Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku.
"Bu!" Tok! Tok! Tok!
Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam.
"Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar.
"Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri.
"Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"
Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se
Aku mengulas senyum menatap Rafika, walaupun gadis itu tidak membalas senyumanku. Tak apalah, sudah biasa dia cuek dan jutek. Apalagi sekarang, aku dan Mas Azis sedang memiliki masalah dan dia juga ikut menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami."Sudah jangan diliatin terus. Habisin esnya. Setelah ini kita pulang." Kak Dimas mengusap lembut kepalaku, menarik hidung ini karena gemas. Sudah kebiasaan dia menarik-narik hidungku seperti itu.Ketika aku menoleh, Fika sepertinya sedang mengarahkan kamera kepadaku. Sebab, ada cahaya keperak-perakkan yang menyilaukan mata, seperti blitz kamera yang lupa dia matikan. Biarlah. Mungkin dia sengaja mengambil gambarku saat berdua dengan Kak Dimas. Dia pikir aku selingkuh, mungkin. Sebab ketika aku menikah, Kak Dimas tidak bisa menghadiri acaraku, karena saat itu dia masih berada di luar kota menjalankan tugas dari kantornya dan tidak bisa izin walaupun hanya sehari.Rafika beranjak d
"Nglamun terus!" Hamzah menepuk pelan pundakku, namun mampu membuat diri ini berjengit kagetAh, Rania. Gara-gara terus memikirkan kamu jadi sering tidak fokus. Banyak masalah yang tiba-tiba mendera membuat hidup ini tidak tenang."Mobil elo kayanya nggak bisa kelar hari ini. Mending elo tinggal saja, Zis. Elo pulang bawa motor gue. Soalnya kalau elo nunggu di sini takut kelamaan!" ucap pria bertubuh tegap itu memberi usul, dan segera kusetujui."Ya sudah. Kalau sudah kelar elo kasih kabar. Teleponnya tapi jangan ke nomer gue, ke nomer telepon rumah saja. Hape gue mokat.""Siap!" Dia mengacungkan jempolnya yang sudah berlumuran oli.Untung saja dulu setelah lulus sekolah menengah atas aku langsung kuliah. Tidak seperti Hamzah yang langsung terjun ke dunia otomotif, menjadi montir, membuka bengkel kecil-kecilan yang pendapatannya tidak seberapa.Se
Tanpa ampun Bu Sita menarik paksa Rafika ke jalanan. Hingga sela-sela jarinya dipenuhi rambut yang terbawa. Dengan membabi buta wanita berdadan rapi itu menampari pipi adikku, menghujaninya beberapa pukulan, tidak memperdulikan teriakan Rafika yang terus saja memohon ampunan."Takkan kuberi ampun kamu, wanita jal*ng. Perebut suami orang. Pela**r!" teriak Bu Sita histeris.Aku mencoba melerai. Akan tetapi justru tanganku ikut terkena cakaran, juga tendangan dari perempuan itu."Hentikan, Bu Sita. Ibu bisa dipidanakan karena kasus penganiayaan!" Pak RT yang baru saja datang berusaha ikut melerai."Saya tidak takut dipenjara. Kalau sampai dibui, dengan menjentikkan jari saya bisa langsung keluar!" icapnya angkuh.Beberapa orang tetangga akhirnya turun tangan. Menarik Rafika dari amukan Bu sita kemudian membawa gadis itu ke rumah Pak RT.Belum puas sampai disitu.
