JEANNE langsung berdiri karena Alan tak kunjung merevisi jawabannya tadi. Tanpa ragu apalagi merasa malu, Jeanne menarik tangan Alan dan memaksa pria itu untuk keluar dari ruangan divisi. Sekali pun kini mereka menjadi pusat perhatian, Jeanne sama sekali tidak peduli.
Begitu sampai luar, Jeanne langsung membawa Alan menuju tempat yang sepi. Dia memojokkan pria itu ke dinding lalu berbicara dengan nada menyebalkan seperti setiap kali dia bicara pada pria itu selama ini."Lo udah tahu kalau yang tadi cuma basa-basi aja, ngapain masih lo terima, sih! Bikin suasananya jadi nggak enak banget tahu!" omel Jeanne langsung.Jeanne tidak takut dipecat, karena dia tahu pasti Alan bukan tipe CEO yang akan memecat pegawainya tanpa alasan jelas—semisal karena seorang pegawai yang telah membentak dan memarahinya habis-habisan—seperti itu.Kalau Alan memang tipe CEO seperti itu, sudah sejak lama Jeanne hengkang dari perusahaan cabang, bukannya malah mendapat promosi dan dipindah ke perusahaan pusat seperti ini."Bukannya lo yang nawarin gue lebih dulu?" tanya Alan balik dengan wajah datar tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Lagian malam ini gue lagi senggang. Jadi gue bisa gabung sama kalian," lanjutnya serius."Aduh Pak CEO!" jerit Jeanne frustrasi. "Kalau Bapak jadi ikut, kita-kita mana ada yang berani keliaran di kelab? Lihat muka situ di ruangan aja udah bisa bikin semuanya kena serangan jantung!""Emang apa yang salah sama muka gue?" Alan memegangi wajahnya sendiri. "Perasaan muka gue masih ganteng, Je. Masih banyak yang muji kayak gitu akhir-akhir ini."Jeanne menepuk jidatnya sendiri. "Auk ah, gelap banget ngomong sama lo! Lagian lo ngapain di ruangan kerja gue? Nggak biasanya CEO bisa mondar-mandir nggak jelas di divisi orang kayak gitu. Lagi kurang kerjaan ya, bos?""Hm." Alan memasang wajah berpikir. "Gue sebenarnya ada perlu sama direktur pemasaran. Dia udah bikin janji sama gue, tapi tiba-tiba aja nggak bisa dihubungi. Kurang ajar banget, kan, direktur lo itu?"Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Dia nggak ada di ruangannya, lho!""Serius?"Jeanne mengangguk. "Tadi pagi waktu gue masuk dia masih ada, tapi abis itu dia keluar, gue nggak tahu dia pergi ke mana. Yang jelas dia pergi sama asistennya apa sekretarisnya, ya? Gue lupa masa!""Oh!" Alan hanya menggumam dengan tatapan yang tampak menyeramkan."Emang lo ada perlu apa sama dia? Jangan bilang lo mau ngelamar anak perawannya setelah gagal nikah dua kali sebelumnya?" tebak Jeanne.Alan langsung memelototinya. "Gue nggak segila itu juga sampai mau nikahin bocah SMP. Lagian lo tahu dari mana kalau dia punya anak cewek?"Jeanne memasang ekspresi tidak enak saat membalas kata-kata Alan. "Yah, tadi waktu kenalan sama gue, dia sempat nawarin anak sulungnya yang baru mau lulus kuliah tahun ini. Terus dia ceritain sekalian anak ceweknya ke gue.""Ck, cewek mulut cabe rawit kayak lo gitu mau dijadiin mantu? Masih waras itu om-om satu!" decak Alan sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir."Waras banget, dong! Cewek cantik kayak gue gini kan limited edition!"Alan memasang ekspresi menahan mual saat Jeanne mengatakannya dengan penuh percaya diri.Hubungan mereka selama ini tergolong biasa saja. Setelah mengerjakan proyek pernikahan Risa dan Alva bersama-sama, mereka bisa disebut sebagai rekan atau teman. Walaupun tidak begitu dekat karena mereka lebih sering berdebat. Namun, bibir Jeanne yang suka bicara seenak jidat memang paling enak jika diajak bersilat."Lo baru pindah hari ini?" tanya Alan kemudian.Alan tidak mendengar kabar adanya pertambahan personel dari kantor cabang. Namun, keberadaan Jeanne di sini jelas bukan karena perempuan itu ingin bermain-main di tempat ini."Gue pindah kemarin, kalau kerja emang baru hari ini. Kenapa? Lo nggak percaya kalau kerjaan gue selama ini bagus, makanya gue dimutasi ke sini, ya?" Jeanne menatap Alan penuh selidik."Gue cuma nggak denger kabarnya." Alan memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Mungkin udah ada beberapa perubahan terbaru yang belum sampai ke telinga gue akhir-akhir ini."Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan dengan tatapan aneh. CEO bisa ketinggalan berita tentang perusahaannya, ini benar-benar sesuatu sekali. Memangnya dia tidak punya asisten pribadi? Apa sekretarisnya tidak bekerja sama sekali?Walaupun Jeanne sangat penasaran, tapi dia sama sekali tidak ingin mencampuri pekerjaan Alan yang pastinya sangat sibuk sekali."Buat pesta perayaan kalian malam ini, kalau kalian emang mau ke kelab, gue bisa pinjemin card gue kalau lo mau," tawarnya tiba-tiba."Lo serius?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Sumpah si Alan mau meminjaminya kartu kelab miliknya?"Ya, daripada nggak kepakai juga. Gue udah lama nggak pernah ke sana, jadi sekalian aja kalau lo sama anak-anak lain mau pergi, kan?" Alan mengeluarkan dompet dari balik saku celana hitamnya.Saat dia membuka dompet hitam legam yang terlihat mewah itu, diam-diam Jeanne turut melirik isi dompetnya. Bagaimanapun juga dia cewek matre. Dia cukup penasaran berapa gaji Alan sebagai CEO kantor pusat yang besar ini tiap bulannya, jika gaji kekasihnya yang bekerja di perusahaan biasa saja bisa sampai puluhan juta dalam sebulan.Alan menyadari lirikan itu dengan jelas, karena tatapan Jeanne sangat terang-terangan sekali. Cewek seperti Jeanne memang benar limited edition. Cantik, punya mulut pedas, blak-blakan dan anti manipulatif. Cewek sepertinya tidak akan bisa selingkuh, karena dia sama sekali tidak bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari orang lain."Penasaran?" Alan mengambil card hitam miliknya, lalu dia berikan kepada Jeanne yang menerimanya dengan senyum lebar di bibirnya. "Masuknya ntar sama gue, biar cepet pemeriksaannya. Anak baru kayak lo pasti bakal makan waktu kalau mau diperiksa.""Anak baru kayak gue gimana? Gue kan nggak pernah bawa senjata!" Jeanne menatapnya kesal.Alan hanya tersenyum tipis meresponnya. "Kalau gitu gue balik dulu, masih ada banyak kerjaan yang menunggu.""Iyain biar cepet ngilang." Jeanne meleletkan lidah, mengejek Alan yang hanya melambaikan sebelah tangan sembari melangkah menjauhinya.Namun, sebelum sosok pria itu benar-benar hilang. Alan tiba-tiba saja berhenti dan berteriak dengan keras. "Oh ya gue lupa bilang, harga card-nya gue potong dari gaji lo secara berkala, ya?!""Hah, apa?!" Jeanne menatap card di tangannya. Warna hitam ini terlihat mengkilap dan agak berbeda dari kartu kelab pada umumnya. "Jangan bilang card ini yang harganya sampai puluhan juga itu?"Jeanne mengerjap. Dia menatap ke arah kepergian Alan yang saat itu sedang tertawa sebelum sosoknya menghilang di balik lift yang menuju lantai atas.Alan sengaja melakukannya. Dia sengaja menawari Jeanne dan memberikan card-nya, karena dia ingin memotong gaji Jeanne tiap bulannya.Pria itu sangat tahu betul kalau Jeanne suka uang. Dia suka gaji yang besar. Lalu saat gajinya dipotong untuk melunasi hutang ...."Dasar CEO keparat!" umpatnya sembari membanting kartu itu ke lantai, tapi kemudian dia memungutnya lagi karena sayang. Kartunya mahal.___GIMANA rasanya hangout sama CEO dari kantor sendiri?Kalau orangnya asyik dan enak, sih, oke-oke saja. Tapi kalau orangnya kayak modelan Alan yang selalu memasang wajah datar layaknya mau ngajak perang, sih, siapa pun pasti bakal berpikir dua kali buat mengajaknya bicara.Bahkan Jeanne yang notabenenya sudah kenal Alan sebelumnya saja tidak mau mengajaknya bicara. Garing banget ngajak ngomong si Alan itu. Cuma bikin emosi sendiri, apalagi setelah kejadian siang tadi.Jeanne mengembuskan napas berat. Teman-temannya yang sudah mulai mabuk satu per satu pamitan untuk joget-joget di lantai dansa. Sisanya pamit pulang karena sudah kangen anak istrinya. Jeanne mau pergi dari sana juga, tapi dia tidak enak hati sama Alan yang dari tadi cuma diam di tempat saja.Alan duduk di sofa paling ujung. Dia cuma berdiam diri sembari menikmati bergelas-gelas alkohol di depannya. Memang bukan hanya Alan saja yang melakukan hal seperti itu, tapi nyaris semua teman-teman kerjanya yang masih jomlo itu pun
JEANNE bangun dengan tubuh terasa remuk. Kepalanya juga terasa pusing sekali, layaknya dia akan ambruk sebentar lagi. Matanya bahkan sampai harus menyipit untuk bisa menyesuaikan pandangan dengan lampu yang menyala terang di ruangan itu."Gue pusing banget sumpah," katanya, sembari memegangi kepala dan mengucek matanya agar lekas bisa terbuka lebar dan melihat di mana dia berada sekarang.Kenapa ruangan itu bisa begitu terang?Jeanne tidak pernah suka lampu menyala terang saat dia sedang tidur. Jadi jelas saja, sekarang dia tidak mungkin berada di kamarnya sendiri.Lalu dia ada di mana?Jeanne kesulitan mengingat-ingat peristiwa kemarin, karena kepalanya benar-benar terasa pusing. Dia menoleh ke samping, tidak ada siapa pun di sana. Hanya seprai tersingkap yang menunjukkan jika semalam ada seseorang yang tidur di sana.Tidur?Bak tersadar sempurna, Jeanne mengerjap dengan kedua mata polosnya. Secara refleks perempuan itu menundukkan kepala dan melihat bagaimana keadaannya.Tubuh polos
SHOWER masih menyala dengan air yang mengalir deras. Alan memeluk tubuh Jeanne dengan erat. Dia mencoba sebaik-baiknya untuk melindungi Jeanne dari guyuran air yang menghantam dengan keras."Berengsek lo!" Namun, Jeanne ingin lepas. Dia memaki seraya memukuli tubuh Alan yang ada di depannya dengan bebas. "Kenapa lo tega ngelakuin hal itu ke gue? Gue salah apa sampai lo tega garap gue semalam, hah?!" tanyanya dengan suara penuh emosi.Amarahnya meluap bercampur rasa kecewa, sedih, dan terluka. Jeanne marah, tentu saja dia merasa sangat marah, karena kali ini dia tidak berhasil melindungi dirinya sendiri. Dia sangat sedih dengan kenyataan itu, tapi dia juga merasa kecewa setengah mati, karena Alan lah yang melakukan hal itu padanya.Dia terluka dengan semua perasaan yang kini menghantamnya satu per satu. Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berhasil melukainya dengan sangat dalam."Sorry!" Alan hanya bisa meminta maaf sembari mengeratkan pelukannya.Dia mengecup pelan puncak kepala
JEANNE menatap pantulan dirinya di kamar mandi dengan senyuman miris. Celana jin itu ternyata benar-benar muat di kakinya, bahkan terasa pas di pinggulnya. Kemejanya memang agak sedikit longgar, tapi bisa dibilang pas juga karena Jeanne memiliki dada yang cukup besar.Walaupun tidak bisa dibilang nyaman, tapi pakaian ini cukup lumayan. Untungnya pakaian dalamnya tidak ikut basah dan masih bisa digunakan.Saat keluar dari kamar mandi, Jeanne tidak bisa menemukan siapa pun di ruang kamar bernuansa abu-abu itu. Lampu besar berwarna putih yang ada di tengah ruangan masih menyala terang, padahal di atas nakas juga ada lampu tidur tapi lampu itu tidak digunakan oleh Alan semalam.Jeanne melangkah menuju satu-satunya pintu yang belum dia buka sebelumnya. Saat membuka pintu, dia langsung disambut oleh ruang tamu ukuran sedang yang merangkap juga sebagai ruang santai dengan televisi besar yang menempel di dinding dan audio sound system yang lengkap.Jeanne
SETELAH makan Jeanne langsung berdeham keras untuk menarik perhatian Alan yang baru menyelesaikan makannya.Alan menoleh ke arah Jeanne dengan sebelah alis terangkat tinggi. "Apa?" tanyanya."Jangan pura-pura nggak tahu, deh! Lo udah janji mau jelasin semuanya ke gue, kan?" Jeanne menatapnya tajam.Alan hanya tertawa pelan. "Iya-iya! Gue nggak lagi pura-pura nggak tahu, tapi gue emang nggak tahu—"Alan langsung merasakan sebuah tarikan kuat di kerah kausnya. Jeanne yang melakukannya, dengan sebelah kaki naik ke sofa, satu tangan menumpu di sandaran sofa menekankan tubuhnya ke arah Alan, dan satu tangan lainnya mencengkeram kerah kaus yang Alan kenakan.Jeanne mendekatkan wajahnya ke depan wajah Alan. "Jangan main-main lo, ya!" Nadanya penuh ancaman, tatapan tajamnya pun tampak dangat mengerikan. Seketika suasana di antara mereka berubah secara signifikan.Alan masih mencoba untuk tetap biasa saja. Dia sama sekali tidak takut atau
SERATUS juta per ronde. Alan memiringkan kepala dan mengerjap berulang kali setelahnya. Harga yang mahal sekali untuk lepas perawan sekali dan tidur berkali-kali saja. Padahal kalau dia ikut acara lelang di suatu kelab malam, mungkin dia bisa mendapatkan perawan dengan harga kurang dari itu.Namun, itu adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab atas perbuatannya. Walaupun dia harus kena getok harga, tapi sebenarnya itu bukanlah masalah besar. Dia bisa menipu Jeanne dengan hanya memberikan lima ratus juta, tapi dia merasa cukup bangga dengan performanya.Dan lagi, dia merasa ada suatu kesempatan yang tidak boleh dia lewatkan begitu saja."Oke, lo mau uangnya ditransfer apa cek aja?" tawarnya kemudian.Jeanne mengerjap, kemudian tampak berpikir hebat. Ditransfer sih sebenarnya lebih enak, tapi cek juga sama enaknya. "Transfer aja, deh!"Jeanne pun memberikan nomor rekeningnya kepada Alan yang kini sudah mengetikkan sesuatu di ponselnya. "
MEREKA masih mengatur napas setelah menyelesaikan ronde pertama dari percintaan panas sebelumnya.Alan menatap Jeanne yang mengatur napas dengan wajah yang terlihat cerah dan senyum mengembang di bibirnya. Sesuatu yang harusnya tidak Jeanne lakukan jika dia memang terpaksa mau melakukannya.Nyatanya senyuman itu membuktikan bahwa Jeanne pun menikmati semuanya. Jeanne menikmati sentuhannya dan penyatuan hebat di antara mereka sebelumnya.Alan mengulurkan tangannya ke wajah Jeanne sembari mendekatkan wajahnya untuk mengecup sekilas bibirnya. "Enak, kan?"Jeanne mengangguk tanpa malu. Memang begitulah sifat Jeanne sejak dulu. Dia bukanlah sosok malu-malu kucing yang akan ragu mengungkapkan isi hatinya. Dia tipe yang akan mengatakan apa pun, termasuk sesuatu yang sedang dia rasakan saat itu juga.Sekali pun itu adalah sesuatu yang sangat memalukan untuk diucapkan secara terang-terangan, Jeanne pasti akan tetap mengatakannya."Mau lag
JADI asisten pribadi yang harus bisa merangkap sebagai sekretaris untuk sementara waktu nyaris membuat Glen merasa gila. Terutama karena yang dilayani olehnya adalah seorang CEO bernama Alan Rasya Purnama.Awalnya semuanya memang baik-baik saja. Sebagai asisten pribadi, dia merasa profesional dalam pekerjaannya, pun sekretaris yang saat itu mendampingi bosnya pun tampak baik-baik saja. Glen yakin mereka sudah sangat kompak dalam pekerjaan mereka.Hingga dua bulan yang lalu saat Alan mengakhiri kontrak sekretarisnya secara sepihak dan semua skandal keduanya terungkap di depan matanya. Glen merasa syok bukan main mengetahui sifat asli bosnya selama ini yang tidak pernah terlihat olehnya. Apalagi bosnya sudah punya tunangan yang cantik dan baiknya tidak kira-kira, walau mereka sedang LDR saat peristiwa itu terjadi.Mungkin karena alasan itulah yang membuat sekretaris itu menjadi berani dan bosnya tergoda untuk menduakan tunangannya sendiri. Glen tidak tahu pasti, tapi ending dari semua p
AKHIR-AKHIR ini Alan jadi sering disebut zombie. Dia tidak protes dengan julukan itu, karena dia pun mengakuinya sendiri. Hidup tanpa Jeanne membuat harinya terasa sepi, seperti hidupnya sudah tak berarti lagi. Namun dia tahu dengan pasti kalau Jeanne sedang menantinya kembali.Lalu akhirnya, semua penderitaannya selama ini akan berakhir hari ini. Dengan rindu yang memenuhi dada dan membuatnya merasa sesak yang begitu menyiksa. Alan memandangi pantulan dirinya yang dibalut jas putih bersih dengan senyum tipis menghias bibirnya.Semoga tidak ada drama lain yang bisa membatalkan acara pernikahannya atau dia benar-benar akan gila."Kamu masih belum siap juga?" Arnold melihat putranya yang sedang berkemas dan tak kunjung selesai sejak tadi.Penampilan Alan hari ini terlihat lebih baik dari hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya setelah tiga minggu lebih mereka tidak pernah berhubungan lagi.Arnold sebenarnya cukup khawatir saat Jeanne tidak bisa
SEMALAM Alan terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu, karena kamarnya benar-benar sudah tidak layak huni. Pagi harinya dia hanya bisa menatap kepergian Jeanne serta kedua orang tuanya seperti zombi.Tubuhnya terasa lelah dan remuk redam, tapi kini dia harus ditinggalkan sendirian. Walaupun demi kebaikan, tapi tetap saja rasanya menyesakkan.Apalagi saat dia tiba di kantor, masalah yang tersisa kemarin ditambah dokumen menumpuk di atas meja kerjanya ... Alan merasa pusing langsung menyerang kepalanya."Selamat pagi, Pak!" Glen menyapa seperti biasa.Alan memang selalu datang lebih awal, tapi dia akan berhenti di parkiran untuk mengecek kabar terbaru tentang perusahaan. Jadi dia bakal terlambat masuk ke ruangannya."Pagi," jawabnya lelah. "Untuk sementara waktu, tolong kosongkan jadwal temu saya dengan klien. Saya mau menyelesaikan semua dokumen dan masalah yang masih tersisa hari ini. Dan juga, tolong bantu Tantri agar bisa menjadi sekretaris sementara saya yang baik."Glen mengernyitk
