Viza mendorong meja mengikuti OB yang sudah lebih dulu mendorong meja lain. Runa menyusul, mendorong meja mengiringi langkah Viza.“Ternyata Mbak Viza pantes juga pakai seragam itu! Hi hiii…” Runa mengejek Viza.Yang diejek tak merespon.Viza terus mendorong meja tanpa sedikit pun menoleh ke arah Runa yang mengiringi langkahnya.“Di sini ternyata banyak yang membuli Mbak Viza ya? Mbak Viza itu sial makanya dimana-mana nggak disukai orang, mereka bahagia sekali setiap kali melihatmu menderita,” imbuh Runa.Tak ada tanggapan dari Viza. Buang-buang tenaga bila harus menanggapinya. Biarkan saja Runa terus mengoceh sampai mulut berbuih. Palingan bete sendiri karena dicuekin.“Mbak Viza boleh aja nggak mau bantuin aku untuk bisa menikah dengan Tuan Leo, tapi sebentar lagi Mbak Viza akan kaget saat aku benar-benar dinikahi olehnya. Percayalah, aku sebentar lagi akan menjadi istri Tuan Leo yang terhormat. Ibu sudah siapkan rencana hebat untuk membuat Tuan Leo bersimpuh dan memohon kepadaku,”
“Shit! OB bodoh!” Wanita berkaca mata marah sekali, ia bangkit berdiri sambil menunduk menatap blazer miliknya yang kecipratan warna orange.Dimana-mana, status OB memang dipandang rendah. Tak sulit bagi seseorang memaki OB.Viza tak masalah bila harus dimarahi atas ketidak sengajaan itu. Apa lagi mereka tengah berada di ruang rapat penting, perbuatan Viza tentu menjadi masalah.Suara keras si wanita berkaca mata itu membuat pembicaraan terhenti dan sejurus pandangan tertuju pada keributan itu.Rapat benar-benar terganggu.Viza menunduk, siap dihukum. Salah atau tak salah, ia telah menjadi penyebab kekacauan itu. Tak mungkin ia membela diri dan mengatakan kalau siku tangannya tersenggol oleh Runa, si biang masalah yang dimana-mana selalu bikin masalah. Pembelaan dirinya tentu tak akan didengar.Vikram terkejut melihat keberadaan Viza. Ia sampai menegakkan punggung dan menatap serius pada wajah yang menunduk itu. Oh ya ampun, bagaimana bisa Viza mengenakan seragam office girl dan sek
Runa mengejar Viza, mengiringi langkah kakaknya sambil mendorong meja. “Mbak, jelaskan padaku. Sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi pada Mas Vikram? Kok dia bisa jadi pemimpin rapat? Kok dia bisa meeting bareng orang-orang penting? Apa sih sebenarnya yang terjadi?”Runa berisik sekali. Viza tak mau menanggapi. Dia pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Vikram. Mustahil Vikram yang katanya supir itu bisa mengikuti rapat penting perusahaan. Ada keputusan besar yang harus diambil dalam rapat, yang tak mungkin seorang supir sanggup memutuskannya.Pikiran Viza diserang berbagai pertanyaan. Dia mulai menduga-duga, apakah mungkin Vikram adalah CEO di perusahaan itu? Apakah Vikram sedang menyamar?Tapi kemudian pemikiran itu disangkal lagi oleh pemikirannya sendiri. Ah, sudah kayak di sinetron-sinetron saja pakai penyamaran segala. Apa tujuan Vikram menyamar jadi supir? Jelas-jelas selama ini Viza melihat Vikram sebagai seorang supir yang kemana-mana selalu menyetir mobil untuk Leo.
