"Nggak usah melongo begitu. Nanti mulut busuk kamu kemasukan lalat!" sungut Pak Beni, menatap mencemooh wajahku.
Hamzah yang sejak tadi duduk diam di kursi seberang terlihat mengulas senyum. Pasti dia merasa puas telah berhasil mempermalukan diriku.
Sombong banget dia ini. Pura-pura miskin, padahal anak seorang konglomerat. Tahu gitu, sudah aku manfaatkan keadaan supaya aku lekas naik jabatan. Dasar Hamzah sial*n. Sepertinya dia sengaja ingin mempermainkan aku.
"Kenapa bengong?!" sentak Pak Beni.
"Nggak, Pak. Saya tadinya cuma bercanda sama Hamzah. Kami ini kan sahabat baik, Pak. Sudah sejak sekolah SMA kita berteman," kilahku, semoga saja Pak Beni percaya dan melepasku.
"Sahabat baik. Mungkin Hamzah selalu menganggap kamu sahabat baik. Dia juga yang menyuruh saya menerima kamu kerja di perusahaan, karena sebetulnya saya tidak suka dengan kinerja kamu. Kinerja kamu itu jele
POV Rania.Pagi ini, hatiku terasa sangat bahagia karena bisa kembali bertemu dengan Mas Azis. Aku sangat merindukannya, ingin berada di sisinya terlebih lagi saat ini sedang mengandung benih cintanya. Aku ingin dia menemani hari-hariku. Membelikan makanan yang si jabang bayi mau, mengelus perutku sebelum kami tidur.Mas Azis. Dia yang dulu selalu aku kagumi karena sifat santun juga shalihnya. Laki-laki yang mampu menyematkan cinta begitu dalam di sanubari, hingga aku tidak mampu berpaling walaupun banyak laki-laki yang datang ingin mengkhitbah, termasuk Kak Hamzah teman dekat suamiku.Padahal menurut Ayah, Kak Hamzah lebih terlihat bertanggungjawab juga shaleh. Sedangkan Mas Azis, ayah agak sedikit ragu dengan dia.Menurut Ayah kalau Mas Azis itu hanya pura-pura alim. Terbukti ketika Ayah mengajak Mas Azis shalat berjamaah serta menyuruh dia untuk menjadi imam, dia malah menolak dengan alasan tidak
Duduk di halaman rumah sakit, terus menatap lalu lalang kendaraan yang melintas. Pusing memikirkan biaya pengobatan Rafika yang terus saja membengkak, sementara dia tidak kunjung membuka mata. Benar-benar menyusahkan saja.Kalau bukan adik satu-satunya, sudah kubiarkan dokter mencabut alat-alat yang menempel di tubuhnya, membiarkan dia pergi agar tidak menjadi beban yang masih hidup.Sudah nganggur, biaya rumah sakit tidak ditanggung pemerintah, apalagi pacar Rafika yang menghamilinya. Entah seperti apa laki-laki itu."Zis, dipanggil Ibu. Fika siuman!" Mbak Zalfa menepuk kasar pundakku."Duh, akhirnya siuman juga," jawabku seraya beranjak dari kursi besi kemudian berjalan mengekor di belakang Mbak Zalfa."Kamu koma lama banget sih, Fik. sudah hampir sebulan tahu nggak kamu berada di rumah sakit. Sudah berapa banyak uang yang Mas keluarkan hanya untuk membi
Aku menepikan mobil tepat di depan Ibu berdiri. Wanita berjambul itu terkesiap, dengan kelopak mata melebar sempurna menatapaku."Ibu dari mana?" tanyaku menyelidik."Jalan-jalan sama temen. Memangnya kenapa?" Dia balik bertanya."Siapa yang tadi bersama Ibu. Tadi aku lihat Ibu turun dari mobil sedan berwarna silver. Ibu nggak ngelakuin hal yang macem-macem kan?" Menatap intens wajah perempuan yang sudah melahirkanku itu."Kamu ngomong apa sih, Zis?!" Dia membuka pintu mobil dan segera duduk di kursi sebelah kemudi, memasang sabuk pengaman kemudian sibuk memainkan ponselnya.Dasar emak-emak labil!"Bu, memangnya aku anak hasil selingkuh ya?" Iseng-iseng bertanya, teringat dengan kata-kata Hamzah tadi.Riak wajah Ibu seketika langsung berubah. Sepertinya ada yang sedang disembunyikan oleh perempuan berkulit putih tersebut dari diriku. Tapi
"Mas Azis kenapa sih, selalu saja membuat masalah. Bikin rugi aku saja!" rutuk Rafika sambil masuk ke dalam ruangan tempat dimana aku sedang ditahan."Bawel!" sahutku kesal."Mas tahu, nggak? Aku harus bayar ganti rugi lebih dari lima juta. Dan semua itu gara-gara sifat anarkisnya Mas Azis. Nyusahin aja bisanya!" sungutnya lagi, menarik kasar lengan bajuku hingga hampir robek."Baru lima juta!""Lima juta juga duit, Mas. Nyarinya susah. Capek aku!" Dia menyilang tangan di depan dada."Aku juga nyari hampir seratus juta, lebih capek lagi, Fika. Dan kamu menghabiskannya dalam waktu beberapa hari, karena ulah konyol kamu di klinik aborsi!" Aku mendebat tidak kalah sengit. Geram dengan sikapnya yang selalu semena-mena terhadapku.Tidak disangka, Rafika malah mendorong tubuhku hingga hampir terjatuh. Kalau saja dia laki-laki, sudah aku ajak berduel saat ini juga.
Ibu mengangkat tangan hendak membalas tamparanku, akan tetapi Kak Dimas dengan sigap menangkap tangan mantan mertuaku dan menepisnya dengan kasar."Dasar pezina. Jadah. Wanita mura**n!" Maki Ibu dengan suara lantang, mengalihkan perhatian para pengunjung taman."Saya sumpahin nanti lahirannya susah dan anak kamu terlahir cacat, Rania!" Lagi. Sumpah serapah terlontar dari mulut ibunya Mas Azis.Padahal dia sesama wanita. Pernah mengandung dan merasakan seperti apa rasanya melahirkan. Terlebih lagi yang dia jatuhi sumpah serapah adalah calon cucunya sendiri.Apa dia tidak berpikir jika nanti salah satu dari anak perempuannya diperlukan seperti aku sekarang ini? Difitnah, diusir dari rumah lalu diceraikan begitu saja. Sekarang malah didoakan yang buruk-buruk oleh dia."Jaga mulut anda, Nyonya.
"Loh, Ran. Kok kamu di sini?" Aku terkesiap ketika tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di belakangku."Apa mobil kamu mogok?" tanyanya lagi dengan senyum tersungging di bibir."E--enggak, Kak. Aku lagi nungguin Kak Dimas. Tadi dia masuk ke dalam bengkel. Kirain lagi ketemuan sama Kakak!" jawabku sembari melongok ke dalam."Enggak, Ran. Dimas nggak bilang apa-apa sama saya."Hufh! Aku menyentak napas kasar. Sebenarnya apa sih yang sedang dia lakukan di dalam?"Sudah sarapan?" tanya Kak Hamzah lagi."Belum, Kak. Lagi nunggu Kak Dimas keluar dulu."Lagi. Dia tersenyum sambil menatap wajahku. Aku menunduk malu juga menjadi salah tingkah karena merasa terus diperhatikan."Itu ada tukang ketoprak. Apa kamu mau?" Dia menunjuk gerobak yang terparkir di bawah pohon mangga.
"Ayah kenapa, Kak?" tanyaku panik."Mas Zubair jatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri. Sekarang dia ada di rumah sakit, Ran!" terang Kak Dimas sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket.Buru-buru kami menuju rumah sakit tempat dimana Ayah sedang dirawat, ingin tahu keadaan pria paling aku cintai itu saat ini. Aku begitu khawatir terjadi sesuatu kepada beliau."Agak cepetan bawa mobilnya, Kak!" titahku panik."Kakak nggak bisa ngebut, Ran. Soalnya bawa kamu. Kamu ini kan lagi hamil. Takut terjadi sesuatu sama calon anak kamu kalau diajak kebut-kebutan." Kaka Dimas menjawab sambil terus menatap kedepan, fokus melihat jalanan Jakarta yang kian padat merayap.Benar juga kata Kak Dimas. Ada nyawa yang begitu berharga di dalam rahim, yang juga perlu dijaga dengan super hati-hati.kuelus perut yang kian membukit, merasakan gerakan calon buah hati yang kian aktif.Ah, andai saja kehadirannya diterima oleh ayah biolog
Aku mendesis kesal. Lama-lama menyebalkan juga sikap Kak Dimas. Mentang-mentang aku selalu merepotkan dia."Mulai sekarang aku nggak mau tergantung kepada siapa pun, Kak. Mau berusaha apa-apa sendiri."Kak Dimas malah terkekeh."Memangnya bisa?"Kesal. Itu reaksiku mendengar pertanyaan tersebut. Lebih baik buru-buru pergi dari pada panjang urusannya.Berjalan sendiri menyusuri koridor rumah sakit menuju poli ibu dan anak menemui dokter Kayla, dan ketika menoleh ke belakang, ternyata Kak Dimas tidak mengikuti. Baguslah. Biar aku bisa membuktikan kalau aku juga bisa mandiri.Sesampainya di poli yang kutuju, seorang perawat menyapa dan memintaku mengisi data pasien. Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah kemudian menyuruhku menunggu karena hari ini mendapatkan giliran ke tiga.Duduk sendiri di kursi panjang. Menoleh ke kanan dan
“Azis?” Mulutnya terus terbuka setelah menyebut nama anaknya.“Iya, Bu. Aku Azis. Anak Ibu.”Sulis menghambur ke dalam pelukan pria berkaus hitam itu, menumpahkan tangisnya di dada bidangnya sambil berkali-kali mengucap maaf karena merasa telah gagal menjadi seorang Ibu.Mendengar suara tangis Ibu yang terdengar mengharu biru, seorang perempuan berkerudung merah keluar ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dia tersenyum bahagia kala melihat sang kakak kembali, lalu ikut menghambur ke dalam dekapan Azis.“Fika, ini kamu?” Lelaki berjambang tipis itu menangkupkan wajah si adik, menatap lamat-lamat wajahnya yang terlihat memesona dengan balutan hijab.Senyum Rafika mengingatkan Azis kepada Rania, wanita yang begitu dia cintai dan telah lama tidak ia temui.“Iya, Mas. Ini aku, Fika, adiknya Mas Azis.” Wanita itu menerbitkan senyuman.“Maa syaa Allah... Kamu cantik sekali, Fik.”“Terima kasih.”“Bayi ini?” Azis menatap bayi dalam gendongan Sulis sambil mengelus pipi tembamnya.“Anak aku, Mas
“Hai, Sayangku, tumben datang ke bengkel?”“Iya, Kak. Aku kangen sama Kakak, sekalian kepengen makan siang bersama suami tercinta.”“Emmm... Memangnya Sayangku bawa apa?”“Nasi sama goreng ayam, perkedel juga oseng sawi.”“Alhamdulillah. Kebetulan perut Kakak sudah lapar sekali. Ayo, kita makan berdua.”“Iya, Kak.” Aku beranjak dari dudukku hendak menyiapkan makanan untuk suami, akan tetapi pria berjambang tipis itu melarangnya dan menyuruhku tetap duduk lalu menyuapiku Sebab saat ini Safaras sedang meminum ASI dan suami tidak mau sampai aku menghentikan aktivitasku menyusui.Terima kasih, ya Allah. Karena Engkau telah mengirimkan jodoh terbaik untukku. Mengangkatku dari duka yang membelenggu, lalu menerbitkan pelangi di kehidupanku yang baru.Keesokan harinya.Setelah dipikir secara matang juga mendapat dukungan dari Bunda, aku akhirnya memutuskan menyetujui untuk pindah ke bengkel. Binar bahagia terpancar jelas di wajah suami ketika kami sudah benar-benar tinggal di tempat yang dia
“Ya Allah, Sayang. Kakak bukan tipe laki-laki seperti itu. Kamu percaya sama Kakak. Kita tidak akan berpisah sampai kapan pun, kecuali maut yang memisahkan kita berdua.” Diusapnya air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari pelupuk, menarik tubuh ini ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Jangan pernah ceraikan aku, Kak.”“Nggak, Sayang. Kita akan menua bersama.”Lelaki dengan wajah tampan itu membingkai wajahku, mendaratkan bibir di tempat yang sama kemudian entah siapa yang memulai duluan, kamu sudah berada dalam satu selimut.“Bismillah allahumma jannibnassyaithaan wa jannibissyaithaana maa razaqtanaa.” Kak Hamzah membaca doa sebelum akhirnya meminta haknya sebagai suami untuk yang pertama kalinya.Lamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan azan subuh. Gegas menyibak selimut, duduk di tepi ranjang karena di dalam kamar mandi terdengar Kak Hamzah sedang membasuh badan.Tidak lama kemudian seraut wajah tampan muncul dari balik pintu, m
Beberapa bulan kemudian.Memantas diri di depan cermin, menatap bayangan wajahku yang terlihat cantik memesona dengan balutan hijab putih serta kebaya buatan Tante Nafsiah. Rasanya bagaikan mimpi karena hari ini aku akan resmi menyandang status nyonya Hamzah. Semoga saja rumah tangga yang kami bina langgeng sampai maut menjemput. Aamiin.Melalui pengeras suara, terdengar pembawa acara mulai membacakan susunan acara. Suara sang Qori terdengar begitu menyejukkan hati, membuat mata ini tanpa terasa sudah menitikkan air hangat nan asin saking merdunya.Hingga tiba waktunya yang paling ditunggu-tunggu yaitu ijab qobul, dimana Kak Hamzah akan mengambil alih tanggung jawab serta dosa-dosaku, mengucap janji suci dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi juga kerabat serta tetangga.“Saya terima nikah dan kawinnya Rania Humaira binti Haji Zubair dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” ucap Kak Hamzah dengan lantang tanpa hambatan, lalu para hadirin ramai gemuruh mengucap kata ‘sah’.Alhamd
“Ya sudah. Sebentar lagi aku pulang kok, Bun.”“Ya sudah. Aku pulang sekarang.”Segera mengakhiri panggilan telepon setelah mengucapkan salam lalu mengajak Kak Dimas serta calon suami pulang.“Ada apa, Ran?” tanya Kak Hamzah penasaran.“Ada Mbak Zalfa di rumah, Kak.”“Mau ngapain dia ke rumah, Ran?” Kak Dimas menimpali.“Nggak tahu, Kak.” Mengedikkan bahu sebab aku sendiri tidak tahu ada maksud apa tiba-tiba mantan kakak ipar bertandang ke rumah. Biasanya dia paling anti menginjakkan kaki di rumah Bunda, tapi hari ini entah angin apa yang mendorong dia datang ke rumahku.Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari parkiran pusat perbelanjaan. Kali ini giliran Kak Dimas yang menyetir sedangkan Kak Hamzah duduk di kursi penumpang depan, bercanda ria dengan pamanku membicarakan masa sekolah mereka dulu.Aku hanya menyimak dan sesekali menerbitkan senyuman ketika mereka menceritakan hal-hal konyol yang menggelitik perut, hingga tanpa sadar mobil yang aku tumpangi sudah menepi di halaman r
