Sanggahan
Dias masih terdiam di sebelah Soraya. Matanya memandang jauh ke depan, wajahnya terlihat kalut. Tentu saja dia tidak menyangka akan mendapat berita se-mengejutkan ini. Sulit baginya untuk bisa memercayai perkataan Soraya. Apa gadis itu berbohong? Tapi buat apa? Dias mencoba mencari sebab yang bisa membuat pacarnya berkata seperti itu. Ulang tahunnya sudah terlewat, anniversary jadian mereka juga masih lama. Mana mungkin Soraya hanya iseng mengerjainya?Dias melirik Soraya yang kini tengah menangis hingga kulit di wajahnya merah padam. Ia baru menyadari kalau gadis itu jadi lebih kurus. Dias menatap lama perut Soraya yang masih rata. Ia benar-benar tidak yakin jika perbuatannya bersama Soraya membuahkan janin di sana. Tiba-tiba Dias beralih menatap mata Soraya dengan tatapan marah.“Aku nggak nyangka kamu yang kelihatan lugu ternyata munafik, Ra! Tega banget kamu mau manfaatin aku!”Soraya terkesiap akibat bentakan Dias. Ke mana laki-laki yang merayunya dengan kalimat semanis gula tadi?“Maksud kamu apa, Yas? Manfaatin kamu?” Suara Soraya gemetar, begitu juga tubuhnya. Tetesan air mata semakin deras mengalir di pipinya. “Aku nggak pernah disentuh laki-laki selain kamu!”“Tapi kita nggak sampai melakukan itu! Kamu pasti ngelakuinnya sama cowok lain, iya, kan?” sanggah Dias meradang.Soraya cepat-cepat mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. “Lihat!” tunjuk Soraya yang menyodorkan ponselnya ke muka Dias. “Apa yang kita lakukan kemarin sangat mungkin menyebabkan kehamilan! Ada banyak artikel tentang ini!”Dias membaca tulisan yang terbuka di depan matanya. Ia lalu tertunduk sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Nggak. Nggak mungkin. Bisa aja ada kesalahan. Kita periksa ke dokter!”Soraya menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia semakin tergugu. Hatinya begitu sakit karena sikap dan ucapan Dias. Ia kira, Dias akan bisa menjadi tempatnya bersandar. Ternyata ia salah. Dias tak lebih hanyalah lelaki yang masih labil.“Kalaupun kamu beneran hamil, aku yakin itu bukan anakku.”Soraya menurunkan tangannya dan memandang Dias kecewa. “Aku nggak nyangka kamu bisa sejahat ini, Yas. Kamu boleh nggak percaya, tapi aku nggak pernah bohong.” Gadis itu segera berlari menjauh. Tak dihiraukannya tubuhnya yang terasa lemas. Yang ia inginkan hanya kembali ke kamarnya dan tidur. Jika bisa, ia ingin tidur selamanya, tanpa harus bangun lagi. Rasanya dunia sudah berakhir.Soraya memesan ojek online setelah berhenti di dekat halte. Ia merasa malu jika harus naik angkutan umum dengan muka sembab. Penumpang lain bisa saja menaruh perhatian padanya, lalu menanyakan apa yang terjadi. Biasanya, penumpang ibu-ibu setengah baya yang terlalu perhatian.Pengemudi ojek online adalah bapak-bapak empat puluh tahunan yang ramah. Ia menyapa Soraya dan memberikan helm untuknya. Soraya jadi teringat pada sang ayah. Akankah ayahnya marah jika tahu keadaannya? Gadis itu menangis lagi di atas motor. Ia tak tahu kenapa perasaannya mellow sekali. Padahal, biasanya ia sanggup menahan tangis demi terlihat kuat, seperti saat ia mengantar jenazah Wiliam ke pemakaman dulu.Soraya turun di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya. Saat ia mengembalikan helm, bapak pengemudi ojek berkata, “Cuci muka dulu, Neng. Itu ada musola. Siapa tahu mau sekalian salat. Bapak doakan masalahnya cepat selesai, ya.”Soraya terpaku karena kata-kata yang diucapkan bapak ojek itu. Bagaimana bisa beliau tahu jika ia sedang bermasalah? Apa ada tulisan di dahinya? Soraya membatin sambil mengambil ponselnya. Ia berkaca di layar menggunakan kamera depan, lalu tersadar kalau mukanya benar-benar kacau saat ini. Matanya merah dan bengkak, begitupun area hidung. Rambutnya sedikit kusut dan kardigan yang dipakainya tidak rapi.Soraya menghela napas seraya melihat ke arah musala yang ditunjuk bapak tadi. Tempat itu masih sepi karena belum tiba waktunya salat. Soraya melangkah ke sana dan langsung mencuci wajah di keran untuk wudu. Ia mengusap kulitnya berkali-kali, berharap hal itu bisa menghilangkan jejak air matanya. Ia sempat berpikir untuk salat dan berdoa. Namun, hatinya mengatakan bahwa ia terlalu kotor untuk meminta pertolongan Tuhan. ‘Apa Tuhan mau mendengarku? Apa Tuhan akan mengampuniku? Kenapa Ia menghukumku seberat ini?’ Akhirnya, ia memilih untuk pulang saja setelah memastikan penampilannya sudah lebih baik.Soraya berjalan pelan seolah tak punya tenaga. Ia belum makan siang ini, hanya setangkup roti panggang tadi pagi. Sekarang sudah jam dua siang lebih, wajar saja kalau ia tak bertenaga.“Baru pulang, Neng?” sapa Bu Yati, tetangga depan rumah Soraya.“Iya, Bu. Permisi,” jawab Soraya sambil tersenyum dan mengangguk sopan.“Ibu kamu lagi di rumah Bu RT, ada demo masak.”Soraya mengangguk sekali lagi dan langsung masuk ke rumahnya menggunakan kunci cadangan yang selalu ada di dalam tas. Ia merasa beruntung ibunya tidak ada di rumah sekarang, sehingga ia tak perlu repot menyembunyikan wajah sembabnya. Meski ia sudah mencuci muka berkali-kali di musala, matanya yang kadung membengkak dan merah tidak bisa hilang dalam waktu singkat.Gadis itu merebahkan diri tanpa mengganti baju. Perutnya terasa sangat lapar hingga terasa mual. Namun, ia tak punya keinginan sedikit pun untuk makan. Bukankah bagus jika ia kelaparan sampai mati? Toh, Dias tidak mau bertanggung jawab. Bagi Soraya, hidupnya sudah selesai. Ia tidak tahu apakah ia sanggup bertahan menjalani hidup setelah ini.Soraya memejamkan mata. Ia lelah memikirkan semua yang terjadi. Dunia tiba-tiba gelap, dan ia terpuruk dalam lubang dosa tanpa ada satu orang pun yang bisa menolongnya. Ia sangat ingin mati, tapi ia tahu ia akan dibakar selamanya di neraka jika berani mengakhiri hidupnya sendiri. Ia tak sanggup menanggung dosa yang lebih besar dari ini.***“Nak! Akhirnya kamu sadar juga!” pekik Tanti lega ketika melihat Soraya membuka mata.Tanti baru saja pulang dari rumah Bu RT ketika mendapati putrinya demam tinggi sore itu. Soraya juga terus mengigau dan menangis dalam tidurnya. Tanti tentu amat panik. Ia segera menelepon ayah Soraya agar lekas pulang dan membawa putrinya ke rumah sakit.Soraya mengernyit saat cahaya menyilaukan memasuki penglihatannya. Ia mengucek mata dan sadar bahwa ia tidak berada di kamarnya lagi. Pakaiannya juga sudah diganti.“Kamu demam tinggi sampai mengigau, Ra. Jadi Ibu langsung bawa kamu ke rumah sakit,” terang Tanti pada anak gadisnya yang tampak linglung.“Rumah sakit?” Soraya tiba-tiba ketakutan. Apakah orang tuanya sudah tahu?Gadis itu menatap wajah Ibunya. Ada kelegaan di sorot mata ibunya, tapi bekas-bekas air mata juga ada di sana. Kemudian ia berpindah ke ayahnya. Laki-laki yang masih terlihat gagah itu juga menunjukkan tanda habis menangis. Hidungnya merah, disertai suara ingus tiap kali menarik napas. Lelaki itu menatap balik Soraya dengan tatapan teduh.“Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun, Sora. Apa pun yang terjadi nanti, ayah akan selalu di pihakmu.”Pengakuan“Dokter sudah bilang tentang kehamilanmu, Ra. Kamu dehidrasi, makanya demam. Sedikit malnutrisi juga, tapi masih aman,” kata Dedi tenang. Meski dadanya terasa panas dan kepalanya berat, ia tidak mau menyakiti putri satu-satunya itu dengan kemarahan. Ia merasa harus introspeksi diri setelah apa yang menimpa keluarganya. Mengapa Tuhan menimpakan ujian berat bertubi-tubi lewat anak-anaknya. Apakah hal ini karena dosa masa lalunya? Atau ini semua merupakan ujian agar keluarganya jadi lebih baik lagi?Sorot mata Soraya memancarkan keterkejutan, lalu berganti sorot ketakutan. Dia tidak membayangkan kalau kondisinya akan terbongkar dengan cara seperti ini. Seingatnya, ia hanya tertidur karena sangat lelah. Tadinya, ia sempat memikirkan cara untuk memberitahu orang tuanya sebelum tidur. Sekarang, ia tidak perlu repot-repot lagi karena mereka sudah tahu.Tanti mengusap ujung matanya yang basah. Dari pada marah, kekecewaannya jauh lebih besar. Ia tak mengira jika putrinya yang penuru
DilemaSetelah pembicaraan Soraya dan ayahnya semalam, gadis itu jadi gelisah. Ia hampir tidak tidur tadi malam. Sekarang, saat ayahnya berpamitan akan pergi ke rumah Dias, Soraya merasa dadanya seolah sedang diikat dengan tali tambang. Ia tidak bisa bernapas dengan baik.“Kamu tenang, ya. Kita pasrahkan saja semua sama Allah,” ucap Dedi sebelum berangkat. Tanti sebenarnya ingin ikut menemani sang suami, tapi Dedi menolak.“Kamu jaga Sora aja, Bu. Biar ayah sendiri yang ke sana.”Tanti menatapnya khawatir. Ia takut suaminya kelepasan emosi. Namun, melihat kesungguhan di mata Dedi, Tanti menyerah. Lagi pula, ia pikir Sora masih harus dijaga meskipun kelihatan sudah sehat. Anak perempuannya itu belum terlalu stabil kondisi mentalnya. Soraya masih sering melamun saat ditinggal sendirian.Soraya melepas kepergian ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia baru menyadari kalau sekarang ia tidak ingin Dias bertanggung jawab. Jika pacarnya itu akhirnya mau bertanggung jawab, itu artinya mereka har
Salah Siapa“Saya sudah memeriksakan Soraya ke dokter kandungan. Dokter itu berkata bahwa selaput dara Soraya masih utuh, dan dia benar hamil,” tandas Dedi tegas. Ia menatap Dias yang kini terlihat cemas. “Sebentar. Bagaimana bisa putri Bapak hamil dengan selaput dara yang masih utuh?” Rosa bertanya bingung. Ia merasa hal itu terlalu janggal. Perawan, tapi hamil? Apa itu yang dinamakan keajaiban?“Anda bisa bertanya dulu pada putra Anda tentang apa yang ia lakukan,” ucap Dedi tenang.Rosa beralih melihat putranya yang pucat dan gugup. Dahinya dipenuhi titik-titik keringat, sedang pandangannya fokus menekuri lantai.“Apa yang terjadi sebenarnya, Yas?”Dias melirik Dedi dan Rosa bergantian. Ingin rasanya ia kabur dari sana. Ia seperti narapidana yang sedang disidang karena tidak mau mengakui apa pun di depan mamanya. Namun, tatapan Dedi seolah mengancamnya.“Kami cuma ... petting, Ma.” Pengakuan akhirnya keluar dari mulut Dias. Ia malu setengah mati mengatakan kalimat itu. Apa mau dika
