"Evan udah berangkat, Mas?" tanya Gita pada Yuda yang belum berangkat ke kantor. "Udah. Aku juga mau berangkat sekarang.""Jangan dulu, Mas. Aku pengen bicara," cegah Gita memegang lengan suaminya. Yuda kembali duduk di tempat semula. "Mau bicara apa?" tanya Yuda pada wanita yang telah melahirkan Evan. "Memangnya benar, kalau pel4ku yang mencvlik Nida udah ditangkap?"Yuda mengerutkan dahi, menatap aneh pada Gita. "Kamu udah tau soal itu?" Semalam Yuda memang belum bercerita tentang kedatangan seorang wanita yang diduga telah menyembunyikan Nida pada istrinya. Yuda hanya mengatakan kalau Gita bukan pel4ku penculikan itu. Semalam tubuh Yuda sangat lelah. Usai mandi, Yuda sudah masuk ke alam mimpi."Udah. Se-semalam Evan bilang, katanya pel4ku yang mencvlik NIda sudah ada di rumah Pak Daniel. Katanya Evan dikasih tau Bianca." Tentu saja ucapan itu bohong. Dari semalam sampai pagi tadi, Evan dan ibunya belum sempat saling berbicara. "Aku gak tau. Mungkin benar, kalau pelakunya udah
Malam hari, keluarga Bragastara berkumpul di ruang keluarga. Daniel yang pulang jam lima sore tadi, memberitahu dirinya akan keluar kota besok pagi. "Mas Ayang, kenapa bukan Om Yuda aja sih yang keluar kota?" protes Namira cemberut. Yang lainnya juga saling pandang. Di ruangan itu selain Daniel dan Namira, ada juga Bianca dan Nida."Enggak bisa, Sayang. Aku harus turun tangan langsung. Kamu tenang aja, insya Allah hanya satu hari di sana. Di sini juga kan ada Bianca dan Nida. Kamu enggak akan kesepian," timpal Daniel berusaha menenangkan hati istrinya. Namira tetap cemberut. Ia kesal, karena Daniel harus bermalam di Surabaya. Sejak menikah, Namira dan Daniel tidak pernah berpisah. "Kalau gitu, aku ikut, ya?" rengek Namira tak peduli di situ ada Bianca atau Nida. Dia tidak mau berpisah lama-lama dengan Daniel."Mamih, jangan ikut sama Papah. Kalau Mamih gak ada di rumah, nanti kami di sini kesepian. Udah deh, Mamih gak usah ikut. Lagi hamil juga," sela Bianca melarang Namira ikut den
"Aku berangkat sekarang. Ingat pesanku, jangan pergi dari rumah lagi dan handphone-mu harus aktif, enggak boleh mati," pesan Yuda pada Gita di depan teras rumah ketika ia hendak berangkat keluar kota. "Iya, Sayang. Aku enggak akan pergi lagi, enggak akan matiin handphone," timpal Gita tersenyum manis. "Pah, Papah mau kemana bawa koper segala?" Tiba-tiba Evan keluar rumah. Mereka memang tidak sempat sarapan bersama. Yuda dan Gita sarapan lebih dulu. Yuda juga tidak sempat memberitahu Evan tentang keberangkatannya ke Surabaya. "Papah kamu dan Pak Daniel mau keluar kota, Van. Kemungkinan besar akan menginap di sana. Pah, kamu gak mau kasih pesan ke Evan?" Gita yang menjawab pertanyaan Evan."Van, Papah dan Pak Daniel mau ke Surabaya. Kemungkinan besar kami menginap. Tolong kamu jagain Mamahmu. Kalau keluar rumah tangan terlalu lama. Kasihan Mamahmu sendirian." Yuda mengerti yang diminta Gita. Evan menoleh pada wanita yang terlihat tenang sambil menggamit lengan sang suami. "Biasanya
