Sorot mata Daniel tak kalah tajam. Menatap lekat wajah anak kandungnya lekat. Bianca tak menanggapi, memalingkan wajah dan bersidekap. "Papah gak bisa bayangin kalau laki-laki yang menolongmu bukan Evan. Pasti akan terjadi hal buruk yang menimpamu, Bian. Sudahlah, mulai besok, kemanapun kamu pergi, selalu ada Evan." Titah Daniel sangat tegas tanpa peduli, apakah Bianca setuju atau tidak? ya memang selama ini, hanya perintah Daniel yang harus diikuti. Evan menoleh, memandang wajah Bianca dari samping. Evan ingin bicara tapi tenggorokannya seolah tercekat. "Mas, jangan paksa Bianca lagi. Aku mohon ... kita kasih kepercayaan untuknya, Mas. Aku gak mau kalau Bian pergi dari rumah lagi. Aku mohon, Mas ...." Berurai air mata Namira memohon agar suaminya menarik perintah untuk sahabatnya itu. Bianca mendongak, menatap Namira yang memegang tangannya."Enggak apa-apa. Aku mau ditemani Evan kemanapun pergi. Aku enggak akan pergi sendiri lagi. Mamih jangan sedih, aku enggak akan pergi lagi."
"Mas, si Evan udah pulang?" tanya Namira ketika menghampiri Daniel di ruang tamu. "Udah, baru aja. Sayang, gimana Bianca? Apa dia cerita tentang Evan padamu?" selidik Daniel. Jauh-jauh hari sebenarnya Daniel ingin menjodohkan Evan dengan Bianca. Sebelumnya Daniel sudah beberapa kali bertemu dengan anak kandung Yuda itu. Pertemuan tersebut membuat Daniel terkesan dengan kecerdasan Evan dan juga sifatnya yang sopan. "Iya, cerita. Tapi enggak banyak," jawab Namira menggamit lengan suaminya mesra. Mereka menaiki anak tangga yang mengubungkan ke kamarnya. Berulang kali Namira menguap, kedua matanya sudah sangat mengantuk. Melirik jam dinding di kamar, sudah pukul setengah satu malam. Pantas saja, Namira sudah ngantuk. "Sayang, sekarang kamu harus tidur, harus istirahat," ucap Daniel saat mereka sudah berada di dalam kamar. Namira menganggukkan kepala. "Aku mau ke toilet dulu.""Iya, Sayang."Daniel meletakkan kaca mata tebalnya. Bernapas lega karena Bianca sudah pulang ke rumah dalam k
"Kalau gak salah, yang semalam nganterin Non Bian pulang, Pak."Sontak, Daniel dan Namira saling pandang. Mereka sudah bisa menerka siapa yang datang? Pasti Evan, anak kandung Yuda. "Evan?" tanya Namira meyakinkan. "Iya, Non."Setelah menjawab pertanyaan majikannya, Bi Rusmi pergi ke belakang, membiarkan Daniel dan Namira berdua di ruang makan. "Mas, aku panggilin Bian sama Evan dulu, ya? Suruh mereka sarapan.""Gak usah." Namira yang baru setengah berdiri, kembali duduk. Keningnya mengkerut melihat Daniel yang menyantap sarapan. "Memangnya kenapa?""Nanti kamu ganggu mereka. Kamu sarapan aja. Bian dan Evan sarapannya setelah kita berdua. Kamu jangan lupa, minum susu ibu hamil."Namira mengerti, melanjutkan sarapan. Tak lupa ia meminum susu ibu hamil sesuai anjuran. "Mas, aku sama Bian ke kampusnya dianterin Evan?" tanya Namira. Intonasi suaranya terdengar tak suka. Ia ingin ke kampus seperti biasa, diantar Daniel. "Bian saja yang diantar Evan. Kalau kamu, aku yang mengantarmu."
Namira langsung memeluk pinggang Bianca. Terlihat sangat bahagia. "Menurutku sih iyes. Jadi beneran ini, kamu sama Evan menjalin hubungan?" tanya Namira sumringah. Hatinya benar-benar bahagia kalau Evan dan Bianca berjodoh. Mereka cocok. Usia Evan memang lebih tua beberapa tahun dari Bianca. "Belum sih. Aku mau mengalir aja. Kalau nanti ada ikatan pacaran, Papah pasti nyuruh aku dan Evan cepat-cepat menikah. Aku gak mau. Males." Bianca menjawab apa adanya. Namira mengerti, menganggukkan kepala. Selama ini, Bianca memang tidak ingin seperti dirinya, menikah muda. Bianca ingin selesai kuliah, dapat bekerja di perusahaan Daniel. Ia sedikit demi sedikit mulai mempelajari cara pengelolaan perusahaan papahnya. Daniel tidak melarang tetapi jika Bianca sudah memiliki suami, Daniel meminta anaknya itu untuk fokus menjadi ibu rumah tangga saja. Dan tentu saja, Bianca tidak mau terjadi. Ia ingin puas masa mudanya lebih muda dulu, ingin memiliki pengalaman bekerja dulu, setelahnya barulah meni
"Love you too, Ferry Cayang ...," balas Hesti menc1um bib1r Ferry sesaat. Lelaki itu tak mengelak meski hatinya merasa jijik dan jengah mendapatkan perlakuan dari Hesti. "Aku berangkat ke kampus dulu, Sayang.""Iya, Sayang. Hati-hati."Ferry harus bertahan dengan Hesti demi pengobatan ibunya yang menderita kanker. Saat ini dia tidak tahu harus membayar kuliah sekaligus pengobatan ibunya dari mana. Sebenarnya bukan hanya Hesti yang menjadikan Ferry simpanannya. Ada tante lain yang menjadikan Ferry berondong manis. Sepanjang jalan menuju kampus, kadang Ferry meratapi keputusannya melayani h4srat tante-tante yang kesepian. Walau pun syarat yang diajukan Ferry harus menikah sirri lebih dulu, tapi tetap saja dia menginginkan memiliki istri yang sebaya usianya. Rencana Ferry mendekati Namira dan Bianca gagal total. Dua gadis itu menolak mentah-mentah. Padahal dari fisik, Ferry tidak terlalu jelek. Dia cukup tampan. Cintanya pada Namira harus pupus di tengah jalan. Ferry terlambat karena
Kali ini Hesti yang terkekeh."Kamu benar, Daniel. Aku ke sini hanya minta uangmu, Daniel. Atau kalau kamu keberatan memberiku uang secara cuma-cuma, kamu boleh kasih aku pekerjaan apapun. Aku mau, Daniel," pinta Hesti agak memelas. Sekarang wanita itu duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Mutiara.Daniel terkekeh, menggelengkan kepala. "Kamu pikir aku b*doh, Hesti?"Hesti menyipitkan kedua mata, kening mengkerut. Tidak mungkin Daniel mengetahui rancananya. Pikir Hesti."Maksudmu apa, Daniel? Kamu jangan selalu berburuk sangka padaku," kilah Hesti pura-pura kesal. Sekarang tidak ada tempat bergantung bagi Hesti. Lelaki pengusaha hebat dan seumuran dengannya, tidak ada yang mau didekati Hesti apalagi sampai menjalin hubungan khusus. Rata-rata pengusaha-pengusaha kaya raya itu lebih memilih gadis perawan, daun muda dari pada janda tua sepertinya."Aku gak berburuk sangka padamu. Aku tau akal licikmu, Hesti. Belum lama kamu memanfaatkan nama Bianca untuk mengambil pinjaman di Bank. B
Jam 1 siang, Namira dan Bianca baru selesai kelas. Mereka langsung ke area parkiran mobil karena mata kuliah berikutnya lagi kosong. "Kamu pulangnya mau bareng aku atau mau nunggu papah?" tanya Bianca pada saat mereka baru keluar kelas. Bibir Namira maju beberapa centi, lalu menggelengkan kepala. "Aku enggak tau. Kalau nunggu papahmu dulu, takutnya dia gak bisa soalnya tadi sempat bilang, nanti sore mau ada meeting sama klien.""Kalau gitu, kamu telepon aja dulu."Namira menganggukkan kepala, mengeluarkan handphone, menghubungi suaminya. Tidak berselang lama, sambungan telepon Namira diangkat. Suara Daniel yang menyapa di ujung sana terdengar jelas. "Ada apa, Sayang?""Mas Ayang, aku pulangnya gimana? Mau nungguin kamu atau bareng Bianca aja?" tanya Namira berjalan beriringan dengan sahabat sekaligus anak sambungnya. "Kelasnya udah selesai?""Udah.""Kamu pulang bareng Bian dan Evan saja, aku masih lama. Enggak apa-apa?"Bibir Namira cemberut, suaminya tak bisa menjemput. Kalau
Tiba di depan gerbang kantor Daniel, Bianca menyuruh Evan mematikan mesin mobil dulu. Ia ingin mengantar Namira ke ruangan papanya. "Kamu enggak apa-apa nunggu di sini, Van?" tanya Bianca, melongokkan kepala di kaca jendela mobil. "Iya gak apa-apa. Kamu anterin Mamihmu dulu, nanti baru kita berangkat ke toko buku.""Oke deh. Tunggu, ya?""Oke."Bianca dan Namira berjalan beriringan. Hati Namira sangat bahagia, sebentar lagi akan bertemu dengan pujaan hati. Melirik arloji, sudah pukul dua siang lewat sepuluh menit. Itu berarti, Daniel masih ada di dalam sana. Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Namun, keduanya tak peduli. Dengan santai, Bianca dan Namira masuk ke dalam lift yang mengantarkan ke ruangan pribadi Daniel. "Aku harap, kita enggak ketemu si Ulat bulu. Aku yakin banget, Bi. Kalau kita ketemu dia, pasti tuh orang bikin rusuh, bikin ribut."Namira berharap tidak bertemu dengan Mutiara. Wanita itu selalu saja menghinanya dan merendahkan Namira. Ia seolah tak menging
Hampir setengah jam, Axel dan Alea berada di samping pusara kedua orang tua kandungnya. Nida, Bianca dan Evan berdiri di belakang kedua anak itu. Bianca tubuhnya sangat lemah. Ditambah Evan pun sedang tak enak badan. Mereka tidak terlalu tua, tapi tubuhnya terlihat sangat ringkih. Nida yang melihat pasangan suami istri merasa prihatin. Tidak dapat dipungkiri jika satu sisi Nida merasa bersalah karena telah memberitahu kebenaran yang selama ini disembunyikan Bianca dan Evan. Sisi lain, hatinya begitu lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa Namira dan Daniel. Apapun alasannya, menyembunyikan siapa kedua orang tua Axel dan Alea merupakan kesalahan. "Kak, lebih baik Kak Bian dan Kak Evan pulang duluan aja," ujar Nida pada Bianca yang berdiri memandang kedua remaja yang sedari bayi dirawat penuh kasih sayang olehnya. "Iya, Sayang. Kita pulang saja. Mungkin Axel dan Alea ingin lebih lama lagi di sini," timpal Evan merangkul pundak istrinya. Air mata Bianca sudah mengering. Tatap
"Kak Bian dan Kak Namira bersahabat. Mereka saling menyayangi. Bahkan Om Daniel mau menikahi Namira atas usul Kak Bian. Axel, Lea, Tante mohon ... maafkan kesalahan kak Bian. Mereka telah merawat kalian dengan baik. Walaupun kalian udah tau kenyataan ini, anggap saja Kak Bian dan Kak Evan pengganti kedua orang tua kalian."Axel memalingkan wajah ke arah lain. Ia masih kecewa dan marah akan keputusan Bianca. Sementara Alea, hanya menangis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Sekarang di mana kedua orang tua kami dimakamkan? Tolong, Tante ... anterin kami ke sana," pinta Axel tak ingin membahas masalah Bianca. "Iya, Tante. Di mana makam kedua orang tua kami dan ... dan kenapa di rumah ini, enggak ada foto mereka?" tanya Alea, suaranya bergetar."Ada. Foto mereka ada di kamar itu." Dagu Nida menunjuk salah satu kamar di rumah ini. Pandangan Alea dan Axel mengikuti arah pandang Nida. Kamar yang selama ini selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh mereka. "Dulu, itu kamar Om
"Oh ya, memangnya kalian mimpi apa? Cerita dong sama Tante." Nida mengalihkan pertanyaan mereka. Ia bersidekap, menatap Alea dan Axel bergantian. Tidak berselang lama, cerita mimpi-mimpi mereka pun mengalir. Awalnya Nida tidak terkejut. Ia tampak biasa mendengarkan cerita dari kedua ponakannya itu sampai akhirnya, firasatnya semakin yakin kalau yang datang dalam mimpi Axel dan Alea ada Daniel dan Namira. Kedua orang tua kandung mereka. "Kami yakin, Tante. Kalau dua orang itu ada kaitannya sama kami. Tapi, aku dan Alea bingung, sebenarnya mereka itu siapa?" Axel menutup cerita. Nida menelan saliva, mendengar cerita Axel dan Alea. Ternyata selama ini, Namira dan Daniel selalu hadir dalam mimpi anak-anaknya. Sebulir air mata tak dapat tertahankan. Nida merunduk, menyeka air matanya. "Tante, Tante kenapa nangis? apa ... apa Tante tau, siapa dua orang itu?" desak Alea pada wanita yang kini telah menikah. Nida bingung menjawab. Ia justru memeluk tubuh Alea. Menangis dalam pelukan. Sik
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....."Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...."Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini."Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...."Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira dan Bianca. Namir