Sampai malam hari, Gauri selalu terbayang-bayang seraut wajah tampan Daniel yang baru dijumpainya setelah bertahun-tahun lamanya berpisah. Rasa rindu yang sebelumnya sempat hilang, kini justru hadir kembali, memenuhi benak seorang wanita yang duduk di atas kursi roda. "Bu, Ibu belum tidur?" sapaan Ferry tak dihiraukan Gauri. Sedari tadi, Wanita itu sengaja membuka jendela kamarnya, memandang langit yang ditaburi bintang, bibirnya melengkung senyum, mengingat masa lalu bersama lelaki bernama Daniel Bragastara. "Bu, Ibu?" Ferry menggoyangkan lengan Gauri. Wanita itu tersentak kaget, kedua matanya membeliak karena terkejut. "Eh, kamu, Nak. Ngagetin Ibu saja. Ada apa?" tanya Gauri mengelus d4danya. Ferry menggelengkan kepala, duduk di ujung meja yang dekat jendela kamar Gauri. "Udah jam sembilan malam, kenapa Ibu belum tidur? Ini juga jendela, kenapa pula dibuka?" Ferry menutup jendela kamar ibunya, mengunci. Lalu, mendorong kursi roda Gauri, memapah, berbaring di atas tempat tidur.
Pagi hari, Daniel dan Namira masih berada di bawah selimut. Mereka seolah enggan beranjak dari tempat tidur. Setelah salat Subuh berjamaah, mereka melakukan hubungan yang dipenuhi pahala. "Mas Ayang, udah jam setengah tujuh. Enggak mau mandi?" tanya Namira yang kepalanya diletakkan di atas d4da bidang Daniel. Lelaki itu masih memejamkan kedua mata, mengatur napasnya perlahan-lahan. "Nanti aja, Sayang. Aku masih capek."Namira mengulum senyum, memeluk erat tubuh suaminya. Seperti ini, keduanya merasakan kenyamanan yang sebelumnya mereka rasakan. Namira juga sebenarnya malas beranjak. Dia ingin seharian penuh seperti ini saja dengan Daniel. "Ya Allah, Mas Ayang! bukannya nanti jam sembilanan ada sidang kasus tante Hesti?" pekik Namira yang baru ingat. Kedua mata Daniel langsung terbuka. Ia sampai lupa padahal kemarin sudah mengingatkan Bianca berulang kali kalau hari ini persidangan kasus Hesti pertama kalinya. "Ya Allah, aku lupa. Sayang, aku harus mandi sekarang. Kamu mau bareng a
"Dih, Papah! Kok gitu sih? Terus nanti aku harus gimana?" Bianca langsung protes saat mendengar Daniel tidak bisa menemaninya di kantor pengadilan. "Mas Ayang, emang kerjaannya gak bisa dibawa ke rumah?" Kali ini, wanita yang duduk di sebelah Daniel ikut protes. Dia merasa kasihan pada Bianca jika Daniel tak bisa menemaninya. Daniel menelan saliva, ia benar-benar bingung. Daniel hanya ingin menghindari seseorang. Aneh sekali, kenapa pula Gauri mau datang ke acara persidangan bukannya berobat ke rumah sakit? "Sayang, Bianca, aku juga maunya menemani Bianca di sana. Tapi, baru saja ada pesan dari Yuda. Menyuruhku ke kantor. Please, Bianca ... kali ini ngertiin Papah."Bianca bersidekap, pandangannya keluar jendela. Namira melongok ke belakang, raut wajah Bianca terlihat sangat masam. Setelah itu, Bianca maupun Namira tak bisa protes lagi. Mereka tidak ada yang bicara sampai halaman kantor pengadilan. "Mas Ayang, kalau udah kelar kerjaannya, tolong ke sini, ya? Kasihan Bianca ...." N
Namira memegang lengan Bianca agar tidak membuat keributan di tempat ini. Namun, Bianca mengabaikan. Berjalan cepat menghampiri Hesti. Dia tidak terima kalau papahnya dikatakan brengs3k oleh wanita yang selama ini tidak peduli padanya. "Papahku bukan orang br3ngsek. Kalau kamu enggak memanfaatkan namaku untuk meminjam uang di Bank tanpa dibayar angsurannya, papahku enggak akan memenjarakanmu. Kalau kamu enggak mengancam kedua orang tua Evan, enggak mungkin papahku melaporkan kej4hatanmu. Justru Papahku terlalu sabar ngadepin wanita macam kamu!"Memang sangat tidak sopan, Bianca berbicara seperti itu pada ibu kandungnya. Tetapi, Bianca tidak suka ada orang yang menjelek-jelekkan papahnya. "Kurang aj4r kamu, Bianca. Aku ini Ibumu, Bian. Aku yang mengandung dan me--""Melahirkanku?" Sorot mata Bianca begitu tajam. Ia sangat tidak terima papanya dibilang br3ngsek sama Hesti. "Kamu cuma mengandung dan melahirkanku saja. Tapi, Papahku? Papah yang merawat dan menjagaku selama ini. Papahku
Bianca sangat puas memperingatkan Gauri. Dia tidak suka ada wanita yang seolah mencari perhatian pada papanya. Hanya Namira yang pantas mendapatkan perhatian dari Daniel. Wanita lain tidak boleh. "Oh, kamu istrinya Daniel saya pikir... Sahabatnya Bianca," timpal Gauri membuat Bianca kembali menoleh. Sorot matanya sangat tajam. "Aku memang sahabat Bianca tapi aku juga istri papa sahabatku," jawab Namira tersenyum manis padahal Bianca sudah bersiap-siap mau menanggapi perkataan Gauri. "Oh iya. Tapi kok ... Kamu mau sama Daniel? Usia kalian kan terpaut jauh?" Kedua mata Bianca membeliak mendengar pertanyaan Gauri yang menurutnya tidak pantas. "Hei, kamu tuh ya? Enggak ada yang suruh kamu datang ke sini, gak ada yang suruh kamu tanya ini itu, please deh ... kami tuh lagi ada masalah. Kalau kamu ke sini cuma nanyain yang gak penting, lebih baik kamu keluar dari ruangan ini. Jangan pikir aku gak tau akal bulusmu. Kamu ingin jadi istri papahku? Iya? Jangan ngimpi. Udah deh, mending kamu
Zovan mengantar Namira dan Bianca sampai rumah. "Pak Zo, terima kasih banyak udah nganterin aku sama mamih," ucap Bianca tersenyum manis. "Iya, Bian. Sama-sama. Jangan lupa, Minggu depan ada sidang lanjutan." Zovan mengingatkan perihal sidang Hesti. "Iya, siap.""Pak Zo, terima kasih banyak." Namira juga yang berucap. "Iya, Bu. Sama-sama." Zovan yang sudah lama mengenal keluarga Bragastara mengulas senyum. Setelah memastikan Bianca dan Namira masuk ke dalam rumahnya dengan aman, Zovan melanjutkan perjalanan hendak ke kantor Daniel, memberitahukan hasil mediasi dan persidangan tadi. ***"Bi, tadi kenapa kamu gak mau mediasi aja sih? Kasihan tante Hesti tau," celetuk Namira ketika mereka memasuki rumah. Bianca memanyunkan bibir, menarik napas panjang. "Kamu mah kasihan terus. Kalau sama orang yang baik, enggak masalah kamu merasa kasihan. Kalau sama orang yang j4hat, ya mesti diberi hukuman atas kej4hatan yang dia lakukan apalagi mamahku orangnya gak sadar-sadar. Udah tau salah,
Daniel masih berkutat di dalam ruangan. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya supaya tidak selalu merepotkan Yuda dan Shella. Dua orang itu yang kerap kali membantu Daniel menyelesaikan pekerjaannya. Suara pintu diketuk membuat gerakan tangan Daniel di atas tuts keyboard terhenti. "Masuk!" titah Daniel menunggu siapa yang datang ke ruangan. Rupanya Yuda. "Ada apa, Yud?" tanya Daniel ketika lelaki itu melangkahkan kaki ke dalam ruangan, lalu duduk di kursi yang bersebrangan dengan Daniel. "Hm ... saya mau bicara masalah Gita." Jawaban Yuda membuat dahi Daniel mengkerut. Menghela napas panjang, lalu berusaha tetap tenang. Sebenarnya Daniel tidak ingin membahas masalah ini dengan Yuda. Pikiran Daniel sedang semraut tetapi melihat eksperesi wajah Yuda, Daniel tak tega menolak ajakan Yuda membicarakan persoalan Gita. "Ada apa dengan istrimu? Apa dia tetap enggak ngaku?" telisik Daniel sambil menerka. Lelaki itu bersandar di kursi kebesaran, memutar ke kanan dan ke kiri perlahan. "Iy
Sepanjang jalan, Gita berusaha keras agar tidak kehilangan mobil yang ditumpangi Bu Fatma. Sampai akhirnya, kendaraan itu memasuki pom bensin. Senyum Gita merekah. Dia sudah tidak sabar ingin membawa pergi Ibu Fatma. Dengan tenang, Gita pun mengantri di deretan mobil yang menunggu giliran. Beberapa menit berlalu, kedua mata Gita melihat Bu Fatma keluar dari mobil, berjalan ke arah toilet. Gita mengeluarkan mobilnya dari antrian. Ia menepikan mobil di dekat minimarket yang ada di pom bensin. Dengan gerakan cepat, Gita turun dari mobil, kemudian berjalan masuk ke dalam toilet, menelisik pintu toilet yang ada tiga. Dengan sabar, Gita menunggu Ibu Fatma keluar dari salah satu bilik toilet. "Bu Fatma!" Sebuah panggilan membuat Bu Fatma tersentak. Wanita tua itu terkejut, ia hendak masuk ke dalam toilet lagi namun lengannya dicekal kuat Gita. "Mau kemana kamu? Ayok, ikut denganku!" sentak Gita, mencekal kuat lengan Bu Fatma, menarik wanita itu agar masuk ke dalam mobilnya. Bu Fatma hen
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be
"Ya udah, kamu coba aja telepon mbak Nida. Selama ini kan dia selalu kasih pinjaman walaupun kita enggak pernah bayar," titah Tedi, suami Hanifa. Namun, Hanifa tampak berpikir. Tidak mungkin ia menghubungi Nida malam ini."Mas, besok pagi aja, ya? Soalnya sekarang udah malam. Takut nanti enggak diangkat teleponnya," kilah Hanifa beralasan tak enak hati padahal ia tak mau kalau suaminya tahu jumlah uang yang akan diberikan Nida. "Memangnya besok kamu punya uang? Aku enggak punya uang lagi. Di kantor aja aku minta traktir makan teman terus."Sungguh bohong. Mana ada teman yang mau traktir orang hampir tiap hari? Sebetulnya Tedi punya uang tapi ia akan gunakan untuk berjudi lagi. Lelaki itu masih penasaran dapat menang banyak. "Beruntung kamu, Mas. Punya teman yang baik, yang mau traktir kamu tiap hari," kata Hanifa menimpali kebohongan sang suami. "Emang mamamu enggak punya uang lagi? Biasanya dia banyak uangnya."Setahu Tedi, Hanifa dan Haifa selalu minta uang pada ibu Ros. "Sekara
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap
Sepanjang jalan pulang, Axel cemberut. Kesal pada adiknya dan Arfan. Bisa-bisanya mereka menguping pembicaraan Axel di depan pusara Daniel dan Namira. Alea sekarang satu mobil dengan Axel. Sedangkan Arfan, pulang sendirian padahal lelaki itu berharap bisa mengantar Alea pulang sampai rumah supaya lebih lama bersama. "Kak?" panggil Alea, menatap Axel dari samping. Namun, Axel bergeming. "Kak Axel?" Alea mengulang pertanyaan karena wajah Axel masih masam. "Kak Axeeeell!" teriak Alea tepat di depan telinga kakaknya. Axel langsung menancap rem mendadak. "Astaghfirullah, Lea!" pekik Axel melotot. Lalu menoleh ke belakang, khawatir ada mobil di belakang yang dekat dengan mobilnya. "Kamu udah gila, Lea! Teriak di depan telinga. Kalau kita kecelakaan gimana?" semprot Axel kesal, melajukan kembali kendaraannya. "Ya habisnya ditanya dieeeemm ... aja. Cemberuuutt aja. Kayak cewek lagi dateng bulan. Kalau ditanya jawab napa!"Bukannya minta maaf, Alea justru memarahi Axel. "Mau tanya apa em