"Aku harap sih kak Axel juga punya perasaan yang sama dengan Kak Sandra."Senyuman Cassandra semakin merekah, merangkul pundak Alea penuh kasih sayang. "Semoga aja ya, Lea. Aku udah lama banget cinta sama dia. Berharap suatu saat Axel sadar tentang perasaanku tanpa aku ungkapin. Ya enggak, Lea?""Iya, Kak."*** Di dalam mobil, Axel berselancar di media sosial. Saat ini kondisi Axel sedang tak menentu. Jika boleh jujur, Axel pun ingin bersikap seperti dulu lagi. Manja dan berebut perhatian Bianca dengan adiknya. Sekarang yang dirasa Axel, hanya rasa kecewa dan muak. Belum lagi saat mendengar cerita perlakuan Bianca pada Gilang. Axel benar-benar sulit bersikap seperti dulu lagi. Lamunan Axel buyar dengan suara dering handphone. Melihat siapa yang menelepon, Axel enggan mengangkat. Panggilan dari Bianca. Beberapa hari kemarin nomor kontak Bianca diblokir. Blokirnya baru dibuka saat Axel sudah kembali ke rumah. Satu panggilan sengaja tidak Axel angkat. Membiarkan berdering. Axel menya
"Dari mana kalian?" tanya Bianca saat tiga remaja itu berdiri di hadapannya. Tenggorokan Alea dan Cassandra tercekat. Mereka merunduk, saling melirik. "Kami dari toko buku. Pulangnya mampir ke resto. Aku yang ngajak mereka ke resto walaupun Alea bilang, katanya disuruh pulang cepat. Aku lapar, aku pengen makan di resto. Nih aku bawain menu makanannya. Pasti suka." Axel menjawab, menyodorkan makanan yang dibawa pulang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bianca mengambil makanan itu, lalu menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.Alea dan Bianca menarik napas lega. Tidak terjadi keributan malam ini. Bianca hanya bertanya, setelah Axel menjawab, Bianca menyuruh mereka masuk ke dalam rumah tanpa bertanya apa-apa lagi. "Axel!"Panggilan Bianca menghentikan langkah kaki Axel. Lelaki itu membalikkan badan, melihat Bianca tersenyum manis padanya. Tapi tidak bagi Axel. Raut wajahnya masam. "Terima kasih, Nak. Kamu masih perhatian pada Mama. Mama sangat senang kamu bawain makanan ini," ujar Bianca baha
"Astaghfirullahalazhim, kok mereka selicik itu. Menurutku itu terlalu egois, Ma. Apalagi kak Namir dan Om Daniel sudah meninggal dunia. Mereka pasti mengharapkan atau menunggu doa-doa dari anaknya di alam sana kan, Ma?" Shella terdiam, tak langsung menjawab. "Ma, sebetulnya sikap Axel sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Sekarang Axel dingin dan agak ketus pada kak Bianca.""Ya Allah, ternyata yang Mama dan Papamu takutkan terjadi juga. Dulu, papamu pernah bilang ke Bianca. Bagaimana kalau suatu saat Axel dan Alea tau soal rahasia itu? Mereka pasti akan kecewa dan marah. Tapi, Bianca keras kepala dan egois. Dia yakin kalau rahasia itu akan aman. Ternyata ... tapi Mama enggak nyalahin Nida. Apa yang dilakukan Nida itu udah benar. Sandra, apa kamu mau nginap saja di situ?""Iyalah, Ma. Udah malam juga. Besok pagi aku pulang.""Tapi ingat, kamu jangan ikut campur dalam permasalahan keluarga itu. Kalau mereka sedang debat atau bertengkar, kamu menghindar saja. Mama enggak mau kalau
"Namaku Rina," jawabnya singkat. Axel menganggukkan kepala. Pandangan kembali fokus ke jalan raya. Ia tak bisa membayangkan jika tidak datang tepat waktu. Entah bagaimana nasib gadis ini? Tiba di depan gang, Rina menyuruh Axel berhenti. "Rumahku di dalam gang ini. Mobil enggak bisa masuk," kata Rina saat Axel bertanya. "Berarti mobil parkir di sini?""Enggak usah parkir, kamu langsung pulang saja. Aku sendirian ke sana.""Oh gak bisa. Kalau ada cowok yang ngehadang lagi gimana? Aku anterin!" Axel keras kepala. Bersikukuh mengantar gadis yang baru dikenalnya. "Ta-tapi, Xel ... Aku makin repotin kamu," ujar gadis itu, tak enak hati. "Udah terlanjur direpotin! Hahaha .... "Axel tertawa, berjalan lebih dulu dari Rina. Gadis berhijab itu tersenyum tipis, berjalan mensejajari langkah kaki Axel. "Rina, aku mau tanya. Bukan nanya sih, cuma penasaran aja," kata Axel, menyelipkan kedua telapak tangan ke dalam saku celana. "Tanya apa?""Ngapain malam-malam di halte?" Axel menoleh sekila
"Ya enggak juga. Cuma zaman sekarang mesti hati-hati kalau mau nolong orang apalagi malam-malam gini takutnya kamu dijebak orang. Pura-pura digangguin padahal mau gangguin," terang Gilang tak ingin Axel salah paham padanya. "Hahahhaah ... Enggak lah, Bang. Abang ini kenapa jadi suka suuzhon? Tenang aja, Bang. Gini-gini kan aku mantan geng motor. Aku tau mana orang yang pura-pura, mana yang emang nyata. Abang lihat sendiri kan? Enggak ada luka padahal yang kuhadapi dua orang berbadan kekar. Hahaha .... " Axel sengaja menyombongkan diri di depan Gilang. "Paling juga kamu kasih uang. Iya kan?" Gelak tawa Axel seketika redup, menggaruk kepala yang tak gatal. Gilirian Gilang yang tertawa lepas. "Emang paling benar, melawan orang dengan uang. Pasti langsung luluh. Hahahah ....""Ya elah ketauan lagi. Mau bagaimana lagi, Bang? Mereka badannya gede-gede banget. Aku juga khawatir itu cewek kenapa-napa. Ya udahlah, dari pada ribet, mending kasih duit aja. Hahahhaa ....""Huh, dasaarrr ...."
