Sampai di rumah sakit, Namira dibawa ke ruangan dokter kandungan terlebih dahulu. "Masya Allah, ini udah pembukaan tiga, Pak Daniel. Kalau begitu, kita langsung bawa saja ke ruang operasi,"ujar dokter Hana yang menangani kandungan Namira selama ini. Pasangan suami istri itu tidak dapat mengelak. Mereka langsung menuruti saran dari dokter. Di dalam ruang persalinan, Namira dan Daniel masuk ke dalamnya. Daniel ingin menemani melewati proses lahiran. "Pak Daniel, pembukaannya enggak naik-naik. Dan tampaknya, Ibu Namira sudah kelelahan. Bagaimana kalau kita melakukan operasi cesar saja?" Dokter Hana meminta pendapat Daniel yang sedari tadi tidak tega melihat istrinya kesakitan. "Lakukan saja yang terbaik untuk istri saya, dokter," imbuh Daniel mantap. Dia ingin istrinya selamat, tidak hanya anaknya yang selamat. Daniel masih menggenggam telapak tangan istrinya. Memberi kekuatan dan memanjatkan doa-doa untuk keselamatan istri serta kedua anaknya yang ada di dalam kandungan Namira. Bi
"Mas Ayang, ke rumah sakit, ya? Batukmu kelihatannya makin parah." ajak Namira mengusap punggung suaminya. Daniel mengulas senyum tipis, membelai pipi cantik Namira. "Nanti aja, Sayang. Aku mau kasih tau kamu sesuatu dulu. Ikut aku!" Daniel menuntun istrinya ke ruang kerja. "Mau kasih tau apa, Mas?" tanya Namira penasaran saat mereka hendak menuju ruang kerja di rumah ini. "Masuk sini!" Namira duduk di kursi meja ruang kerja. Daniel berjalan ke lemari yang terdapat tumpukan beberapa berkas-berkas penting. Batuknya sesekali terdengar. Kondisi tubuh Daniel semakin renta dari hari ke hari. Namun, cinta Namira padanya tak pernah luntur sedikit pun. "Ini surat wasiatku. Nanti bilamana aku udah gak ada umur, kamu bacakan surat ini. Copy-an surat ini udah aku kasih ke ak Zovan." Hati Namira sangat sedih mendengar ucapan Daniel. Sebulir air mata membasahi wajahnya. Tidak dapat dipungkiri, sebetulnya ada firasat buruk dalam hati Namira. Entah akan terjadi hari ini, esok atau
Akhirnya Shella menyerah. Tidak bisa melarang Nida mendaki gunung padahal hatinya sangat cemas. Ia cemas, terjadi hal buruk yang menimpa ana sambungnya. Rasa takut Shella semakin besar ketika mendengar berita tentang hilangnya beberapa pendaki gunung. Mereka tidak ditemukan hingga saat ini. "Nida, kamu jangan mendaki, Nak... Di rumah aja, ya? Atau kita liburan ke luar kota atau luar negeri. Asal jangan mendaki. Mamah mohon.... " Shella tak menyerah membujuk Nida agar tidak berangkat. Terdengar helaan napas dari ujung telepon. "Mamah, aku mohon, Mah.... Izinin aku mendaki ya? Sekali aja. Kali ini aja, Mah." Nida tetap bersikukuh. Shella memejamkan kedua mata. Dia jadi berpikir, mungkin karena dirinya hanya ibu sambung, Nida tak mau mendengar perintahnya. Shella sadar diri. Sekuat apapun ia melarang Nida agar jangan berangkat, anak itu pasti tidak akan peduli. "Ya udah. Kamu hati-hati. Jangan bergadang. Kalau bisa, besok malam udah pulang ya?""Insya Allah, Mah. Udah dulu ya, assalam
"Bi ... BI Rusmiii ...." Teriakan Namira menggema ke sudut ruangan rumah. Ia tak menghiraukan ucapan suaminya. Dalam pikiran Namira, hanya ingin suaminya sembuh, sehat kembali dan merawat kedua anak mereka bersama. "Iya, Non. Ada apa?" tanya Bi Rusmi setelah di depan Namira. Napasnya naik turun. "Bi, kalau Bianca sudah pulang, tolong kasih tau dia, saya dan Mas Daniel mau ke rumah sakit dulu," ucap Namira panik. Raut wajah Daniel memucat. Kepalanya seperti berputar. Ia benar-benar merasa kepalanya sangat pusing. "Non Bianca udah pulang dari tadi. Sekarang lagi di kamar baby twins, Non.""Oh gitu. Ya udah, tolong Bibi sampein ke dia, ya? Saya dan Mas Daniel mau ke rumah sakit sekarang. Bi, saya titip anak-anak. Katakan pada Bianca, tolong jaga anak kami dengan baik. Tolong, Bi ...." pinta Namira. Air matanya semakin deras membasahi wajah cantiknya. Daniel lebih sering batuk-batuk."I-iya, Non. Nanti saya sampaikan.""Terima kasih, Bi.""Sama-sama, Non. Non, hati-hati.""Iya."Nami
--Bianca serba salah ketika mendengar kabar Namira dan Daniel ke rumah sakit. Dia ingin ke rumah sakit, menemani Namira. Tapi, di rumah ada baby twins yang harus dijaga. Tidak mungkin Bianca membiarkan baby twins bersama Sus Melati. Suara dering dari handphone terdengar. Bianca melihat layar handphone, Evan menelepon. "Sayang, Papah koma?" tanya Evan saat sambungan telepon terhubung. "Iya, Mas. Tadi Mamih telepon. Katanya di jalan Papah jatuh pingsan sampe sekarang belum sadarkan diri. Dokter bilang, papah koma," jelas Bianca, suaranya terdengar bergetar. "Aku tau kabar itu dari Papah. Tadi Papah telepon Papah Daniel, yang angkat justru Mamih. Sayang, kamu sekarang di rumah?""Iya, Mas. Aku jagain Baby twins. Pengen banget ke rumah sakit tapi gak mau juga ninggalin anak-anak ini. Mas, kalau kamu udah beres kerjaannya, tolong cepat pulang, ya?" Pinta Bianca meneteskan air mata. Firasatnya kali ini sangat buruk tentang papahnya. Dia khawatir kalau papahnya itu.... "Ya Sayang, nant
"Mamih, bangun, Mih ... Mamih ... Namira, buka matamu! Papah ... Pah ...." Bianca histeris melihat sepasang suami istri itu menutup kedua mata. Monitor detak jantung Daniel mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga. Bianca menangis, memeluk tubuh sahabatnya. Wajah Namira begitu pucat, tubuhnya lemas. Jatuh lunglai di pelukan Bianca. Dokter masuk ruangan, segera memeriksakan keadaan Daniel. Tiga perawat memindahkan tubuh Namira ke atas sofa sudut ruangan. Kondisi jantung Daniel diperiksa dokter. Lalu, dokter itu menekan d4da Daniel agar berdetak kembali. "Satu, dua, tiga!" Satu alat ditempelkan pada d4da Daniel. Tubuhnya tersentak namun jantungnya tetap tak berdetak. Dokter tak putus asa. Kembali mengejutkan jantung Daniel, lagi-lagi tak berdetak. Di sofa, tangisan Bianca semakin histeris. Ia takut, sangat takut kehilangan papahnya. Lelaki yang baru saja memiliki buah hati lagi dari Namira. Akankah harus pergi? Pandangan Bianca beralih pada Namira yang tergolek lemah. Ia menempel
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....." Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...." Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini. "Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...." Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira d
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em
Di depan pusara kedua orang tua kandung, Axel menumpahkan kesedihan dan masalah yang tengah dihadapi. Sebelumnya ia membaca Quran Surat Yasin dan memanjatkan doa-doa untuk Daniel dan Namira. Alea mencegah pergerakan Arfan. Ia menggelengkan kepala, memberi isyarat pada Arfan agar tidak mendekati kakaknya. Alea mengajak Arfan duduk agak jauh dari Axlel. Ia ingin memerhatikan kakaknya. Bukan Alea tak mau mendoakan, hanya ingin tahu apa yang akan diungkapkan Axel. Benar saja, selesai berdoa, tangisan Axel pecah. Pun Alea. Gadis itu menahan dalam diam. Membekap mulut agar suara tangisannya tak terdengar Axel. Arfan tak tega, ingin merengkuh pundak Alea tetapi tak ada keberanian. Ia cukup tahu batasan. Arfan hanya mengusap pelan Alea agar tetap tenang. "Kenapa mama dan papa pergi begitu cepat? Apa mama dan papa enggak sayang kami? Apa aku dan Alea anak yang enggak kalian inginkan? Kenapa kalian enggak bertahan hidup demi kami? Paling tidak, salah satu dari kalian harus hidup. Kenapa kali
Siang hari, tubuh ibu Ros menggigil. Sejak tadi pagi, badannya tak enak. Mulutnya pun pahit. Di dalam kamar, ibu Ros meringkuk. Belum ada makanan yang masuk ke dalam perut padahal ia sangat kelaparan. Kedua mata memanas, hidung pilek bersin-bersin, mungkin karena ibu Ros terlalu sering menangis. Tubuh ringkih itu menyibak selimut. Memegang perut yang terasa lapar. Kemudian, dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah pintu, membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Sepi. "Kemana Hanifa dan Haifa? Apa mereka lagi tidur?" gumam ibu Ros, keluar dari kamar, lalu berjalan pelahan melewati ruangan demi ruangan. Sampai di dapur, ibu Ros tak mendapati kedua anak perempuannya. Kemana mereka? lagi pertanyaan ibu Ros tak ada jawaban. Wanita tua itu berjalan ke ruang meja makan. Membuka tudung saja, tidak ada lauk pauk. Kemudian berjalan ke rice cooker, tidak ada nasi. "Apa mereka enggak masak nasi?" Ibu Ros kembali bertanya pelan. Pandangannya beralih pada tempat penyim
Jam pulang sekolah tiba. Alea menyambangi kelas kakaknya. Ia menunggu di depan. Arfan yang melihat Alea dari kejauhan menghampiri. "Lagi nungguin Axel?" tanya Arfan saat berdiri di samping Alea. "Iya. Lama banget tuh orang keluarnya. Emang ngeselin! Kamu sendiri belum pulang? Ada rapat?" Alea bertanya balik. "Enggak ada rapat. Kalau lama, Kenapa kamu enggak masuk ke dalam kelasnya?" Arfan bertanya lagi. Mengalihkan ke topik awal. "Males," jawab Alea singkat. "Kalau aku masuk kelas kak Axel, suka jadi pusat perhatian teman-temannya," jawab Alea cemberut. Mengingat kembali waktu ia pernah masuk ke dalam kelas Axel. Ada beberapa teman sekelas Axel yang cowok, minta kenalan. Atau enggak, teman-teman kelas Axel yang cewek, menatap Alea sinis. Padahal mereka tak saling kenal. Sejak saat itu, Alea malas masuk kelas kakaknya. "Mungkin karena kamu terlalu cantik, Lea."Ucapan Arfan membuat Alea terhenyak. "Ck, apaan sih kamu, Fan? Enggak juga kali." Alea malu-malu. Ia membuang wajah ke a
Gilang telah menyiapkan delivery order atas nama Nida. Wanita itu memang tak sempat keluar kantor untuk makan siang. Pekerjaannya sangat banyak. Terlebih mulai besok ia harus kerja di lapangan. Gilang telah siap berangkat. Namun, langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Bianca dan Evan di depan cafe. "Selamat siang, Ibu Bianca, Pak Evan," sapa Gilang sopan, agak membungkukkan badan. "Siang, Gilang. Kamu mau nganterin makanan?" balas Evan sambil bertanya. Sedangkan Bianca bersidekap sambil membuang muka. Gilang mengulum senyum, "Iya, Pak. Mau anterin makan siang.""Oh begitu.""Mas, mau makan siang apa mau ngobrol sama pelayan?" tanya Bianca ketus. Sorot matanya tampak tak suka pada Gilang. Evan tak enak hati mendengar pertanyaan sang istri. "Maaf, Pak. Saya permisi." Gilang tak mau lama-lama berhadapan dengan Bianca. Selalu saja makan hati. "Oh iya, silakan. Hati-hati Gilang.""Iya, Pak. Terima kasih."Bianca masuk ke cafe lebih dulu. Wajahnya bersungut kesal. Evan yang