Bab 1 : Anak Haram
"Apakah dia anak itu?" tanya seorang wanita pada Rania, "bukankah dulu aku sudah memintamu untuk menggugurkannya?"Rania tertawa lalu berkata, "sudah, tapi sepertinya dia terlalu kuat. Mungkin untuk menunjukkan bahwa dia bisa melindungi ibunya dari orang-orang jahat yang ingin membunuh mereka dulu, dan sialnya mereka adalah ayah dan tante dari anak itu."Rahang wanita di sebelah Rania mengeras, ia benar-benar emosi melihat anak yang di bawa mantan sahabatnya ke wilayahnya begitu mirip dengan kakaknya, "jangan pernah macam-macam, kalau sampai karir kakakku hancur, aku tidak akan memaafkanmu!" ancam wanita itu pada Rania."Lucu sekali, bukankah di sini aku adalah korban? Tapi mengapa kalian bersikap seolah aku adalah tersangka?" Rania mengatur emosinya, "kalau malam itu kamu tidak memberiku obat sialan itu, semua itu tidak akan terjadi. Kakakmu yang tega merenggut masa depanku, menitipkan benihnya di rahimku. Menjanjikan sebuah tanggung jawab tapi malah menikah dengan orang lain, lalu mengancam akan menggagalkan pernikahan kakakku kalau aku membuka suara. Tapi mengapa sekarang aku yang seolah berbuat jahat pada kalian?""Kamu sudah hidup bahagia di luar sana, mengapa harus kembali ke sini?""Jangan lupa, ini juga tanah kelahiranku. Ada keluargaku di sini. Kenapa itu jadi masalah buatmu?""Apa sebenarnya yang kamu rencanakan, kamu ingin balas dendam?" ucap wanita itu berapi-api."Balas dendam? Sejahat apa kamu dulu, hingga takut aku akan balas dendam. Apa begitu susah untuk meminta maaf?" ujar Rania tanpa meninggikan suaranya.Wanita itu adalah Sinta, sahabat Rania, dulu. Mereka dulu begitu akrab hingga tidak terpisahkan, Sinta pula yang membuat Rania bisa berpacaran dengan Andra, kakak Sinta. Suatu malam saat ulang tahun Sinta, ia mengajak Rania, Andra dan sedikit teman mereka untuk merayakan ulang tahun Sinta. Rania sempat menolak tapi Sinta terus memaksa."Wanita seperti kamu memang pantas mendapat nasib buruk. Kamu yang lebih dulu merebut orang yang kucintai. Aku hanya membalas sakit hatiku," ujar Sinta ketus."Apa kita bisa mengatur perasaan orang. Aku dulu begitu baik padamu. Menolak lelaki yang dengan gencar mengejarku. Namun, ternyata kamu begitu kejam. Andai waktu bisa diputar, aku akan memilih menerimanya dan hidup bahagia dengannya. Tanpa peduli perasaan sahabat yang tega merusak masa depanku.""Pergi dari sini secepatnya!" Lagi-lagi Sinta mengancam Rania."Mengapa kamu harus takut? Bukankah setiap perbuatan ada karmanya, entah itu baik atau buruk."Ini bukan mau Rania, sejujurnya ia tidak mau kembali ke tempat ini. Selama empat belas tahun ia meninggalkan tempat ini, jika bukan karena ibunya sakit dan sang kakak merengek memintanya pulang, ia tidak akan menginjakkan kakinya di sini.Baru kemarin ia datang, tapi semua orang sudah heboh dengan kehadirannya. Bagaimana tidak, Rania datang dengan seorang anak remaja dengan paras yang begitu mirip kepala desa mereka. Kasak kusuk mulai terdengar, ada yang bilang Rania begitu membenci Andra saat ia hamil dulu, makanya anaknya bisa semirip itu. Ada pula yang mengatakan anak itu memang anak Andra sang kepala desa.Tahun ini Andra akan maju ke dunia politik, ia akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Hal itu pulalah yang membuat langkah Sinta sampai di rumah ibu Rania, ingin menemui mantan sahabatnya dan menutup kemungkinan buruk. Jangan sampai karena