Aku membuka kaca mobil, ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh mantan mertuaku itu, karena sepertinya dia sedang mencaci maki Tante Nafsiah.“Ini dia orangnya. Kamu yang sudah membawa Fika ke rumah sakit, tapi tidak mau bertanggung jawab dan membayar biaya pengobatan anakku. Dasar sinting!” teriak Ibu ketika Kak Hamzah menghampirinya.Astagfirullah ... Sebenarnya otak Ibu itu terbuat dari apa sih? Kenapa dia tidak pernah bisa berpikir dengan benar. Rafika kecelakaan dan kami menolongnya, tapi bukannya berterima kasih dia malah menuntut kami untuk membiayai seluruh pengobatan Rafika.Karena penasaran sekaligus geregetan, segera turun dari mobil, menghampiri Ibu ingin membela Kak Hamzah.“Ini dia nih, perempuan hobi gonta-ganti pasangan. Wanita ganjen sok kecakepan. Sekarang, bayar pengobatan Fika atau kamu saya tuntut karena sudah menelantarkan anak saya yang sedang sekarat!” Ibu memaki serta mengancam, membuat dahi ini mengernyit bingung.“Ya sudah, sekarang begini saja, Bu. Biar k
Setelah berbasa-basi sebentar dan Pak ustaz yang dipinta Om Beni sebagai perwakilan keluarganya menyampaikan maksud tujuan mereka datang dan Ayah menerima lamaran Kak Hamzah, Tante Nafsiah segera menyematkan cincin berlian di jari manisku, mendaratkan kecupan di puncak kepala serta menghujani pipi ini ciuman penuh dengan kasih sayang.“Alhamdulillah. Sebentar lagi kamu benar-benar akan menjadi menantu tante. Terima kasih sudah bersedia menerima pinangan putra semata wayang Tante ya, Ran,” ucap perempuan bermata teduh dengan aura surga itu dengan intonasi sangat lembut.“Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Tante dan Om merestui hubungan kami berdua,” jawabku sambil menoleh sekilas ke arah Kak Hamzah yang ternyata sedang memperhatikan kami, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling bertaut, menghadirkan debar-debar aneh di dalam dada.“Jangan dipandangi terus, Zah. Belum halal. Sabar!” celetuk Om Beni membuat pria tampan itu terlihat salah tingkah.Pun dengan diriku yang segera
Ting!Ponselku berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Kak Hamzah.[Assalamualaikum, calon istriku. Sudah tidur? Lusa Ummi dan Abi rencananya akan datang ke rumah untuk melamar kamu secara resmi. Kamu siap-siap ya. Kamu juga jangan khawatir kalau aku akan memberi harapan palsu sama kamu, sebab aku tidak mau menambah luka di hati kamu. Kakak justru akan menjadi penyembuh luka kamu, Ran. Selamat malam.]Aku mengulum senyum membaca pesan dari Kak Hamzah. Rasanya sudah seperti anak baru gede yang sedang kasmaran. Padahal ini lamaran keduaku, setelah dulu menerima lamaran dari Mas Azis dan menjalani pernikahan selama enam pekan.Secepat inikah perasaan untuk Kak Hamzah timbul di hati, ataukah ini hanya cinta sesaat saja? Apakah Tuhan akan kembali menakdirkan aku menjadi janda setelah menikah dengan laki-laki itu?Tidak! Aku harus menepis jauh-jauh segala prasangka buruk terhadap Kak Hamzah. Dia seorang laki-laki yang begitu baik serta perhatian. Dia tidak akan mungkin menorehkan luka seperti m
Karena capek meladeni Ibu, kami berdua akhirnya segera pulang sebab jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Badan sudah terasa letih ditambah otak harus mendidih.“Semoga Fika baik-baik saja ya, Kak. Kasihan dia. Keluarganya nggak ada yang peduli sama sekali!” ucapku kepada Kak Hamzah ketika kami sudah berada di dalam mobil.“Aamiin. Semoga juga setelah kecelakaan ini dia mendapatkan hidayah dari Allah, meninggalkan pekerjaan kotornya dan menjadi wanita baik-baik. Semoga juga Allah membukakan serta melembutkan hati Tante Sulis,” jawab lawan bicaraku sembari memasang sabuk pengaman kemudian segera menyalakan mesin kendaraan roda empatnya.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari parkiran rumah sakit. Sengaja kusandarkan tubuh serta kepala di sandaran jok mobil, memejamkan mata karena lelah serta rasa kantuk yang kian mendera.“Ran, Rania!”Membuka mata perlahan, mengernyitkan dahi serta beringsut menjauh melihat Mas Azis sudah berada di hadapanku.“Kamu mau apala