"Kalau gak salah, yang semalam nganterin Non Bian pulang, Pak."Sontak, Daniel dan Namira saling pandang. Mereka sudah bisa menerka siapa yang datang? Pasti Evan, anak kandung Yuda. "Evan?" tanya Namira meyakinkan. "Iya, Non."Setelah menjawab pertanyaan majikannya, Bi Rusmi pergi ke belakang, membiarkan Daniel dan Namira berdua di ruang makan. "Mas, aku panggilin Bian sama Evan dulu, ya? Suruh mereka sarapan.""Gak usah." Namira yang baru setengah berdiri, kembali duduk. Keningnya mengkerut melihat Daniel yang menyantap sarapan. "Memangnya kenapa?""Nanti kamu ganggu mereka. Kamu sarapan aja. Bian dan Evan sarapannya setelah kita berdua. Kamu jangan lupa, minum susu ibu hamil."Namira mengerti, melanjutkan sarapan. Tak lupa ia meminum susu ibu hamil sesuai anjuran. "Mas, aku sama Bian ke kampusnya dianterin Evan?" tanya Namira. Intonasi suaranya terdengar tak suka. Ia ingin ke kampus seperti biasa, diantar Daniel. "Bian saja yang diantar Evan. Kalau kamu, aku yang mengantarmu."
Namira langsung memeluk pinggang Bianca. Terlihat sangat bahagia. "Menurutku sih iyes. Jadi beneran ini, kamu sama Evan menjalin hubungan?" tanya Namira sumringah. Hatinya benar-benar bahagia kalau Evan dan Bianca berjodoh. Mereka cocok. Usia Evan memang lebih tua beberapa tahun dari Bianca. "Belum sih. Aku mau mengalir aja. Kalau nanti ada ikatan pacaran, Papah pasti nyuruh aku dan Evan cepat-cepat menikah. Aku gak mau. Males." Bianca menjawab apa adanya. Namira mengerti, menganggukkan kepala. Selama ini, Bianca memang tidak ingin seperti dirinya, menikah muda. Bianca ingin selesai kuliah, dapat bekerja di perusahaan Daniel. Ia sedikit demi sedikit mulai mempelajari cara pengelolaan perusahaan papahnya. Daniel tidak melarang tetapi jika Bianca sudah memiliki suami, Daniel meminta anaknya itu untuk fokus menjadi ibu rumah tangga saja. Dan tentu saja, Bianca tidak mau terjadi. Ia ingin puas masa mudanya lebih muda dulu, ingin memiliki pengalaman bekerja dulu, setelahnya barulah meni
"Love you too, Ferry Cayang ...," balas Hesti menc1um bib1r Ferry sesaat. Lelaki itu tak mengelak meski hatinya merasa jijik dan jengah mendapatkan perlakuan dari Hesti. "Aku berangkat ke kampus dulu, Sayang.""Iya, Sayang. Hati-hati."Ferry harus bertahan dengan Hesti demi pengobatan ibunya yang menderita kanker. Saat ini dia tidak tahu harus membayar kuliah sekaligus pengobatan ibunya dari mana. Sebenarnya bukan hanya Hesti yang menjadikan Ferry simpanannya. Ada tante lain yang menjadikan Ferry berondong manis. Sepanjang jalan menuju kampus, kadang Ferry meratapi keputusannya melayani h4srat tante-tante yang kesepian. Walau pun syarat yang diajukan Ferry harus menikah sirri lebih dulu, tapi tetap saja dia menginginkan memiliki istri yang sebaya usianya. Rencana Ferry mendekati Namira dan Bianca gagal total. Dua gadis itu menolak mentah-mentah. Padahal dari fisik, Ferry tidak terlalu jelek. Dia cukup tampan. Cintanya pada Namira harus pupus di tengah jalan. Ferry terlambat karena
Kali ini Hesti yang terkekeh."Kamu benar, Daniel. Aku ke sini hanya minta uangmu, Daniel. Atau kalau kamu keberatan memberiku uang secara cuma-cuma, kamu boleh kasih aku pekerjaan apapun. Aku mau, Daniel," pinta Hesti agak memelas. Sekarang wanita itu duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Mutiara.Daniel terkekeh, menggelengkan kepala. "Kamu pikir aku b*doh, Hesti?"Hesti menyipitkan kedua mata, kening mengkerut. Tidak mungkin Daniel mengetahui rancananya. Pikir Hesti."Maksudmu apa, Daniel? Kamu jangan selalu berburuk sangka padaku," kilah Hesti pura-pura kesal. Sekarang tidak ada tempat bergantung bagi Hesti. Lelaki pengusaha hebat dan seumuran dengannya, tidak ada yang mau didekati Hesti apalagi sampai menjalin hubungan khusus. Rata-rata pengusaha-pengusaha kaya raya itu lebih memilih gadis perawan, daun muda dari pada janda tua sepertinya."Aku gak berburuk sangka padamu. Aku tau akal licikmu, Hesti. Belum lama kamu memanfaatkan nama Bianca untuk mengambil pinjaman di Bank. B
Jam 1 siang, Namira dan Bianca baru selesai kelas. Mereka langsung ke area parkiran mobil karena mata kuliah berikutnya lagi kosong. "Kamu pulangnya mau bareng aku atau mau nunggu papah?" tanya Bianca pada saat mereka baru keluar kelas. Bibir Namira maju beberapa centi, lalu menggelengkan kepala. "Aku enggak tau. Kalau nunggu papahmu dulu, takutnya dia gak bisa soalnya tadi sempat bilang, nanti sore mau ada meeting sama klien.""Kalau gitu, kamu telepon aja dulu."Namira menganggukkan kepala, mengeluarkan handphone, menghubungi suaminya. Tidak berselang lama, sambungan telepon Namira diangkat. Suara Daniel yang menyapa di ujung sana terdengar jelas. "Ada apa, Sayang?""Mas Ayang, aku pulangnya gimana? Mau nungguin kamu atau bareng Bianca aja?" tanya Namira berjalan beriringan dengan sahabat sekaligus anak sambungnya. "Kelasnya udah selesai?""Udah.""Kamu pulang bareng Bian dan Evan saja, aku masih lama. Enggak apa-apa?"Bibir Namira cemberut, suaminya tak bisa menjemput. Kalau
Tiba di depan gerbang kantor Daniel, Bianca menyuruh Evan mematikan mesin mobil dulu. Ia ingin mengantar Namira ke ruangan papanya. "Kamu enggak apa-apa nunggu di sini, Van?" tanya Bianca, melongokkan kepala di kaca jendela mobil. "Iya gak apa-apa. Kamu anterin Mamihmu dulu, nanti baru kita berangkat ke toko buku.""Oke deh. Tunggu, ya?""Oke."Bianca dan Namira berjalan beriringan. Hati Namira sangat bahagia, sebentar lagi akan bertemu dengan pujaan hati. Melirik arloji, sudah pukul dua siang lewat sepuluh menit. Itu berarti, Daniel masih ada di dalam sana. Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka. Namun, keduanya tak peduli. Dengan santai, Bianca dan Namira masuk ke dalam lift yang mengantarkan ke ruangan pribadi Daniel. "Aku harap, kita enggak ketemu si Ulat bulu. Aku yakin banget, Bi. Kalau kita ketemu dia, pasti tuh orang bikin rusuh, bikin ribut."Namira berharap tidak bertemu dengan Mutiara. Wanita itu selalu saja menghinanya dan merendahkan Namira. Ia seolah tak menging
"Mas Ayang, cuma sekali aja mainnya?" tanya Namira, bibirnya manyun. Kedua tangan meremas selimut dengan kuat melihat Daniel yang hanya mengenakan celana boxer hendak masuk ke dalam toilet. "Iya, Sayang. Nanti di rumah kita lanjut lagi. Aku mau meeting dulu, takutnya nanti telat."Jawaban Daniel semakin membuat Namira kesal. Namun, saat ini waktunya sempit untuk menenangkan atau memberi pengertian pada Namira. Sebentar lagi Daniel akan meeting dengan klien. Namira menutup wajah dengan lengan. Dia berusaha memaklumi ucapan suaminya. Mungkin benar, Daniel hanya bermain sebentar karena ia akan meeting bukan karena Namira sedang hamil.Pandangan Namira mengarah pada perutnya yang belum membuncit. Ia mengusap-usap perut dengan lembut sambil berkata, "Maafin papahmu ya, Sayang. Papah ngelongok kamunya cuma sebentar. Maklum, Mamih sama Papah mainnya di kantor bukan di rumah, jadi harus cepat-cepat selesai."Namira berkata sendiri sambil terus mengusap perutnya. Melihat jam dinding, sudah p
"Yuda, lebih baik sekarang kita berangkat meeting. Sayang, kalau kamu mau ikut, boleh. Tapi, ingat, jangan ganggu meeting kami, ya?" ucap Daniel memandang istrinya ponuh kasih sayang. Senyum manis Namira merekah. Tak lupa ia memberikan k3cupan cukup lama di pipi kanan Daniel. Melihat tingkah Namira, Mutiara buang wajah dan menarik napas panjang. "Makasih Mas Ayang. Sebentar, aku ambil tas dulu!"Namira berjingkat masuk ke dalam kamar ruangan, mengambil tas, lalu keluar setengah berlari. Tak lupa, menggamit mesra lengan Daniel. Mereka berempat berangkat dalam satu mobil. Mutiara duduk di samping jok kemudi. Yuda yang menyetir. Sementara Daniel dan istrinya duduk di kursi jok penumpang. Namira selalu memandang mesra Daniel. Sesekali mereka saling melempar senyum, Namira terus saja menempel pada tubuh suaminya. Mutiara yang melihat kemesraan Daniel dan istrinya langsung timbul rasa iri dengki. Dia sudah tidak tahan, ingin sekali menghancurkan rumah tangga Daniel dan Namira. Sampai di
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang