Mika terus berlari sejauh kakinya dapat berlari, menjauh dari segala hal yang membuatnya hatinya sakit, serta dari semua orang yang terus saja menyalahkan dirinya. Rafka, Kak Yuna, Tante Irna...Hanya satu orang yang tidak menyalahkannya. Satu orang yang justru dengan mudah memaafkan segala kesalahannya, padahal jelas-jelas Mika telah menghancurkan kepercayaan pria itu dan mencoreng wajahnya dengan berselingkuh di belakangnya.Begitu mudahnya Ervan memberinya maaf, namun sayangnya itu tak semudah Mika yang tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri karena mengkhianati seseorang sebaik Ervan. Pikiran Mika saat ini begitu kalut dan kacau balau, jiwanya pun terguncang hebat bagai kapal yang berusaha bertahan di tengah badai dahsyat.Ia bahkan tak mempedulikan teriakan keras Yuna yang memanggil namanya, juga mengabaikan tatapan penuh kebencian dari Tante Irna yang seolah mengutuk setiap langkah kakinya.Mika tak sanggup. Ia sungguh tak sanggup lagi menanggung perasaan bersalah yang te
"Dimana Mika?"Ruby menatap pria bersurai coklat yang menatapnya tajam, namun ada seberkas cemas yang terlihat dari sorot yang terpancar pada bola mata biru kristal milik Rafka."Dia ada di kamarnya," sahut Ruby, yang lalu menahan lengan Rafka yang hendak berlalu begitu saja begitu mendengar jawaban."Tunggu, Raf. Kita harus bicara dulu sebelum kamu bertemu dengan Mika.""Nanti saja, Ruby. Aku ke kamar dulu." Rafka bermaksud melepas tangan Ruby yang mencengkram lengannya, namun pria itu pun mengernyit heran saat merasakan cengkeraman tangan sahabatnya itu yang malah semakin erat,"Tidak. Kita harus bicara, Raf! Sekarang!" Sergah wanita itu bersikeras dengan nada yang tidak ingin dibantah lagi dan ekspresi Ruby yang serius."Baiklah," ucap Rafka sembari menghela napas pelan. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat bertemu dengan Mika, setelah mendengar berita dari Ruby yang menemukannya berada cukup jauh dari rumah sakit, dan bertemu kembali dengan pria brengsekk yang ternyata sudah keluar dar
"Bagaimana kondisi Mika?" Ruby bertanya kepada Rafka yang baru saja terlihat keluar dari pintu kamarnya. "Dia sedang tidur," sahut pria itu pelan, seolah mengisyaratkan agar Ruby lebih memelankan suaranya. "Oh, syukurlah." Wanita bersurai seleher itu pun sedikit heran melihat bagaimana Mika begitu mudahnya tertidur, setelah ia melihat sendiri kondisi mantan istri Rafka itu sebelumnya.Sebagai seorang psikiater, Ruby tentu tahu seberapa cemas dan terganggunya kondisi kejiwaan Mika. Ruby pun semula ingin membantunya untuk menenangkan diri. Ia bahkan hendak bermaksud memberikan sesi singkat hipnoterapi untuk relaksasi, namun Mika dengan tegas menolaknya.Mika terlihat enggan untuk dibantu, dan Ruby pun tak bisa berbuat banyak jika tidak ada keinginan dari pasien penderita itu sendiri yang ingin mendapatkan pertolongan.Ruby memberikan isyarat kepada Rafka untuk mengikutinya menuju ke arah ruang santai. Sebenarnya ia agak penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana."Okay, now spil
"Bisa nggak sih, kita berangkat sekarang??" Pertanyaan bernada dipenuhi gerutuan itu membuat dua insan yang sedang bercumbu pun seketika menghentikan aktivitasnya.Atau mungkin, sang wanita saja yang berusaha untuk berhenti dengan menarik bibirnya, namun sayangnya sang pria tak ingin membiarkan benda lezat yang sedang ia pagut berlalu begitu saja."Jangan pedulikan Ruby," bisik Rafka di atas bibir Mika yang basah dan lembab karena ciumannya. "Dia cuma iri." "Raf... sudah." Mika menaruh telunjuknya di bibir Rafka sambil menggeleng pelan. "Kamu dan Ruby mau memang mau pergi kan?" Rafka mendesah kesal dan beranjak duduk dari posisinya yang semula telungkup di atas tubuh Mika di sofa. Ia dan Ruby memang hendak pergi bersama untuk menyelidiki tentang pembebasan Dio yang lebih cepat dari masa tahanannya. Sembari menunggu Ruby yang tadi masih memberi sesi konsultasi dengan salah satu pasiennya melalui telepon, Rafka pun menggunakan kesempatan itu untuk merebahkan tubuh Mika di atas sofa
Sepasang insan manusia itu terlihat asyik berbincang di dalam mobil, terkadang membicarakan hal-hal random dan terkadang membicarakan kehidupan mereka selama tiga tahun terakhir.Terkadang juga gelak tawa dan canda ikut mewarnai udara di sekitar mereka, menghangatkan sepasang hati yang kini tengah penuh oleh bahagia.Dengan jemari yang saling bertaut erat, sesekali si wanita pun merebahkan kepalanya dengan manja di bahu kokoh sang pria yang sedang menyetir. Yang kemudian dibalas dengan kecupan singkat namun manis dialamatkan ke jemari lentik yang berada di dalam genggamannya."Hari ini kamu nggak kerja?" Suara lembut yang bertanya berpadu dengan sentuhan di kancing kemejanya, membuat sang pria kembali tersenyum. Menikmati bagaimana wanitanya bersikap manis dan menggemaskan."Aku masih cuti," sahutnya sambil mengecup surai hitam berkilat itu. "Oh ya? Sampai kapan?""Entahlah, aku masih belum ingin kembali bekerja di kantor. Rasanya membosanka. Mungkin aku mengajukan resign dan melamar
Melupakan yang telah terjadi dengan larut pada pekerjaan. Itulah hal yang Ervan Dewandaru kira bisa membuatnya teralihkan dari patah hati yang kini tengah melanda dirinya, pasca Mika yang memutuskan pertunangan mereka secara sepihak. Ia tidak akan menyerah begitu saja untuk bisa kembali mendapatkan wanita yang telah menjadi cinta pertamanya sejak masa-masa putih abu-abu, namun untuk saat ini i akan fokus terlebih dahulu untuk menyembuhkan luka di tubuhnya. Tunggu saja, ia akan merebut Mika kembali dari mantan suami toxic-nya itu.Aarghh. Nyeri sekali.Karena terlalu keras berpikir, akhir-akhir ini kepalanya sering merasakan nyeri seperti ditusuk ribuan jarum. Membuatnya kesulitan untuk terlelap di malam hari, dan imbasnya tubuhnya semakin melemah tak bertenaga.Ia sudah meminta kepada dokter untuk menaikkan dosis obat pereda nyeri serta oba tidur, namun sampai dengan sekarang dokter yang merawatnya tak juga memberikan apa yang ia minta.Sudahlah. Mungkin ia hanya perlu fokus saja pa
Suara decakan dari dua bibir yang saling menyatu dan lidah yang saling mengait terdengar mewarnai udara, yang semakin lama semakin terasa berat karena derasnya hormon yang saling bertabrakan. Ruby yang dengan keahliannya menggoda pria, diam-diam bersorak dalam hati karena Ervan ternyata tidak mendorongnya menjauh ketika wanita itu menyatukan bibir mereka. Ia bahkan sungguh gembira karena pria itu juga turut menyambut ciumannya!Seperti yang sudah ia kira. Di balik sosok dingin dan tenang seorang Ervan Dewandaru, ada hasrat yang menunggu untuk dinyalakan di dalamnya. Dan Ruby akan dengan senang hati melakukannya.Posisi tubuhnya sekarang tengah bersimpuh di atas brankar dengan kedua lututnya yang berada di sisi kanan dan kiri tubuh Ervan. Kepalanya yang lebih tinggi dari Ervan karena tubuhnya yang hanya setengah bersimpuh, membuat Ruby lebih leluasa memegang kendali. Memang itu yang ia suka saat bercumbu maupun bercinta dengan para lelaki, yaitu sebagai pemimpin dan pemegang kendali.
"Ini tidak berarti apa-apa. Tolong jangan pernah berharap lebih dariku."Ruby sedang meraih pakaian dalamnya yang bertebaran di atas lantai, ketika mendengar suara maskulin yang mengalun dingin itu. Wanita berponi itu pun tersenyum manis kala mendengar kalimat yang diujarkan oleh Ervan."Kamu sendiri sudah tahu, kalau aku bukan perawan yang akan menangis manja dan meminta pertanggungjawaban setelah bercinta kan?" cetus Ruby santai, lalu dengan sengaja ia mengenakan panty dan bra-nya di depan Ervan dengan gerakan yang sensual, dan tertawa kecil melihat ekspresi datar pria itu.Dengan hanya masih mengenakan pakaian dalam, Ruby melangkah kembali menuju ke brankar dimana Ervan masih berbaring di sana. Ia mengusap lembut pipi pria itu, dan cukup senang karena Ervan tidak menepis tangannya."Kamu adalah seorang Jaksa Muda, sedangkan aku adalah Psikiater. Kita berdua punya reputasi yang harus dijaga, kan? Jadi jangan cemas. Aku tidak akan menuntut apa pun darimu, Sayang." Ruby mengecup bibir
Suara riuh rendah gumanan dan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar disertai decit roda koper dan announcement dari speaker yang menggema pelan, adalah suara familier yang melatarbelakangi situasi di sebuah bandara. Kedua manik mereka masih lekat menatap, tanpa ada seorang pun yang ingin mengerjap. Seolah hati yang sesungguhnya sama-sama saling bertaut itu enggan untuk melepas, tapi juga ragu untuk menetap. "It's the time." Suara maskulin pria yang mengalun berat itu berucap. "Hum, I think it is the time," sahut sebuah suara wanita yang jauh lebih lembut dan sedikit serak yang khas. Tiga hari telah berlalu, dan kini saatnya Ruby akan kembali ke Kota Bern. Sang wanita pun akhirnya mencoba untuk mengurai sebuah senyum, meskipun maniknya mulai tampak berkaca-kaca. Satu tangannya terulur dan tergantung di udara. "Terima kasih untuk tiga hari ini, Ervan. Menjadi kekasihmu ternyata sungguh menyenangkan, meskipun hanya untuk sementara." Pria yang disebut Ervan itu pun me
"Selamat siang, apa Dokter Ruby ada di dalam?" Ervan menyapa ramah seorang perawat yang bertugas berjaga di depan ruang praktek Ruby. "Eh... Pak Ervan? Apa Anda memilki jadwal temu dengan Dokter Ruby siang ini??" si perawat yang tampak kebingungan pun mencoba membuka daftar pasien, lalu menggeleng pelan. "Maaf, sepertinya Pak Ervan belum mendaftar kan? Mau saya daftarkan, Pak?" "Hm. Apa sekarang Ruby sedang menerima pasien?" tanya balik Ervan. "Benar, Pak. Dokter Ruby masih menangani pasien yang konsultasi." "Laki-laki atau perempuan?" Tanya Ervan lagi, yang membuat si perawat semakin tak mengerti. "Eh... laki-laki sih. Namanya Pak Reyvan Daniel," bisik si perawat itu. Tak seharusnya ia membocorkan nama pasien, namun sorot mengintimidasi dari manik gelap Ervan membuatnya takut. Lagipula, satu rumah sakit ini sudah tahu jika Dokter Ruby sedang menjalin hubungan dengan salah satu pasien yang juga seorang Jaksa terkenal, Ervan Dewandaru. "Oke. Saya akan masuk sekarang
"Rey?!" Ruby mengutuk segala kesialannya hari ini. Setelah pagi-pagi tadi kepergok tidur di brankar milik Ervan oleh ibu dan adiknya, kini ia malah harus berhadapan dengan pria berkaca mata yang menatapnya lekat dalam diam. "Kamu ada apa ke sini?" Ruby mencoba untuk tersenyum formal dan bersikap biasa saja, meski dalam hati bertanya-tanya kenapa Rey tiba-tiba saja mendaftar menjadi salah satu pasiennya. Reyvan Daniel... pria ini pernah menjalin hubungan asmara dengannya di masa lalu. Rey, pria yang meninggalkan kesan mendalam dan juga sejujurnya... sulit ia lupakan. Rey menyunggingkan senyum tipis saat ia telah duduk di kursi di depan Ruby. "Aku cuma ingin ketemu kamu. Di klub kemarin kamu cuma sebentar dan langsung pergi. Jadi kurasa sebaiknya aku mendaftar jadi pasien saja biar bisa bicara banyak," sahut pria itu dengan ringannya. "Oh. Oke, ayo kita bicara kalau begitu," cetus Ruby sambil mengangguk. "Sorry, kemarin ada hal penting yang membuatku buru-buru." "Tidak
Mika membuka kedua matanya dengan perlahan, saat ia merasakan sebuah benda lembut dan hangat yang menyentuh bibirnya. Ia baru menyadari bahwa saat ini tengah berbaring di atas ranjang super besar yang empuk, di sebuah kamar luas yang tidak ia kenali sama sekali. Mungkinkah Rafka membawanya ke sebuah hotel? Perasaan nyaman pun serta merta menyerbu benaknya, ketika melihat manik biru kristal yang teduh itu yang telah menyambut dirinya kala membuka mata. "Rafka..." Wanita itu pun tak lagi dapat menahan seluruh isak tangis yang terkumpul berat serta sangat menyesakkan dada, ketika akhirnya segalanya telah usai. Atau... benarkah ini sudah usai? Ah, dia tak peduli lagi. Yang terpenting di dalam pikiran Mika saat ini adalah dirinya yang berada di dalam pelukan erat Rafka. Ini sungguh sepadan, karena dunia dan isinya tak kan mampu membahagiakannya seperti Rafka yang telah menggenggam hatinya sejak dulu, hingga hingga akhir nanti. "Jangan menangis lagi, Mimi. Katakan, apa
"Selamat pagi, Dokter Ruby." Ruby mengangkat wajahnya dari ponsel yang sedang ia pandangi sejak tadi karena sedang membaca sebuah e-mail penting. 'Ah, kenapa harus bertemu dengan mereka lagi sih?' erangnya dalam hati, meski dengan lihainya ia tutupi dengan senyuman ramah. "Selamat pagi, Nyonya Irna," sahutnya sambil berdiri untuk menyalami wanita itu. "Oh iya, ini Elsy adiknya Ervan," ucap Irna sembari menarik tangan putrinya agar lebih mendekat. "Yang sopan, Elsy!" desisnya, ketika melihat gadis itu tampak enggan untuk berjabat tangan dengan Ruby. "Halo, Elsy." Ruby menyapa gadis yang wajahnya ditekuk dan tampak tidak menyukainya, meskipun sejujurnya Ruby pun juga tidak peduli jika dirinya tidak disukai. "Silahkan duduk," ajak Ruby kepada ibu dan putrinya itu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" Saat ini adalah jam kerjanya sebagai Psikiater, dan sebenarnya Ruby juga sudah menebak kalau Irna dan Elsy sama sekali bukan datang untuk sesi konsultasi. "Eh... sebenarnya...