kehadiran Rania dan anaknya, membuat pencalonan sang kakak menjadi gagal."Kakakku sudah bahagia dengan keluarganya, jangan sampai impiannya menjadi anggota dewan gagal hanya karena kamu membawa anak haram itu. Pergi dari sini, aku akan memberi berapa pun uang yang kamu minta," ucap Sinta."Seratus miliyar," ujar Rania."Gila kamu!" hardik Sinta."Bukankah tadi kamu menyatakan berapa pun? Lalu kenapa kamu terkejut. Membesarkan anak seorang diri, hingga dia bisa sebesar itu. Kamu kira itu murah? Aku yakin, uang bukanlah hal yang sulit untuk kalian," ucap Rania dengan senyum miring tercetak di sudut bibirnya."Seratus miliyar itu tidak sedikit. Itu tidak sepadan dengan anak haram yang kamu lahirkan. Lagian, dia hanya akan membuat kamu malu.""Aku kira kamu udah menjadi orang baik yang datang ke sini karena mengunjungi teman yang sedang kesusahan, ternyata kamu masih selicik dulu," ujar Rania, " dia memang anak haram, tidak perlu pengakuan siapa pun. Jadi kamu nggak perlu takut, dia nggak akan pernah datang pada Kakakmu," lanjutnya."Siapa yang menjamin kalau Kakakku akan baik-baik saja sementara kamu tetap berada di sini? Wajahnya begitu mirip dengan Kakakku, semua orang pasti akan curiga." Sinta mulai frustasi, hal ini tidak pernah ia duga."Bukankah dulu kalian yang merencanakan semuanya? Mengapa sekarang harus takut? Aku bisa menjamin kalau dia tidak akan mendatangi Kakakmu. Peringatkan saja pada Kakakmu untuk tidak mencari tau atau mendekati anakku." Rania masih sangat ingat kemarin Andra sudah berani memperhatikan anaknya saat mereka tidak sengaja bertemu.Sinta berdiri dengan kesal. Ini bukan seperti yang ia bayangkan. Ia mengira Rania masihlah selemah dulu. Sinta pikir, Rania hidup menderita bersama anak haramnya. Akan dengan mudah mengusir Rania dengan uang. Namun, nyatanya Rania sudah banyak berubah. Ia kini seperti punya kekuatan yang tidak dimiliki Sinta."Aku akan mengawasimu!" Sinta pergi tanpa permisi.Sinta datang ke rumah Ibu Rania setelah mendengar banyak gosip tentang anak Rania yang begitu mirip dengan Kakaknya. Ia terkejut saat melihatnya sendiri.Ancaman Sinta untuk menggugurkan kandungan itu, ternyata diabaikan oleh Rania. Sinta merasa Rania memang menantangnya.Sementara Rania mengira Sinta akan meminta maaf karena masa lalu mereka, tapi ternyata Sinta tetaplah Sinta yang tidak punya hati."Tadi siapa, Bun?" Revan, anak Rania mendekat pada Ibunya setelah bermain dengan sepupunya. Anak remaja itu tumbuh dengan cepat, kini tingginya sudah melebihi sang Ibu dan parasnya sungguh tampan."Temen Bunda. Kamu abis main apa?""Main bola di lapangan sebelah SD. Banyak temennya Mas Riki juga di sana," jawab Revan."Bunda dulu juga suka main di sana, tapi di sebelahnya lapangan. Di sana dulu ada kebun buah. Kebun itu punya teman Bunda, jadi kami sering petik buah yang lagi musim di sana," ungkap Rania mengenang masa lalu."Yang mana, Bun? Tadi pas Revan ke sana, di sebelah itu adanya malah toko besar gitu.""Masak, sih? Berarti udah dijual sama yang punya. Terakhir Bunda di sini, kebun itu masih ada," ujar Rania."Seru ya main di sini, Bun. Revan suka. Liburannya bisa ditambah nggak?" Revan begitu bahagia mempunyai keluarga dan teman baru."Nanti kalau liburan lagi," jawab Rania."Bun, tadi aku ketemu bapak-bapak yang wajahnya mirip banget sama aku, apa dia saudara kita?"Rania terisak di tepi ranjang, pagi itu dia terbangun