Ferry Darmantyo sangat terkejut mendengar nama yang tak asing di telinga. Kedua matanya membeliak tak percaya dapat bertemu dengan keturunan keluarga Bragastara. Masih ingat betul, kebaikan Daniel dahulu padahal jelas-jelas Daniel mengetahui jika dirinya adalah suami sirri mantan istrinya. Dan lagi, ibu kandung Ferry merupakan sahabat Daniel semasa sekolah dulu yakni Gauri. "Ya Tuhan, ka-kamu anaknya pak Daniel? Kamu anaknya Nyonya Namira?"Axel terhenyak. Rupanya ayah gadis yang ditolongnya semalam mengenal kedua orang tuanya. "Om, kenal dekat dengan kedua orang tua saya?"Ferry tersadar dari lamunan. Menarik napas agar tetap tenang. Sungguh, ia tak menyangka akan bertemu dengan keturunan Bragastara. "Ke-kenal dekat tidak. Tapi, saya mengenal mereka. Maaf, bukannya anak Pak Daniel dan Nyonya Namira sudah meninggal dunia?""Hah?" Kali ini Axel sangat terkejut. "Meninggal dunia? Kata siapa?" Axel sangat penasaran dengan ucapan Ferry. Keningnya mengkerut dan Axel merasa kalau ini mer
"Menepi di depan sana!" titah Cassandra pada kembaran Alea. Axel menolak, "Enggak bisa. Udah telat!" Sepeda motor itu melaju saat lampu hijau menyala. Begitu pula Cassandra, ia pun melajukan kendaraannya. Setelah melihat Axel berboncengan dengan gadis yang usianya sebaya, hati Cassandra sangat sakit. Entahlah, mungkin dia cemburu. Cemburu tanpa alasan.Sampai di depan gerbang sekolah Rina, Axel mengambil helm dari kepala gadis itu. "Tadi itu siapa?" tanya Rina penasaran. "Kenapa emangnya?""Cuma tanya aja. Kalau enggak dikasih tau juga, enggak apa-apa.""Namanya Cassandra. Dia udah aku anggap kayak kakak sendiri. Jangan cemburu," kekeh Axel percaya diri. "Eh, siapa yang cemburu? Enggak kok. Makasih ya, udah anterin aku.""Iya sama-sama. Pulangnya mau aku jemput enggak?""Enggak usah. Kayaknya ayahku mau jemput," jawab Rina yang sebetulnya tidak yakin."Ada belajar kelompok lagi enggak?""Kayaknya enggak.""Kayaknya mulu. Pastinya dong!""Enggak tau. Ya udah aku masuk dulu. Kamu j
Sekolah selesai, Alea kembali datang ke kelas kakaknya. Ingin memastikan kalau Axel pulang ke rumah, tidak keluyuran kemana-mana lagi. "Kak Axel!" Langkah kaki Axel yang sudah menapaki anak tangga belakang sekolah terhenti. Axel kesal karena tetap saja ketahuan adiknya. "Kakak kenapa lewat belakang sih?" tanya Alea berdiri di depan Axel. "Mau ngapain? Aku naik motor. Kamu pulang sana!""Bentar!" Alea menarik lengan Axel. "Kakak mau pulang ke rumah enggak?""Enggak." Axel melanjutkan langkah kakinya, menuju area parkir sepeda motor. Diikuti Alea yang terus saja memanggil nama Axel. "Gila lu ya, berisik tau enggak?" sentak Axel pada adik kandungnya. Membalikkan badan. "Kak, semalam Kakak pergi dari rumah lagi kan? Kakak semalam tidur di mana?"Axel menghela napas berat. Bukan Alea namanya jika Axel belum cerita yang sebenarnya. "Duduk sini!" Axel mengajak Alea duduk di teras belakang sekolah. Pandangan Axel lurus ke depan sebelum memulai cerita. "Aku mau tanya dulu. Setelah kamu
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a