Setelah kepergian Daniel dan Yuda keluar kota, Namira duduk di kursi samping rumah sambil memandang kolam berisi ikan-ikan hias. Sebentar lagi, rumah ini akan sepi. Daniel sudah berangkat, Nida juga sudah berangkat keluar kota, mungkin beberapa menit lagi Bianca akan berangkat ke kampus. "Ya Allah, Mih ... aku cari ke sana ke mari, gak taunya ada di sini," celetuk Bianca duduk di kursi samping Namira. Istri Daniel itu menelisik penampilan anak sambungnya. "Kamu mau ke kampus sekarang, Bi?""Iya. Sebentar lagi aku berangkat, lagi nunggu Evan," jawab Bianca menyandarkan punggung ke kursi. Namira menghela napas panjang, pandangannya beralih pada segerombolan ikan-ikan yang berenang di kolam. "Kamu gak bisa bolos dulu?" Pertanyaan Namira sangat pelan. Namun, Bianca bisa mendengar jelas. "Maaf, gak bisa. Aku hari ini ada presentasi. Kalau Mamih bosan di rumah, Mamih jalan-jalan ke Mall. Minta dianter Bi Rusmi atau Bu Fatma." Saran yang disampaikan Bianca tidak membuat Namira bersema
"Mohon maaf, jangankan kata-kata Tante, nama Tante aja aku gak ingat. Emang Tante ini siapa? Kok tiba-tiba datang ke sini, duduk di sampingku terus ngomong kayak gitu."Jawaban Nida membuat Gita tersentak kaget. Raut wajah Nida yang sebelumnya sangat tegang, berubah seperti orang yang kebingungan. Tidak hanya Nida yang menunjukkan ekspresi wajah bingung, Gita juga sama. "Eh, masa kamu gak kenal aku? Kamu pasti bohong!" Gita mendorong bahu Nida yang hampir terjungkang. 'Apa jangan-jangan Nida amnesia? Wah, kalau dia lupa ingatan itu lebih bagus. Dengan begitu, rahasiaku akan tetap aman. Tapi, kok ... Namira bisa tahu kalau orang yang menyembunyikan Nida selama ini adalah aku? Ah, bikin pusing aja nih anak,' ucap Gita dalam hati. "Emang aku gak kenal. Orang gak kenal kok dipaksa kenal, aneh." Nida berkata sangat ketus. Kalau dari sikapnya, Nida memang berubah. Dia sudah tidak merasa takut lagi pada Gita. Kalau dulu, setiap diajak bicara Gita, Nida selalu merundukkan kepala. Hanya ses
Gita sudah berada di dalam mobil. Ia kembali melajukan kendaraannya. Gita tak mengerti, kenapa sekarang Nida bisa amnesia? Rasanya tidak mungkin kalau Nida tidak mengenalnya? "Kenapa sih anak itu? Apa benar dia amnesia? Kalau emang benar, berarti bagus. Tapi, Bu Fatma bagaimana nasibnya? Apa dia udah di penjara atau justru masih di rumah Pak Daniel? Sebaiknya aku ke sana saja. Aku ingin memastikan Bu Fatma ada atau tidak, dan ingin mengancam Namira agar tidak buka mulut perihal kej4hatanku dulu."Kendaran yang ditumpangi Gita sudah memasuki halaman rumah Daniel Bragstara setelah menempuh jarak perjalanan sekitar satu jam-an. Gita mematikan mesin mobil. Ia tahu, kalau di rumah ini sekarang sudah tidak ada Daniel. Jari lentik Nida terulur menekan bel. Tidak berselang lama, terlihat wanita yang tengah berbadan dua membuka pintu."Tante Gita?" pekik Namira terkejut melihat kedatangan wanita yang telah melahirkan Evan."Hai, Non Namira. Senang sekali kita bertemu lagi," kata Gita terseny
Gita melajukan kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tak langsung pulang ke rumah, ingin mampir di salah satu restoran. Kepala Gita sangat pening, pikiran dan perasaannya sangat tidak tenang. Banyak hal yang membuatnya takut. Di dalam restoran, Gita memilih tempat duduk paling pojok. Ia mengeluarkan sebungkus r0kok, memantik, dan menghisapnya dalam-dalam. Gita juga memesan minuman beralkohol untuk menemani kesendiriannya. Sekelebat bayangan masa lalu yang kelam dan membuat dirinya terpuruk seolah menarik di pelupuk mata. Gita bagai orang tak waras. Mengisah rok0k dan menegak minuman beralkohol.Tidak terasa, waktu telah beranjak sore. Para pengunjung satu persatu berdatangan. Pandangan Gita mulai mengabur. Di atas meja, satu botol minuman beralkohol serta cemilan yang sudah habis membuat senyum Gita getir. Melirik jam dinding yang terdapat di restoran, rupanya sudah jam empat sore. Sekarang suaminya tak ada di rumah dan tidak akan pulang. Gita pulang ke rumah dalam keadaan