dalam keadaan tidak berbusana di bawah selimut bersama Andra di sebelahnya. Rania semakin terisak saat rasa sakit itu seperti menghancurkan seluruh hidupnya. Bagaimana bisa Rania tidak mengingat apa pun yang terjadi?"Maafkan aku, aku akan bertanggung jawab kalau kamu sampai hamil. Tunggu dua bulan lagi, aku harus menunggu sampai wisuda," ucap Andra.Tangan Andra telulur untuk mengelus surai Rania, tetapi dengan cepat Rania mengelak, ia merasa jijik dengan Andra dan juga dengan dirinya sendiri. Ia sudah kotor, kesucian yang ia jaga selama ini harus direnggut oleh orang yang begitu ia percaya."Jangan sentuh aku, Mas."Rania berdiri setelah mengambil bajunya yang berserakan, ia berjalan menuju kamar mandi dengan selimut yang membelit badannya.Rania menggosok badannya dengan kasar. Ia bahkan menjambak rambutnya. Ia terisak di bawah guyuran air shower.Selesai mandi ia segera keluar, air mata terus mengaliri pipinya. Andra sudah berp
"Sekali lagi Ibu tanya sama kamu! Siapa bapak dari anak yang kamu kandung?"Ibu Rania murka setelah memgetahui anaknya tengah berbadan dua. Ia adalah seorang janda. Lalu, bagaimana ia menghadapi cemoohan tetangga saat anaknya hamil tanpa suami. Selama ini anaknya dikenal sebagai gadis yang baik.Sudah dua hari sejak kejadian wisuda Andra, Rania masih bungkam tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Seberapa keras perlakuan ibu padanya, Rania tetap memilih diam. Rania tahu betul apa akibatnya jika ia buka suara, bahkan semua yang terjadi saat ini adalah campur tangan Andra dan adiknya. Rania belum memberitahu siapa pun tentang kehamilannya, tapi ibunya sudah lebih dulu tahu. Kuasa Andra dan keluarganya memang tidak terbantahkan.Hanya air mata sebagai jawaban akan semua tanya. Mulut Rania seakan terkunci rapat. Bahkan hanya untuk mengeluarkan suara isakan saja ia enggan. Rania berjanji akan menyimpan rasa sakitnya seorang diri.Risa masuk untuk melihat keadaan adiknya. Ia tidak tega mendenga
Rania menaiki bis malam untuk pergi ke luar kota di mana ia bekerja, beruntung rumah kos yang ia tempati belum habis masanya. Rania mengistirahatkan tubuh lelahnya, ia usap perut yang masih rata itu.Isakan lolos dari mulutnya, ia adalah korban tapi semua orang membencinya seperti ialah tersangka utamanya. Mengapa Tuhan begitu tidak adil padanya?Selama ini Rania selalu berusaha tidak menyakiti orang lain, tapi mengapa ada orang yang begitu kejam padanya. Rasa lelah mendera, Rania mulai memejamkan matanya. Perlahan kesadaran Rania menghilang, ia tidur meringkuk di kasur tipis itu.Paginya Rania memutuskan untuk pergi jauh dari tempatnya, rumah kosnya sudah diketahui banyak orang. Bisa jadi sewaktu-waktu mereka akan mencarinya ke sini, Sinta akan terus memaksanya menggugurkan kandungannya.Rania sudah membuat surat pengunduran diri. Rania keluar dari kos, ia berjalan menuju kos sebelah untuk menitipkan surat itu.Mengetuk pintu, Rania lalu menunggu di kursi depan kamar. Rania cukup se
