Tok, tok, tok"Lea, buka pintunya atau mau aku dobrak?" Suara Axel kembali terdengar. Kali ini intonasi suaranya lebih meninggi, terdengar emosi. "Tuh, Kak! Kak Axel udah ngambek! Mau aku yang buka pintunya?" ujar Alea membeliakan kedua mata pada Cassandra. "Jangan! Biar aku aja yang buka pintunya. Kamu cepetan ganti baju!" Cassandra berjingkat turun dari tempat tidur. Sedangkan Alea, masuk ke ruang ganti.Sebelum membuka pintu, Cassandra menarik napas panjang, merapikan rambut dan pakaian lalu memasang senyum yang paling manis. "Hai, Axel! Gimana kabar kamu?" sapa Cassandra saat pintu kamar terbuka. Axel yang sebelumnya emosi, seketika terkejut. Kedua matanya membesar, sikapnya agak salah tingkah. "Lho, kak Sandra ada di sini? Emang lagi libur kuliahnya?" tanya Axel heran. Kedua alisnya yang tebal bertaut. Semakin menambah ketampanannya. "Hm ... iya, Xel. Aku lagi libur kuliah. Makanya aku datang ke sini. Eh, tadi aku tanya kamu lho, bukannya jawab nih, malah balik tanya. Kebi
Alea yang melihat ekspresi Axel terkekeh. Lelaki itu wajahnya bersemu merah. Entah karena malu atau karena menahan amarah. Sikapnya pun salah tingkah. "Gimana, Kak? Mau ya ikut?" Pertanyaan Alea membuyarkan lamunannya. Axel berdehem, mengusap tengkuk. Tampak berpikir. "Ikut ya, Xel? Sekalian nanti makan malam di resto. Aku yang traktir. Please, mau, ya?" Tanpa disadari Axel, Cassandra menyelipkan tangan pada lengannya. Axel menelan saliva. Sesaat, ia memandang wajah cantik Cassandra. Wajah cantik yang sudah lama dikenalnya. "Hm ... gimana nanti aja," jawab Axel sembari melepaskan tangan Cassandra dari lengannya. "Lea, kamu yakin tadi enggak ada masalah apa-apa yang bikin kamu dan bang Gilang batal ke toko buku?" Rupanya Axel masih penasaran. Alea menarik napas panjang. Berpikir sejenak lalu ...."Emang bang Gilang enggak cerita apa-apa?""Enggak. Dia cuma bilang kamu pulang. Tapi aku yakin pasti ada yang enggak beres. Cepetan cerita!" tandas Axel semakin kesal pada Alea yang dita
Jam lima sore, Bianca dan Evan baru pulang kantor. Mereka langsung masuk ke dalam rumah dan terkejut melihat keberadaan Cassandra dan Alea di ruang keluarga. "Sandra? Kapan kamu pulang?"Cassandra yang sedang berbincang dengan Alea terkejut. Menoleh ke sumber suara. Cassandra menghampiri, mencium punggung tangan Bianca dan Evan. "Tadi pagi, Kak. Kuliahnya lagi libur," jawab Cassandra tersenyum manis. "Kamu udah pulang ke rumah belum? Jangan-jangan langsung ke sini?" telisik Evan, kakak sambung Cassandra. "Enggaklah, Kak. Tadi aku pulang ke rumah dulu. Mama papa juga tau aku ada di sini," jelas Cassandra. Pertanyaan Evan tidak salah. Gadis itu memang pernah pulang dari luar negeri langsung ke rumah Bragastara ingin melihat Axel yang saat itu sedang jatuh sakit. "Nanti kamu jangan pulang dulu. Kita makan malam bersama," ajak Bianca memegang bahu Cassandra. "Hm ... Ma, aku, Kak Axel dan Kak Sandra mau ke toko habis Magrib. Pulang dari toko buku mau makan di resto. Kayaknya enggak m
Penuh luapan emosi, Bianca menuruni anak tangga. Selera makannya seketika hilang. Ia benar-benar tersinggung dengan perkataan Axel dan sangat marah pada Nida yang telah membongkar rahasinya selama ini. "Sayang, kamu mau kemana? Hei!" Bianca tak duduk di kursi meja makan, melewati ruangan itu begitu saja. Alea dan Cassandra terkejut melihat perubahan sikap Bianca. Melihat raut wajah istrinya yang seperti menahan amarah, Evan pun pamit dari meja makan, menyusul Bianca yang masuk ke dalam kamar. "Duh, kak Axel pasti bikin masalah lagi," gerutu Alea yang belum menghabiskan makan malamnya. Cassandra menoleh cepat, mengerutkan kening. "Bikin masalah gimana, Lea?" telisik Cassandra yang masih belum mengerti maksud ucapan adik kandung lelaki yang dicintainya itu. "Enggak tau sih. Tapi, kak Axel itu semenjak tau kebenaran tentang siapa orang tua kandung kami, sikapnya jadi sinis terus ke mama, Kak," jelas Alea yang mencemaskan hubungan antara Axel dengan Bianca. "Masa sih? Setauku, dulu
Perjalanan menuju toko buku tidak ada yang bicara. Ketiga manusia itu larut dalam pikiran masing-masing. Cassandra menoleh pada Axel, lelaki itu pandangannya fokus ke depan. Melirik pada Alea, gadis itu pandangannya keluar jendela. Cassandra menghela napas berat. Tidak menyangka jika hubungan Axel dan Alea seperti ini. Memang sebelumnya pun Axel dan Alea sering bertengkar tapi tidak sampai Alea menangis. "Xel?" panggil Cassandra memecah keheningan. Cassandra melihat Alea dari kaca spion depan sedang menyeka lelehan air mata. "Kenapa, Kak?" Axel menoleh sekilas, lalu fokus kembali ke jalan raya. "Alea nangis," ujar Cassandra setengah berbisik. Axel melihat dari kaca spion depan kondisi kembarannya. "Biarin ajalah. Salah sendiri, ngebelain dia terus." Sangat ketus, Axel menanggapi ucapan Cassandra. "Dia siapa, Xel? Kak Bian?" telisik Cassandra menatap lekat lelaki yang duduk di balik kemudi dari samping. "Iya, siapa lagi? Gimana aku enggak kesel, masa dia nyuruh bang Gilang ngaca
"Aku harap sih kak Axel juga punya perasaan yang sama dengan Kak Sandra."Senyuman Cassandra semakin merekah, merangkul pundak Alea penuh kasih sayang. "Semoga aja ya, Lea. Aku udah lama banget cinta sama dia. Berharap suatu saat Axel sadar tentang perasaanku tanpa aku ungkapin. Ya enggak, Lea?""Iya, Kak."*** Di dalam mobil, Axel berselancar di media sosial. Saat ini kondisi Axel sedang tak menentu. Jika boleh jujur, Axel pun ingin bersikap seperti dulu lagi. Manja dan berebut perhatian Bianca dengan adiknya. Sekarang yang dirasa Axel, hanya rasa kecewa dan muak. Belum lagi saat mendengar cerita perlakuan Bianca pada Gilang. Axel benar-benar sulit bersikap seperti dulu lagi. Lamunan Axel buyar dengan suara dering handphone. Melihat siapa yang menelepon, Axel enggan mengangkat. Panggilan dari Bianca. Beberapa hari kemarin nomor kontak Bianca diblokir. Blokirnya baru dibuka saat Axel sudah kembali ke rumah. Satu panggilan sengaja tidak Axel angkat. Membiarkan berdering. Axel menya
"Dari mana kalian?" tanya Bianca saat tiga remaja itu berdiri di hadapannya. Tenggorokan Alea dan Cassandra tercekat. Mereka merunduk, saling melirik. "Kami dari toko buku. Pulangnya mampir ke resto. Aku yang ngajak mereka ke resto walaupun Alea bilang, katanya disuruh pulang cepat. Aku lapar, aku pengen makan di resto. Nih aku bawain menu makanannya. Pasti suka." Axel menjawab, menyodorkan makanan yang dibawa pulang. Tanpa berkata apa-apa lagi, Bianca mengambil makanan itu, lalu menyuruh mereka masuk ke dalam rumah.Alea dan Bianca menarik napas lega. Tidak terjadi keributan malam ini. Bianca hanya bertanya, setelah Axel menjawab, Bianca menyuruh mereka masuk ke dalam rumah tanpa bertanya apa-apa lagi. "Axel!"Panggilan Bianca menghentikan langkah kaki Axel. Lelaki itu membalikkan badan, melihat Bianca tersenyum manis padanya. Tapi tidak bagi Axel. Raut wajahnya masam. "Terima kasih, Nak. Kamu masih perhatian pada Mama. Mama sangat senang kamu bawain makanan ini," ujar Bianca baha
"Astaghfirullahalazhim, kok mereka selicik itu. Menurutku itu terlalu egois, Ma. Apalagi kak Namir dan Om Daniel sudah meninggal dunia. Mereka pasti mengharapkan atau menunggu doa-doa dari anaknya di alam sana kan, Ma?" Shella terdiam, tak langsung menjawab. "Ma, sebetulnya sikap Axel sekarang sangat berbeda dengan yang dulu. Sekarang Axel dingin dan agak ketus pada kak Bianca.""Ya Allah, ternyata yang Mama dan Papamu takutkan terjadi juga. Dulu, papamu pernah bilang ke Bianca. Bagaimana kalau suatu saat Axel dan Alea tau soal rahasia itu? Mereka pasti akan kecewa dan marah. Tapi, Bianca keras kepala dan egois. Dia yakin kalau rahasia itu akan aman. Ternyata ... tapi Mama enggak nyalahin Nida. Apa yang dilakukan Nida itu udah benar. Sandra, apa kamu mau nginap saja di situ?""Iyalah, Ma. Udah malam juga. Besok pagi aku pulang.""Tapi ingat, kamu jangan ikut campur dalam permasalahan keluarga itu. Kalau mereka sedang debat atau bertengkar, kamu menghindar saja. Mama enggak mau kalau
"Minumannya udah datang..., " seru Alea membawa tiga cangkir kopi. Dua cangkir berisi kopi, satu cangkir berisi teh manis. Alea meletakkan cangkir teh manis di depan Arfan. "Makasih, Lea." "Sama-sama. Diminum dulu tehnya biar semangat!" kata Alea menarik kursi yang tak jauh dari jangkauan. Ketiga anak muda itu langsung fokus pada layar laptop yang biasa digunakan Axel. Sebelum meretas, Arfan ingin tahu lebih dulu akun Hanif. "Kayaknya Pak Hanif enggak terlalu aktif di media sosial yang ini. Nih kalian lihat!" Arfan menyodorkan layar laptop ke hadapan Axel dan Alea. Saudara kembar itu duduk berdekatan. "Enggak bisa di cek DM -nya?" tanya Axel menoleh pada Arfan. "Bisa. Sebentar, aku coba lagi." Kali ini cukup lama, Arfan berkutat di depan laptop. Arfan begitu lincah mengoperasikan teknologi. Alea yang baru melihat kemampuan Arfan secara langsung, sampai dibuat kagum. Tanpa disadari, Alea tersenyum sembari memandang wajah Arfan yang cukup tampan. Axel yang semula memandang l
"Astaghfirullah, Mama kok bilang gitu? Enggak peduli sekali dengan musibah yang dialami tante Nida." Refleks, Alea menimpali ucapan Bianca. Biasanya Alea tak berani menyanggah ucapan Bianca tetapi kini, ia langsung angkat bicara."Bukan Mama enggak peduli! Ah, sudahlah. Sekarang lebih baik kalian mandi, ganti seragam dan makan. Mama enggak mau penghuni rumah ini ada yang sakit lagi," ucap Bianca masih diselimuti emosi. Wanita itu masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu tanggapan dari kedua adiknya. Axel menarik napas panjang melihat tingkah laku Bianca yang tak berubah. Masih saja menyebalkan. "Kenapa mama jadi ngeselin banget sih, Kak?" gerutu Alea, bibirnya cemberut, kedua tangsj bersidekap. "Emang ngeselin!" jawab Axel masuk ke dalam rumah lebih dulu. Axel sedang malas berdebat. Kalau saja tidak ingat dengan kesehatan Bianca, mungkin Axel tadi akan ribut juga. Saudara kembar itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Melakukan perintah Bianca setelahnya mereka berdua menuju ruang mej
Raut wajah Alea seketika berbinar. Ia baru ingat kalau teman sekelasnya itu memiliki keahlian teknologi. Meski masih SMA, tapi otak Arfan bisa dikatakan lumayan encer terutama masalah teknologi. "Iya, Kak. Bener banget tuh! Aku baru inget kalau si Arfan jago IT. Ya udah, Kak. Aku mau telepon dia dulu. Suruh dia dateng ke rumah nanti malam. Gimana, Kak?" Alea sangat bersemangat menjalankan rencana yang disampaikan oleh Axel. Ia tak sabar ingin mengetahui penyebab Hanif menceraikan Nida. "Boleh. Coba aja kamu telepon." Alea langsung merogoh handphone dari saku seragamnya. Lalu menekan nomor kontak Arfan. Arfan yang tengah berkutat di depan komputer rumahnya, terkejut melihat Alea sang gadis pujaan hati menghubunginya. Senyum Arfan mengembang, menarik napas panjang lalu mengangkat telepon dari Alea. "Hallo?" "Fan, nanti malam kamu bisa enggak ke rumahku?" Tanpa basa-basi Alea bertanya. Ia tak mau membuang waktu. Ingin secepatnya mengetahui alasan Hanif mecneraikan tante
"Analisamu ada benernya, Lea. Bisa jadi Om Hanif yang mandul," timpal Axel sependapat dengan kembarannya.Nida hanya mengulum senyum mendengar tanggapan dari Alea dan Axel."Ya udahlah, Tante enggak mau terlalu mikirin itu lagi. Toh kenyataannya, sekarang kami udah bercerai. Tinggal menunggu sidangnya saja." Sangat tenang, Nida menanggapi ucapan anak kembar itu. Alea dan Axel saling pandang lalu keduanya mengela napas berat. "Tante harus kuat ya terutama di depan om Hanif. Jangan sampai terlihat lemah atau bersedih. Nanti si om malah besar kepala. Malah mikir, Tante kecintaan banget ama dia," kata Alea memberi semangat pada wanita yang selama ini tempat mereka curhat. "Tapi, Tante. Apa Tante enggak ada curiga kalau om punya wanita idaman lain? Ya aku sih, enggak habis pikir aja. Selama ini yang aku tau, rumah tangga Tante kan baik-baik aja. Kok sekarang tiba-tiba ...."Axel menggantung kalimat, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sudah dimengerti oleh Nida dan Alea. "Namanya juga
"Cerai?" Serempak Alea dan Axel bertanya. Raut wajah mereka terkejut. "Tante serius?" tanya Alea. "Pasti cuma nge-prank nih," timpal Axel tak percaya. Nida tersenyum, menepuk pundak Axel. "Kita makan dulu aja. Nanti Tante baru cerita."Keduanya menganggukkan kepala. Mengikuti langkah Nida yang menuju dapur. "Kalian tunggu di sini. Tante mau hangatin masakannya. Oke?""Oke, Tante."Nida menarik napas lega sebab Alea dan Axel datang ke rumahnya. Paling tidak ia sedikit terhibur akan kedatangan mereka. Dirinya tidak merasa sendirian di rumah ini. Namun, Nida sadar. Dia mesti terbiasa dengan kesendirian. "Sudah siap masakannya," seru Nida seolah tak terjadi hal buruk yang menimpanya. Ya, hal buruk. Sebab, meski Nida terlihat sumringah, terlihat menerima keputusan Hanif akan tetapi hatinya tetaplah bersedih dan sakit. Nida wanita normal. Yang sakit hati jika cintanya dikhianati. Nida menyimpulkan sendiri jika alasan Hanif menceraikannya karena ada wanita lain. Wanita lain itu kemungk
Hanif tak dapat mengelak lagi. Selama ini tidak bisa ia berbohong pada Nida. Pun Nida, ia tahu jika suaminya menyembunyikan sesuatu atau sedang berbohong. Namun, lagi dan lagi Hanif diam, tak juga menjawab. "Oke. Kalau kamu masih enggak mau jawab pertanyaanku, enggak masalah. Aku juga enggak masalah kalau kamu mau cerai. Silakan saja."Nida menyerah, tidak bisa mendesak lelaki yang lebih banyak diam itu. Nida beranjak ke toilet. Di dalam sana, setelah membuka kran, Nida menangis tersedu-sedu. Sedikit pun Nida tak menyangka jika Hanif akan menceraikannya. Baru beberapa hari lalu, Hanif meyakinkan cinta dan kesetiannya terhadap Nida. Hanif menarik napas panjang ketika Nida pergi meninggalkannya. Ia mengusap wajah kasar, memandang lurus ke depan, lalu pandangannya mengitari kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya bersama wanita yang dulu mati-matian ia perjuangkan. Dan hari ini, Hanif sudah menjatuhkan talak. Lelaki itu kembali menarik napas, mengembuskan perlahan. Berusaha meyak
Tiba di rumah, Nida berjalan cepat, ingin segera menemui suaminya. Ketika hendak menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya, terdengar suara percakapan Hanif dengan ibunya di ruang keluarga. Nida pun mengurungkan pergi ke kamar, belok ke ruang keluarga. "Mas!" pekik Nida menghampiri suaminya yang duduk di sebelah ibu Ros. "Kamu enggak apa-apa, Mas? Mana yang terluka?" telisik Nida panik. Menelisik Hanif. "Kamu ini gimana sih? Malah nyari yang terluka? Kamu pengen suamimu terluka?" Pertanyaan ibu Ros membuat Nida menoleh. Menghela napas berat. Nida tahu, apapun yang dilakukannya, di hadapan ibu Ros selalu saja salah. "Bukan aku pengen mas Hanif terluka, Ma. Tadi Mas Hanif bilang semalam kecelakaan. Makanya dia enggak pulang," jelas Nida menahan rasa kesal pada ibu mertua. Hanif masih bergeming, tidak mengeluarkan kata-kata. "Udah tau! Sebelum Hanif cerita ke kamu, dia udah cerita ke Mama," tandas ibu Ros menunjukkan raut wajah tak suka. "Aku mau bicara empat ma
"Kamu serius mau menceraikan si Nida?" tanya ibu Ros memastikan yang didengarnya. Hanif tersenyum simpul, menganggukkan kepala. "Iya, Ma. Mungkin ini jalan yang terbaik.""Nah gitu dong! Menceraikan Nida emang jalan yang terbaik!" Ibu Rosita berseru gembira. Ibu Ros langsung memeluk tubuh Hanif. Hatinya begitu gembira. Keinginannya sebentar lagi akan terwujud. Hanif akan menceraikan Nida dan akan menikah dengan Friska. Impian memiliki menantu yang kaya raya dan loyal, sebentar lagi akan terwujud. "Sukurlah sekarang kamu udah sadar. Mama senang sekali. Mama berharap, nanti kalau kamu nikah lagi, kamu cepat punya keturunan," ujar ibu Ros sumringah. Hatinya benar-benar bahagia mendengar perceraian anak pertamanya dengan Nida. "Aamiin. Terima kasih, Ma.""Iya, Nak. Sama-sama. Oh ya, kalau kamu keluar dari rumah ini, kamu mau tinggal di mana? Soalnya kan rumah Mama enggak seluas rumah ini. Udah gitu, semua kamar udah ada yang tempati. Ada sih kamar belakang, cuma sekarang udah jadi gud
"Tentu saja boleh. Sekarang juga kamu boleh kok tinggal di rumahku dari pada kita tinggal di hotel ini. Gimana? Kamu mau enggak?" jawab Friska tersenyum manis. Tidak ada keraguan sedikit pun dari intonasi suaranya kalau ia mengizinkan Hanif tinggal di rumahnya. Hanif mengulas senyum mendengar jawaban Friska. "Terima kasih, Sayang. Kalau begitu, aku mau beresin urusan satu-satu dulu. Kalau aku udah menceraikan Nida, aku akan segera keluar dari rumah itu dan langsung pindah ke rumahmu." "Oke, Sayang. Dengan senang hati, aku akan menerimamu di rumahku." Friska semakin mengeratkan pelukan. Tak ada rasa lelah pada diri wanita itu. Ia selalu berhasrat jika di dekat Hanif. Kerinduannya selama ini pada Hanif telah terlabuhkan. "Sejarang aku mau pulang dulu," ucap Hanif melepaskan kedua tangan Friska dari tubuhnya. "Tapi nanti malam kamu ke sini lagi, ya?" rengek Friska menunjukan raut wajah manja. Hanif gemas, memencet hidung mancung wanita yang semalaman melayaninya. "Besok mala