Irama sepatu skets terdengar berdecit dengan lantai keramik saat sesosok gadis berlari kecil menyusuri lorong kampus di lantai 3. Jam kuliah yang bergeser memaksa Zeni untuk pandai mengatur waktu antara kuliah dengan kegiatan organisasi di kampus.
Sepuluh menit telah dimulai perkuliahan dengan bapak Catur, saat Zeni mengetuk pintu kelas dan meminta ijin masuk serta memposisikan duduknya di tempat yang kosong. "Aku telat hehe...., ini sudah slide keberapa?" Bisik Zeni pada Nia dengan fokus melihat layar proyektor. "Slide ke 8, untungnya kamu telat di kelas pak Catur, coba telat di kelas dosen killer, pasti seru," kelakar Nia sambil mencatat beberapa informasi penting dari pak catur. Perkuliahan siang ini memaksa mataku agar tetap on 100%, namun sayangnya daya tahan tubuhku tidak mendukung. Perlahan dengan pasti kelopak mataku mulai menutup sempurna diikuti reflek kepala yang menunduk dengan posisi duduk manis. Sungguh rasa kantuk yang menyerang laksana terbius ke buaian alam mimpi. Cubitan dilenganku membuyarkan alam bawah sadar, untuk kembali ke dunia nyata. "Terima kasih Nia, untung tidak ketahuan, lumayan aku bisa merehatkan badan sebentar," sembari merapikan jilbab. "Iya .... cubitan kecil tidak apa-apa, dari pada ketahuan tidur. Kamu tidur kemalaman?" "Aku semalam mengerjakan tugas Budgeting, nanti ada perkuliahan jam 3, biasa versi SKS (sistem kebut semalam) untuk pengerjaan tugas," kelakar Zeni dengan melihat jam dilayar ponselnya. "Kamu nanti mau masuk kelas Budgeting atau bolos... kan ada jatah 3 kali absensi?" senyum Nia melihat Zeni yang masih mengantuk "Masuk kelas dong, kelas mengulang, masa bolos!" cecar Zeni sambil mencari sosok Rian "Aneh, tadi selepas rapat dia bergegas keluar ruangan, aku kira terus masuk kelas ternyata dia absen," gumam Zeni yang tidak menemukan keberadaan Rian. Tanpa kami sadari gerak gerik dan percakapan kami tak lepas dari sorot tajam pandangan pak Catur. "Saya pernah menjadi mahasiswa dan aktif juga dibeberapa organisasi, namun saya tetap memprioritaskan kuliah dan berusaha menjadi mahasiswa yang disiplin dengan membagi waktu sebaik mungkin," tekan pak catur diakhir perkuliahan ini dengan sorot mata tajam. Deg... Zeni terkejut mendengar perkataan pak Catur, berarti sejak tadi gerak -gerik Zeni di awasi pak Catur,"gumam Zeni dengan tersenyum kecut. Musholla yang terletak di dekat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) menjadi penuh sesak saat waktu sholat ashar tiba. Terlihat aktivitas mahasiswa yang masih berjibaku dengan kegiatannya, mengingat minggu-minggu ini adalah persiapan terakhir dalam agenda persiapan orientasi mahasiswa baru. Setiap hari rapat digelar di kepanitian orientasi tingkat fakultas dan jurusan, bahkan ada mahasiswa yang merangkap menjadi kepanitian di fakultas dan jurusan. Hiruk pikuk aktivitas tersebut, menjadi tanda hidupnya mahasiswa dalam dinamika kehidupan kampus yang penuh warna. Dimana tiap mahasiswa yang beradu argument akan kukuh mempertahankan pendapatnya supaya dapat diterima dan di akui. Ritmi kehidupan kampus yang menuntut kreatifitas dan berpikir kritis menumbuhkan sosok pribadi yang unggul dengan mengedepankan pola pikir logis yang mengusung prinsip idealisme. Selepas sholat ashar Zeni bergegas melangkah kakinya menuju kelas Budgeting. "Beruntung on time tiba di kelas Budgeting," gumam Zeni dengan helaan nafas lega sembari mencari kursi yang kosong untuk ditempati. Komting mulai mengumpulkan tugas perkuliahan, setiap mahasiswa dengan sigap menyerahkan tugasnya masing-masing. Diskusipun dimulai selepas tugas terkumpul. Materi diskusi seputar proyeksi penjualan pada perusahaan dagang. Fokus Zeni mulai buyar saat sesi akhir diskusi mengingat jam menunjukkan pukul 17.00 dengan kondisi cuaca hujan lebat. Kelaspun tetap berlanjut walaupun sudah melewati jamnya. Tepat pukul 17.30 perkuliahan selesai dengan hujan yang masih setia mengguyur kampus ini. Sembari menunggu hujan reda Zeni duduk di gazebo sambil mengecek surat yang akan didistribusikan besok. Terkejut saat melihat ada selembar surat dengan KOP kepanitiaan orientasi Fakultas. "Gawat ... Kenapa surat ini bisa terdapat di mapku ya? pikir Zeni sambil mengingat rapat tadi siang. Saat rapat kepanitiaan orientasi jurusan Zeni duduk bersebelahan dengan Rita. Banyak mahasiswa yang merangkap kepanitian orientasi jurusan dan fakultas termasuk Rita . Kami sama dibagian humas dalam kepanitian orientasi jurusan. "Pantesan tadi Rita salah memberikan