"Di sini kebanyakan para pekerja, Mbak, jadi kalau pagi sepi. Di depan sana mau dibangun Sekolah Dasar sama Menengah Pertama, kayaknya pembangunan jangka panjang. Kalau Mbak Rania mau, Mbak Rania bisa jualan di depan kontrakan aja. Jual es, kopi sama mi aja, Mbak," ucap ibu pemilik kontrakan. Pagi tadi ibu pemilik kontrakan meminta Rania datang ke rumahnya, ada tawaran pekerjaan katanya. Rania datang pukul delapan setelah selesai mencuci dan membereskan kontrakan. Sudah dua bulan Rania tinggal di kota ini, tapi belum juga mendapat pekerjaan. Jadi dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini."Apa nggak masalah kalau saya jualan di sini? Saya kan penghuni baru, Bu?" jawab Rania, ia merasa tidak enak hati pada para tetangga."Nggak apa-apa, Mbak. Kan, saya yang nyuruh. Kalau ada yang protes, bilangin langsung ke sini aja. Lagian orang sini kalau pagi banyak yang jualan di pasar sampai siang, jadi jarang yang di rumah. Kalau yang di kontrakan malah kebanyakan kerja di pabrik, kadang bisa sam
"Mbak Rania bisa bikin nasi kotak?" tanya salah satu tetangga Rania.Ini sudah tiga bulan Rania berjualan, cukup banyak orang yang mampir untuk sekedar minum es atau kopi dan ada beberapa juga yang memesan mi instan.Baru satu minggu ini Rania berani membuat gorengan. Hanya bakwan dan pisang goreng, tapi nyatanya cukup laris karena mereka bilang rasanya enak dan harganya terjangkau."Buat acara apa, Mbak?" Rania mengaduk kopi, ia lalu menyerahkan pada orang yang menunggu di depannya. Setelah itu Rania duduk di sebelah tetangga yang bertanya tadi."Buat ulang tahun anak saya, Mbak. Nggak banyak kok. Kalau Mbak Rania mau, kan, enak. Nggak usah cari yang jauh."Kandungan Rania sudah masuk tujuh bulan, bayi yang pintar. Tidak pernah menginginkan sesuatu yang disebut ngidam oleh kebanyakan orang, karena jika benar-benar menginginkan sesuatu maka ia akan langsung membelinya."Emang acaranya kapan, Mbak?" tanya Rania. "Kopi satu, Mbak," sela seseorang yang baru tiba."Iya, Pak," jawab Rania
Selama satu bulan saja pesanan datang hampir setiap hari. Dengan bantuan para tetangga yang ikut mempromosikan masakan Rania, membuat banyak orang yang memesan padanya."Kalau nambah orang lagi gimana ya, Mbak? Ini udah mendekati lahiran dan pesanan makin banyak, kalau mau ditolak sayang juga," ucap Rania pada Yati, orang yang membantunya melayani pesanan nasi. Kini ia juga mulai menerima pesanan kue, mencicil peralatan sedikit demi sedikit akhirnya kini peralatan untuk membuat kue semakin lengkap."Kalau emang butuh, nanti aku ajak keponakan. Ada dua yang udah lulus sekolah dan belum bekerja kerena ijazah cuma SMP, mau lanjut sekolah nggak ada biaya," jelas Yati."Nggak pa-pa, Mbak, pokoknya mau kerja keras. Itung-itung sekalian bantu mereka belajar bekerja."Akhirnya Rania menerima dua keponakan Yati untuk membantunya dan satu orang tetangga lagi yang baru pensiun dari pabrik roti, lumayan bisa membantu saat banyak pesanan snack boks dan kue ulang tahun.Rania semakin semangat mengu
"Aku takut, Mbak," ujar Rania pada Yati. Yati memegang tangan kanan Rania, tangan yang satunya mengusap perut Rania. "Nggak usah takut, Mbak temenin kamu di sini. Kalau sakit kamu bilang," ujar Yati."Makasih ya, Mbak.""Sama-sama. Kamu udah Mbak anggep sebagai Adik sendiri. Jangan sungkan.""Tarik nafas yang dalam, Bu, lalu buang dari mulut. Nanti kalau sudah bukaan lengkap saya ke sini lagi," ucap seorang dokter pada Rania.Rania kini tengah berbaring miring, ia merasakan sakit yang semakin sering datangnya. Rania tidak mengeluh, ini adalah salah satu nikmat Tuhan. Anak yang ada dalam kandungannya tidak salah, yang salah adalah perbuatan orang tuanya."Kamu kuat Ran, Mbak bantu doa," ucap Yati. Ia membantu mengelus pinggang Rania."Iya, Mbak, makasih sudah jagain Rania. Kalau nggak ada Mbak Yati, mungkin Rania sendiri di sini." Rania mengusap air matanya yang mengalir."Sudah, jangan menangis. Di sini kita sesama perantau adalah saudara. Kamu harus kuat demi calon bayimu, dia adala