Arif Rahman melajukan mobilnya memasuki pekarangan rumah setelah satpam membuka gerbang. Ia adalah Ayah Dias yang baru saja pulang dari dinas. Laki-laki 50 tahunan itu memarkirkan mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Semalam istrinya menelepon dan menyuruhnya untuk segera pulang secepatnya setelah urusan pekerjaannya selesai. Dari nada suara istrinya, ia tahu ada sesuatu yang terjadi. Meskipun Rosa tidak mengatakan apa-apa, tapi ia bisa menangkap kecemasan dari kalimat-kalimat yang diucapkan Rosa.Memasuki kamarnya, Arif melihat istrinya sedang melamun di ranjang. Ia bahkan tidak terusik dengan kedatangan sang suami. Padahal, biasanya ia selalu menyambut Arif dengan senyuman.“Ada apa, Ma? Kok ngelamun?”Rosa yang sejak tadi terhanyut dalam pikirannya sendiri sedikit terkesiap. Ia benar-benar tidak menyadari kedatangan suaminya. Diulasnya senyuman manis. Ia tahu, laki-laki di depannya itu sangat menyayangi putranya. Rosa tidak boleh gegabah dalam menyampaikan kabar tidak men
Amerika, Pa?” tanya Dias tak percaya.“Ya. Tinggallah dengan kakakmu di sana. Belajar dengan benar dan jangan buat masalah lagi. Urusanmu di sini biar Papa yang selesaikan.”“Tapi, Pa ...,” protes Rosa tak setuju.“Sudahlah, Ma! Biar Papa yang atur,” sergah Arif dengan tatapan tajam. Ia sama sekali tidak ingin dibantah.Rosa jadi diam termenung, memikirkan janjinya pada ayah Soraya bahwa ia akan segera melamar Soraya. Namun, ia juga tahu kalau keputusan suaminya tidak dapat diganggu gugat. Ia kenal betul seberapa keras kepalanya Arif Rahman, apalagi ini menyangkut martabat keluarga. Silsilah keluarga Arif begitu hebat. Hampir semua kerabatnya mempunyai jabatan atau seorang profesional. Pantas jika Arif menomorsatukan kehormatan keluarganya yang berstatus sosial tinggi.“Papa harap, hal ini akan menjadi rahasia di antara kita. Papa akan menghapus jejak kecerobohanmu, asalkan kamu mau menurut. Paham?”Dias mengangguk pasrah. Ia begitu lega karena ia tidak akan terjebak dalam pernikahan
Dedi tidak tahu dosa apa yang pernah ia lakukan sehingga Tuhan menjatuhkan hukuman begini berat padanya. Di saat masa depan putrinya terancam suram, seolah belum cukup, ia juga resmi menjadi pengangguran. Karier yang dibangun selama puluhan tahun sirna dalam sekejap mata. Dedi sungguh tak mengerti dengan pemecatannya yang tiba-tiba. Selama ini ia telah bekerja dengan sangat baik. Meski statusnya hanyalah staf biasa, tetapi ia sering mendapatkan pujian karena kerja keras dan kedisiplinannya selama ini. Lantas kenapa? Apa yang salah?Tanpa ia sadari, mobil telah memasuki halaman rumahnya. Untunglah Dedi tidak mengalami kecelakaan walaupun ia menyetir setengah sadar. Bukan karena mengantuk atau mabuk, tapi karena Dedi menyetir sambil melamun. Ia menarik tuas rem sehingga mobil berhenti sepenuhnya. Ia sama sekali tak berniat untuk keluar dari mobil karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang kacau balau.Cukup lama Dedi berdiam di dalam mobil dengan mesin masih menyala. Hal itu membuat Ta
Sepertinya , mereka ingin kita pindah.”Dedi memegang sebuah bata yang terbungkus kertas bertuliskan “Pezina kotor” di tangannya. Bata itu dilemparkan oleh seseorang jam 3 pagi, hingga membuat kaca jendela retak.Soraya memandang nanar pada bata di tangan ayahnya, kemudian menoleh ke jendela yang rusak. Entah bagaimana dia yakin jika ini adalah perbuatan ayah Dias. Setelah ayahnya menceritakan tentang pemecatannya yang di luar kewajaran, ia semakin yakin jika semua musibah yang menimpa mereka berhubungan dengan ayah Dias yang notabene adalah pejabat. Kuasa besar yang dimilikinya pasti ia manfaatkan dengan sangat baik. Soraya menjadi sangat marah karenanya.Tanti memeluk pundak Soraya dan mengusapnya halus. Ia pun memiliki pemikiran yang sama mengenai pelaku yang meneror mereka. Tanti hanya berusaha mendinginkan suasana. Ia tidak mau mengambil langkah yang keliru.“Kita kembali ke Bandung saja. Menurut ibu, kita bisa memulai hidup baru di sana. Gimana, Yah? Ayah bisa buka bisnis ayam p
