“Assalamualaikum, wah, Bapak? Tumben tidak ada kegiatan? Biasanya selalu ada saja yang dikerjakan di akhir pekan?” Pras menutup mobil dan berjalan dengan senyum lebar ke arah Ahmad yang sedang duduk santai di teras.Ahmad tertawa melihat Pras datang. Dia meletakkan koran sambil mempersilakan lelaki itu duduk. “Waalaikumussalam, libur dulu, Nak Pras.”“Alhamdulillah, bisa langsung numpang sarapan dong berarti ini.” Teras itu ramai oleh suara tawa Ahmad dan Pras.“Bawa apa itu?” Ahmad menunjuk rantang yang sejak datang tadi terus dipegang oleh Pras.“Ah iya, lupa. Ini ada opor ayam kampung titipan Mama.” Pras meletakkan rantang di meja sambil tersenyum lebar.Ahmad menatap Pras dengan mata menyipit. Seingatnya, belasan tahun mengenal Pras, ini kali pertama lelaki itu membawa titipan dari orangtuanya. Biasanya, Pras selalu membawa kue yang dibeli.Lama mereka bertatapan hingga akhirnya tawa Ahmad dan Pras kembali meledak. “Terima kasih, terima kasih.” Ahmad mengangguk dan membawa rantang
Kiran mengulum senyum melihat Pras yang terus menggerutu. Dia memilih menyandarkan badan ke kursi sambil membenarkan ujung jilbabnya. “Entahlah kenapa Mas Haidar menelpon, mungkin mau menanyakan masalah progres rencana pencairan termin proyek perumahannya.”“Dia nasabahmu?” Pras menegakkan badan. Sesaat kemudian lelaki itu menepuk keningnya pelan melihat anggukan Kiran. “Modus saja. Ini hari libur.”“Lah? Apa bedanya? Kamu juga modus ke sini libur-libur.” Kiran terkekeh melihat Pras yang semakin sewot.“Kalo aku kan jelas … modus.” Pras akhirnya ikut tertawa. “Bagaimana masalah Pak Danu?”“Sudah selesai.” Kiran tersenyum. “Terima kasih.”“Eh?” Pras menyipitkan mata, wajahnya mengulum senyum. “Tumben?”“Kayak aku nggak pernah bilang terima kasih.”“Memang nggak ‘kan?”“Iya sih.” Suara tawa Pras dan Kiran memenuhi beranda. Rista yang sudah selesai dari dapur dan berjalan menuju kamar ikut tersenyum mendengar tawa mereka.Pras menarik napas panjang. Beberapa hari yang lalu, Rifky menghub
“Bicara di dalam, tidak elok dilihat tetangga.” Rista memecah ketegangan antara Pras dan KiranKiran melepaskan tangan Pras. Sementara Pras menarik napas panjang. Tanpa dia sadari, dia sedikit meninggikan suara barusan. Ketegangan barusan masih mengambang di antara mereka. Menyisakan suasana yang mendadak terasa sangat ganjil. Perasaan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.“Kiran, ajak Pras masuk.” Rista membalikan badan, meninggalkan Kiran dan Pras yang masih berdiri kaku.“Kita bicara di luar saja, Pras.” Kiran akhirnya bersuara setelah cukup lama mereka berdiri dalam diam. Tanpa menunggu jawaban, Kiran bergegas masuk mengambil tas dan berpamitan pada Rista.“Jangan bicara kasar pada laki-laki. Kalaupun kau menolak, tolak dia dengan baik-baik. Kita tidak pernah tahu bagaimana dia akan bersikap jika sudah sakit hati. Paham? Sebaik apapun manusia, kadang khilaf mudah saja datang menyapa.” Rista menatap Kiran saat anaknya berpamitan.“Paham, Bu.”“Pikirkan yang terbaik untuk mas
Mengingat wajah teduh Raya, wanita dengan kekurangannya tapi mempunyai segudang sabar di dada. Haidar dengan kebaikannya dan perjuangan mereka untuk memperoleh keturunan. Sungguh, Kiran berharap suatu saat nanti bisa berdamai dengan masa lalu dan hanya mengingat kebaikan orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.“Ran?”Namun, tidak saat ini. Belum. Lukanya masih basah. Hatinya kembali berdarah karena lukanya terkelupas kembali di detik pertama bertemu Haidar setelah tiga tahun tak berjumpa. Namun, Kiran yakin. Dia pasti bisa berdamai dengan semua ini suatu hari nanti. Pasti. Walau dia sendiri tidak tahu kapan waktunya akan tiba.“Ran?” Pras menggoyang lengan Kiran karena wanita itu diam saja sejak tadi.“Ya, Mas?” Kiran gelagapan dan langsung menoleh pada Pras.“Mas?” Pras tersenyum getir. Siluet luka begitu kentara di mata teduh yang saat ini sedang menatap Kiran.“Maaf.” Kiran menunduk. Dia kelepasan karena tenggelam dalam kenangan.Pras menyugar rambutnya kasar