Yati mengurai pelukan mereka. Ia lalu duduk di dekat Rania. "Jangan nangis lagi, kamu sudah jadi ibu sekarang."Rania tersenyum bahagia, ia lalu mengusap air matanya."Udah dapet makan apa belum?" Yati tidak melihat ada apa pun di meja nakas."Belum, Mbak. Tadi sudah dibilangin sama perawat kalau makannya diantar setengah jam lagi. Mbak udah makan apa belum?""Udah, tadi setelah mengurus administrasi, Mbak makan di kantin. Ini tas kamu, Mbak tadi ambil uang buat bayar jaminan sama buat makan," jelas Yati, ia menyerahkan tas Rania."Mbak bawa aja, siapa tau nanti butuh uang lagi. Aku nggak bisa ngapa-ngapain, pokoknya semua urusan aku serahin sama Mbak Yati," ujar Rania.Yati mengambil kembali tas itu, "aku masukin sini ya, nanti aku ambil kalau emang perlu. Habis ini aku pulang dulu ambil baju ganti, nanti mbak Sari yang gantian jagain kamu.""Mbak Sari nggak kerja? Apa nggak ngerepotin? Aku sendiri dulu nggak pa-pa kok mbak," ucap Rania."Nggak pa-pa, Mbak Sari nggak keberatan kok. D
"Lain kali jangan makan sambal terlalu banyak ya, kasihan kalau ibu hamil sakit perut, rasanya pasti tidak nyaman," ucap dokter yang menangani Rania.Memang kemarin Rania memakan rujak buah, sambalnya sangat pedas karena memakai cabai lima. Rania begitu menikmati makanannya hingga ia menghabiskan semua sendiri, hingga akhirnya ia sakit perut.Rania mengangguk, hal ini cukup membuatnya malu karena mengira akan melahirkan.Setelah mendapat resep vitamin, Rania dan Damar pamit pada dokter tersebut."Aku tadi ngiranya kamu bener-bener mau lahiran," ucap Damar saat mereka sudah masuk mobil."Aku juga gitu, kirain si adik mau lahir sebelum waktunya. Perut mules, pinggang sakit, udah kayak mau lahiran Revan dulu," jelas Rania."Lain kali jangan gitu lagi, kasian adek kalau diajakin makan pedes mulu." Rania hanya tersenyum mendengar nasihat suaminya, karena ia tahu kalau kali ini ia memang membuat kesalahan.Hari ini Damar memilih memasak sendiri untuk makan siang mereka, ikan goreng dan osen
Semakin hari nafsu makan Rania semakin meningkat, selama dua bulan saja berat badannya sudah naik enam kilo, perutnya sudah semakin membuncit seperti hamil tujuh bulan, padahal kehamilannya baru memasuki bulan ke empat."Nanti mau dibawain apa?" tanya Damar saat akan berangkat bekerja."Mau roti bakar rasa coklat," jawab Rania. Saat ini ia masih sibuk merajut, baru satu bulan yang lalu Rania memutuskan untuk belajar merajut."Mau bikin apalagi?" Damar mendekat pada istrinya yang masih sibuk sendiri."Bikin topi, baru dapet satu. Besok mau bikin sepatu," jawab Rania. Ini adalah dunia baru dan Rania sangat menikmatinya. Rania sangat bersungguh-sungguh untuk belajar merajut."Kok warnanya merah sama merah muda, kalau anaknya cowok gimana?""Ya nanti aku bikin warna biru, jadi kalau anaknya cowok masih bisa dipakek," jawab Rania tanpa menoleh pada Damar."Iya deh. Kalau gitu mas berangkat dulu, ya." Saat Damar berpamitan, Rania baru merespon dengan menerima uluran tangan dari suaminya lal
