Nida berangkat lebih dulu, ia menyalami semua orang yang ada di dalam rumah itu termasuk Bi Rusmi. Tidak lama Nida berangkat ke sekolah, giliran Daniel dan Bianca. Bianca lebih dulu masuk ke dalam mobil. Ia melihat gerbang depan rumah yang menjulang tinggi. Ternyata benar, Evan lebih memprioritaskan mamahnya ketimbang dirinya. "Memangnya Evan udah tau kalau mamahnya yang mencvlik Nida?" tanya Daniel ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju meninggalkan halaman luas rumah mereka."Mungkin tau tapi dia mengelak. Enggak percaya gitu."Daniel teringat kekhawatiran Namira tentang hubungan Bianca dan Evan. Ternyata benar kata Namira, kalau masalah ini akan berimbas pada hubungan anak kandungnya dengan Evan. "Kamu jangan melibatkan hubunganmu dengan kej4hatan yang dilakukan Gita pada Nida. Kalian harus tetap baik-baik aja, Bi," timpal Daniel masih berharap kalau Evan dan anak gadisnya berjodoh. Bianca merunduk sejenak, lalu memalingkan wajah ke luar jendela."Kamu udah jatuh cinta sa
"Papah kenapa nyuruh Evan ke kantor sih? Aku kan udah bilang, gak mau dianterin Evan ke kampus," ucap Bianca kesal setelah mematikan sambungan telepon. Bianca cemberut, bibirnya maju beberapa centi."Kamu gak boleh gitu, Bi. Evan anak yang baik. Papah yakin, kalau Evan setia sama kamu, tulus cinta dan sayang sama kamu." Daniel berusaha meyakinkan anak kandungnya. Bianca mencebik, tidak terlalu percaya akan ucapan papahnya. "Papah sok tau. Emang tau dari mana kalau Evan setia dan tulus cinta sama aku?" Bianca tak mudah percaya. Dia memang tidak terlalu ingin dibutakan oleh cinta. Cukup adik papahnya saja yang buta dan gil4 karena cinta. Pengalaman cinta Dania dulu membuat Bianca banyak belajar dan tidak ingin dibudakkan oleh yang namanya cinta. "Bukan sok tau. Dulu, Yuda juga tipikal lelaki yang setia. Dia juga tulus cinta sama Dania."Mendengar penilaian Daniel terhadap Yuda, membuat Bianca tertawa terbahak-bahak. Ia sampai sakit perut menertawakan ucapan papanya. "Papah aneh bange
Maki Bianca menunjukkan rasa tak suka pada Gauri. Daniel lagi-lagi tak bersuara, tak menanggapi ucapan Bianca. Dia membiarkan Bianca bercerita sampai selesai. "Papah tuh harusnya bersyukur banget punya istri kayak Namira. Dia gadis muda, gadis yang masih per4awan yang jatuh cinta dengan tulus pada lelaki yang usianya jauh lebih tua. Namira bisa saja mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Papah. Tapi aneh, cinta emang aneh. Sahabatku itu lebih memilih dinikahi papahku ketimbang dijadikan pacar oleh para cowok-cowok di kampus yang ngantri nunggu cintanya terbalaskan. Aneh banget sumpah!" cerocos Bianca bagai kereta api. Lagi, Daniel hanya diam. Ia hanya menarik napas panjang, berusaha fokus mengemudi, memerhatikan jalan raya. Namun, Bianca tetap tidak mau berhenti. Ia semakin sengaja menceritakan kebaikan-kebaikan Namira supaya Daniel tidak berpikiran ingin balikan lagi dengan Gauri."Tapi, ada yang lebih aneh sih dari Namira. Yang lebih aneh dari Namira itu Papah aku." "Papah?
Sebenarnya Evan yang tersinggung dengan ucapan Bianca. Tetapi, dia tidak bisa berjauhan dengan gadis itu. Evan lebih baik mengalah dari pada tidak ada kabar dari Bianca."Aku udah maafin kamu. Sekarang kamu pulang aja. Temenin mamah kamu belanja atau kemana ke!" kata Bianca membalikkan badan, berjalan cepat, menekan tombol lift. Evan berlari menghampiri Bianca yang sudah masuk ke dalam lift. "Bian, kalau soal itu emang mamahku yang minta, bukan karena aku gak mau nganterin kamu ke pengadilan dan nemenin kamu. Bukan, Bi ...." Evan berusaha tetap lembut. Bianca berulang kali menghela napas agar emosinya tidak meluap-luap. "Ya udah, aku maafin kamu." Bibir Evan tersenyum. Ia berusaha meraih telapak tangan Bianca, namu ditepis. "Jangan ada kontak fisik kalau kita belum nikah," ucap Bianca penuh penekanan tanpa menatap Evan. "Oh, sorry."Mereka berjalan beriringan menuju ruangan Daniel. "Bi, Bian?"Evan menghalangi langkah Bianca. "Apa?" tanya Bianca ketus. "Kita pergi ke suatu tem
"Evan udah berangkat, Mas?" tanya Gita pada Yuda yang belum berangkat ke kantor. "Udah. Aku juga mau berangkat sekarang.""Jangan dulu, Mas. Aku pengen bicara," cegah Gita memegang lengan suaminya. Yuda kembali duduk di tempat semula. "Mau bicara apa?" tanya Yuda pada wanita yang telah melahirkan Evan. "Memangnya benar, kalau pel4ku yang mencvlik Nida udah ditangkap?"Yuda mengerutkan dahi, menatap aneh pada Gita. "Kamu udah tau soal itu?" Semalam Yuda memang belum bercerita tentang kedatangan seorang wanita yang diduga telah menyembunyikan Nida pada istrinya. Yuda hanya mengatakan kalau Gita bukan pel4ku penculikan itu. Semalam tubuh Yuda sangat lelah. Usai mandi, Yuda sudah masuk ke alam mimpi."Udah. Se-semalam Evan bilang, katanya pel4ku yang mencvlik NIda sudah ada di rumah Pak Daniel. Katanya Evan dikasih tau Bianca." Tentu saja ucapan itu bohong. Dari semalam sampai pagi tadi, Evan dan ibunya belum sempat saling berbicara. "Aku gak tau. Mungkin benar, kalau pelakunya udah
Malam hari, keluarga Bragastara berkumpul di ruang keluarga. Daniel yang pulang jam lima sore tadi, memberitahu dirinya akan keluar kota besok pagi. "Mas Ayang, kenapa bukan Om Yuda aja sih yang keluar kota?" protes Namira cemberut. Yang lainnya juga saling pandang. Di ruangan itu selain Daniel dan Namira, ada juga Bianca dan Nida."Enggak bisa, Sayang. Aku harus turun tangan langsung. Kamu tenang aja, insya Allah hanya satu hari di sana. Di sini juga kan ada Bianca dan Nida. Kamu enggak akan kesepian," timpal Daniel berusaha menenangkan hati istrinya. Namira tetap cemberut. Ia kesal, karena Daniel harus bermalam di Surabaya. Sejak menikah, Namira dan Daniel tidak pernah berpisah. "Kalau gitu, aku ikut, ya?" rengek Namira tak peduli di situ ada Bianca atau Nida. Dia tidak mau berpisah lama-lama dengan Daniel."Mamih, jangan ikut sama Papah. Kalau Mamih gak ada di rumah, nanti kami di sini kesepian. Udah deh, Mamih gak usah ikut. Lagi hamil juga," sela Bianca melarang Namira ikut den
"Aku berangkat sekarang. Ingat pesanku, jangan pergi dari rumah lagi dan handphone-mu harus aktif, enggak boleh mati," pesan Yuda pada Gita di depan teras rumah ketika ia hendak berangkat keluar kota. "Iya, Sayang. Aku enggak akan pergi lagi, enggak akan matiin handphone," timpal Gita tersenyum manis. "Pah, Papah mau kemana bawa koper segala?" Tiba-tiba Evan keluar rumah. Mereka memang tidak sempat sarapan bersama. Yuda dan Gita sarapan lebih dulu. Yuda juga tidak sempat memberitahu Evan tentang keberangkatannya ke Surabaya. "Papah kamu dan Pak Daniel mau keluar kota, Van. Kemungkinan besar akan menginap di sana. Pah, kamu gak mau kasih pesan ke Evan?" Gita yang menjawab pertanyaan Evan."Van, Papah dan Pak Daniel mau ke Surabaya. Kemungkinan besar kami menginap. Tolong kamu jagain Mamahmu. Kalau keluar rumah tangan terlalu lama. Kasihan Mamahmu sendirian." Yuda mengerti yang diminta Gita. Evan menoleh pada wanita yang terlihat tenang sambil menggamit lengan sang suami. "Biasanya