Kiran Menarik napas panjang melihat kedatangan lelaki berkemeja biru langit itu. Haidar terlihat tampan dan matang dengan kemeja bermotif kotak-kotak. Tangan bajunya digulung hingga siku, membuat penampilannya sangat menawan.Wanita itu bergegas menutup gorden jendela. Dia mengambil tas tangan dan ponsel di atas kasur. Sebelum keluar, Kiran melirik cermin untuk memastikan penampilannya sudah rapi. Tunik kuning gading selutut dipadukan dengan celana pensil (skinny jeans) dan hijab coklat tua membuat penampilan Kiran sangat menarik malam itu.“Assalamualaikum.” Tepat saat Kiran menginjak anak tangga terakhir, Haidar mengucap salam.“Waalaikumussalam.” Ahmad dan Rista yang sedang menonton televisi menjawab berbarengan. “Masuk dulu, Nak Haidar.” Suara Ahmad terdengar kembali.“Haidar izin mengajak Kiran sebentar, Pak, Bu.” Senyum Haidar mengembang melihat Kiran datang. “Masya Allah.” Haidar berbisik lirih melihat keindahan wanita yang duduk di samping Rista. Kiran Zarina, wanita itu mema
Haidar terdiam. Seperti ada tombak runcing yang menghantam dadanya mendengar ucapan Kiran. Hatinya perih menyadari Kiran tak dapat lagi mempercayainya. Pondasi terkuat itu sudah runtuh sejak lama. Butuh waktu dan juga hati yang kuat untuk bisa memperbaikinya kembali.Masalahnya, akankah Kiran memberinya kesempatan untuk memperbaiki semua?"Apa kabar Pras?" Haidar mengalihkan pembicaraan. Dia mengulangi pertanyaan yang tadi belum dijawab oleh Kiran."Baik." Kiran menjawab cepat."Sudah sejauh apa hubungan kalian?""Itu sudah masuk ranah pribadiku.""Apa Mas tidak boleh tahu?""Aku datang karena menghormati Ibu dan Ayah, Mas. Jadi, jangan berpikir terlalu jauh karena kesediaanku memenuhi undangan Ibu malam ini." Kiran berkata mantap. "Bagiku, hubungan kita hanya sebatas pekerjaan."Haidar memegang kemudi dengan kencang, berusaha mengalihkan perih di dalam sana ke telapak tangannya. "Mas hanya ingin tahu, sudah sejauh apa hubungan kalian?""Sudah sangat jauh."Sepanjang sisa perjalanan,
“Ran? Kiran baik-baik saja?” Haidar langsung menangkap tubuh Kiran yang berdiri limbung. Wajah dengan rahang tegas dan alis tebal itu menatap khawatir karena Kiran terlihat tidak baik-baik saja.“Kiran?”Haidar sontak melepaskan tubuh Kiran saat mendengar satu suara yang sangat dia kenal. Lelaki itu berbalik dan melihat Pras sedang berdiri sambil menatap mereka dengan alis bertaut. Tidak seperti biasa, Pras mengenakan kemeja rapi malam ini. Seteru Haidar itu terlihat sangat matang dengan penampilan formal seperti itu.“Pras?” Haidar mengulurkan tangan. Dia langsung mengembangkan senyum menyadari tatapan curiga Pras pada mereka. Lelaki itu dapat memastikan, andai ini bukan di tempat keramaian, pasti tinju Pras sudah melayang ke arahnya mengingat posisinya dan Kiran yang sangat dekat tadi.Pras menyambut jabat tangan Haidar dengan senyum dipaksakan. Dia melepaskan jabat tangan setelah mengayunkannya beberapa kali hingga badan Haidar terguncang-guncang, seperti biasa. “Kenapa tidak bilan
“Bukannya selama ini kalian dekat?” Ratna bertanya dengan suara bergetar.“Bu.” Hakim mengelus bahu istrinya. Lelaki itu menggeleng, meminta Ratna tidak meneruskan percakapan. Mereka tadi sudah sepakat, jika Kiran sudah memiliki calon, maka pembicaraan tidak akan dilanjutkan.“Mas Haidar adalah nasabah di tempat Kiran bekerja, Bu.” Kiran menjawab pelan. Mendadak, ujung mata Kiran menangkap gerakan di dekat pintu sana. Pras dan teman wanitanya sedang tertawa-tawa. Sekali-sekali, Pras menuangkan minuman dari teko yang sepertinya sengaja dipesan jika gelas wanita itu kosong.Kiran menggigit bibir. Di sini, dia harus mengendalikan diri untuk menjaga perasaan Ahmad dan Ratna. Sementara di dalam sana, perasaannya gundah gulana. Sepanjang makan malam, pikiran Kiran sempurna tertuju pada Pras.Lelaki itu tampil berbeda malam ini. Pras yang biasanya selalu tampil santai dengan baju kaos dan jeans, kali ini datang dengan mengenakan kemeja rapi. Apakah ini pertemuan yang istimewa sehingga Pras t
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s