"Selamat ya, Bu, usia kehamilan Ibu sudah masuk enam tujuh minggu," ucap seorang dokter kandungan pada Rania.Hari ini Rania menuruti ucapan Yati, ia memang merasa ada sesuatu yang mengganjal pada perutnya. Sebelum ini Rania mengira itu hanya karena buang air besarnya yang selama ini kurang lancar, ternyata ada janin dalam rahimnya yang saat ini sedang bertumbuh."Terimakasih, dok," ucap Rania terbata, ia masih belum percaya pada kenyataan yang ia alami."Mulai sekarang asupan makanan harus di jaga, jangan banyak pikiran dan hindari pekerjaan yang berat. Di trimester awal biasanya akan mengalami mual dan tidak berselera makan, itu hal yang biasa, jadi Ibu tidak perlu khawatir," jelas dokter itu pada Rania."Tapi saya tidak mengalami mual-mual atau tidak nafsu makan, justru saya sangat suka makan. Apa itu wajar, dok?" tanya Rania."Kalau begitu Ibu harus bersyukur, tidak banyak calon Ibu yang tidak mengalami gejala muntah dan mual pada trimester pertama, tapi itu tetap termasuk hal yan
"Kamu beneran mau makan ini?" tanya Damar pada Rania.Rania saat ini sedang menyantap nasi goreng petai dengan lahap, ia sama sekali tidak terganggu dengan bau menyengat dan rasa getir pada petai itu.Revan dan Damar hanya saling pandang, mereka heran dengan tingkah Rania. Biasanya dia akan sangat marah hanya dengan mencium aroma petai, tapi sekarang Rania justru sangat menikmati seakan petai adalah makanan ternikmat di dunia."Enak, Bun?" tanya Revan."Enak banget, Bunda mau nambah petenya aja bisa nggak ya?" "Bisa, mau Revan pesenin?" Revan sangat antusias karena selama ini dia begitu menyukai makanan itu tapi Ibunya selalu melarang tiap kali dia ingin memakannya.Rania segera mengangguk, ia juga tidak tahu mengapa begitu menikmati makanan yang biasanya sangat ia benci. Yang Rania rasakan saat ini makanan itu adalah makanan ternikmat dari banyaknya makanan yang sudah ia makan.Setelah selesai makan, mereka memilih untuk pulang. Rania sudah mengeluh kalau kakinya terasa pegal, Reva
Dua minggu setelah kejadian kebakaran di toko Rania, fakta baru terungkap. Polisi akhirnya menetapkan Mely sebagai tersangka bersama dua orang temannya.Teman Mely adalah orang yang pernah dipecat oleh Damar karena kasus korupsi di kantornya, latar belakang sakit hati membuatnya mendukung Mely untuk melenyapkan istri Damar.Mely terancam hukuman seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun penjara seperti yang tertuang dalam pasal 340 KUHP karena tuduhan berencana merampas nyawa orang lain."Kamu yakin mau ketemu sama dia?" tanya Damar pada Rania.Hari ini rencananya Rania akan menemui Mely bersama Tania, Tania yang mengatakan pada Rania kalau Mely ingin bertemu dengannya."Iya, lagian nanti di sana ada Tania juga," jawab Rania.Damar hanya bisa mengizinkan istrinya.Rania berangkat bersama Tania yang menjemputnya di rumah."Mbak, maafin Mely ya, aku sebagai sahabat merasa ikut bersalah karena kenekatan Mely. Aku nggak nyangka kalau dia bisa berbuat sejauh itu,
"Bunda!" Revan segera berlari mendekat pada Ibunya dan seseorang yang tidak ia kenal, dengan sekuat tenaga Revan mendorong tubuh Mely hingga Mely terhuyung ke samping."Bunda nggak apa-apa?" tanya Revan saat membantu Ibunya berdiri.Rania segera memeluk anaknya, sekuat apapun Rania, jika yang dihadapi membawa senjata sementara dirinya hanya dengan tangan kosong, apa yang bisa Rania lakukan selain minta tolong dan pasrah?"Alhamdulillah, Bunda nggak apa-apa sayang. Makasih banyak karena Revan datang tepat waktu," ucap Rania.Mely mencoba untuk berdiri, ia masih berusaha mencari pisau yang terpental jauh darinya. Benturan yang cukup keras membuat kaki Mely terkilir, dengan susah payah dia menyeimbangkan tubuhnya."Siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan orang lain? Anak kecil, lebih baik pergi sana!" bentak Mely pada Revan. Ia masih menyeimbangkan tubuhnya dengan berpegangan pada tiang teras rumah Rania."Anda yang siapa? Bagaimana bisa anda berbuat kejahatan di rumah orang lain!" bentak