Kini, Gita sudah berada di ruang darurat rumah sakit. Nida sudah menghubungi Bianca agar memberitahu Evan kalau ibunya mengalami kecelakaan. Menyuruh Bianca dan Evan langsung datang ke rumah sakit untuk menemui Gita. Sebab, Nida tidak menyimpan nomor handphone Evan, maka ia menghubungi Bianca lebih dulu. "Pak Joko, Papah Yuda dikasih tau gak, ya?" tanya Nida pada lelaki yang duduk menemaninya sedari tadi. Seragam sekolah Nida penuh dengan d4rah Gita karena sempat mengangkat tubuh wanita itu menyingkir dari kendaraan. "Maaf, Non. Pak Joko juga enggak tau. Tapi, sebaiknya Mas Evan saja yang memberitahu Pak Yuda."Nida menganggukkan kepala. Ia urung memberitahu Yuda perihal Gita yang mengalami kecelakaan dan sekarang keadaannya tengah kritis. Tidak berselang lama, Evan dan Bianca datang. Pada saat Nida menghubungi Bianca, mereka sedang perjalanan pulang. "Nida, bagaimana keadaan mamahku?" tanya Evan sangat mencemaskan keadaan wanita yang telah melahirkannya. "Aku belum tau, Kak. Dar
"Dari tadi aku teleponin enggak aktif nomornya, Bang."Alea semakin mencemaskan keadaan kakaknya. Dia tidak tahu lagi kemana mencari keberadaan Axel. "Lea, coba kamu tanya ke temen-temennya. Barang kali aja mereka ada yang tau. Sekarang Abang enggak bisa bantu nyariin Axel. Kamu lihat sendiri, pengunjung lagi banyak.""Iya, Bang. Enggak apa-apa. Ya udah deh, aku pamit dulu."Alea membalikkan badan, menghampiri Nida yang duduk di salah satu kursi cafe. "Tante, Kak Axel enggak ada di sini," ujar Alea menunjukkan raut wajah lesu. "Kemana?""Enggak tau. Handphone-nya juga enggak aktif.""Coba kamu tanyain ke teman-temannya. Kali aja ada yang tau."Nida memberi saran sebab ia juga tidak tahu tempat yang biasa Axel kunjungi. Tempat tongkrongannya. "Aku enggak punya nomor teman-teman Axel," jawab Alea cemberut. Pikirannya mengingat tempat yang biasa Axel kunjungi selain cafe. "Alea, mungkin enggak, kalau Axel udah kembali pulang ke rumah?"Alea mendongak, menatap lekat Nida. "Benar jug
Ibu Ros sangat geram mendengar jawaban anak sulungnya. Tidak menyangka jika Hanif membantah perintahnya. Selama ini, Hanif selalu mengabulkan segala perintah ibu Ros. Tapi sekarang, dengan berani Hanif menolak?"Berani sekali kamu nolak perintah Mama, Hanif?" sentak ibu Ros masih tak terima dengan jawaban Hanif. "Ma, kalau Mama minta uang, minta ini dan itu, aku pasti kabulin. Tapi kalau minta aku nikah lagi atau ceraikan Nida, aku minta maaf, Ma. Aku enggak akan pernah mengabulkannya!" Hanif masih dalam pendiriannya. Tidak akan pernah menceraikan Nida walau ibu Ros sendiri yang mendesak. "Hanif, Nida udah izinin kamu. Dia izinin kamu nikah tapi---""Tapi, aku harus menceraikannya dulu 'kan?" sela Hanif sebelum ibu Ros menyelesaikan ucapannya. "Enggak, Ma. Aku enggak akan menceraikannya."Tanpa berkata apa-apa lagi, Hanif beranjak, meninggalkan wanita yang telah melahirkannya. Ia tak mau berdebat lebih lama lagi. Hanif takut semakin tersulut emosi. Walau bagaimana pun, ibu Ros adal