"JADI, kalian mau langsung menikah saja bulan depan?" Bulan tersenyum bahagia saat mengatakannya. Itu berarti, sebentar lagi Jeanne akan resmi menjadi menantunya dan dia bisa segera menggendong cucu yang sudah lama diidam-idamkannya.Jeanne ganti menoleh ke sisi lain tubuhnya. "Jangan dong, Tante! Saya masih pengin melajang dulu sampai bulan depan, minimal samp—ai ..."Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung memajukan wajah hingga berada di depan wajahnya. Tangan pria itu entah sejak kapan sudah memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Melajang gimana maksudnya, ya? Perasaan hubungan kita masih baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun akhir-akhir ini?" katanya dengan nada tajam. Kalau terus dibiarkan, Jeanne bisa makin seenaknya saja dan rencana pernikahan mereka bakal molor lama.Padahal Alan sudah ingin mengikat wanita ini agar bisa terus bersamanya setiap hari. Kalau dia masih mau mengulur waktu lagi, Jeanne pasti akan mencari pria lain lagi setelah i
ALAN memejamkan matanya. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Tidak bisa. Dia tidak boleh melakukannya. Dia sudah berjanji untuk menjadi pria setia, maka dia harus menepati janjinya apa pun yang terjadi nantinya.Alan menarik tangannya tepat saat ponsel yang ada di mejanya bergetar. Dia mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk ke sana.Arnold : Sayang sekali kamu tidak mau pulang malam ini, kalau pulang, kamu pasti bisa merasakan bagaimana rasa masakan calon istrimu ini.Pesan dari papanya itu sukses membuat Alan langsung mengernyitkan dahi. Masakan calon istri ... maksudnya masakan Jeanne? Memangnya Jeanne bisa memasak?Seingatnya, Jeanne tidak bisa memasak dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Makanya dia mau mencari calon suami yang kaya raya agar dia tidak dibuat repot mengurus masalah rumah, karena dia bisa menyewa asisten rumah tangga.Lalu, siapa maksud calon istri di sini? Dia benar-benar Jeanne kekasihnya atau wanita lain y
JEANNE menyerah. Dia memang paling tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Walaupun untuk cuci piring dia sudah bisa menguasainya, tapi tetap saja masih ada satu atau dua gelas yang pecah karena ulahnya. Jeanne memang tidak dimarahi, tapi dia merasa tidak enak hati.Sepertinya dia memang harus membatalkan niat untuk menjadi calon menantu di rumah ini atau dia akan menghabiskan semua piring dan gelas kesayangan calon mertua baiknya ini.Jeanne mengembuskan napasnya lelah. Padahal dia hanya membantu cuci piring dan gelas. Dia memang sedang diajari memasak juga katanya, karena sejak tadi dia hanya disuruh mengupas sayuran, mengiris cabai dan bawang, lalu disuruh menggorengnya di wajan.Sisanya Bulan yang membereskan untuknya, karena Jeanne benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan bahan-bahan yang sekarang sudah berada di wajan.Bahkan dia juga tidak tahu apa yang Bulan tambahkan ke dalam wajan. Mungkin saja bumbu dapur seperti garam dan sedikit penyedap rasa atau mungkin j
ALAN merasa kepalanya mau pecah. Satu masalah muncul, masalah lainnya langsung bertebaran. Setelah menyelesaikan harga saham dan persoalan video yang kekasihnya perankan, Alan menyadari dirinya sedang butuh seorang teman. Dia butuh hiburan, tapi kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Padahal dia hanya butuh ditemani. Dibiarkan menyender dengan manja untuk menyingkirkan pusing dan lelah yang dia derita. Dia hanya butuh hal yang sederhana, seperti menyampaikan sedikit keluh kesah yang sedang dirasakannya atau mungkin hanya diam saja dan tiduran di paha kekasihnya.Namun kenyataannya Jeanne tidak ada di sana. Kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Alan melirik jam di tangannya. Sebentar lagi jam makan siang usai. Jarak dari kantor dan apartemen memang tidak terlalu jauh, tapi tidak akan cukup untuk dia bermanja-manja dengan kekasihnya, karena Alan pasti ingin melakukannya sampai puas.Alan sudah menghubungi Jeanne, berniat meminta Jeanne datang ke sana dan menemaninya bekerja, tapi sialnya pon
RUMAH ini ternyata benar-benar luar biasa. Walaupun terlihat tenang dan nyaman dari luar, nyatanya dalamnya penuh senjata. Baik pistol maupun senapan laras panjang menjadi hiasan dindingnya.Jeanne menelan ludah susah payah. Ini kalau ada yang niat maling bakal langsung dibunuh di tempat, kah?"Ini senjata beneran atau imitasi, Om?" Jeanne refleks bertanya pada Arnold yang berjalan di belakangnya.Pria tua itu berhenti melangkah, karena Jeanne sedang menghentikan langkah untuk memandangi setiap koleksi simpanannya. Tubuh aslinya tinggi tegap, tapi dia harus kehilangan kaki kiri di tugas terakhirnya. Walaupun kini dia memakai sebelah kaki palsu, tapi Arnold masih suka membawa tongkat saat dia berjalan."Senjata asli, tapi nggak ada pelurunya."Jeanne berdecak kagum, kemudian tersenyum manis saat berkata, "Wah, kalau dijual bakal mahal nih, Om!""Nggak akan saya jual, soalnya buat koleksi sekaligus kenang-kenangan." Arnold menjawab dengan tenang, suaranya tegas dan jelas.Jeanne terkesi
"SEJAK kapan lo tinggal sama Jeanne?" Alva bertanya begitu dia berjumpa dengan Alan di ruangannya.Alva baru saja selesai mengantar Jeanne pulang, lalu dia kembali ke perusahaan itu untuk mengantar dokumen langsung ke sepupunya serta mencari tahu kabar viral yang sedang beredar pagi ini. Terlebih Jeanne sebelumnya berasal dari kantor cabang tempat dia bekerja. Alva juga yang merekomendasikan Jeanne dimutasi ke sana. Kalau Jeanne sampai kena masalah, sepertinya dia harus ikut turun tangan untuk bertanggung jawab bersamanya.Glen yang ada di sebelah bosnya langsung melotot tajam mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang sedang mengantar laporan dari kantor cabang Bandung untuk atasannya.Hari ini dia sudah cukup terkejut dengan berita viral soal video asusila Jeanne. Sekarang dia makin dibuat terkejut oleh kenyataan kalau atasannya dan Jeanne selama ini tinggal bersama. Bagaimana bisa? Bukannya atasannya masih mengincar Jeanne tempo hari, ya?"Setelah pacaran," jawabnya
DENGAN serempak mereka menoleh. Zion salah seorang teman divisi yang selama ini terang-terangan melempar kode pada Jeanne sedang mendekati mereka. Dengan wajah mesum, tatapan melecehkan, dan sebuah seringai menyebalkan."Lo jangan kurang ajar, ya!" Tantri langsung membela, karena bagaimanapun juga Jeanne adalah temannya. "Belum tentu juga itu video punya dia!"Jeanne hanya tersenyum miris. Itu memang dia. Itu memang video dirinya. Jeanne tidak mungkin melupakan wajahnya sendiri. Jadi, itu memang benar-benar dirinya. Dia tidak akan bisa menyangkal, karena dia pun dapat mengenali siapa pria yang mengambil video tersebut.Pria itu adalah mantan pacarnya. Salah satu pria yang pernah dicampakkan olehnya. Pria itu pula yang pernah membuat Jeanne trauma dan menjadi wanita matre plus realistis soal uang hingga sekarang."Lo masih mau nyangkal juga? Padahal yang punya video diem aja." Zion menyeringai.Tantri menatap Jeanne yang hanya diam saja dengan senyum tipis terukir di bibirnya. Jeanne m