut pertama kemarin sore. Dibukanya senyum lebar saat melihat Faruk yang datang sembari membawa buket uang.Bukan tanpa sebab. Sebagai permintaan maafnya tempo hari, Ganes memilih mengirimkan Faruk tiket pertunjukan.Kebetulan, Faruk pun tengah mengambil cuti sebab kondisi kesehatan yang tak memungkinkan. Itu sebabnya, ia bisa hadir memenuhi undangan dari sang kawan."Aku enggak nyangka, Nes, kamu sehebat ini. Sumpah, Ganes yang dulu ingusan, nangisan, gembengan, suka cari gara-gara, bisa semenakjubkan ini. Enggak salah emang kalo aku jadi kawanmu sejak dini. Membanggakan sekali!"Ganes tersipu mendengar pujian Faruk yang tiada habisnya. Ia telah menerima buket uang bernilai ratusan ribu dengan senyum mengembang. "Jangan muji terlalu tinggi, Ruk. Aku masih sebutir nasi di tengah kuah soto yang lagi dipanasi. Ngeri kalo sampek ledeh sendiri."Faruk terbahak-bahak. Ia telah menepuk bangku kosong di sebelahnya demi mengu
Ganes mulai membuka ponsel saat merebah di kamar. Beberapa headline berita ternama, menyorot namanya yang mulai banyak dikenal. Beberapa kali, senyumnya terkembang. Namun, tepat saat ia hendak berbangga dengan pencapaian diri, ia teringat akan kesalahannya sendiri.Ganes berusaha menarik napas dalam-dalam. Dibukanya salah satu pesan dalam aplikasi dalam jaringan. Dibukanya nama profil dengan gambar sang kawan sejak masih di panti asuhan.Ia ingat betul, beberapa hari sebelum debut pementasannya tiba, ia salah paham dengan apa yang terjadi pada Diana. Ganes masih berutang maaf, meski persahabatan mereka lebih dari sekadar terima kasih dan maaf."Kamu ngapain Diana, Ruk?" tanya Ganes kala itu.Ia yang telah naik pitam sebab melihat kondisi Diana yang awut-awutan, langsung melabrak sang kawan yang dikenal bak playboy kelas teri sejak masih sekolah."Ngapain Diana gimana? Aku kenal Diana aja enggak. Cuma sekedar ngomong berdua dan tanya-tanya. Titip salam juga. Enggak ngapa-ngapain, kok,"
Ganes tercekat. Kerongkongannya kering kerontang. Entah kenapa, pernyataan Tari berhasil membuatnya mematung di tempat.Butuh waktu lebih dari semenit untuk Tari pergi dari sisi lain tempat Ganes mengerjap-ngerjap. Lantas, di detik berikutnya, Ganes telah menatap gamang seluruh gemerlap malam.Dadanya terasa sesak. Begitu juga dengan geliginya yang terus menggemeletuk tak keruan.Hampir saja kaca-kaca di kedua matanya pecah saat Diana dan Emak tiba di hadapan. Cepat, Ganes menatap angkasa malam. Langit gulita yang dipenuhi kerlap-kerlip bintang usai badai menerjang."Bagus kan langitnya? Padahal, tadi ujan badai. Angin kenceng juga. Tapi yang di dalem enggak denger apa pun karena saking terpukaunya orang-orang sama peran yang kamu mainkan."Ganes masih mengerjap-ngerjap. Ia mengangguk meski kepalanya terus mendongak.Melihat tingkah absurd sang kawan, Diana makin kebingungan. Ditatapnya sang emak yang sudah ikut mendongak, lantas ia turut serta menatap langit malam yang kelam. "Ada ap
"Selamat, Ganes! Itu tadi bener-bener luar biasa! Sumpah, aku Sampek merinding pas ada yang nyambukin! Kesel sama si Geral. Sumpah! Udahlah jahat, mau sok jadi orang yang ngadopsi Jean, malah enggak taunya Jean yang udah belajar berdiri diperlakukan kayak binatang lagi hanya demi duit. Setan, emang!"Ganes tertawa saat mendengar apresiasi dari sang kawan. Ia hanya mengangguk, lantas kembali berterimakasih atas kehadiran mereka."Makasih banget, sudah mau jadi bagian dari pertunjukan ini. Makasih, Bu Ros, Emak, Mama sama Mami."Mama, sebutan untuk pengurus panti yang ia kirimi tiket pertunjukan VIP pun hanya bisa mengangkat kedua jempolnya setinggi dada. "Akhirnya, apa yang pernah kamu cita-citakan, apa yang pernah kamu kagum-kagumkan, benar-benar tercapai. Selamat, Ganes."Mendengar itu, kaca-kaca pada kedua mata Ganes pun tercipta. Ia teringat akan sosok Bunda, orang yang terus mendukungnya sejak lama. "Hanya ini yang bisa kubanggakan."Mami menunjukkan gambar yang diambil melalui po
Terang saja, seluruh penonton menganga tak percaya. Di detik berikutnya, mereka semua bertepuk tangan kian meriah, seolah-olah menyambut baik usaha Ganes yang terus memerankan perannya dengan baik.Butuh lebih dari tiga jam untuk sandiwara teater itu berjalan dengan sempurna. Meski di pertengahan drama, seluruh lampu penerangan padam begitu saja. Namun, para aktor dan aktris itu tetap bersandiwara dengan baik.Walaupun begitu, penerangan dibantu dengan beberapa cahaya lampu sorot tangan. Nyatanya, diesel yang dimiliki pun tak mampu mengangkat konsumsi listrik gedung sebab kurangnya pemeliharaan.Beruntungnya, suasana remang-remang yang tercipta tanpa direncanakan itu berhasil memberi nuansa baru pada drama yang dibintangi oleh sang aktris di debut perdananya. Tepuk tangan kian riuh, bergemuruh saat Ganes dan kawan-kawan tampil di depan panggung, memberi salam terakhir saat Jean berhasil berjalan dengan kedua kaki.Debut Ganes sukses besar. Seluruh orang bertepuk tangan, bersiul, bahka