Melepaskan cita-cita bukanlah sesuatu yang mudah bagi Soraya. Semua hal di hadapannya hanyalah bayangan samar. Masa-masa indah ketika kuliah serta berbagai rencana yang ia susun terasa bagai mimpi. Meski sulit, Soraya ingin mencoba berdamai dengan keadaannya saat ini. Bukan karena ia sudah ikhlas atau sudah memaafkan Dias, tapi karena ia tidak punya banyak pilihan. Soraya memblokir semua nomor teman-temannya, termasuk Zia dan Stella. Ia sudah berniat untuk melupakan segalanya dan memulai kehidupan baru tanpa harus dibayangi masa lalu. Ia sedikit merasa bersalah, karena pernah berjanji pada dua sahabatnya itu akan selalu menjaga silaturahmi.Keluarga Soraya pindah di suatu desa kecil di pinggiran Bandung. Tanti sengaja tidak memilih berdekatan dengan saudara-saudaranya di sana. Ia hanya ingin menjalani hidup dengan tenang dan bahagia. Meskipun hatinya masih sakit karena kehidupannya yang nyaman seolah dirampas paksa. Namun, Tanti bertekad untuk menjadi ibu yang tangguh untuk putrinya.
Melepaskan cita-cita bukanlah sesuatu yang mudah bagi Soraya. Semua hal di hadapannya hanyalah bayangan samar. Masa-masa indah ketika kuliah serta berbagai rencana yang ia susun terasa bagai mimpi. Meski sulit, Soraya ingin mencoba berdamai dengan keadaannya saat ini. Bukan karena ia sudah ikhlas atau sudah memaafkan Dias, tapi karena ia tidak punya banyak pilihan. Soraya memblokir semua nomor teman-temannya, termasuk Zia dan Stella. Ia sudah berniat untuk melupakan segalanya dan memulai kehidupan baru tanpa harus dibayangi masa lalu. Ia sedikit merasa bersalah, karena pernah berjanji pada dua sahabatnya itu akan selalu menjaga silaturahmi.Keluarga Soraya pindah di suatu desa kecil di pinggiran Bandung. Tanti sengaja tidak memilih berdekatan dengan saudara-saudaranya di sana. Ia hanya ingin menjalani hidup dengan tenang dan bahagia. Meskipun hatinya masih sakit karena kehidupannya yang nyaman seolah dirampas paksa. Namun, Tanti bertekad untuk menjadi ibu yang tangguh untuk putrinya.
Sepertinya , mereka ingin kita pindah.”Dedi memegang sebuah bata yang terbungkus kertas bertuliskan “Pezina kotor” di tangannya. Bata itu dilemparkan oleh seseorang jam 3 pagi, hingga membuat kaca jendela retak.Soraya memandang nanar pada bata di tangan ayahnya, kemudian menoleh ke jendela yang rusak. Entah bagaimana dia yakin jika ini adalah perbuatan ayah Dias. Setelah ayahnya menceritakan tentang pemecatannya yang di luar kewajaran, ia semakin yakin jika semua musibah yang menimpa mereka berhubungan dengan ayah Dias yang notabene adalah pejabat. Kuasa besar yang dimilikinya pasti ia manfaatkan dengan sangat baik. Soraya menjadi sangat marah karenanya.Tanti memeluk pundak Soraya dan mengusapnya halus. Ia pun memiliki pemikiran yang sama mengenai pelaku yang meneror mereka. Tanti hanya berusaha mendinginkan suasana. Ia tidak mau mengambil langkah yang keliru.“Kita kembali ke Bandung saja. Menurut ibu, kita bisa memulai hidup baru di sana. Gimana, Yah? Ayah bisa buka bisnis ayam p
Dedi tidak tahu dosa apa yang pernah ia lakukan sehingga Tuhan menjatuhkan hukuman begini berat padanya. Di saat masa depan putrinya terancam suram, seolah belum cukup, ia juga resmi menjadi pengangguran. Karier yang dibangun selama puluhan tahun sirna dalam sekejap mata. Dedi sungguh tak mengerti dengan pemecatannya yang tiba-tiba. Selama ini ia telah bekerja dengan sangat baik. Meski statusnya hanyalah staf biasa, tetapi ia sering mendapatkan pujian karena kerja keras dan kedisiplinannya selama ini. Lantas kenapa? Apa yang salah?Tanpa ia sadari, mobil telah memasuki halaman rumahnya. Untunglah Dedi tidak mengalami kecelakaan walaupun ia menyetir setengah sadar. Bukan karena mengantuk atau mabuk, tapi karena Dedi menyetir sambil melamun. Ia menarik tuas rem sehingga mobil berhenti sepenuhnya. Ia sama sekali tak berniat untuk keluar dari mobil karena terlalu sibuk dengan pikirannya yang kacau balau.Cukup lama Dedi berdiam di dalam mobil dengan mesin masih menyala. Hal itu membuat Ta
Amerika, Pa?” tanya Dias tak percaya.“Ya. Tinggallah dengan kakakmu di sana. Belajar dengan benar dan jangan buat masalah lagi. Urusanmu di sini biar Papa yang selesaikan.”“Tapi, Pa ...,” protes Rosa tak setuju.“Sudahlah, Ma! Biar Papa yang atur,” sergah Arif dengan tatapan tajam. Ia sama sekali tidak ingin dibantah.Rosa jadi diam termenung, memikirkan janjinya pada ayah Soraya bahwa ia akan segera melamar Soraya. Namun, ia juga tahu kalau keputusan suaminya tidak dapat diganggu gugat. Ia kenal betul seberapa keras kepalanya Arif Rahman, apalagi ini menyangkut martabat keluarga. Silsilah keluarga Arif begitu hebat. Hampir semua kerabatnya mempunyai jabatan atau seorang profesional. Pantas jika Arif menomorsatukan kehormatan keluarganya yang berstatus sosial tinggi.“Papa harap, hal ini akan menjadi rahasia di antara kita. Papa akan menghapus jejak kecerobohanmu, asalkan kamu mau menurut. Paham?”Dias mengangguk pasrah. Ia begitu lega karena ia tidak akan terjebak dalam pernikahan
Arif Rahman melajukan mobilnya memasuki pekarangan rumah setelah satpam membuka gerbang. Ia adalah Ayah Dias yang baru saja pulang dari dinas. Laki-laki 50 tahunan itu memarkirkan mobilnya dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Semalam istrinya menelepon dan menyuruhnya untuk segera pulang secepatnya setelah urusan pekerjaannya selesai. Dari nada suara istrinya, ia tahu ada sesuatu yang terjadi. Meskipun Rosa tidak mengatakan apa-apa, tapi ia bisa menangkap kecemasan dari kalimat-kalimat yang diucapkan Rosa.Memasuki kamarnya, Arif melihat istrinya sedang melamun di ranjang. Ia bahkan tidak terusik dengan kedatangan sang suami. Padahal, biasanya ia selalu menyambut Arif dengan senyuman.“Ada apa, Ma? Kok ngelamun?”Rosa yang sejak tadi terhanyut dalam pikirannya sendiri sedikit terkesiap. Ia benar-benar tidak menyadari kedatangan suaminya. Diulasnya senyuman manis. Ia tahu, laki-laki di depannya itu sangat menyayangi putranya. Rosa tidak boleh gegabah dalam menyampaikan kabar tidak men
Salah Siapa“Saya sudah memeriksakan Soraya ke dokter kandungan. Dokter itu berkata bahwa selaput dara Soraya masih utuh, dan dia benar hamil,” tandas Dedi tegas. Ia menatap Dias yang kini terlihat cemas. “Sebentar. Bagaimana bisa putri Bapak hamil dengan selaput dara yang masih utuh?” Rosa bertanya bingung. Ia merasa hal itu terlalu janggal. Perawan, tapi hamil? Apa itu yang dinamakan keajaiban?“Anda bisa bertanya dulu pada putra Anda tentang apa yang ia lakukan,” ucap Dedi tenang.Rosa beralih melihat putranya yang pucat dan gugup. Dahinya dipenuhi titik-titik keringat, sedang pandangannya fokus menekuri lantai.“Apa yang terjadi sebenarnya, Yas?”Dias melirik Dedi dan Rosa bergantian. Ingin rasanya ia kabur dari sana. Ia seperti narapidana yang sedang disidang karena tidak mau mengakui apa pun di depan mamanya. Namun, tatapan Dedi seolah mengancamnya.“Kami cuma ... petting, Ma.” Pengakuan akhirnya keluar dari mulut Dias. Ia malu setengah mati mengatakan kalimat itu. Apa mau dika
DilemaSetelah pembicaraan Soraya dan ayahnya semalam, gadis itu jadi gelisah. Ia hampir tidak tidur tadi malam. Sekarang, saat ayahnya berpamitan akan pergi ke rumah Dias, Soraya merasa dadanya seolah sedang diikat dengan tali tambang. Ia tidak bisa bernapas dengan baik.“Kamu tenang, ya. Kita pasrahkan saja semua sama Allah,” ucap Dedi sebelum berangkat. Tanti sebenarnya ingin ikut menemani sang suami, tapi Dedi menolak.“Kamu jaga Sora aja, Bu. Biar ayah sendiri yang ke sana.”Tanti menatapnya khawatir. Ia takut suaminya kelepasan emosi. Namun, melihat kesungguhan di mata Dedi, Tanti menyerah. Lagi pula, ia pikir Sora masih harus dijaga meskipun kelihatan sudah sehat. Anak perempuannya itu belum terlalu stabil kondisi mentalnya. Soraya masih sering melamun saat ditinggal sendirian.Soraya melepas kepergian ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia baru menyadari kalau sekarang ia tidak ingin Dias bertanggung jawab. Jika pacarnya itu akhirnya mau bertanggung jawab, itu artinya mereka har
Pengakuan“Dokter sudah bilang tentang kehamilanmu, Ra. Kamu dehidrasi, makanya demam. Sedikit malnutrisi juga, tapi masih aman,” kata Dedi tenang. Meski dadanya terasa panas dan kepalanya berat, ia tidak mau menyakiti putri satu-satunya itu dengan kemarahan. Ia merasa harus introspeksi diri setelah apa yang menimpa keluarganya. Mengapa Tuhan menimpakan ujian berat bertubi-tubi lewat anak-anaknya. Apakah hal ini karena dosa masa lalunya? Atau ini semua merupakan ujian agar keluarganya jadi lebih baik lagi?Sorot mata Soraya memancarkan keterkejutan, lalu berganti sorot ketakutan. Dia tidak membayangkan kalau kondisinya akan terbongkar dengan cara seperti ini. Seingatnya, ia hanya tertidur karena sangat lelah. Tadinya, ia sempat memikirkan cara untuk memberitahu orang tuanya sebelum tidur. Sekarang, ia tidak perlu repot-repot lagi karena mereka sudah tahu.Tanti mengusap ujung matanya yang basah. Dari pada marah, kekecewaannya jauh lebih besar. Ia tak mengira jika putrinya yang penuru
SanggahanDias masih terdiam di sebelah Soraya. Matanya memandang jauh ke depan, wajahnya terlihat kalut. Tentu saja dia tidak menyangka akan mendapat berita se-mengejutkan ini. Sulit baginya untuk bisa memercayai perkataan Soraya. Apa gadis itu berbohong? Tapi buat apa? Dias mencoba mencari sebab yang bisa membuat pacarnya berkata seperti itu. Ulang tahunnya sudah terlewat, anniversary jadian mereka juga masih lama. Mana mungkin Soraya hanya iseng mengerjainya?Dias melirik Soraya yang kini tengah menangis hingga kulit di wajahnya merah padam. Ia baru menyadari kalau gadis itu jadi lebih kurus. Dias menatap lama perut Soraya yang masih rata. Ia benar-benar tidak yakin jika perbuatannya bersama Soraya membuahkan janin di sana. Tiba-tiba Dias beralih menatap mata Soraya dengan tatapan marah.“Aku nggak nyangka kamu yang kelihatan lugu ternyata munafik, Ra! Tega banget kamu mau manfaatin aku!”Soraya terkesiap akibat bentakan Dias. Ke mana laki-laki yang merayunya dengan kalimat semanis