"Maaf, Tante. Teleponnya nanti lagi, ya? Guruku udah datang. Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam."Untung saja guru Kimia datang ke kelas Alea. Kalau tidak? Alea bingung menjawab pertanyaan Nida. Usai menelepon Alea, Nida bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Setelah menemani Shella bertemu dengan klien, Nida berencana akan ke sekolah si kembar. Ingin memastikan apakah Axel masuk sekolah atau tidak? Biar bagaimana pun, Nida lah yang memberitahu tentang kebenaran kedua orang tua Axel dan Alea. Hingga akhirnya sekarang Axel kabur dari rumah. Tiba-tiba Nida teringat Bianca. Apa Bianca akan marah padanya? Tadi sewaktu melewati ruangan Bianca, tampak sepi. Apa mungkin Bianca tidak masuk kantor?*** "Hanif, kamu udah pulang, Nak?" tanya ibu Ros ketika anak kandungnya berdiri di depan pintu rumah. Ia mencium punggung tangan ibu Ros meski sempat kecewa dengan wanita yang telah melahirkannya itu. "Udah, Ma. Aku mau ke kamar dulu," seloroh Hanif yang berusaha menghindar ibu Ros. Ia takut kala
Semenjak kejadian kemarin, rumah Bragastara terasa sepi. Tidak ada lagi keributan antara Axel dan Alea. Bianca tak sanggup jika di rumah terus, mengingat kemarahan Axel padanya. Axel yang selama ini dianggap adik sendiri, kini amat sangat kecewa padanya. "Kamu mau ke kantor?" tanya Evan setelah mengenakan jas. Evan pun sudah memutuskan berangkat ke kantor meski kondisi kesehatannya belum terlalu pulih. "Iya. Aku mau ke kantor saja. Di rumah sepi. Enggak ada anak-anak." Jawaban Bianca membuat kedua pundak Evan menurun. "Bi, berhentilah menganggap mereka anakmu. Axel dan Alea itu adik-adikmu," tandas Evan, sangat kesal setiap kali Bianca ingin dianggap orang tua oleh mereka. "Apa salahnya kalau aku ingin dianggap mamanya? Apa ada yang salah?" tuntut Bianca menatap penuh emosi suaminya. "Enggak salah kalau dari awal kamu bilang yang sebenarnya, Bi ... sekarang lihat mereka. Akibat keputusanmu, Axel membencimu. Apa kamu enggak sadar juga?"Emosi dalam diri Evan sudah tidak dapat dik
"Udah gila ibunya si Hanif. Enak bener dia bilang gitu. Terus kamu bilang apa? Ngizinin Hanif nikah lagi? Mau kamu dipoligami?"Shella tersulut emosi. Sejak dulu, Shella sudah sangat geram melihat tingkah laku keluarga Hanif. Mereka semua benalu dan penjilat. Sering kali meminta uang pada Nida. "Enggaklah, Ma. Aku minta diceraikan kalau Mas Hanif mau poligami. Aku sadar diri, bukan wanita yang ikhlas dan penyabar. Enggak sanggup kalau harus berbagi suami dengan wanita lain." Masih dengan sikap santai, Nida menjawab pertanyaan ibu sambungnya. Shella begitu miris mendengar cerita yang disampaikan Nida. Kasihan Nida. Semasa hidupnya selalu saja ada masalah yang dihadapi."Tapi, Nida ... Kayaknya Hanif enggak mungkin menceraikanmu. Dia sangat mencintaimu. Mama yakin itu."Sebisa mungkin, Shella menghibur Nida. Dibalik sikap tenang dan santainya, Shella yakin sebetulnya Nida pun bersedih. Nida tersenyum miring mendengar tanggapan Shella. "Kalau mamanya yang minta, ada kemungkinan Mas H
"Sudahlah, Ma. Jangan ngomong macam-macam. Aku enggak mungkin menceraikan dia!"Senyum yang sebelumnya terlihat di wajah ibu Ros, seketika lenyap. "Hanif, mau sampai kapan kamu enggak punya anak? Dia itu mandul! Keturunan mandul, Hanif!"Ibu Ros tersulut emosi. Tak menyangka jika anak sulungnya berani melawan perintah padahal sebelumnya tidak pernah."Aku enggak peduli, Ma. Nida mandul atau tidak, aku enggak akan ceraikan dia. Aku sayang Nida, Maaaa ... aku cinta dia ...."Memang, Hanif begitu mencintai Nida. Sejak dulu hingga sekarang cintanya tak pernah berubah. "Halah, cinta, sayang! Kamu itu buta, Hanif! Umurmu udah tua. Tapi, sampai sekarang belum juga punya anak. Kalau kamu udah tua nanti, udah enggak bisa beraktivitas lagi, siapa yang akan menyayangimu? Kamu lihat, Nida. Dia masih muda. Mama yakin, kalau kamu udah sakit-sakitan pasti dia ninggalin kamu! Kalau dia ninggalin kamu, kamu mau sama siapa? Anak enggak punya!"Hanif memejamkan kedua mata, memijat pelipis. Tidak perna
"Apa hubungannya?" Bukannya menjawab, Axel justru balik tanya. Alea manyun, memukul bahu kakaknya. "Pulang ke rumah lagi, Kak. Kasihan mama tau! Nangis terus." Alea mengingat kembali kesedihan yang dialami Bianca. Axel bersikap santai, pandangannya lurus ke depan. "Aku masuk kelas dulu!" Tanpa menanggapi ucapan adiknya, Axel masuk ke dalam kelas. Alea benar-benar dibuat kesal. Rencana mengajak Axel kembali ke rumah gagal lagi. *** "Jam segini baru bangun! Pantas saja asam lambung Hanif sering kumat! Istrinya saja malas menyiapkan sarapan," celetuk ibu Ros saat Nida baru datang ke ruang meja makan. Ibu Ros yang tengah sarapan roti tawar, melirik Nida yang mengacuhkan. "Kamu dengar Mama enggak, Nida?" Sentak ibu Ros. Kedua mata seperti hendak melompat. Amarah terlihat jelas dari raut wajah. "Denger," sahut Nida cuek. Melihat sikap menantunya seperti itu, Ibu Ros semakin marah dan membenci. "Kalau kamu denger, harusnya bangun pagi! Siapin sarapan!" Lagi, Nida te
"Enggak. Mami enggak melakukan kesalahan apapun, Lea. Mami orang yang baik. Namira sahabatku, ibu sambungku yang paling baik bahkan kebaikannya melebihi ibuku sendiri." Bianca langsung menyanggah pertanyaan Alea. Gadis itu tertunduk sesaat, menghela napas berat. "Lalu, kenapa Mama merahasiakan mereka adalah orang tua kandungku?" Pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Alea membuat Bianca tersentak. Kedua matanya membeliak lalu sikap berubah salah tingkah. "Bu-bukan maksud ingin merahasiakan ta-tapi ...."Tak sanggup, Bianca meneruskan kalimat. Teringat kekurangan dalam diri bahwa sebetulnya Bianca tak bisa memberikan keturunan untuk Evan karena ia telah divonis mandul oleh dokter. "Ya udah, Ma. Enggak usah diucapkan kalau memang alasannya akan menyakitiku atau menyakiti hati Mama lagi."Alea mencoba berpikir bijak. Tak ingin wanita yang telah merawatnya penuh kasih sayang itu bersedih dan menangis lagi. "Bukan begitu, Lea. Ma-Mama ....""Kenapa kamu masih saja menyebut diri
Alea terdiam, tidak langsung menanggapi rintihan wanita yang selama ini telah dianggap ibu kandungnya sendiri. "Ma, sudah, Ma ... jangan nangis ya? Seharian ini Mama nangis terus. Nanti Mama sakit ...." ucap Alea berusaha menenangkan Bianca. Istri Evan itu menggelengkan kepala berulang kali. Sekarang Bianca telah menyesal karena telah membohongi kedua adiknya belasan tahun lamanya. Selama ini, Bianca dan Evan selalu menanamkan sifat jujur pada si kembar. Namun, dia sendiri yang tidak jujur pada mereka. Bianca merasa sangat jahat pada Axel dan Alea. Bianca meraih salah satu telapak tangan Alea, menggenggamnya erat. "Alea, maafkan Mama, Nak ... maafin Mama ... Mama udah jahat sama kamu. Udah bohongi kamu dan Axel. Maafin Mama, Lea ...." Sangat sungguh-sungguh Bianca mengucapkan kata maaf. Tampaknya Bianca sangat menyesal dan bersedih karena telah merahasiakan kedua orang tua kandung Axel dan Alea. "Jangan minta maaf terus, Ma ... Aku dan Kak Axel udah maafin Mama. Udah ya, Ma