Sepanjang jalan, Gita berusaha keras agar tidak kehilangan mobil yang ditumpangi Bu Fatma. Sampai akhirnya, kendaraan itu memasuki pom bensin. Senyum Gita merekah. Dia sudah tidak sabar ingin membawa pergi Ibu Fatma. Dengan tenang, Gita pun mengantri di deretan mobil yang menunggu giliran. Beberapa menit berlalu, kedua mata Gita melihat Bu Fatma keluar dari mobil, berjalan ke arah toilet. Gita mengeluarkan mobilnya dari antrian. Ia menepikan mobil di dekat minimarket yang ada di pom bensin. Dengan gerakan cepat, Gita turun dari mobil, kemudian berjalan masuk ke dalam toilet, menelisik pintu toilet yang ada tiga. Dengan sabar, Gita menunggu Ibu Fatma keluar dari salah satu bilik toilet. "Bu Fatma!" Sebuah panggilan membuat Bu Fatma tersentak. Wanita tua itu terkejut, ia hendak masuk ke dalam toilet lagi namun lengannya dicekal kuat Gita. "Mau kemana kamu? Ayok, ikut denganku!" sentak Gita, mencekal kuat lengan Bu Fatma, menarik wanita itu agar masuk ke dalam mobilnya. Bu Fatma hen
“Bukan saya yang kasih tau Nida, Bu ... bukan saya ... justru saya yang dianggap pelaku p3nculik Nida sama pak Daniel. Makanya s-saya dijemput sama supirnya. Kata pak Daniel, kalau saya gak mau ikut sama supirnya, po-polisi yang jemput saya, Bu Gita ....”Terpaksa, terpaksa Bu Fatma mengarang cerita demi keselamatan dirinya. Lewat kaca spion mobil, Bu Fatma melihat ekspresi wajah Gita yang menyeringai. “Kamu gak bohong?”“Enggak, Bu. Da-daripada saya m4ti, lebih baik saya di penj4ra saja, Bu. Saya ma-masih ingin hidup,” jawab Bu Fatma sebisa mungkin membuat Gita percaya padanya. “Hahaahah ... udah tua, masih ingin hidup. Tapi, baguslah kalau Pak Daniel curiga padamu. Ya udah, kalau gitu lebih baik aku kembalikan kamu ke supir pak Daniel. Hahahaha ....” Gita sudah dapat dibohongi Bu Fatma.“Enggak apa-apa, Bu. Balikin saya ke supir pak Daniel, dari pada Ibu Gita bvnuh, saya gak mau ... saya pengen hidup ....”“Oke, oke ... aku akan balikin kamu ke si supir itu.” Gita memutar balik m
Kedua mata Bu Fatma membeliak. Antara percaya dan tidak percaya. Kalau memang benar, Nida ada bersama keluarga Daniel, berati tadi Gita berbohong. Hampir saja Bu Fatma terperangkap dalam kebohongan wanita itu. "Alhamdulillah ya Allah ... Nida, Ibu pengen ngobrol sama Pak Daniel. Tolong teleponnya berikan pada Pak Daniel, Nak.” “Hallo, Bu Fatma?” sapa Daniel dari ujung telepon. “Pak Daniel, apa ini dengan pak Daniel?”Bu Fatma memastikan. Dia takut kalau itu adalah orang lain. Bu Fatma mesti hati-hati. “Iya, Bu. Saya Daniel Bragastara. Om nya Nida. Ibu, Ibu tadi dari mana sampai Pak Joko nyariin di pom bensin?”Bu Fatma menghela napas berat. Ia jadi merasa bersalah pada Pak Joko. Tetapi, itu juga bukan keinginannya. Untung saja, Bu Fatma punya ide meski ide itu penuh kebohongan. Terpenting, sekarang Ibu Fatma dan Nida tidak bersama Gita. “Mohon maaf, Pak ... Bukan saya mau melarikan diri tapi tadi di toilet pom bensin, ada Ibu Gita. Dia yang memaksa saya masuk ke dalam mobilnya.”
"Bagaimana nanti aja. Om cuma pengen, Gita mengakui kesalahannya. Kalau dia tetap bersikukuh enggak mau mengakui kej4hatan yang pernah diperbuat, Om gak akan tinggal diam. Akan membawa kasus ini ke jalur hukum."Bianca menghela napas berat. Belum kelar permasalahan hukum Hesti, sekarang mau ditambah dengan kasus hukum Gita. Ibu kandung Bianca dan ibu kandung Evan, sama-sama terjerat kasus hukum pada keluarga Bragastara. Ketiga wanita itu terdiam. Mereka tahu, keputusan Daniel tidak bisa diganggu gugat. "Aku mau telepon Yuda dulu," kata Daniel beranjak pergi. Bianca yang duduk di antara Namira dan Nida, mendapat pelukan dari mereka berdua. "Bi, kamu jangan sedih. Insya Allah, masalah ini enggak akan berimbas pada hubunganmu dengan Evan. Jangan sedih, ya?" ucap Namira berusaha menghibur hati anak sambungnya. "Iya, Kak. Semoga aja, tante Gita mau mengakui kesalahannya.""Aaamiin."*** Daniel masuk ke dalam ruang kerja. Saat ini, ia ingin menghindari tiga wanita itu. Tidak ingin gar
"Aku lagi gak mau diganggu. Kenapa? Kamu cerita sesuatu?" Bianca balik bertanya. Bianca ingin mendengar cerita Evan tentang mamahnya. Apakah Gita mengelak di depan Evan kalau dirinya mengaku dirinya yang mencvlik Nida? Atau justru sebaliknya? "Kamu aja yang cerita. Tadi gimana di pengadilan? Semuanya lancar?" tanya Evan yang sebisa mungkin tidak mau bercerita tentang wanita yang telah melahirkannya. "Alhamdulillah lancar. Tadi baru mediasi, Minggu depan baru sidang lanjutan," jawab Bianca agak malas bercerita. Evan menghela napas lega. Ia kemudian kembali bertanya, "Insya Allah sidang lanjutan nanti, aku usahakan datang menemanimu, Bi." Bianca tersenyum sinis, ia tak ingin kena bujuk rayu Evan. Mau Evan datang atau tidak, Bianca akan bersikap bodo amat. "Enggak perlu kamu repot-repot datang ke persidangan kasus mamah Hesti, Van. Kamu datang ke persidanganmya nanti saja, kalau kasus persidangan ibu kandungmu sudah digelar," sindir Bianca pada Evan yang tadi pagi tidak mau m
Nida sangat terharu mendengar ucapan Bianca. Ia memeluk tubuh anak gadis Daniel itu. "Makasih, Kak ... aku terharu banget. Aku sangat bersyukur punya keluarga yang sangat sayang dan peduli padaku. Kak, aku gak apa-apa."Bianca membalas pelukan Nida. "Udah seharusnya aku kayak gini. Sebelumnya emang, aku takut sekali kedatanganmu ke rumah ini akan membuat hubunganku dan Evan hancur, karena kamu anak Om Yuda dari tante Dania. Tapi, setelah aku pikir-pikir lagi, kalau aku lebih mengutamakan Evan yang belum tentu jadi jodohku, kok rasanya rugi. Sedangkan kamu, kamu udah jelas saudaraku. Ada darahku dalam darahmu. ada darahmu dalam darahku. Pokoknya Nida ...." Bianca melepaskan pelukan Nida, memegang kedua bahu gadis yang baru duduk di bangku kelas 3 SMA. "Kalau ada orang yang berusaha nyakitin kamu, kamu harus kasih tau aku. Mau itu teman di sekolah, orang di luar sana atau tante Gita sekalipun, kamu harus bilang sama aku. Oke?"Nida menganggukkan kepala, tersenyum bahagia. Seumur hidu
Gita sudah sampai di rumah tepat tengah malam. Tubuh wanita itu sangat lelah. Seharian bepergian. Pagi hari, dia belanja bulanan bersama anak kandungnya. Pulang belanja, dia kedatangan tamu Daniel. Gita tak menyangka pada akhirnya Daniel menduga kalau dirinya yang mencvlik Nida selama ini. Setelah itu, Gita pergi keluar kota, ingin menemui Ibu Fatma namun ternyata kabar baik ia dapatkan. Menurut Bu Fatma, dialah yang dijadikan pelaku pencvlikan Nida selama ini. Gita sangat bersyukur karena sekarang dia bisa menghirup napas lega apalagi Bu Fatma sendiri yang bilang, lebih baik dirinya di penjara dari pada dibvnuh Gita. "Mamah? Mamah dari mana aja, Mah? Papah dari pulang kantor sampai sekarang lagi nyariin Mamah?" cecar Evan dengan beberapa pertanyaan saat mendengar suara bel, lalu membuka pintu depan rumah. Sedari tadi, Evan memang belum tidur. Pikirannya sangat kalut dan tak menentu. Ia kepikiran ucapan Bianca. Ia juga mencemaskan keadaan wanita yang telah melahirkannya. "Jangan ban
Daniel mengulum senyum, menarik tubuh istrinya dalam pelukan. Usia Daniel sudah tua, tidak seperti Namira. Kemungkinan besar, mungkin Daniel yang akan lebih dulu meninggal dunia. Tetapi, jatah usia seseorang tidak juga dipastikan karena usia yang sudah tua atau usia yang masih muda bukan?"Aamiin. Kelak, kalau aku m4ti duluan, kamu harus nikah lagi. Cari suami yang enggak cuma mau terima kamu tapi cari suami yang mau menerima anak kita juga."Hati Namira sangat bersedih mendengar saran yang dikatakan suaminya. Dalam benaknya, Namira tak ada selintas pun dalam pikirannya akan menikah lagi jika Daniel lebih dulu meninggalkan dunia ini. "Kalau aku yang m4ti duluan, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Namira menatap lekat lelaki yang dicintainya. Daniel terkekeh mendengar pertanyaan Namira. "Enggak mungkin, Sayang. Siapa pula yang mau sama aku. Aku ini udah tua, gak ada wanita yang mau sama aku," ujar Daniel menangkupkan kedua tangan di wajah sang istri. "Kata siapa gak ada yang mau? T
"Enggak ...." Tentu saja ibu Ros berkilah akan tuduhan Bianca. "Enggak minta uang. Tante juga tau diri, Bianca. Sekarang kan Nida bukan menantu Tante lagi," sambung ibu Ros tersenyum kaku. Bianca tak sepenuhnya percaya. Dulu, Nida pernah bercerita jika mertuanya selalu minta uang. "Masa? Sukurlah kalau Tante tau diri. Lah terus, ngapain Tante pengen ketemu sama Nida?" Bianca penasaran. Bertanya lagi tentang alasan ibu Ros yang tiba-tiba datang ke kantor. Ibu Ros sempat salah tingkah namun ia berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat gugup di depan Bianca yang tak lain saudara Nida. "Tante pengen ketemu dia mau nanyain kapan jadwal sidang perceraiannya. Tante mau datang," ujar ibu Ros tersenyum kaku. "Kenapa nanyainnya ke Nida? Kenapa enggak tanya sama anak Tante yang tukang selingkuh itu?" sindir Bianca yang tak ingin pergi meninggalkan ibu Ros. Dari dulu, Bianca tak suka dengan wanita yang telah melahirkan Hanif. Bianca masih ingat betul saat dirinya berkunjung ke rumah Nid
"Apa? Mama enggak punya uang? Aku enggak percaya!" tandas Hanifa pada wanita yang telah melahirkannya. Ibu Ros tampak tak peduli, apakah Hanifa akan percaya padanya atau tidak? Ia juga tidak mau dipusingkan dengan urusan kebutuhan rumah tangga kedua anaknya. Selama ini, ibu Ros memang terlalu memanjakan Hanifa dan Haifa. Membiarkan mereka tinggal satu atap tanpa menyuruh suami-suami mereka mencari tempat tinggal lainnya. "Kalau kamu enggak percaya, ya sudah. Mama juga enggak maksa kamu buat percaya pada Mama," kata ibu Ros berusaha bersikap sesantai mungkin. Mendengar ucapan sang mama, Hanifa semakin emosi dan geram. Ia lantas membuka kembali lemari pakaian ibu Ros. Mengobrak-abrik pakaian yang sudah tersusun rapi. "Nifa, apa yang kamu lakukan? Kenapa pakaian Mama kamu obrak-abrik? Berhenti, Nifaaa! Berhentiiiii!" teriak ibu Ros. Amarahnya yang ditahan, keluar juga. Ia menarik kasar lengan anak keduanya agar menjauh dari lemari pakaian. Hanifa geram, wajahnya memerah karena marah."
"Argh, sial! Sial! Sial!" maki Hanifa di dalam kamar setelah Nida mematikan sambungan telepon. Hanifa sengaja menghubungi Nida setelah suaminya berangkat kerja. Hanifa benar-benar tak menyangka jika Nida tidak memberikan pinjaman uang lagi padanya. Ditambah Nida langsung mematikan sambungan telepon tanpa ingin mendengarkan tanggapannya. Penuh emosi, Hanifa mengetik pesan untuk mantak kakak iparnya itu. "Mbak jangan sombong! Enggak usah sok mengikhlaskan uang pinjamanku. Kalau suamiku udah gajian, aku akan bayar utang Mbak itu!"Setelah mengirim pesan yang ceklisnya belum berubah, Hanifa keluar kamar. "Mama! Maaaa ... Mama!" Teriakan Hanifa membuat adiknya keluar kamar, berjalan cepat menghampiri. "Ada apa, Mbak? Pagi-pagi udah teriak?" tegur Haifa menatap lekat kakak kandungnya. "Anak-anak udah kamu anterin ke sekolah?""Udah. Dede Haris ada di kamarku. Lagi main sama Rafa. Mbak Nifa kenapa?" tanya Haifa yang tak mengerti dengan sikap Hanifa. Pagi-pagi udah marah-marah. "Mbak be
"Ya udah, kamu coba aja telepon mbak Nida. Selama ini kan dia selalu kasih pinjaman walaupun kita enggak pernah bayar," titah Tedi, suami Hanifa. Namun, Hanifa tampak berpikir. Tidak mungkin ia menghubungi Nida malam ini."Mas, besok pagi aja, ya? Soalnya sekarang udah malam. Takut nanti enggak diangkat teleponnya," kilah Hanifa beralasan tak enak hati padahal ia tak mau kalau suaminya tahu jumlah uang yang akan diberikan Nida. "Memangnya besok kamu punya uang? Aku enggak punya uang lagi. Di kantor aja aku minta traktir makan teman terus."Sungguh bohong. Mana ada teman yang mau traktir orang hampir tiap hari? Sebetulnya Tedi punya uang tapi ia akan gunakan untuk berjudi lagi. Lelaki itu masih penasaran dapat menang banyak. "Beruntung kamu, Mas. Punya teman yang baik, yang mau traktir kamu tiap hari," kata Hanifa menimpali kebohongan sang suami. "Emang mamamu enggak punya uang lagi? Biasanya dia banyak uangnya."Setahu Tedi, Hanifa dan Haifa selalu minta uang pada ibu Ros. "Sekara
"Mbak, duit lima ratus ribu cukup buat beli apa? Gila aja!"Bukannya berterima kasih, Hanifa justru marah-marah. Friska yang mendengar ucapan Hanifa menghela napas berat. Pikirnya, ibu dan anak sama saja! Ibu Ros juga demikian. Friska teringat pada Nida sewaktu menjadi menantu ibu Ros dan kakak ipar Hanifa. Apa Nida juga mengalami hal yang dialaminya?"Kamu bilang cukup buat beli apa? cukup buat beli beras 10 kilo, cukup buat beli telor 10 kilo, cukup buat---""Udah, udah, jangan berisik! Kalau enggak mau nambahin uangnya, enggak usah ceramah! Tau gini, mending mas Hanif masih sama Mbak Nida. Mbak Nida itu baik orangnya. Selalu ngasih kami uang sesuai yang kami minta!" omel Hanifa tak tahu diri. Friska terkejut mendengar Hanifa membandingkan dirinya dengan mantan istri sang suami. Hanif pun terkejut karena Friska menyebut nama Nida di depan Friska apalagi sampai membandingkan. Amarah dalam diri Friska tak dapat dibendung lagi, ia pun membalas ucapan Hanifa. "Eh, seenaknya aja kamu ng
"Lima juta kamu bilang cuma?" tanya Hanif setengah tidak percaya adiknya berbicara demikian. Selama ini Hanif tipikal orang yang berhemat. "Iyalah, Mas. Uang Mas Hanif lebih dari segitu. Apalah arti uang lima juta buat Mas Hanif dan Mbak Friska," ucap Hanifa tanpa beban. Hanif menghela napas berat, memijat pelipis. Hanifa tidak tahu saja kalau dirinya tidak punya tabungan bahkan ketika mendaftarkan proses perceraian harus mencuri uang Friska dari dalam brankas. "Aku enggak ada uang." Hanif berbicara datar. Mendengar jawaban kakaknya, Hanifa mendengus kesal. Ternyata benar kata ibu Ros kalau Hanif orangnya pelit. "Mas Hanif aku mohon. Suamiku belum gajian. Nanti uangnya aku ganti kok kalau mas Tedi udah gajian. Aku mohon, Mas ...." Hanifa tak mungkin menyerah. Malam ini juga dia harus mendapatkan uang untuk anak-anak besok. Meski dirinya tak ada uang, tetapi Hanif tak tega mendengar adiknya memohon seperti itu. Selama ini, Hanifa maupun Haifa tidak pernah meminta uang padanya. Tanp
Di mata Rangga, Haifa wanita bodoh dan mudah dibohongi. Bukan satu dua kali Rangga ketahuan selingkuh tetapi dengan mulut manisnya, Rangga dapat meyakinkan Haifa jika dirinya tidak akan mengulangi bahkan Rangga sering berjanji akan membuat rumah tangganya jauh lebih baik dan memiliki perekonomian yang mencukupi. "Ya udah, Mas. Sekarang kamu mandi. Kamu tadi beli nasi kan?""Beli dong. Aku tadi beli pecel lele. Lelenya dibagi dua aja ya sama anak kita. Kamu jangan makan banyak kalau malam. Aku enggak mau kalau kamu sampe gendut," ujar Rangga mengedipkan sebelah mata. Sontak, Haifa tersipu malu, menganggukkan kepala, mengiyakan kemodusan suaminya. Di kamar lain, Hanifa pun sedang berbincang dengan sang suami, Tedi namanya. "Jadi Mamamu udah tau sertifikatnya kita gadai ke Bank?" tanya Tedi, usai Hanifa bercerita tentang kejadian tadi siang. Hanifa tampak santai. Sebatang rokok terselip di antara ruas jarinya. "Iya. Dia baru sadar, hehehe ...."Hanifa mengembuskan asap rokok ke wajah
"Biasa aja kali, Ma. Enggak usah kaget gitu," kata Hanifa santai. Mereka berdua tidak merasa bersalah sedikit pun. Aneh juga, kenapa Hanifa dan Haifa bisa membawa sertifikat itu ke Bank tanpa sepengetahuan ibu Ros?"Kamu bilang enggak usah kaget??" desis ibu Ros berusaha menahan emosi. Biar bagaimana pun ia tak mau cucu-cucunya mendengar keributan ini. "Udah deh, Ma. Lagipula semuanya udah ada di Bank. Mau gimana lagi? Ya kami bisa saja menebusnya tapi Mama punya enggak uang buat nebusnya?"Tanpa rasa bersalah dan rasa penyesalan, Haifa bertanya demikian. Hanifa yang mendengar ucapan sang adik, menyunggingkan senyum mengejek. "Kurang ajar! Kalian anak kurang ajar! Uangnya kalian pake buat apa? Semua keperluan dan kebutuhan rumah ini kan pake uang Mama. Bahkan kalian juga sering minta uang ke Mama. Terus, uang pinjaman dari Bank itu digunakan buat apa? Buat apaaaa?" Sangat kesal ibu Ros berkata. Wajahnya memerah karena emosi yang sudah menguasai diri. Hanifa dan Haifa terdiam sesa
Kedua mata ibu Ros membeliak dibentak anak keduanya yakni Hanifa. Sorot mata Hanifa yang tajam dibalas serupa oleh wanita yang telah melahirkannya. "Durhaka kamu, Nifa!" balas ibu Ros tak kalah tinggi intonasi suaranya. "Berani sekali kamu ngebentak Mama? Marahin Mama! Kamu pikir ini rumah siapa, heuh? Ini rumah Mama!" tandas ibu Ros yang tak mau terlihat lemah di depan Hanifa. Anak kandungnya mencebik, melipat kedua tangan di depan dada. "Nanti juga akan menjadi milikku dan Haifa kalau Mama udah mati," timpal Hanifa tersenyum miring. "Apa kamu bilang?" Lagi, emosi ibu Ros semakin meluap. "Kamu bilang aku mati?" ulang ibu Ros, meyakinkan yang didengarnya. "Ini apaan sih? Siang-siang malah ribut?"Tiba-tiba dari arah belakang Hanifa, terdengar suara adiknya yang baru keluar dari kamar sambil menguap. Menghampiri mereka. "Mama nih, siang begini malah nangis sambil teriak. Kan berisik," jawab Hanifa memutar bola mata malas. "Ck, kebiasaan nih Mama. Udahlah, jangan diladenin. Harap