"Aku tuh nggak ngerti maksud mas apa, tolong jangan mencari alasan untuk menutupi hubungan kalian berdua. Kalau emang mas ada hubungan sama dia, aku harap mas mau jujur," ucap Rania, ia mulai terbawa emosi karena penjelasan suaminya yang bertele-tele."Aku mau jelasin, tapi kamu jangan marah dulu. Kamu dengerin semua penjelasan aku sampai selesai," jawab Damar.Rania mengangguk, ia memang ingin segera tahu kenyataan yang sebenarnya."Sebelum aku jelasin, aku mau tanya dulu dari mana kamu tau kalau aku ketemu sama Mely?" tanya Damar.Rania tidak menjawab, ia segera meraih ponselnya, lalu ia menunjukkan dua buah foto yang dikirim Linda pada Damar."Linda yang ngirim ini?"Rania mengangguk."Sejujurnya untuk foto yang pertama ini, aku sama sekali nggak tau kalau Mely ada di belakangku," ucap Damar menunjuk foto pertama yang ditunjukkan Rania."Saat itu aku sedang membahas progres pembangunan hotel dengan pak Yogi, saat itupun Mely tidak mendekatiku atau menyapaku sama sekali. Andai aku n
[Lin, kamu kenal sama wanita yang ada di belakang suamiku itu?] tanya Rania melalui pesan pada Linda.Panggilan masuk dari Linda, Rania segera meraihnya dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya."Assalamualaikum," sapa Linda dari seberang."Waalaikumsalam," jawab Rania."Yang mana sih, mbak? Linda nggak ngerti yang mbak maksud," tanya Linda menanggapi pesan dari Rania."Yang pakai baju biru, duduk di belakangnya mas Damar. Kamu tau nggak dia siapa?" "Oh, yang itu. Nggak kenal aku mbak. Sepertinya pak Damar sama Bapak juga nggak kenal, emang mbak kenal sama dia?""Kok kayak temen mbak sama mas Damar, kamu nggak liat mereka saling sapa?" tanya Rania, ia masih berusaha mencari informasi tentang Mely dan suaminya."Sejauh ini sih enggak mbak, tapi emang dari tadi mbaknya merhatiin pak Damar terus. Temen deket atau gimana mbak?" tanya Linda, ia jadi lebih memperhatikan wanita di belakang rekan bisnis sekaligus suami dari kenalannya itu."Temen lama, udah lama nggak ketemu. Apa mungki
"Mas mau liat proyek pembangunan hotel, mungkin dua sampai tiga hari. Mau ikut nggak?" tanya Damar saat mereka sudah berbaring di ranjang."Nggak bisa, mas. Kasian Revan kalau ditinggal, tiga hari nggak lama. Lagian mas kan di sana kerja, nanti kalau aku ikut malah ganggu mas kerja. Aku ke toko aja, bantuin anak-anak. Aku kuat kok kalau cuma pisah tiga hari," jelas Rania."Sebenarnya aku yang nggak bisa pisah lama-lama sama kamu," ucap Damar, ia lalu mencubit hidung sang istri."Gombal banget," jawab Rania. Ia mencubit pinggang sang suami."Aduh, sakit sayang. Jangan nyubit di situ, nanti ada yang bangun," ucap Damar menggoda sang istri."Ih, dasar mesum. Udah sana, cepet tidur, besok kesiangan loh," peringatan Rania untuk suaminya.Damar mendekap tubuh mungil sang istri, ia lalu mengecup pipi istrinya. "Mau minta bekal dulu, biar tenang saat jauh dari kamu.""Apaan? Uang mas habis? Aku nggak pegang uang, mas. Mau bawa ATMku?" tanya Rania."Bukan itu, bekal yang lain. Kok malah ngomon