Ruby pun serta merta terbangun saat mendengar suara ponselnya berdenting pelan pertanda ada notifikasi pesan yang baru masuk. Sambil mengusap wajahnya yang lelah dan masih mengantuk, wanita itu mengedarkan matanya yang sayu ke sekitarnya. Ah ya, ia masih berada di rumah sakit, tepatnya di kamar rawat Ervan. "Sudah bangun?" Ruby menolehkan wajahnya ke arah sumber suara, yaitu Ervan yang tersenyum kepadanya. Pria itu sedang berdiri tak jauh darinya, sedang menuangkan segelas air ke dalam cangkir kopi, lalu memberikannya kepada Ruby. "Ini, minumlah. Kamu pasti sangat haus karena terus-menerus menjerit sepanjang kita bercinta semalam." Sembari meraih gelas air yang disodorkan padanya, Ruby pun hanya berdecak pelan mendengar ledekan Ervan. Wanita itu pun menghabiskan airnya hingga tandas, sebelum kemudian ia pun baru menyadari sesuatu. "Jam berapa sekarang??" tanya Ruby kepada Ervan yang sejak tadi tak lepas menatap dirinya. "Baru jam 6 pagi. Kenapa?" sahut Ervan. Oh,
Perkataan dan sikap provokatif wanita itu adalah hal yang telah membuat kekacauan masif di dalam otak Ervan bagai angin ribut yang memporak-porandakan segalanya menjadi chaos. Yang ada dalam benaknya sekarang hanyalah Ruby, dan bibir berlipstik merahnya yang sensual. Dadanya yang menggiurkan. Kulitnya yang sehalus beledu. Aroma seluruh tubuhnya yang manis sekaligus menggairahkan. Suara kursi yang jatuh berdebam karena Ervan yang berdiri dengan gerakan yang sangat tiba-tiba, membuat Ruby sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian ledakan euforia pun menghampirinya, ketika pria tampan di hadapannya yang mendadak menyergap bibirnya dengan ganas dan penuh gairah. Kedua tangan Ervan terulur untuk menangkap wajah Ruby, memerangkapnya dalam dekapan telapak tangan pria itu yang lebar dan hangat. Lidah Ervan bergerilya dengan liar di dalam mulutnya, yang dibalas oleh Ruby dengan tak kalah bergelora. Ruby mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu, saat satu tangan Ervan berg
"Apa kamu sudah minum obat?" Tanya Ruby sebelum melepaskan dirinya dari pelukan erat Ervan. "Pasti belum, itu sebabnya kamu mengajukan penawaran yang menggelikan itu kan?" Ervan mendengus menahan tawanya, merasa lucu mendengar pertanyaannya yang meledek serta melihat wajah Ruby yang berjengit jijik saat ia mengucapkan kata "Pernikahan". "Kenapa, Ruby? Apa kamu tidak ingin menikah, hm?" "Bukankah aku sudah pernah bilang sejak pertama kali kita tidur bersama, Ervan? Aku bukan tipe wanita yang menyukai berada dalam suatu hubungan!" cetus Ruby tegas. "Lalu bagaimana mungkin kamu bisa mengajukan penawaran pernikahan yang menggelikan itu kepadaku?!" "Well..." Perlahan Ervan menggerakkan jemarinya dari pinggang ramping menyusuri punggung wanita itu, dan berhenti ketika kedua ibu jarinya berada tepat di bawah lekukan dada Ruby. "Kurasa prinsipmu itu harus dipikirkan kembali, Dokter. Kenapa? Apa kamu takut dikekang? Atau tidak ingin dikontrol oleh pria? Alpha-female sepertimu t
BRAAKK!!! Suara pintu yang dibuka dari arah luar itu membuat manik gelap Ervan pun sontak beralih ke sana. Seulas senyum samar pun terlukis di wajahnya, ketika melihat sosok wanita seksi yang tampak sedang kesal membuka pintu kamar rawatnya dengan cara yang bar-bar. "Kamu sudah datang? Hm... tepat waktu sekali," Ervan melirik sekilas jam mahal yang melingkari pergelangannya. Ruby melipat tangannya menyilang di dada, seraya melayangkan tatapan tajam ke arah pria yang masih tampak duduk santai di kursinya itu. Ada laptop yang terbuka di atas meja di depan Ervan, kelihatannya dia sedang bekerja. Tapi... bukankah sekarang waktu sudah hampir tengah malam?? Kenapa Ervan masih berkutat dengan pekerjaan?? Apalagi tubuhnya yang masih belum 100% pulih, seharusnya pria ini lebih banyak beristirahat alih-alih bekerja. Bagaimana pun ia masih menjadi pasien VVIP di rumah sakit ini kan?? 'Lalu kenapa pula aku harus peduli?' rutuk Ruby dalam hati. Biarkan saja jika Ervan ingin bekerja