--Bianca serba salah ketika mendengar kabar Namira dan Daniel ke rumah sakit. Dia ingin ke rumah sakit, menemani Namira. Tapi, di rumah ada baby twins yang harus dijaga. Tidak mungkin Bianca membiarkan baby twins bersama Sus Melati. Suara dering dari handphone terdengar. Bianca melihat layar handphone, Evan menelepon. "Sayang, Papah koma?" tanya Evan saat sambungan telepon terhubung. "Iya, Mas. Tadi Mamih telepon. Katanya di jalan Papah jatuh pingsan sampe sekarang belum sadarkan diri. Dokter bilang, papah koma," jelas Bianca, suaranya terdengar bergetar. "Aku tau kabar itu dari Papah. Tadi Papah telepon Papah Daniel, yang angkat justru Mamih. Sayang, kamu sekarang di rumah?""Iya, Mas. Aku jagain Baby twins. Pengen banget ke rumah sakit tapi gak mau juga ninggalin anak-anak ini. Mas, kalau kamu udah beres kerjaannya, tolong cepat pulang, ya?" Pinta Bianca meneteskan air mata. Firasatnya kali ini sangat buruk tentang papahnya. Dia khawatir kalau papahnya itu.... "Ya Sayang, nant
"Mamih, bangun, Mih ... Mamih ... Namira, buka matamu! Papah ... Pah ...." Bianca histeris melihat sepasang suami istri itu menutup kedua mata. Monitor detak jantung Daniel mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga. Bianca menangis, memeluk tubuh sahabatnya. Wajah Namira begitu pucat, tubuhnya lemas. Jatuh lunglai di pelukan Bianca. Dokter masuk ruangan, segera memeriksakan keadaan Daniel. Tiga perawat memindahkan tubuh Namira ke atas sofa sudut ruangan. Kondisi jantung Daniel diperiksa dokter. Lalu, dokter itu menekan d4da Daniel agar berdetak kembali. "Satu, dua, tiga!" Satu alat ditempelkan pada d4da Daniel. Tubuhnya tersentak namun jantungnya tetap tak berdetak. Dokter tak putus asa. Kembali mengejutkan jantung Daniel, lagi-lagi tak berdetak. Di sofa, tangisan Bianca semakin histeris. Ia takut, sangat takut kehilangan papahnya. Lelaki yang baru saja memiliki buah hati lagi dari Namira. Akankah harus pergi? Pandangan Bianca beralih pada Namira yang tergolek lemah. Ia menempel
Tangisan Bianca kembali pecah, memeluk tubuh yang sudah dingin. "Papah ... Papah ... Ya Allah ... astaghfirullah ....." Sekuat hati, Bianca berusaha mengikhlaskan kepergian Daniel, namun ia belum bisa. Daniel adalah sosok papah sekaligus mamah bagi Bianca sebelum Daniel menikahi sahabatnya, Namira. Hati Bianca sangat hancur saat Daniel sudah tidak dapat menjawab panggilannya. "Papah ... Aku sayang Papah... A-aku sayang Papah.... " panggilan lirih itu membuat Namira membuka kedua mata perlahan. "Maasssh ... Mas .... Mas Ayang ...." Tangisan Bianca terhenti, menoleh pada Namira yang sudah sadarkan diri. Bianca berlari menghampiri Namira. "Mamih! Mamiihh ...." Bianca memeluk tubuh Namira disela isak tangis. Namira sudah tahu, suaminya telah tiada. Ia sudah tahu, suaminya telah meninggalkannya pergi dari dunia ini. "Bian ... Pa-Papahmu .... Papahmu, Biaaannn ...." Dokter dan ketiga perawat meninggalkan mereka sementara waktu. Mereka pun larut dalam kesedihan Namira d
Hati Bianca terasa diiris sembilu. Perih dan sakit mendengar ucapan Suster Melati yang sedari tadi berusaha menenangkan baby twins yang kini telah menjadi yatim piatu. Dua anak yang nantinya tidak bisa melihat dengan kedua matanya siapa sosok kedua orang tuanya. "Mas, aku ... aku mau menemui baby twins," ucap Bianca pada Evan sangat lemah suaranya. Sebisa mungkin Bianca harus kuat. Meski hatinya sangat berduka dan bersedih tapi dia harus tetap kuat dan ikhlas. Ada dua bayi yang ditinggalkan Namira dan Daniel, yaitu Alea dan Axel. Entah apa skenario Tuhan nantinya, mengambil kedua orang tuanya, dan menitipkan kedua anaknya pada Bianca. Dalam hati, Bianca berjanji, akan menjaga buah hati Daniel dan Namira dengan baik. "Iya, Sayang," timpal Evan membiarkan istrinya berjalan ke kamar baby twins. Tidak hanya Bianca yang bersedih. Yuda pun sama. Sedari tadi, ia tak henti meneteskan air mata. Shella yang duduk di samping Yuda sambil membaca kitab suci Al-Quran, berusaha mengelus punggung
Yuda dan Shella mendongak, mendengar suara Nida yang baru tiba di rumah. Nida terpaksa pulang cepat ketika Shella memberitahunya tentang kabar duka itu. Tubuh Nida luruh di samping dua jasad orang yang pertama kali menerimanya di rumah ini. Orang yang pertama kali memberinya kasih sayang dan perhatian di rumah ini. "Om ... Om Daniel ... Kak Namira ... a-aku pulang ... Om ...." Nida memeluk tubuh yang ditutupi kain jarik. Memeluk sembari menangis histeris. Sungguh, ia tak menyangka jika orang yang amat disayangi dan dihormatinya itu telah meninggalkan dunia. "Kenapa orang baik selalu cepat dipanggil Tuhan? Kenapa ya Allah?" Nida memeluk tubuh yang terbujur kaku. Ia memanjatkan begitu banyak doa untuk Namira dan Daniel. Ia sadar dan tahu, makhluk berjawa pasti akan mati termasuk dirinya, Daniel dan Namira. Sekarang Daniel dan Namira yang meninggal dunia. Kelak, pasti ia akan menyusul. "Papah ... Mamah ...." Nida menghampiri Yuda dan Shella. Memeluk dua orang yang amat disayanginya.
"Assalamualaikum ...."Dua remaja berusia 18 tahun masuk ke dalam rumah dengan riang. "Waalaikumsalam. Masya Allah anak-anak Mamah udah pulang," ucap seorang wanita yang duduk di ruang keluarga bersama wanita bernama Nida Bragastara. "Eh, ada Tante Nida? Apa kabar, Tante?" Alea mendekati wanita yang tersenyum manis melihat kedatangan saudara kembar beda jenis k3l4min itu. "Alhamdulillah kabar Tante baik. Kelihatannya kamu lagi seneng, Lea. Ada apa?" tanya Nida yang telapak tangannya dicium takzim oleh Alea dan Axel. "Iya dong. Hari ini aku seneng banget soalnya nilai ulanganku lebih bagus dari Kak Axel!" ucap Alea berbangga. Axel yang duduk di samping mamahnya mencebik, menggelengkan kepala. "Halah, baru juga hari ini ngalahin nilai ulanganku, udah bangga.""Enak aja baru hari ini? Aku tuh udah beberapa kali ngalahin nilai ulangan Kakak!" Alea tak terima, berkacak pinggang menatap Axel kesal. Axel terkekeh melihat ekspresi adik kandungnya. "Masa? Lupa tuh!""Dih, ngeselin!" Al
"Beneran. Biasanya kan kalau mereka datang ke dalam mimpiku, gak pernah ngomong ya? Ya paling, aku lihat mereka duduk di kursi taman sambil merangkul. Kadang aku mimpi mereka mencium kening aku. Gak pernah ngomong. Nah semalam itu, yang ceweknya ngomong," kata Alea semangat. Dia tampak mengingat-ingat mimpi yang menurut mereka aneh. Mungkin kalau diantara mereka bisa menggambar sketsa wajah, Alea dan Axel akan menggambar dua orang itu lalu saling menunjukkan satu sama lain."Ngomong apaan?" Axel bersidekap sambil bersandar pada pintu depan kamarnya. Menunggu Alea menjawab tanya yang dia lontarkan. Masalahnya, mimpi Axel kemarin juga, si lelaki yang ada dalam mimpinya berbicara. Kedua mata Alea menerawang ke langit-langit, ia berpikir, mengingat kaimat yang diucapkan si perempuan dalam mimpinya. "Hm ... kalau gak salah dengar, perempuan itu bilang gini, Ikan Hiu pake sampul. I love you full. Gitu, Kak. Pantun gitu."Lagi, Axel terkejut, menegakkan tubuhnya, melepaskan kedua tangan y
Ucapan Evan membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak. Tidak menduga Evan berkata demikian. Mereka kerap kali berdebat masalah itu tapi Evan biasanya tidak akan marah. Ia akan mengalah apapun keputusan istrinya tetapi sekarang justru sebaliknya. Evan terlihat marah besar. Sudah muak dengan keputusan Bianca. "Bian, aku tau kamu sangat menyayangi mereka. Tapi, caramu menyembunyikan siapa orang tua mereka, bukanlah hal baik." Sambung Evan memandang sendu wanita yang amat dicintai. Bianca meneteskan air mata. Kebimbangan menyelimuti hati. Keputusannya merahasiakan kedua orang tua Axel dan Alea berawal saat dokter menyatakan bahwa rahimnya mengering, tidak dapat mengandung benih suaminya diakibatkan terlalu lama menggunakan suntik KB. "Ka-kalau mereka tau, apakah mereka gak akan marah? A-apakah mereka akan tetap menganggapku orang tuanya? Apa... Mereka akan benci padaku?" Berbagai tanya diungkapkan Bianca pada suaminya. Evan menggelengkan kepala, mendekati, merangkul pundak Bia
"Ya Allah, Kak Bian kok mikirnya gitu? Aku pergi kerja bukan karena happy tapi karena enggak mau meratapi apa yang udah menimpa rumah tanggaku. Kak Bian jangan asal nuduh. Mana ada aku dekat dengan pria lain?"Wajar saja jika reaksi Nida marah. Bianca keterlaluan. Bukannya bersimpati atas yang menimpa rumah tangga Nida, justru menuduh yang bukan-bukan. "Kamu kok marah sih? Aku kan cuma nanya. Kalau kamu enggak merasa, ada pria lain, ya udah enggak usah marah," elak Bianca tak mau disalahkan. Membuang wajah ke arah lain, enggan bersitatap dengan Nida. "Terus kedatangan Kak Bian ke sini mau ngapain? Mau ngejek aku? Karena aku sekarang udah diceraikan mas Hanif?" Intonasi suara Nida masih meninggi. Ia tahu, berubahnya sikap Bianca sekarang ini karena ia telah membongkar rahasia yang bertahun-tahun ditutup rapat oleh Bianca dan Evan. "Aku ke sini cuma pengen tau aja. Ya udah, aku mau ke kantor sekarang!"Tanpa menunggu tanggapan Nida, Bianca berjalan ke mobil, masuk lalu melakukan ken
Setelah Arfan pamit, Bianca datang menemui Axel dan Alea yang masih berada di luar rumah. "Kalian ngapain di luar?" tanya Bianca memandang Axel dan Alea bergantian. "Kami habis ngerjain tugas. Alhamdulillah sekarang udah selesai. Misi, Ma." Axel menjawab sekaligus meninggalkan Bianca yang masih tertegun di luar rumah. "Ma, aku juga mau ke kamar. Mau istirahat," ujar Alea. Namun, Bianca mencekal pergelangan tangan gadis itu. "Mama ingin bicara. Duduklah!""Iya, Ma."Jelas saja Alea tak bisa menolak perintah anak sulung Daniel itu. Keduanya duduk di kursi teras depan rumah. "Apa kamu tau, alasan Hanif menceraikan Nida? Apa karena Nida mandul?"Sungguh kata mandul sangat tak enak didengar. Jika Nida mendengarnys pasti tersinggung. "Ma, tante Nida enggak mandul. Tolong jangan sebut dia mandul. Enggak ada dokter yang menyatakan tante Nida mandul. Rahim tante Nida baik-baik aja kok, aku pernah baca surat keterangan dari dokter," jelas Alea menyanggah pemikiran Bianca tentang kondisi r
"Minumannya udah datang..., " seru Alea membawa tiga cangkir kopi. Dua cangkir berisi kopi, satu cangkir berisi teh manis. Alea meletakkan cangkir teh manis di depan Arfan. "Makasih, Lea." "Sama-sama. Diminum dulu tehnya biar semangat!" kata Alea menarik kursi yang tak jauh dari jangkauan. Ketiga anak muda itu langsung fokus pada layar laptop yang biasa digunakan Axel. Sebelum meretas, Arfan ingin tahu lebih dulu akun Hanif. "Kayaknya Pak Hanif enggak terlalu aktif di media sosial yang ini. Nih kalian lihat!" Arfan menyodorkan layar laptop ke hadapan Axel dan Alea. Saudara kembar itu duduk berdekatan. "Enggak bisa di cek DM -nya?" tanya Axel menoleh pada Arfan. "Bisa. Sebentar, aku coba lagi." Kali ini cukup lama, Arfan berkutat di depan laptop. Arfan begitu lincah mengoperasikan teknologi. Alea yang baru melihat kemampuan Arfan secara langsung, sampai dibuat kagum. Tanpa disadari, Alea tersenyum sembari memandang wajah Arfan yang cukup tampan. Axel yang semula memandang l
"Astaghfirullah, Mama kok bilang gitu? Enggak peduli sekali dengan musibah yang dialami tante Nida." Refleks, Alea menimpali ucapan Bianca. Biasanya Alea tak berani menyanggah ucapan Bianca tetapi kini, ia langsung angkat bicara."Bukan Mama enggak peduli! Ah, sudahlah. Sekarang lebih baik kalian mandi, ganti seragam dan makan. Mama enggak mau penghuni rumah ini ada yang sakit lagi," ucap Bianca masih diselimuti emosi. Wanita itu masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu tanggapan dari kedua adiknya. Axel menarik napas panjang melihat tingkah laku Bianca yang tak berubah. Masih saja menyebalkan. "Kenapa mama jadi ngeselin banget sih, Kak?" gerutu Alea, bibirnya cemberut, kedua tangsj bersidekap. "Emang ngeselin!" jawab Axel masuk ke dalam rumah lebih dulu. Axel sedang malas berdebat. Kalau saja tidak ingat dengan kesehatan Bianca, mungkin Axel tadi akan ribut juga. Saudara kembar itu masuk ke dalam kamar masing-masing. Melakukan perintah Bianca setelahnya mereka berdua menuju ruang mej
Raut wajah Alea seketika berbinar. Ia baru ingat kalau teman sekelasnya itu memiliki keahlian teknologi. Meski masih SMA, tapi otak Arfan bisa dikatakan lumayan encer terutama masalah teknologi. "Iya, Kak. Bener banget tuh! Aku baru inget kalau si Arfan jago IT. Ya udah, Kak. Aku mau telepon dia dulu. Suruh dia dateng ke rumah nanti malam. Gimana, Kak?" Alea sangat bersemangat menjalankan rencana yang disampaikan oleh Axel. Ia tak sabar ingin mengetahui penyebab Hanif menceraikan Nida. "Boleh. Coba aja kamu telepon." Alea langsung merogoh handphone dari saku seragamnya. Lalu menekan nomor kontak Arfan. Arfan yang tengah berkutat di depan komputer rumahnya, terkejut melihat Alea sang gadis pujaan hati menghubunginya. Senyum Arfan mengembang, menarik napas panjang lalu mengangkat telepon dari Alea. "Hallo?" "Fan, nanti malam kamu bisa enggak ke rumahku?" Tanpa basa-basi Alea bertanya. Ia tak mau membuang waktu. Ingin secepatnya mengetahui alasan Hanif mecneraikan tante
"Analisamu ada benernya, Lea. Bisa jadi Om Hanif yang mandul," timpal Axel sependapat dengan kembarannya.Nida hanya mengulum senyum mendengar tanggapan dari Alea dan Axel."Ya udahlah, Tante enggak mau terlalu mikirin itu lagi. Toh kenyataannya, sekarang kami udah bercerai. Tinggal menunggu sidangnya saja." Sangat tenang, Nida menanggapi ucapan anak kembar itu. Alea dan Axel saling pandang lalu keduanya mengela napas berat. "Tante harus kuat ya terutama di depan om Hanif. Jangan sampai terlihat lemah atau bersedih. Nanti si om malah besar kepala. Malah mikir, Tante kecintaan banget ama dia," kata Alea memberi semangat pada wanita yang selama ini tempat mereka curhat. "Tapi, Tante. Apa Tante enggak ada curiga kalau om punya wanita idaman lain? Ya aku sih, enggak habis pikir aja. Selama ini yang aku tau, rumah tangga Tante kan baik-baik aja. Kok sekarang tiba-tiba ...."Axel menggantung kalimat, tak sanggup melanjutkan kalimat yang sudah dimengerti oleh Nida dan Alea. "Namanya juga
"Cerai?" Serempak Alea dan Axel bertanya. Raut wajah mereka terkejut. "Tante serius?" tanya Alea. "Pasti cuma nge-prank nih," timpal Axel tak percaya. Nida tersenyum, menepuk pundak Axel. "Kita makan dulu aja. Nanti Tante baru cerita."Keduanya menganggukkan kepala. Mengikuti langkah Nida yang menuju dapur. "Kalian tunggu di sini. Tante mau hangatin masakannya. Oke?""Oke, Tante."Nida menarik napas lega sebab Alea dan Axel datang ke rumahnya. Paling tidak ia sedikit terhibur akan kedatangan mereka. Dirinya tidak merasa sendirian di rumah ini. Namun, Nida sadar. Dia mesti terbiasa dengan kesendirian. "Sudah siap masakannya," seru Nida seolah tak terjadi hal buruk yang menimpanya. Ya, hal buruk. Sebab, meski Nida terlihat sumringah, terlihat menerima keputusan Hanif akan tetapi hatinya tetaplah bersedih dan sakit. Nida wanita normal. Yang sakit hati jika cintanya dikhianati. Nida menyimpulkan sendiri jika alasan Hanif menceraikannya karena ada wanita lain. Wanita lain itu kemungk
Hanif tak dapat mengelak lagi. Selama ini tidak bisa ia berbohong pada Nida. Pun Nida, ia tahu jika suaminya menyembunyikan sesuatu atau sedang berbohong. Namun, lagi dan lagi Hanif diam, tak juga menjawab. "Oke. Kalau kamu masih enggak mau jawab pertanyaanku, enggak masalah. Aku juga enggak masalah kalau kamu mau cerai. Silakan saja."Nida menyerah, tidak bisa mendesak lelaki yang lebih banyak diam itu. Nida beranjak ke toilet. Di dalam sana, setelah membuka kran, Nida menangis tersedu-sedu. Sedikit pun Nida tak menyangka jika Hanif akan menceraikannya. Baru beberapa hari lalu, Hanif meyakinkan cinta dan kesetiannya terhadap Nida. Hanif menarik napas panjang ketika Nida pergi meninggalkannya. Ia mengusap wajah kasar, memandang lurus ke depan, lalu pandangannya mengitari kamar yang sudah bertahun-tahun ditempatinya bersama wanita yang dulu mati-matian ia perjuangkan. Dan hari ini, Hanif sudah menjatuhkan talak. Lelaki itu kembali menarik napas, mengembuskan perlahan. Berusaha meyak
Tiba di rumah, Nida berjalan cepat, ingin segera menemui suaminya. Ketika hendak menaiki anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya, terdengar suara percakapan Hanif dengan ibunya di ruang keluarga. Nida pun mengurungkan pergi ke kamar, belok ke ruang keluarga. "Mas!" pekik Nida menghampiri suaminya yang duduk di sebelah ibu Ros. "Kamu enggak apa-apa, Mas? Mana yang terluka?" telisik Nida panik. Menelisik Hanif. "Kamu ini gimana sih? Malah nyari yang terluka? Kamu pengen suamimu terluka?" Pertanyaan ibu Ros membuat Nida menoleh. Menghela napas berat. Nida tahu, apapun yang dilakukannya, di hadapan ibu Ros selalu saja salah. "Bukan aku pengen mas Hanif terluka, Ma. Tadi Mas Hanif bilang semalam kecelakaan. Makanya dia enggak pulang," jelas Nida menahan rasa kesal pada ibu mertua. Hanif masih bergeming, tidak mengeluarkan kata-kata. "Udah tau! Sebelum Hanif cerita ke kamu, dia udah cerita ke Mama," tandas ibu Ros menunjukkan raut wajah tak suka. "Aku mau bicara empat ma