"Azis. Kamu itu bagaimana sih. Tahu adiknya pingsan bukannya perduli, malah asik-asikan mainan hape!" sungut Ibu seraya berkacak pinggang."Terus aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Meletakkan ponsel Rafika di atas meja sambil memijat pelipis. Pusing."Inisiatif panggil dokter, kek. Jangan cuma diam. Begitu saja kamu nggak paham, Zis. Telmi!" hardiknya lagi. Bertambah emosi."Nggak usah panggil dokter, Bu. Nanti Ibu tambah malu. Fika lagi hamil!""Kamu itu bener-bener, ya. Kalau ngomong sudah kaya orang nggak ada otak. Asal jeplak. Bagaimana bisa anak perawan hamil. Otak kamu sudah terkontaminasi racun kayanya. Kebanyakan mikirin Rania!" Wanita berdaster motif bunga-bunga itu menoyor kepalaku."Tolong sekali ini saja Ibu dengarkan aku, Bu. Fika itu pingsan karena sedang mengandung.""Memangnya kamu tahu dari mana kalau Fika sedang hamil, Zis? Janga
"Selamat pagi!" sapa salah seorang polisi seraya memberi hormat.Beberapa orang tetangga yang sedang berbelanja sayur langsung menatap memperhatikan. Pasti sebentar lagi ada gosip tidak jelas menyebar. Mereka kan hobi menyebarkan berita bohong, tanpa mau mencari kebenarannya dan langsung percaya begitu saja. Dasar ibu-ibu tidak ada kerjaan."Apa benar ini kediamannya saudari Rafika?" tanyanya lagi."Iya, pak. Benar. Ada apa memangnya?" Aku balik bertanya. Penasaran."Saudari Rafika terjaring razia di sebuah klinik aborsi. Dia berusaha menggugurkan janin yang ada di rahimnya. Sekarang dia sedang berada di rumah sakit karena mengalami perdarahan," ucap Pak polisi lantang. Kontan, membuat para ibu yang berada di depan rumah menajamkan pendengaran.Aku meraup wajah.Ya Allah, Rafika. Tidak ada capek-capeknya berbuat ulah. Apa dia tidak tahu kalau aku terkena imba
Buru-buru aku berlari keluar dan meneriaki Hamzah maling. Tidak mau melepas pria itu karena dia seorang pencuri."Ada apa, Mas Azis?" tanya Pak Rt seraya menghampiri."Rumah saya kemalingan, Pak. Tadi malingnya baru saja keluar dari komplek ini. Pake motor matic merah. Ini foto malingnya!" Menunjukkan foto Hamzah kepada Pak RT."Tapi, bukannya itu putranya Pak Sulaiman ya?" Pak RT mengernyitkan dahi."Mau putranya Pak Sulaiman, Pak Hasim, saya tidak perduli. Dia itu maling. Pencuri!" sungutku kesal."Memangnya apa yang dia curi dari rumah Mas Azis?"Duh. Aku sendiri belum mengecek apa saja yang hilang, karena segera keluar meneriaki Hamzah maling.Lekas kembali masuk. Mengecek seisi kamar, dan ternyata laptop, beberapa koleksi jam tangan mewah, juga ada uang cash sebesar lima juta sudah raib digondol si Hamzah.
"Nggak usah melongo begitu. Nanti mulut busuk kamu kemasukan lalat!" sungut Pak Beni, menatap mencemooh wajahku.Hamzah yang sejak tadi duduk diam di kursi seberang terlihat mengulas senyum. Pasti dia merasa puas telah berhasil mempermalukan diriku.Sombong banget dia ini. Pura-pura miskin, padahal anak seorang konglomerat. Tahu gitu, sudah aku manfaatkan keadaan supaya aku lekas naik jabatan. Dasar Hamzah sial*n. Sepertinya dia sengaja ingin mempermainkan aku."Kenapa bengong?!" sentak Pak Beni."Nggak, Pak. Saya tadinya cuma bercanda sama Hamzah. Kami ini kan sahabat baik, Pak. Sudah sejak sekolah SMA kita berteman," kilahku, semoga saja Pak Beni percaya dan melepasku."Sahabat baik. Mungkin Hamzah selalu menganggap kamu sahabat baik. Dia juga yang menyuruh saya menerima kamu kerja di perusahaan, karena sebetulnya saya tidak suka dengan kinerja kamu. Kinerja kamu itu jele
POV Rania.Pagi ini, hatiku terasa sangat bahagia karena bisa kembali bertemu dengan Mas Azis. Aku sangat merindukannya, ingin berada di sisinya terlebih lagi saat ini sedang mengandung benih cintanya. Aku ingin dia menemani hari-hariku. Membelikan makanan yang si jabang bayi mau, mengelus perutku sebelum kami tidur.Mas Azis. Dia yang dulu selalu aku kagumi karena sifat santun juga shalihnya. Laki-laki yang mampu menyematkan cinta begitu dalam di sanubari, hingga aku tidak mampu berpaling walaupun banyak laki-laki yang datang ingin mengkhitbah, termasuk Kak Hamzah teman dekat suamiku.Padahal menurut Ayah, Kak Hamzah lebih terlihat bertanggungjawab juga shaleh. Sedangkan Mas Azis, ayah agak sedikit ragu dengan dia.Menurut Ayah kalau Mas Azis itu hanya pura-pura alim. Terbukti ketika Ayah mengajak Mas Azis shalat berjamaah serta menyuruh dia untuk menjadi imam, dia malah menolak dengan alasan tidak
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala