Bab 140. Kecurangan Keuangan di Pabrik
============
“Siapa bendahara di pabrik ini?” tanya Alisya dengan suara tetap pelan, dingin, tetapi terdengar begitu tajam.
“Bu Roza, Buk.” Kepala pabrik menjawab dengan menunduk.
“Bisa Anda hadirkan dia di sini, sekarang juga!” tegas suara Alisya.
“Dia- dia, dia, hari ini berhalanagn hadir, Buk. Dia ….”
“Saya tunggu paling lama lima menit!”
“Tapi, Buk?”
“Sudah berkurang lima detik!”
Bab 141. Om Rustam Drop==========“Maaf, Pak, Buk,! Kalau boleh tahu, rumah yang kalian cari itu, rumah Rika siapa, ya?” Wanita pemilik rumah menghentikan langkah mereka.“Rika, Rika yang bekerja di pabrik sarung tangan, Bu. Rambutnya agak ikal, panjang sepunggung, di ikat jadi satu ke belakang, begitu.” Raja yang menjawab. Menyesal dia tak memiliki foto karyawan pabriknya itu.“Setahu saya di gang ini tidak ada seorang gadis yang bekerja di pabrik sarung tangan. Saya sudah lama tinggal di sini, Pak. Saya kenal hampir semua&nb
Bab 142. Penyesalan Rika==========Alisya melirik ke arah Rika. Gadis itu menunduk saat ditatap. Alisya tak akan memaksa. Jika Rika belum mau disapa olehnya, maka dia akan memilih diam saja. Arfan mau bersamanya, itu sudah sangat dia syukuri.“Duduk, Sya!” titah Deva sambil menghenyakkan tubuh di bangku panjang yang tersedia di depan ruang UGD itu.“Baik, Mas.” Alisya menarik tangan Arfan untuk duduk di dekatnya. Arfan menurut.“Kak, siapa dua orang bos itu? Orang kaya, pa
Bab 143. Penyakit Deva Kambuh========“Kamu ngawur, Sya!”“Aku gak ngawur. Mas Raja itu orang yang sukar jatuh hati. Dia memang baik pada siapa saja, apalagi pada seorang wanita. Dia akan melakuakn apa saja karena merasa iba. Tetapi untuk urusan hati, dia paling sulit membuka diri. Aku melihat ada binary cinta di sorot matanya, setiap menyebut namamu. Ada rasa yang dia pendam untukmu. Lihat cara dia berbicara padamu, aku tahu itu bukan sekedar rasa peduli, tapi ada harap di dalamnya. Percaya padaku!” “Jangan ngaco!&
Bab 144. Semua Seolah Baik-baik Saja============“Mas Deva beneran tidak apa-apa?” Raja masih cemas.“Tidak apa-apa. Kembali ke masalah tadi. Kau tidak menyukai Intan, bukan?” tanya Deva, setelah sakitnya agak reda.Raja tak menjawab.“Karena dia kau tolak, maka besar kemungkinan dia akan terus bertahan di sisi Alisya. Aku tidak mau itu. Kau tentu tahu kenapa.”“Karena Fajar?” Raja menebak.“Ya. Cepat atau lambat, Fajar akan bebas. Jika Intan masih bersama Alisya, besar kemungkinan Fajar juga akan datang. Ibunya kalau udah
Bab 145. Deva Makin Drop========“Bisa lebih cepat, Pak?” titah Alisya kepada Joni.“Iya, Bu. Ini kita sudah memasuki Kota Medan, kita antar Ibu dulu, ya. Setelah itu saya akan mengantar Pak Deva ke kantor, begitu pesan Pak Deva tadi.” Joni masih bersandiwara.“Langsung ke rumah sakit! Aku akan telpon Dr. Robert agar bersiap-siap!” tegas Alisya.“Bu Alisya?” Joni menoleh ke belakang, karena sangat terkejut. Bagaimana bisa istri tuannya tahu akan Dokter pribadi sang majikan.“Jangan kaget! Anggap saja saya belum tahu kalau Pak Deva menderita sakit
Bab 146 Persiapan Operasi Deva===============“Begitu, ya. Lalu bagaimana dengan amanat beliau, Sus?” tanya sang Bodyguard kebigungan.“Maf, kalau soal itu, saya tak paham. Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Disuruh Dokter memanggil keluarga pasien, ada yang sangat urgent yang harus dibicarakan. Waktunya juga sangat mendesak! Dan yang kami lakukan ini adalah prosedur. Bukan kami buat-buat. Kecuali pasien memang tidak punya keluarga dekat, baru Anda bisa kami terima,” tukas perawat dengan tegas.“Apa yang Bapak pikirkan! Mas Deva sedang sekarat! Saa
Bab 147. Mimpi Aneh Deva======“Tanda tangani, Sya! Agar Dokter segera melakukan tindakan! Aku akan telpon Niken. Kami akan segera ke sana. Kamu tenang, ya! Tolong jangan sampaikan hal ini pada Papa dan Mama!”Itu pesan dari Raja, adik kandung Deva. Alisya merasa ada pendukung sekarang. Wanita itu tak lagi mersa sendirian. Apapun yang akan terjadi nanti, tak lagi mutlak menjadi tanggung jawabnya. Raja akan mendukungnya.“Aku tanda tangani, ya, Mas?” tanya Alisya memastikan.
Bab 148. Aku Titip Di Rahim Kamu, Sya!*******“Mas! Terima kasih, ya!” Alisya mendaratkan kecupan lembut di kening dan kedua pipi Deva.“Aku yang terima kasih, Sya. Kok malah kamu yang sepertinya girang banget.”“Maaf, Mas. Aku sudah menadatangani surat persetujuan operasi itu. Maaf, Sayang!”“Sya! Sekarang kamu yang bermimpi, kan?”“Tidak, Mas! Jangan kaget, ya! Coba buka mata kamu, Sayang! Pelan, ayo buka!&rd