Jam lima sore, Bianca dan Evan baru pulang kantor. Mereka langsung masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat keberadaan Cassandra dan Alea di ruang keluarga. "Sandra? Kapan kamu pulang?"Cassandra yang sedang berbincang dengan Alea terkejut. Menoleh ke sumber suara. Cassandra menghampiri, mencium punggung tangan Bianca dan Evan. "Tadi pagi, Kak. Kuliahnya lagi libur," jawab Cassandra tersenyum manis. "Kamu udah pulang ke rumah belum? Jangan-jangan langsung ke sini?" telisik Evan, kakak sambung Cassandra. "Enggaklah, Kak. Tadi aku pulang ke rumah dulu. Mama papa juga tau aku ada di sini," jelas Cassandra. Pertanyaan Evan tidak salah. Gadis itu memang pernah pulang dari luar negeri langsung ke rumah Bragastara ingin melihat Axel yang saat itu sedang jatuh sakit. "Nanti kamu jangan pulang dulu. Kita makan malam bersama," ajak Bianca memegang bahu Cassandra. "Hm ... Ma, aku, Kak Axel dan Kak Sandra mau ke toko habis Magrib. Pulang dari toko buku mau makan di resto. Kayaknya enggak m
Penuh luapan emosi, Bianca menuruni anak tangga. Selera makannya seketika hilang. Ia benar-benar tersinggung dengan perkataan Axel dan sangat marah pada Nida yang telah membongkar rahasinya selama ini. "Sayang, kamu mau kemana? Hei!" Bianca tak duduk di kursi meja makan, melewati ruangan itu begitu saja. Alea dan Cassandra terkejut melihat perubahan sikap Bianca. Melihat raut wajah istrinya yang seperti menahan amarah, Evan pun pamit dari meja makan, menyusul Bianca yang masuk ke dalam kamar. "Duh, kak Axel pasti bikin masalah lagi," gerutu Alea yang belum menghabiskan makan malamnya. Cassandra menoleh cepat, mengerutkan kening. "Bikin masalah gimana, Lea?" telisik Cassandra yang masih belum mengerti maksud ucapan adik kandung lelaki yang dicintainya itu. "Enggak tau sih. Tapi, kak Axel itu semenjak tau kebenaran tentang siapa orang tua kandung kami, sikapnya jadi sinis terus ke mama, Kak," jelas Alea yang mencemaskan hubungan antara Axel dengan Bianca. "Masa sih? Setauku, dulu
Perjalanan menuju toko buku tidak ada yang bicara. Ketiga manusia itu larut dalam pikiran masing-masing. Cassandra menoleh pada Axel, lelaki itu pandangannya fokus ke depan. Melirik pada Alea, gadis itu pandangannya keluar jendela. Cassandra menghela napas berat. Tidak menyangka jika hubungan Axel dan Alea seperti ini. Memang sebelumnya pun Axel dan Alea sering bertengkar tapi tidak sampai Alea menangis. "Xel?" panggil Cassandra memecah keheningan. Cassandra melihat Alea dari kaca spion depan sedang menyeka lelehan air mata. "Kenapa, Kak?" Axel menoleh sekilas, lalu fokus kembali ke jalan raya. "Alea nangis," ujar Cassandra setengah berbisik. Axel melihat dari kaca spion depan kondisi kembarannya. "Biarin ajalah. Salah sendiri, ngebelain dia terus." Sangat ketus, Axel menanggapi ucapan Cassandra. "Dia siapa, Xel? Kak Bian?" telisik Cassandra menatap lekat lelaki yang duduk di balik kemudi dari samping. "Iya, siapa lagi? Gimana aku enggak kesel, masa dia nyuruh bang Gilang ngaca
"Aku harap sih kak Axel juga punya perasaan yang sama dengan Kak Sandra."Senyuman Cassandra semakin merekah, merangkul pundak Alea penuh kasih sayang. "Semoga aja ya, Lea. Aku udah lama banget cinta sama dia. Berharap suatu saat Axel sadar tentang perasaanku tanpa aku ungkapin. Ya enggak, Lea?""Iya, Kak."*** Di dalam mobil, Axel berselancar di media sosial. Saat ini kondisi Axel sedang tak menentu. Jika boleh jujur, Axel pun ingin bersikap seperti dulu lagi. Manja dan berebut perhatian Bianca dengan adiknya. Sekarang yang dirasa Axel, hanya rasa kecewa dan muak. Belum lagi saat mendengar cerita perlakuan Bianca pada Gilang. Axel benar-benar sulit bersikap seperti dulu lagi. Lamunan Axel buyar dengan suara dering handphone. Melihat siapa yang menelepon, Axel enggan mengangkat. Panggilan dari Bianca. Beberapa hari kemarin nomor kontak Bianca diblokir. Blokirnya baru dibuka saat Axel sudah kembali ke rumah. Satu panggilan sengaja tidak Axel angkat. Membiarkan berdering. Axel menya
"Dari mana kalian?" tanya Bianca saat tiga remaja itu berdiri di hadapannya. Tenggorokan Alea dan Cassandra tercekat. Mereka merunduk, saling melirik. "Kami dari toko buku. Pulangnya mampir ke resto. Aku yang ngajak mereka ke resto walaupun Alea bilang, katanya disuruh pulang cepat. Aku lapar, aku pengen makan di resto. Nih aku bawain menu makanannya. Pasti suka." Axel menjawab, menyodorkan makanan yang dibawa pulang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bianca mengambil makanan itu, lalu menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.Alea dan Bianca menarik napas lega. Tidak terjadi keributan malam ini. Bianca hanya bertanya, setelah Axel menjawab, Bianca menyuruh mereka masuk ke dalam rumah tanpa bertanya apa-apa lagi. "Axel!"Panggilan Bianca menghentikan langkah kaki Axel. Lelaki itu membalikkan badan, melihat Bianca tersenyum manis padanya. Tapi tidak bagi Axel. Raut wajahnya masam. "Terima kasih, Nak. Kamu masih perhatian pada Mama. Mama sangat senang kamu bawain makanan ini," ujar Bianca baha