“Seperti yang tadi kamu lihat, Vikram memang pimpinan di perusahaan ini,” jelas Mones.Runa terkejut. Meski ia sudah menduga hal itu sejak tadi, tapi tetap saja ia kaget, syok. Tubuh Runa terasa lemas sekali, kepala oyong sampai harus terhuyung ke belakang karena hampir tumbang.Mones memang sedang berbicara dengan Viza, tapi Runa yang hanya mejadi pendengar itu malah merespon dengan luar biasa.“Jangan berpikir negatif tentang Vikram, apa lagi sampai menduga dia menipumu, atau membohongimu. Dia melakukan semua ini bukan tanpa alasan,” sambung Mones menatap Viza lekat.“Aku tahu kok kenapa Mas Vikram membohongiku tentang statusnya. Aku tahu kenapa dia lakukan ini ke aku. Kamu bersekongkol dengan Mas Vikram untuk masuk di kehidupanku dengan tujuan dendam pada keluargaku. Aku hanya tameng, benar kan?” Viza tampak kecewa, beranggapan bahwa cinta bukanlah alasan Vikram menikahinya. “Inilah yang Vikram takutkan, kamu akan salah paham. Oleh sebab itu dia memintaku menjelaskan kepadamu seb
Mones pasrah. Menatap punggung Viza hingga hilang dari pandangan. Tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis. Sumber suara berasal dari bawah. Mones menunduk untuk melihat suara tangisan. Rupanya Runa. Gadis berseragam OB itu tengah terduduk di lantai sambil terisak, tersedu sedan.Mones tak menggubris. Ia melenggang pergi.Runa mengambil hp. Lalu dengan tangan gemetaran, ia memencet-mencet nama yang ada di kontak. “Ibu. Aku harus segera telepon ibu.” Runa menempelkan hp sesaat setelah menekan nama yang dicari.Sambungan telepon terhubung. “Hai Runa, tumben telepon aku. Kamu pasti kangen kan? Jadi bagaimana? Sudah mau menerima cintaku? Apa kubilang, setelah kamu putus kuliah, pasti kamu nggak laku dan akan mengemis cintaku.” Suara di seberang mengejutkan Runa. Kenapa malah suara cempreng seperti kaleng rombengan yang menyahuti? Runa terkejut saat mendapati nama Ibnu di layar hp nya. Rupanya ia salah pencet, niatnya memencet nama ibu, malah kepencet Ibnu, lelaki yang sering mengejar
Tarian adat Minang dipersembahkan di panggung, musiknya sangat manis, tariannya pun menghibur dan mengagumkan mata yang memandang.Setelah tarian usai, host berkerudung biru kembali melangkah menuju podium, tepat di tengah-tengah panggung. “Baru saja kita saksikan pertunjukan tarian daerah, indah sekali. Baiklah, selanjutnya kita akan sambut owner perusahaan yang akan hadir dan memberikan beberapa hal penting. Marilah kita sambut…”Belum selesai host bicara, tiba-tiba terdengar suara menyahuti. Suara itu bersumber dari mikrophon. Suaranya masuk ke speaker. Tapi tak tahu pemilik suara siapa sebab pelakunya tak kelihatan, dia berada diantara kerumunan.“Tuan Leo yang terhormat, Anda selaku owner di perusahaan ini telah lari dari tanggung jawab, Anda berusaha untuk meninggalkan putriku setelah menghamilinya.” Suara itu menggema melalui speaker yang ada di sudut ruangan.Semua orang terkejut, heran hingga mereka saling bicara satu sama lain, menimbulkan suara seperti segerombolan lebah.
“Maaf, ada kesalahan tekhnis, drama yang seharusnya ditampilkan, terpaksa harus saya potong karena waktu yang mendesak. Saya tidak bisa berlama-lama di sini.” Vikram ngeles sambil pura-pura melihat jam di pergelangan tangan seolah ia sedang dikejar waktu.Mulan tercekat menatap keberadaan Vikram, tubuhnya mendadak kaku.“Saya tidak akan lama, simpel saja. Baiklah, terima kasih atas semua hadirin yang sudah meluangkan waktu di kesempatan ini. Merupakan kehormatan besar bisa dikunjungi oleh para hadirin. Ini adalah wujud rasa syukur saya atas semakin berkembangnya bisnis yang saya bangun. Hari ini, perusahaan sudah bertambah usia. Semakin jaya dan sukses. Dengan berdirinya pabrik yang baru, maka di hari ini saya ucapkan rasa syukur, Alhamdulillahi rabbil Aalamiin.” Tidak lama Vikram berpidato, sekitar lima belas menit, ia mengungkap rasa syukur dan menceritakan garis besar perjuangannya membangun perusahaan hingga bisa seperti sekarang ini.“Dengan adanya acara ini, maka saya buka pab
Viza menatap satu per satu wajah-wajah polos itu. Mayoritas mereka masih muda. Mereka menunduk sopan. Melihat sikap mereka begini, Viza kini sadar bahwa mereka meras asungkan pada Viza karena dia adalah istri majikan. Pantas saja mereka selalu bersikap hormat kepadanya.“Kalian tahu kenapa aku meminta kalian kumpul kemari?” tanya Viza.Semuanya menggeleng.“Aku ingin tanya ke kalian, sudah lama bekerja di sini kan?” tanya Viza.“Sudah!” Semuanya serentak seperti koor.“Berarti kalian tahu kalau Mas Vikram itu majkan kalian di sini kan?” tanya Viza lagi.Semuanya membisu, tampak saling kode dan sesekali bertukar pandang.“Dia bukan supir kan? Dia itu pemilik rumah ini, benar begitu kan?” tanya Viza lagi.Tak ada jawaban. Semuanya membisu.“Mbok Parmi juga pasti lebih tahu kan soal ini?” Viza menatap Mbok Parmi.“Tolong jangan membuat kami dalam masalah, Mbak.” Mbok Parmi menatap sayu. “Aku tahu kalian hanya disuruh, kalian harus patuh dan nggak berani membantah, tapi aku udah tahu se
“Rejeki itu Allah hadirkan nggak hanya melalui tangan Vikram saja, ada banyak cara untuk kamu bisa bertahan hidup tanpa melibatkan Vikram maupun Viza,” sahut Fairuz. “Aku hanya tidak ingin berurusan dengan keluarga Bu Mulan lagi. Hubungan yang tidak baik maka lebih baik disudahi atau dijauhi, ini sama dengan menjauhi mudharat. Jadi inilah keputusanku!” Vikram lalu melenggang pergi. “Mbak Viza, kamu nggak kasian sama Bapak? Bapak lagi sakit. Ibu dan bapak nggak punya rumah hingga menumpang di rumahnya Mas Leo. Kami bahkan sekarang nggak punya penghasilan. Aku pun sedang hamil. Tolong bantu kami!” Runa memohon pada Viza, takut hidupnya akana sengsara jika tanpa pendapatan. “Mbak Viza diam-diam bisa kirimin aku uang, tolonglah Mbak. Bantu bapak berobat juga.” “Aku taat sama suamiku. Aku nggak berani berkhianat di belakangnya,” sahut Viza. “Mbak, tapi keadaan kami benar-benar down.” Wajah Runa memelas. “Kamu punya suami yang sempurna secara fisik, dia juga sehat walafiat. Insyaa
Viza ikutan membaca tulisan itu. (Teruntuk Viza tersayang, Saat kamu membaca tulisan ini, mungkin aku sudah tiada. Atau mungkin aku telah celaka dan dalam keadaan kritis. Atau bisa saja baik-baik saja. Kemungkinan buruk itu bisa saja terjadi padaku saat aku menabrak suamimu, biarkan dia m4ti. Aku pun tak masalah jka harus meregang nyaw4 untuk kematirn Vikram. Jika bukan aku yang memilikimu, maka orang lain pun tidak boleh. Sudah sangat lama aku rencanakan kematiannya, biarlah aku ikut m4ti jika memang dikehendaki m4ti. Viza, aku sudah sangat lama memendam rasa cintaku kepadamu. Bagaimana mungkin aku merelakanmu dimiliki lelaki lain? Hidupmu hanyalah untukku. Itulah cita-citaku selama ini. Surat kaleng itu kiriman dariku. Tujuanku hanya satu, memberikan kebahagiaan untukmu. Leo telah memberikan informasi akurat untukku bisa menuliskan surat itu. Tentu saja dengan bertukar keuntungan. Aku ijinkan Leo menikahi wanita yang diam-diam dia cintai, yaitu Runa. Aku pun mendapatkan keuntun
“Mas Vikram!” Viza menghambur dan memeluk erat suaminya. Tangisnya kembali pecah.Tubuhnya gemetar hebat dalam pelukan sang suami. Ia tak menyangka masih bisa bertemu dengan Vikram setelah mengira sang suami tak akan pernah kembali lagi.Dan kini, Viza bahkan masih bisa memegang suaminya, memeluk pria itu dengan erat.Tak lama Viza merasakan elusan di punggungnya. Deraian air mata Viza semakin deras merasakan elusan lembut itu. Artinya sang suami masih mau menerimanya dengan baik.“Mas, kupikir kita nggak akan ketemu lagi. Kupikir kamu pergi meninggalkan aku. Kamu udah janji mau menjagaku. Aku nggak mau kamu pergi. Kamu harus tepati janjiku.” Viza sesenggukan.“Tidak. Aku tidak pergi. Aku di sini,” lembut Vikram.Hati Viza basah mendengar suara lembut itu.“Mas Vikram masih sayang sama aku kan?” tanya Viza.Tak menjawab, Vikram malah mengerang. “Aaargggkh….”Viza mengernyit. Ia melepas pelukan dan memundurkan wajah, menatap sang suami bingung. “Sakit? Mana yang sakit?”“Punggung dan
Viza memegang kepalanya, jantungnya berdetak sangat kencang. Takut sekali. Kemungkinan buruk itu sudah bertengger di kepala Viza. Tangannya gemetar saat menggeser tombol hijau. “Ha haloo…” Suara Viza lirih. “Nyonya, sebaiknya Anda segera ke rumah sakit sekarang. Maaf, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi….” Mendengar kalimat yang diucapkan dokter, Viza sudah tahu sambungannya. Dia menjauhkan hp dari telinga. Menurunkan benda pipih itu ke bawah. Ia tak perlu mendengar sambungan kalimat dari dokter. Dengan langkah gemetar, Viza menuju ke kamar yang dituju. Tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menerobos masuk ke kamar sesaat setelah mendorong pintu. Suster menutup bagian wajah pasien dengan kain. Dokter melepas handscoon dan bersiap hendak keluar kamar. Dokter menunjuk Viza dan berkata, “Anda…” “Istri korban,” lirih Viza menatap sayu. “Maaf, kami sudah melakukan semaksimal mungkin, tapi sudah terlalu jauh dari kata selamat. Nyawa suami Anda tidak bisa diselamatkan. Tuhan b
“Semua kesalahan masih bisa dimaafkan.” Fairuz berusaha menenangkan putrinya. “Vikram memang kecewa berat sama kamu, tapi pasti dia akan kembali kepadamu. Jangan khawatir ya. Ibu tahu kok bagaimana Vikram. Dia anak yang baik.” “Bagaimana kalau Mas Vikram membatalkan pesta pernikahan kami? Dia pasti nggak peduli meskipun uang milyaran yang dia gunakan untuk pesta pernikahan terbuang sia-sia.” “Nanti bisa kamu bicarakan baik-baik dengannya. Kalau hati Vikram sudah lega, dia pasti bisa diajak bicara secara dewasa kok. Ini hanya karena dia lagi emosi aja.” Viza menghela napas. “Sebenarnya, yang paling aku takutkan itu satu hal, bagaimana kalau rasa sayangnya ke aku jadi hilang gara-gara ini?” “Nggak semudah itu.” Fairuz mengusap punggung tangan putrinya dengan senyum. Perkataan Fairuz berhasil mengurangi sedikit kecemasan Viza. Meski itu hanyalah kata-kata sekedar menghibur saja, atau memang sungguhan pendapat Fairuz benar, yang jelas Viza merasa mendapat support. Brrrt brrrrt…
