"Baik, Non. Eh, maksud saya Bian," ralat Yuda meringis, mengusap tengkuk. Gita dan Evan mengulas senyum tipis, menggelengkan kepala. "Gak apa-apa, kan belum biasa. Om sama Tante mau lihat Mamih aku kan?""Iya, Nak," jawab Gita lembut. "Kalau gitu silakan masuk." Bianca membuka pintu lebar, mempersilakan Yuda dan istrinya masuk ke dalam ruangan. Dada Evan ditahan Bianca. "Ada apa?""Orang tuamu dulu. Kamu nanti aja. Kita duduk di situ." Cegah Bianca menunjuk tempat duduk dengan dagunya. Evan tak bisa menolak, ia mengikuti kemauan gadis yang telah membuatnya jatuh hati. Evan dan Bianca duduk bersebelahan di kursi depan ruangan Namira. "Pakaianmu keren amat sih?" celetuk Bianca memerhatikan penampilan Evan. Lelaki itu melihat dirinya sendiri. "Dari dulu emang keren," timpal Evan tersenyum manis, menaik turunkan kedua alisnya. "Kumat pedenya. Maksudku, ngapain ke rumah sakit sampe pkeren begini? Emang kamu mau pergi bareng aku? Kan cuma sama orang tuamu aja. Sok kekerenan," cibir B
Yuda terkejut mendengar rencana Daniel untuk memenjarakan Hesti. Selama ini Daniel selalu menutup-nutupi kejahatan mantan istrinya itu. Tetapi sekarang?"Dari dulu saya sudah menyarankan, Pak. Sebaiknya memang seperti itu. Semakin didiamkan, Ibu Hesti semakin banyak tingkah. Yang membuat saya enggak habis pikir, kenapa Ibu Hesti tega memanfaatkan nama anak kandungnya untuk pengajuan pinjaman pada Bank. Anehnya lagi, kok bisa tanpa kehadiran Non Bian, pinjaman itu di ACC?" Yuda membeberkan keanehannya terhadap Hesti. Wanita itu sangat licik dan jahat.Pertanyaan Yuda tidak mendapat jawaban Daniel. Suami Namira itu tidak mau menduga-duga."Masalah itu biarkan saja. Yang penting rekening yang atas nama Bianca sudah diblokir."Daniel tak mau ambil pusing. Pada akhirnya yang selama ini ditutup-ditutupin ketahuan juga. Daniel hanya berharap, semoga saja kelakuan jahat Hesti pada anaknya tidak diketahui Bianca."Baiklah, Pak Daniel. Lusa saya dan pak Irfan selaku lowyer perusahaan Pak Daniel
Dari balik pintu, wajah Evan menyembul. Daniel terkejut melihat anak kandung Yuda ada di rumah sakit. "Siang, Pak Daniel ...." sapa Evan masuk ke dalam ruangan. Bianca yang masih berdiri di tempat salah tingkah, mengusap tengkuk, khawatir papanya menyalah Evan. "Siang. Kamu kapan datang, Van?" Suara Daniel terdengar dingin. Sorot matanya datar. "Tadi bareng papah dan mamah."Jawaban Evan membuat raut wajah Daniel berubah drastis."Bian, temani Mamihmu dulu. Papah mau bicara sama Evan." Evan yang baru masuk, langsung keluar lagi, mengikuti langkah Daniel.Setelah pintu tertutup, Bianca mengintip mereka dari balik gorden ruangan. Hatinya mulai cemas, takut kalau Evan dimarahi papanya. "Duh, mau ngomong apa ya Papah sama Evan? Ah, jangan-jangan si Evan dipecat lagi. Ck!" Bianca mendecih, berjalan gontai ke ranjang pasien. Duduk di kursi sebelah kiri sambil memandangi Namira. *** "Tadi kalian kemana?" tanya Daniel. Evan yang duduk di samping ayah kandung Bianca hatinya ketar-ketir.
Evan terdiam, tidak langsung menanggapi perintah Daniel. Anak tunggal Yuda itu teringat obrolannya dengan Bianca tempo hari. Bianca sempat bercerita kalau ia tidak ingin menikah muda. Bianca ingin meniti karier dulu, menyelesaikan kuliah dulu. Lantas, bagaimana cara Evan membujuk Bianca?"Mohon maaf, Pak Daniel. Bukan saya gak mau membujuk Bianca menikah muda. Tapi, Bian pernah cerita ke saya kalau dia ingin menyelesaikan study-nya dulu, ingin kerja dulu, setelah menikmati masa muda, barulah ia menikah dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Pak Daniel, saya enggak bisa memaksa Bianca dalam hal pernikahan. Bagi saya, menikah itu sesuatu yang sakral. Salah satu momen yang bersejarah dalam kehidupan manusia. Dan jujur saja, saya ingin ... pernikahan saya nanti adalah pernikahan satu kali dalam seumur hidup. Saya juga enggak mau terlalu percaya diri menyimpulkan Bianca memiliki perasaan yang sama dengan saya. Jadi, saya mohon maaf, masalah pernikahan, saya gak bisa membujuk Bianca menika
"Kamu bawa mobil, Van?" tanya Bianca saat mereka berada di area parkir rumah sakit. "Iya. Mamah papahku pulang naik taksi. Mereka sengaja ninggalin mobil di sini takutnya aku disuruh nganterin kamu pulang. Ternyata benar." Evan terkekeh, membuka pintu mobil bagian penumpang untuk Bianca. "Makasih," kata Bianca setelah duduk di bangku samping kemudi. "Iya," balas Evan. Memutar depan mobil, membuka pintu mobil bagian kemudi, dan duduk dengan tenang. Kendaraan yang mereka tumpangi melaju, meninggalkan halaman luas rumah sakit. "Van, tadi kamu ngobrol sama Papah?" tanya Bianca, memiringkan badan lebih menghadap lelaki yang fokus menyetir. "Iya. Emangnya kenapa?" Bibir Bianca manyun, kesal karena Evan tidak bercerita apa yang mereka obrolkan. "Enggak kenapa-napa. Cuma nanya aja sih?""Oh."Setelahnya, tidak ada pembicaraan diantara mereka. Evan fokus mengemudi, sedangkan Bianca sesekali melirik Evan, berharap lelaki itu bercerita obrolan dengan papanya tanpa diminta Bianca. Tapi,
"Ngomong apaan sih kamu, Van? Cukup tau diri kenapa?" Bianca pura-pura tidak mengerti. Ia merunduk, kadang membuang wajah ke arah lain seolah menghindari tatapan Evan. Sikap salah tingkah keduanya terlihat jelas. Evan sering kali merasa insecure jika berhadapan dengan Bianca yang tak lain anak dari bos papanya. "Ya aku harus tau diri, kalau gadis secantik dan sebaik kamu, berasal dari keluarga yang terhormat, rasanya gak mungkin kalau punya perasaan lebih sama aku." Evan memperjelas ucapannya. Biar bagaimanapun, Evan hanyalah dari keluarga biasa saja. Bukan berasal dari keluarga bangsawan, bukan dari keluarga pemilik perusahaan, bukan pula dari keluarga yang tersohor seperti keluarga Bianca. Dia hanya seorang anak dari anak buah papanya Bianca, yakni Yuda. Bahkan keluarga Evan banyak berutang budi pada keluarga Bianca. Sebab selama ini keluarga Bragastara sering sekali menolong keluarga Evan. Bianca terkejut, menoleh sekilas, lalu menarik napas panjang. Bianca tidak menanggapi ucapa
Hesti tak menyangka kalau Bianca berbicara demikian. Dia benar-benar diluapkan emosi. Andai saja dulu Hesti mau merawat Bianca dengan baik, pasti tidak akan Bianca marah. Kekecewaan terhadap Hesti sangat besar. Tanpa banyak kata, Hesti pergi meninggalkan Bianca dan Evan. Dia pikir, di rumah ada Daniel. Kedatangannya ke rumah Daniel hanya ingin minta uang saja. Wanita itu sudah bingung mau mencari uang kemana apalagi sekarang akses datang ke perusahaan dan menekan karyawan bagian keuangan sudah sangat sulit. Sedangkan suami sirrinya yang sekarang bukan orang yang kaya. "S1alan, kemana lagi aku cari uang? Sh1t!" maki Hesti saat kendaraanya sudah meninggalkan halaman rumah Bianca. Sampai rumah, Hesti melihat Ferry sudah duduk di kursi teras. Baru sekarang Hesti malas bertemu dengan suami berondongnya itu. Hesti tidak punya, sedangkan Ferry menginginkan uang sebesar 20 juta untuk biaya kuliah, biaya berobat mamanya dan juga biaya yang lainnya. Kepala Hesti sudah pusing tujuh keliling.
Kedua pundak Daniel menurun namun bibirnya memaksakan tersenyum. "Ya sudah, kalau begitu saya tinggal dulu. Permisi.""Iya, dok."Setelah kepergian dokter, Daniel meraih telapak tangan Namira, mengecup penuh kasih sayang. "Mas Ayang, maaf ya? Gara-gara aku, Mas jadi tinggal di sini," kata Namira menyesal. Dia benar-benar kasihan melihat suaminya. "Enggak apa-apa, Sayang. Yang penting kondisimu sudah pulih lagi."Tidak berselang lama, handphone Daniel berdering. "Sebentar, aku mau angkat telepon dari Yuda dulu." Daniel melepaskan genggaman tangannya lalu mengangkat telepon dari Yuda. "Hallo, Yud?" sapa Daniel ketika sambungan telepon berlangsung. "Pak Daniel mohon maaf ganggu." Yuda merasa sungkan sebenarnya tapi ia harus menyampaikan hasil diskusinya dengan pengacara yang akan menangani laporan Daniel terhadap Hesti."Enggak, Yud. Enggak ganggu. Ada apa?"Namira memerhatikan suaminya dengan seksama. Ia takut ada kabar buruk yang disampaikan Yuda. "Saya baru saja berdiskusi tent
Hampir setengah jam, Axel dan Alea berada di samping pusara kedua orang tua kandungnya. Nida, Bianca dan Evan berdiri di belakang kedua anak itu. Bianca tubuhnya sangat lemah. Ditambah Evan pun sedang tak enak badan. Mereka tidak terlalu tua, tapi tubuhnya terlihat sangat ringkih. Nida yang melihat pasangan suami istri merasa prihatin. Tidak dapat dipungkiri jika satu sisi Nida merasa bersalah karena telah memberitahu kebenaran yang selama ini disembunyikan Bianca dan Evan. Sisi lain, hatinya begitu lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa Namira dan Daniel. Apapun alasannya, menyembunyikan siapa kedua orang tua Axel dan Alea merupakan kesalahan. "Kak, lebih baik Kak Bian dan Kak Evan pulang duluan aja," ujar Nida pada Bianca yang berdiri memandang kedua remaja yang sedari bayi dirawat penuh kasih sayang olehnya. "Iya, Sayang. Kita pulang saja. Mungkin Axel dan Alea ingin lebih lama lagi di sini," timpal Evan merangkul pundak istrinya. Air mata Bianca sudah mengering. Tatap
"Kak Bian dan Kak Namira bersahabat. Mereka saling menyayangi. Bahkan Om Daniel mau menikahi Namira atas usul Kak Bian. Axel, Lea, Tante mohon ... maafkan kesalahan kak Bian. Mereka telah merawat kalian dengan baik. Walaupun kalian udah tau kenyataan ini, anggap saja Kak Bian dan Kak Evan pengganti kedua orang tua kalian."Axel memalingkan wajah ke arah lain. Ia masih kecewa dan marah akan keputusan Bianca. Sementara Alea, hanya menangis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Sekarang di mana kedua orang tua kami dimakamkan? Tolong, Tante ... anterin kami ke sana," pinta Axel tak ingin membahas masalah Bianca. "Iya, Tante. Di mana makam kedua orang tua kami dan ... dan kenapa di rumah ini, enggak ada foto mereka?" tanya Alea, suaranya bergetar."Ada. Foto mereka ada di kamar itu." Dagu Nida menunjuk salah satu kamar di rumah ini. Pandangan Alea dan Axel mengikuti arah pandang Nida. Kamar yang selama ini selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh mereka. "Dulu, itu kamar Om
"Oh ya, memangnya kalian mimpi apa? Cerita dong sama Tante." Nida mengalihkan pertanyaan mereka. Ia bersidekap, menatap Alea dan Axel bergantian. Tidak berselang lama, cerita mimpi-mimpi mereka pun mengalir. Awalnya Nida tidak terkejut. Ia tampak biasa mendengarkan cerita dari kedua ponakannya itu sampai akhirnya, firasatnya semakin yakin kalau yang datang dalam mimpi Axel dan Alea ada Daniel dan Namira. Kedua orang tua kandung mereka. "Kami yakin, Tante. Kalau dua orang itu ada kaitannya sama kami. Tapi, aku dan Alea bingung, sebenarnya mereka itu siapa?" Axel menutup cerita. Nida menelan saliva, mendengar cerita Axel dan Alea. Ternyata selama ini, Namira dan Daniel selalu hadir dalam mimpi anak-anaknya. Sebulir air mata tak dapat tertahankan. Nida merunduk, menyeka air matanya. "Tante, Tante kenapa nangis? apa ... apa Tante tau, siapa dua orang itu?" desak Alea pada wanita yang kini telah menikah. Nida bingung menjawab. Ia justru memeluk tubuh Alea. Menangis dalam pelukan. Sik
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....."Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...."Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini."Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...."Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira dan Bianca. Namir