"Astaghfirullahalazhim, kok mereka selicik itu. Menurutku itu terlalu egois, Ma. Apalagi kak Namir dan Om Daniel sudah meninggal dunia. Mereka pasti mengharapkan atau menunggu doa-doa dari anaknya di alam sana kan, Ma?" Shella terdiam, tak langsung menjawab. "Ma, sebetulnya sikap Axel sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Sekarang Axel dingin dan agak ketus pada kak Bianca.""Ya Allah, ternyata yang Mama dan Papamu takutkan terjadi juga. Dulu, papamu pernah bilang ke Bianca. Bagaimana kalau suatu saat Axel dan Alea tau soal rahasia itu? Mereka pasti akan kecewa dan marah. Tapi, Bianca keras kepala dan egois. Dia yakin kalau rahasia itu akan aman. Ternyata ... tapi Mama enggak nyalahin Nida. Apa yang dilakukan Nida itu udah benar. Sandra, apa kamu mau nginap saja di situ?""Iyalah, Ma. Udah malam juga. Besok pagi aku pulang.""Tapi ingat, kamu jangan ikut campur dalam permasalahan keluarga itu. Kalau mereka sedang debat atau bertengkar, kamu menghindar saja. Mama enggak mau kalau
"Namaku Rina," jawabnya singkat. Axel menganggukkan kepala. Pandangan kembali fokus ke jalan raya. Ia tak bisa membayangkan jika tidak datang tepat waktu. Entah bagaimana nasib gadis ini? Tiba di depan gang, Rina menyuruh Axel berhenti. "Rumahku di dalam gang ini. Mobil enggak bisa masuk," kata Rina saat Axel bertanya. "Berarti mobil parkir di sini?""Enggak usah parkir, kamu langsung pulang saja. Aku sendirian ke sana.""Oh gak bisa. Kalau ada cowok yang ngehadang lagi gimana? Aku anterin!" Axel keras kepala. Bersikukuh mengantar gadis yang baru dikenalnya. "Ta-tapi, Xel ... Aku makin repotin kamu," ujar gadis itu, tak enak hati. "Udah terlanjur direpotin! Hahaha .... "Axel tertawa, berjalan lebih dulu dari Rina. Gadis berhijab itu tersenyum tipis, berjalan mensejajari langkah kaki Axel. "Rina, aku mau tanya. Bukan nanya sih, cuma penasaran aja," kata Axel, menyelipkan kedua telapak tangan ke dalam saku celana. "Tanya apa?""Ngapain malam-malam di halte?" Axel menoleh sekila
"Ya enggak juga. Cuma zaman sekarang mesti hati-hati kalau mau nolong orang apalagi malam-malam gini takutnya kamu dijebak orang. Pura-pura digangguin padahal mau gangguin," terang Gilang tak ingin Axel salah paham padanya. "Hahahhaah ... Enggak lah, Bang. Abang ini kenapa jadi suka suuzhon? Tenang aja, Bang. Gini-gini kan aku mantan geng motor. Aku tau mana orang yang pura-pura, mana yang emang nyata. Abang lihat sendiri kan? Enggak ada luka padahal yang kuhadapi dua orang berbadan kekar. Hahaha .... " Axel sengaja menyombongkan diri di depan Gilang. "Paling juga kamu kasih uang. Iya kan?" Gelak tawa Axel seketika redup, menggaruk kepala yang tak gatal. Gilirian Gilang yang tertawa lepas. "Emang paling benar, melawan orang dengan uang. Pasti langsung luluh. Hahahah ....""Ya elah ketauan lagi. Mau bagaimana lagi, Bang? Mereka badannya gede-gede banget. Aku juga khawatir itu cewek kenapa-napa. Ya udahlah, dari pada ribet, mending kasih duit aja. Hahahhaa ....""Huh, dasaarrr ...."
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke rumah Nid
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be
"Ya udah, kamu coba aja telepon mbak Nida. Selama ini kan dia selalu kasih pinjaman walaupun kita enggak pernah bayar," titah Tedi, suami Hanifa. Namun, Hanifa tampak berpikir. Tidak mungkin ia menghubungi Nida malam ini."Mas, besok pagi aja, ya? Soalnya sekarang udah malam. Takut nanti enggak diangkat teleponnya," kilah Hanifa beralasan tak enak hati padahal ia tak mau kalau suaminya tahu jumlah uang yang akan diberikan Nida. "Memangnya besok kamu punya uang? Aku enggak punya uang lagi. Di kantor aja aku minta traktir makan teman terus."Sungguh bohong. Mana ada teman yang mau traktir orang hampir tiap hari? Sebetulnya Tedi punya uang tapi ia akan gunakan untuk berjudi lagi. Lelaki itu masih penasaran dapat menang banyak. "Beruntung kamu, Mas. Punya teman yang baik, yang mau traktir kamu tiap hari," kata Hanifa menimpali kebohongan sang suami. "Emang mamamu enggak punya uang lagi? Biasanya dia banyak uangnya."Setahu Tedi, Hanifa dan Haifa selalu minta uang pada ibu Ros. "Sekara
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap