Jam 1 siang, Namira dan Bianca baru selesai kelas. Mereka langsung ke area parkiran mobil karena mata kuliah berikutnya lagi kosong. "Kamu pulangnya mau bareng aku atau mau nunggu papah?" tanya Bianca pada saat mereka baru keluar kelas. Bibir Namira maju beberapa centi, lalu menggelengkan kepala. "Aku enggak tau. Kalau nunggu papahmu dulu, takutnya dia gak bisa soalnya tadi sempat bilang, nanti sore mau ada meeting sama klien.""Kalau gitu, kamu telepon aja dulu."Namira menganggukkan kepala, mengeluarkan handphone, menghubungi suaminya. Tidak berselang lama, sambungan telepon Namira diangkat. Suara Daniel yang menyapa di ujung sana terdengar jelas. "Ada apa, Sayang?""Mas Ayang, aku pulangnya gimana? Mau nungguin kamu atau bareng Bianca aja?" tanya Namira berjalan beriringan dengan sahabat sekaligus anak sambungnya. "Kelasnya udah selesai?""Udah.""Kamu pulang bareng Bian dan Evan saja, aku masih lama. Enggak apa-apa?"Bibir Namira cemberut, suaminya tak bisa menjemput. Kalau
Tiba di depan gerbang kantor Daniel, Bianca menyuruh Evan mematikan mesin mobil dulu. Ia ingin mengantar Namira ke ruangan papanya. "Kamu enggak apa-apa nunggu di sini, Van?" tanya Bianca, melongokkan kepala di kaca jendela mobil. "Iya gak apa-apa. Kamu anterin Mamihmu dulu, nanti baru kita berangkat ke toko buku.""Oke deh. Tunggu, ya?""Oke."Bianca dan Namira berjalan beriringan. Hati Namira sangat bahagia, sebentar lagi akan bertemu dengan pujaan hati. Melirik arloji, sudah pukul dua siang lewat sepuluh menit. Itu berarti, Daniel masih ada di dalam sana. Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Namun, keduanya tak peduli. Dengan santai, Bianca dan Namira masuk ke dalam lift yang mengantarkan ke ruangan pribadi Daniel. "Aku harap, kita enggak ketemu si Ulat bulu. Aku yakin banget, Bi. Kalau kita ketemu dia, pasti tuh orang bikin rusuh, bikin ribut."Namira berharap tidak bertemu dengan Mutiara. Wanita itu selalu saja menghinanya dan merendahkan Namira. Ia seolah tak menging
"Mas Ayang, cuma sekali aja mainnya?" tanya Namira, bibirnya manyun. Kedua tangan meremas selimut dengan kuat melihat Daniel yang hanya mengenakan celana boxer hendak masuk ke dalam toilet. "Iya, Sayang. Nanti di rumah kita lanjut lagi. Aku mau meeting dulu, takutnya nanti telat."Jawaban Daniel semakin membuat Namira kesal. Namun, saat ini waktunya sempit untuk menenangkan atau memberi pengertian pada Namira. Sebentar lagi Daniel akan meeting dengan klien. Namira menutup wajah dengan lengan. Dia berusaha memaklumi ucapan suaminya. Mungkin benar, Daniel hanya bermain sebentar karena ia akan meeting bukan karena Namira sedang hamil.Pandangan Namira mengarah pada perutnya yang belum membuncit. Ia mengusap-usap perut dengan lembut sambil berkata, "Maafin papahmu ya, Sayang. Papah ngelongok kamunya cuma sebentar. Maklum, Mamih sama Papah mainnya di kantor bukan di rumah, jadi harus cepat-cepat selesai."Namira berkata sendiri sambil terus mengusap perutnya. Melihat jam dinding, sudah p
"Yuda, lebih baik sekarang kita berangkat meeting. Sayang, kalau kamu mau ikut, boleh. Tapi, ingat, jangan ganggu meeting kami, ya?" ucap Daniel memandang istrinya ponuh kasih sayang. Senyum manis Namira merekah. Tak lupa ia memberikan k3cupan cukup lama di pipi kanan Daniel. Melihat tingkah Namira, Mutiara buang wajah dan menarik napas panjang. "Makasih Mas Ayang. Sebentar, aku ambil tas dulu!"Namira berjingkat masuk ke dalam kamar ruangan, mengambil tas, lalu keluar setengah berlari. Tak lupa, menggamit mesra lengan Daniel. Mereka berempat berangkat dalam satu mobil. Mutiara duduk di samping jok kemudi. Yuda yang menyetir. Sementara Daniel dan istrinya duduk di kursi jok penumpang. Namira selalu memandang mesra Daniel. Sesekali mereka saling melempar senyum, Namira terus saja menempel pada tubuh suaminya. Mutiara yang melihat kemesraan Daniel dan istrinya langsung timbul rasa iri dengki. Dia sudah tidak tahan, ingin sekali menghancurkan rumah tangga Daniel dan Namira. Sampai di
Pukul tujuh malam, Daniel dan rekan kerjanya selesai meeting. Namira yang sedari tadi berdiam diri di meja restoran yang tak jauh dari suaminya menghela napas lega. Pinggangnya terasa pegal, kelamaan duduk. Mau bagaimana lagi, dia tidak mau jauh-jauh dari sang suami apalagi ada wanita yang kegatelan pada Daniel, Mutiara Indah namanya. Wanita yang sudah tidak muda lagi tapi tak tahu diri. "Terima kasih atas kerja samanya lagi, Pak Daniel. Saya harap, proyek yang sekarang kita garap berjalan dengan lancar," ucap Wijayanto ketika berjabat tangan. "Aamiin. Semoga saja, Pak. Kalau begitu saya pamit. Yuda, Muti, saya pulang duluan.""Baik, Pak Daniel." Hanya Yuda yang menimpali ucapan Daniel. Mutiara tampak tidak suka melihat Daniel dan Namira pulang berbarengan. Namira menghampiri meja Wijayanto, ia pamit pulang dengan sopan. Tentu saja sikap Namira membuat hati Daniel bahagia. Memiliki istri yang tahu adab dan tata krama.Keduanya keluar restoran dengan senyum bahagia. Tangan Namira se
Sampai di halaman rumah, terlihat Evan dan Bianca yang tengah fokus pada layar laptop. Mereka pasti sedang menyelesaikan tugas dari dosen. "Assalamualaikum," ujar Namira riang, menyelipkan tangan pada lengan suaminya. Namira bahagia melihat kedekatan Evan dan Bianca. Dalam hati, Namira berharap Evan lah jodoh anak sambungnya. Paling tidak jika Evan sudah resmi menjadi suami Bianca, Daniel tidak akan terlalu posesif. "Waalaikumsalam," jawab Evan dan Bianca berbarengan. "Selamat malam, Pak Daniel," sapa Evan berdiri, setengah membungkuk."Malam." Pandangan Daniel pada Evan dan Bianca bergantian. Lalu suaranya yang berat, kembali berkata. "Sekarang lebih baik kamu pulang, Van. Enggak enak dilihat tetangga kalau udah malam begini kamu masih di sini. Berduaan sama Bian," ujar Daniel tegas, tanpa berbasa-basi lebih dulu. Namira dan Bianca terkejut mendengar perkataan Daniel. Evan salah tingkah dan mengulas senyum tipis. "Baik, Pak Daniel. Kalau begitu saya pamit pulang. Bianca, aku pula
Gelak tawa mereka terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Namira yang berdiri di atas kasur Bianca, akhirnya turun. Bianca menghampiri pintu, membuka."Mamih kamu ada di dalam, Bi?" tanya Daniel langsung sambil melongokkan kepala ke dalam kamar anak kandungnya. "Ada, Pah. Mamih, Papah nyariin nih!" teriak Bianca memanggil ibu sambungnya."Iya, Mas Ayang ... sebentar ... Oh ya, buku-buku novelku. Bian, makasih banyak udah beliin aku novel," ucap Namira sambil membawa empat novel tebal. Daniel mengambil alih buku-buku itu, tidak mengizinkan istrinya membawa novel tersebut. "Iya, sama-sama. Met malam Mamih, Papah ....""Malam juga, anakku sayang, anakku yang paling cantik," timpal Namira."Gombal," tukas Bianca menjulurkan lidah pada ibu sambungnya. Namira terkekeh, menggamit lengan suaminya mesra. Di dalam kamar, Daniel meletakkan buku-buku itu di atas meja depan televisi. Namira beranjak, mengganti gaun dengan piyama.Daniel memerhatikan istrinya yang tengah mengganti pakaian
"Iya, Pah. Mih, ke rumah sakit aja sih. Kemaren kan Mamih kecapekan, takutnya dedek bayi kenapa-napa," ujar Bianca sambil memijat tengkuk Namira. Mengolesi minyak angin ke perut Namira dan juga punggungnya. Namira menggelengkan kepala. Tubuhnya sangat lemas dan wajah sangat pucat. Kondisi Namira saat ini seperti awal mula ia mengetahui kehamilannya. "Aku enggak apa-apa, Bi. Nanti kalau udah minum obat juga, pasti enakan. Apalagi ditambah minum susu." Namira masih bersikukuh menolak ajakan Bianca dan suaminya ke rumah sakit. Namira enggan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya yang lelah. "Ini, obatnya. Sekarang kamu sarapan dulu. Gak apa-apa sarapannya sedikit aja. Setelah itu, minum susu ibu hamil, baru minum obatnya." Daniel menghampiri, menuntun Namira keluar dari toilet, duduk dan menyuapi Namira bubur. Meski mual, akhirnya Namira mau menyantap bubur buatan Bibi. Ia harus sehat dan kuat. Tidak boleh lemah. "Sebentar, Mas. Aku mual lagi."Tergesa-gesa Namira masuk ke dalam toi
Hampir setengah jam, Axel dan Alea berada di samping pusara kedua orang tua kandungnya. Nida, Bianca dan Evan berdiri di belakang kedua anak itu. Bianca tubuhnya sangat lemah. Ditambah Evan pun sedang tak enak badan. Mereka tidak terlalu tua, tapi tubuhnya terlihat sangat ringkih. Nida yang melihat pasangan suami istri merasa prihatin. Tidak dapat dipungkiri jika satu sisi Nida merasa bersalah karena telah memberitahu kebenaran yang selama ini disembunyikan Bianca dan Evan. Sisi lain, hatinya begitu lega karena Axel dan Alea sudah mengetahui siapa Namira dan Daniel. Apapun alasannya, menyembunyikan siapa kedua orang tua Axel dan Alea merupakan kesalahan. "Kak, lebih baik Kak Bian dan Kak Evan pulang duluan aja," ujar Nida pada Bianca yang berdiri memandang kedua remaja yang sedari bayi dirawat penuh kasih sayang olehnya. "Iya, Sayang. Kita pulang saja. Mungkin Axel dan Alea ingin lebih lama lagi di sini," timpal Evan merangkul pundak istrinya. Air mata Bianca sudah mengering. Tatap
"Kak Bian dan Kak Namira bersahabat. Mereka saling menyayangi. Bahkan Om Daniel mau menikahi Namira atas usul Kak Bian. Axel, Lea, Tante mohon ... maafkan kesalahan kak Bian. Mereka telah merawat kalian dengan baik. Walaupun kalian udah tau kenyataan ini, anggap saja Kak Bian dan Kak Evan pengganti kedua orang tua kalian."Axel memalingkan wajah ke arah lain. Ia masih kecewa dan marah akan keputusan Bianca. Sementara Alea, hanya menangis. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. "Sekarang di mana kedua orang tua kami dimakamkan? Tolong, Tante ... anterin kami ke sana," pinta Axel tak ingin membahas masalah Bianca. "Iya, Tante. Di mana makam kedua orang tua kami dan ... dan kenapa di rumah ini, enggak ada foto mereka?" tanya Alea, suaranya bergetar."Ada. Foto mereka ada di kamar itu." Dagu Nida menunjuk salah satu kamar di rumah ini. Pandangan Alea dan Axel mengikuti arah pandang Nida. Kamar yang selama ini selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh mereka. "Dulu, itu kamar Om
"Oh ya, memangnya kalian mimpi apa? Cerita dong sama Tante." Nida mengalihkan pertanyaan mereka. Ia bersidekap, menatap Alea dan Axel bergantian. Tidak berselang lama, cerita mimpi-mimpi mereka pun mengalir. Awalnya Nida tidak terkejut. Ia tampak biasa mendengarkan cerita dari kedua ponakannya itu sampai akhirnya, firasatnya semakin yakin kalau yang datang dalam mimpi Axel dan Alea ada Daniel dan Namira. Kedua orang tua kandung mereka. "Kami yakin, Tante. Kalau dua orang itu ada kaitannya sama kami. Tapi, aku dan Alea bingung, sebenarnya mereka itu siapa?" Axel menutup cerita. Nida menelan saliva, mendengar cerita Axel dan Alea. Ternyata selama ini, Namira dan Daniel selalu hadir dalam mimpi anak-anaknya. Sebulir air mata tak dapat tertahankan. Nida merunduk, menyeka air matanya. "Tante, Tante kenapa nangis? apa ... apa Tante tau, siapa dua orang itu?" desak Alea pada wanita yang kini telah menikah. Nida bingung menjawab. Ia justru memeluk tubuh Alea. Menangis dalam pelukan. Sik
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....."Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...."Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini."Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...."Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira dan Bianca. Namir