Setelah kepergian Daniel dan Yuda keluar kota, Namira duduk di kursi samping rumah sambil memandang kolam berisi ikan-ikan hias. Sebentar lagi, rumah ini akan sepi. Daniel sudah berangkat, Nida juga sudah berangkat keluar kota, mungkin beberapa menit lagi Bianca akan berangkat ke kampus. "Ya Allah, Mih ... aku cari ke sana ke mari, gak taunya ada di sini," celetuk Bianca duduk di kursi samping Namira. Istri Daniel itu menelisik penampilan anak sambungnya. "Kamu mau ke kampus sekarang, Bi?""Iya. Sebentar lagi aku berangkat, lagi nunggu Evan," jawab Bianca menyandarkan punggung ke kursi. Namira menghela napas panjang, pandangannya beralih pada segerombolan ikan-ikan yang berenang di kolam. "Kamu gak bisa bolos dulu?" Pertanyaan Namira sangat pelan. Namun, Bianca bisa mendengar jelas. "Maaf, gak bisa. Aku hari ini ada presentasi. Kalau Mamih bosan di rumah, Mamih jalan-jalan ke Mall. Minta dianter Bi Rusmi atau Bu Fatma." Saran yang disampaikan Bianca tidak membuat Namira bersema
Haifa menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak tahu kemana perginya ibu Ros. "Kalau kata kak Nifa, mungkin mama tinggal di rumah lainnya. Mungkin sebenarnya diam-diam mama punya rumah lain soalnya kan dulu Mbak sering kasih uang ke mama," kata Haifa, teringat ucapan kakak kaduanya. Nida menghela napas berat. "Ya semoga saja. Mama kamu kan udah tua, Fa. Kasihan kalau hidupnya luntang-lantung. Kemarin itu, kata Kak Bianca, mama kamu sempat datang ke kantor, nyariin Mbak. Cuma kak Bian enggak kasih alamat tempat proyek kerjaku. Aku sekarang kerja di dalam kantor dan di lapangan," ujar Nida mengingat cerita yang disampaikan Bianca kemarin sore saat ia pulang dari proyek."Mungkin aja, Mbak. Soalnya kemarin itu mama dan mbak Nifa sempat bertengkar hebat. Mereka adu mulut bahkan kata Mbak Nifa, dia sampai mengobrak-abrik pakaian mama di lemari."Gerakan tangan Nida yang hendak menyuap roti tawar terhenti. Menatap lekat mantan adik iparnya. "Obrak-abrik pakaian mama? Mau ngapain?" tanya N
Pagi hari, Rina terkejut dengan anak kecil yang keluar dari kamar tamu. "Hei, kamu siapa, tampan? Mau cari siapa?" tanya Rina pada Rafa yang berdiri di dinding pembatas dapur dan ruang makan. Tina yang sedang mencuci piring menoleh pada anaknya. Rina membungkukkan badan di depan anak berusia sekitar lima tahunan. "Aku lapel, Ante ...." Jawaban bocah yang masih cadel itu membuat Tina dan Rina tersenyum. Rina dengan penuh kasih sayang menggendong Rafa, mendudukkan di atas kursi dapur. "Bu, apakah anak ini anaknya Mbak Haifa yang semalam Ibu ceritain?" tanya Rina setengah berbisik pada wanita yang telah melahirkannya. "Iya, Nak. Kamu buatin dia susu dulu. Ibu mau masak buat sarapannya.""Iya, Bu. Sebentar ya, Adek. Ante bikinin susu yang enaaakk sekali. Adek mau?"Dengan cepat, Rafasya menganggukkan kepala. "Mau, Ante."Walaupun baru mengenal dan bertemu dengan Rafasya tapi Rina sangat mudah membuat anak kecil itu merasa nyaman di dekatnya. ""Ya Tuhan, Rafa! Mama kira kamu kemana?"
"Maksud Friska bukan ngejadiin kamu pembantu, Nifa," ralat Hanif, khawatir kemarahan adiknya itu meledak malam-malam. Walau sebetulnya maksud Friska memang demikian. Sampai jam sebelas malam Hanif tak bisa tidur karena memikirkan pesan Friska untuk Hanifa. "Bukan jadi pembantu gimana?" tentang Hanifa melipat kedua tangan di depan dada. "Udah jelas, dia nyuruh aku bantuin Mbok Tarmi masak dan beres-beres rumah. Kalau bukan pembantu terus apa? Asisten rumah tangga? Sama aja, Mas!" tukas Hanifa sengit. Hanif panik dengan intonasi suara Hanifa yang meninggi. Dia menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya agar Hanifa dapat bicara pelan, tidak berisik. Sesekali Hanif melongok ke atas, memastikan jika istrinya tidak keluar kamar. "Bicaramu pelan aja, Nifa. Nanti kalau Friska bangun, bisa ribut tengah malam," tegur Hanif pada adik pertamanya. Muka Hanifa melengos ke arah lain. Ia benar-benar tak suka dengan Friska yang sombong itu. "Masih untung, Friska mau menerimamu tinggal di rumah i
"Mbak, tadi aku bilang ke mas Rangga kalau kami akan menunggunya di halte. Duh, Mbak. Gimana kalau dia ....""Astaghfirullahalazhim, Haifa," sela Nida saat adik kandung Hanif itu masih saja mencemaskan suami yang sudah berulang kali mengkhianati cintanya. "Haifa, kamu masih mencemaskan laki-laki itu? Bukankah dia udah berulang kali selingkuh?"Sungguh, Nida tak habis pikir pada Haifa. Dia tahu betul kalau Rangga sudah berulang kali berselingkuh bahkan ada yang sudah punya anak. Namun, Haifa benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Rangga. "Maaf, Mbak. Kata mas Rangga, dia mau berubah." Suara Haifa terdengar pelan, namun masih bisa terdengar di telinga Nida. Nida memijat pelipis. Ia baru satu kali diselingkuhi Hanif saja, sangat jijik jika harus menjalin rumah tangga lagi. Ini Haifa, sudah berulang kali bahkan Rangga terang-terangan telah menghamili wanita lain. "Berubah apanya? Kamu tau enggak, sekarang suamimu ada di mana?" tanya Nida menoleh sekilas pada adik Hanif itu. Ya sebetu
Hati Haifa begitu sakit, ditelantarkan oleh kakak kandungnya sendiri. Padahal saat ini selain sang suami, Hanifa-lah yang dijadikan Haifa bergantung. Mendengar pertanyaan anaknya, Haifa agak berjongkok, membelai wajah Rafasya. "Nak, kita akan tinggal di tempat baru. Kita tunggu papa datang dulu, ya? Sekarang kita duduk di situ." Haifa mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi panjang halte bus. Ia berusaha menahan air mata. Tidak ada tempat baginya untuk berlindung selain pada Rangga. Haifa mencoba menghubungi lelaki yang tengah asik minum-minuman bersama wanita lain. Gelak tawa Rangga terhenti mendengar handphone-nya kembali berdering. Lelaki tukang selingkuh itu memberi isyarat pada dua wanita paenghibur agar tidak bersuara. Suara musik juga di-mute. "Udah dapat tempat tinggal yang baru?" tanya Rangga tanpa basa-basi. Haifa merunduk, menghela napas berat, berusaha tetap tegar. "Be-belum. Mas, bisa enggak ke sini dulu? Aku dan Rafa di halte dekat lokasi proyek. Nanti aku share
"Mbak, emangnya Mbak jarang setor ke Bank?" cecar Haifa yang berjalan di belakang kakaknya. "Enggak. Mbak kan enggak ada uang, Fa.""Tapi, kan ... tiap bulan Mbak Nida kasih kita uang, Mbak. Baru bulan ini dia enggak kasih uang. Harusnya uang dari Mbak Nida sebagian buat setor ke Bank. Kenapa sih Mbak ceroboh banget? Udah begini, kita mau tinggal di mana, Mbak?""Diam!" sentak Hanifa tak terima diingatkan adiknya. Haifa terkejut, menelan saliva. Tubuhnya seketika menegang. "Jangan banyak omong. Sekarang cepat kemasi pakaianmu! Kita harus pergi dari sini.""Ma, kita pergi kemana?"Pertanyaan anaknya tak dihiraukan Hanifa. Anak kedua ibu Ros itu tampak kebingungan. Hanifa masuk ke dalam kamar, begitu pula Haifa. Mereka bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper. Hampir lima belas menit, kakak beradik serta anak-anaknya keluar rumah. Membawa dua koper. Satu koper berisi pakaiannya dan satu koper lagi berisi pakaian anak-anak. Langkah kaki Haifa terhenti. Ia berbelok masuk ke dalam kamar
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be