Cekrek cekrek. Kilatan kamera memotret wajahnya dari berbagai sisi dan berbagai gaya pula. Bibir dibikin manyun, dibikin tersenyum, jari membingkai wajah, dan berbagai macam gaya. Viza memilih beberapa gambar dan mengirimkannya ke nomer Vikram. Tak mengapa nakal sedikit sama suami. Halal. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Caption di gambar juga dibikin nakal. ‘Mas gk pingin ketemu nih?’ ‘Aku salah, tapi aku kangen. Gimana dong?’ ‘Maafin aku ya, sayang. Pulang dong. Mau peluk.’ ‘Kalau Mas Vikram di sini, aku lepas semuanya deh.’ Pesan terkirim. Centang dua. Tapi tidak dilihat juga. Lama menunggu, bolak balik mengecek, tetap saja tidak dibaca. Duh, kok jadi cemas ya? *** Viza menggeliat di atas kasur empuk. Kasur ini memang nyaman sekali. Bikin betah berguling bebas di sini. Eh, tunggu dulu. Kok Viza sudah berada di atas kasur? Seingatnya, tadi malam ia ketiduran di kursi dekat jendela. Lalu siapa yang mengangkat badannya ke kasur dan bahkan menyelimuti dengan bed co
Gubrak! Viza tersungkur setelah tersandung. Duh, Vikram kali ini lengah, dia tidak menangkap badan Viza. Entah pria itu sedang tidak sigap, atau memang dia sengaja tak mau menangkap badan Viza. Dada Viza yang masih dalam masa perkembangan itu sakit sekali. Kalau suami marah, efeknya Viza jatuh sendiri, bangkit pun sendiri. Tanpa bantuan. Eh, Viza melihat tangan terjulur ke depan wajahnya. Pandangan Viza naik dari telapak tangan menuju ke wajah. Wajah datar Vikram dingin sekali. Viza tersenyum menyambut tangan suaminya. “Terima kasih, Mas.” Meski dibantu dengan muma dingin, namun Viza tetap menunjukkan sikap manis. Viza sedang berusaha melukuhkan hati suaminya, maka jangan putus asa. “Diamlah supaya tidak terjatuh!” titah Vikram kemudian melenggang keluar rumah. Pria itu masih terluhat dingin. “Mas…… Tunggu….!” Viza mengejar Vikram. “Aku minta maaf. Plis, jangan marah! Mas, aku sayang kamu.” Vikram masuk ke mobil. Senyum Viza perlahan lenyap menatap mobil yang kemudian
Hening.Beberapa detik benar-benar sunyi.Lalu terdengar suara sepatu melangkah mendekat. Vikram berada tepat di belakang Viza.Caruk leher Viza sempurna meremang. Ia kemudian bangkit berdiri, memutar badan hingga menghadap dengan Vikram. Mereka bertukar pandang.Wajah Vikram tak seperti biasanya. Pria yang selalu terlihat manis dan hangat, kini dingin. Tatapannya pun dingin.“Mas, aku…”“Aku bahkan telah membatalkan meeting dengan dua klien besar untuk makan malam kita di restoran kemarin,” potong Vikram datar. Viza semakin merasa bersalah. Aduh, bagaimana ini? Vikram pasti merasa sangat kecewa. Begitu banyak hal besar telah dia korbankan demi hal kecil bersama dengan keluarga kecilnya, tapi istrinya ini malah memporak-porandakannya.Demi apa Vikram melakukan hal itu? Tentu demi rasa sayangnya pada Viza. Huh, kenapa Viza bisa termakan ucapan si pengirim surat kaleng itu?“Maaf, aku sudah mengacaukan semuanya.” Viza berucap lirih.“Tidak ada bulan madu ke Mesir, tidak ada pesta.”“Ta
“Ucapanku ini berlaku jika memang tuduhanmu benar, tapi kenyataannya tuduhanmu ini keliru. Kamu salah paham, Viza.” “Kalau begitu jelaskan dan luruskan dimana letak kesalahpahamanku supaya aku mengerti.” Mones mengusap air mata, tangisnya sudah terhenti. Ia menarik napas untuk menenangkan diri. “Memang benar aku mencintai Vikram sejak lama, aku menyimpan perasaan itu, aku memendamnya karena takut persahabatan kami akan rusak oleh perasaan yang nggak seharusnya. Juga karena aku takut dia akan menjauhiku saat tahu aku mencintainya,” jelas Mones. “Setahuku, Vikram hanya mencintaimu. Dia nggak pernah mencintaiku. Bahkan setelah dia mendengar pengakuanku di restoran waktu itu, bahwa aku mencintainya, responnya sangat datar. Dia bilang supaya aku profesional kerja. Sebab dia sudah beristri.” “Lalu, kartu undangan itu apa?” Viza menunjuk kartu undangan di tangan Mones. “Ini?” Mones mengangkat kartu itu. “Ini adalah salah satu bentuk dan caraku menuangkan rasa cintaku ke Vikram. Ini car