surat ini, harusnya surat yang ber-KOP orientasi jurusan," gumam Zeni "Aku harus bersegera menyerahkan surat ini ke sekretariat BEM," pikir Zeni Terlihat sosok Rian yang berjalan menuju Gedung PKM, tanpa pikir panjang bergegas Zeni berlari kecil menghampiri Rian tanpa menghiraukan rintik hujan. "Rian, aku boleh minta tolong membawa surat ini ke sekretariatan BEM," ucap Zeni sambil menyodorkan surat yang dibungkus map plastik. Dahi Rian berkerut mendengar perkataan Zeni, sambil melihat map plastik. "Buang saja surat itu, sudah tidak penting?" "Apa maksud kamu?" Zeni heran mendengar jawaban Rian "Siang tadi, Surat itu sudah didistribusikan ke Dekan," sungut Rian sembari melangkahkan kakinya menuju gedung PKM "Berarti surat ini untuk arsip saja?" tanya Zeni, mengikuti langkah Rian "Kamu tahu, semua panitia orientasi Fakultas mencari keberadaan surat tersebut?" ucap Rian menghentikan langkahnya "Aku baru tahu selepas kelas Budgeting, suratnya tertukar dan berada didalam mapku?" jelas Zeni "Itu urusan kamu, Ketua panitia mencari kambing hitam atas hilangnya surat tersebut. Semua panitia terkena dampaknya atas ketidakprofesional dan terlambatnya deadline distribusi surat!" tegur Rian "Hai Rian, nanti selepas maghrib ada rapat orientasi Fakultas di sekretariat BEM?" ucap Frans menghampiri Zeni dan Rian "Ada rapat dadakan?" selidik Rian "Efek tadi siang, ketua panitia terus evaluasi kerja kepanitiaan. Kayaknya masih sewot? cecar Frans "Urusannya sudah selesai Zeni, sebentar lagi Maghrib, kamu cepat pulang ke kos?" tawar Rian Semenjak tadi Frans agak curiga melihat interaksi keduanya, apalagi terlihat wajah Zeni yang khawatir. "Memang ada apa Rian, kamu masih emosi gara-gara tadi disudutkan sama Roy untuk mencari surat yang hilang?" Frans menatap curiga "Maksudnya apa Frans, ada masalah Rian dan Roy?" tanya Zeni "Kamu tahu, tadi siang Rian mencari keberadaan Rita, sampai akhirnya Rian sendiri turun tangan membuat surat baru dan mendistribusikannya sendiri." Jelas Frans Terkejut Zeni mendengar penuturan Frans. "Sudah, aku tidak apa-apa, lekas pulang?" tekan Rian "Kamu mau pulang sekarang? Jam segini sudah tidak ada angkot, kalau sendirian mending cari tebengan?" saran Frans "Kamu diantar Rita saja pulangnya, pakai motorku," ucap Rian sembari menyerahkan kunci motor ke Zeni. "Terima kasih, maaf sudah merepotkan." jawab Zeni dengan sungkan menerima kunci dari Rian. Bergegas Frans dan Rian pergi ke gedung PKM untuk mempersiapkan rapat. Bola mata Zeni berkeliling mencari sosok Rita, terlihat Rita sedang duduk di gazebo. Bergegas Zeni pergi menghampiri Rita. "Rita, tadi ada masalah ya? Terkait surat yang hilang?" tanya Zeni dalam perjalanan. "Kamu sudah tahu dari Rian?" selidik Rita dengan fokus mengendarai motor "Frans yang cerita, sepertinya emosi mereka belum surut?" cecar Zeni sembari memberi isyarat untuk berhenti. "Aku yang salah, teledor memberi suara kepadamu? Sebaiknya cek terlebih dahulu surat yang aku kasih ke kamu, tugasku rangkap kepanitiaan jadi suratnya juga tercampur." jawab Rita dengan datar. "Terima kasih sudah mau mengantarkanku, mau mampir sebentar?" tawar Zeni sembari turun dari motor "Lain kali Zeni, sebentar lagi ada rapat" jawab Rita dengan tersenyum. Rita melajukan motornya menuju kampus. "Aku benar-benar tak habis pikir, mengapa rencanaku bisa gagal. Apa keistimewaan Zeni? Mahasiswa biasa malah cenderung udik dan kuno. Kenapa Rian malah terus membantunya?" sungut Rita dengan kesal.Gedung PKM mulai penuh sesak saat kepanitian orientasi mahasiswa baru tingkat fakultas mulai berkumpul. Tempat yang terbiasa lenggang di malam hari, sekarang terasa penuh sesak terisi aktivis yang bergelut dalam kegiatan yang bernuansa idealisme. Rapat yang semula direncanakan berada di gedung PKM beralih ke Gedung pertemuan yang memuat puluhan aktivis. Hiruk pikuk aktivis menggema di malam hari saat beberapa argumen saling menyerang. Masing-masing kukuh mempertahankan konsepnya untuk dijalankan saat kegiatan orientasi. Beberapa pasang mata menatap tajam ke arah Roy saat keputusan rapat di ambil dengan sebelah pihak. Tak urung, beberapa aktivis sempat protes menentang konsep yang akan dijalankan. Konsep terkait atribut dan barang apa saja yang dibawa oleh peserta orientasi dirasa memberatkan mahasiswa baru mengingat ada pemberian tugas setiap hari yang harus dikumpulkan dihari selanjutnya. Namun, dukungan dari beberapa ketua himpunan jurusan dan ketua organisasi fakultas yang membeki
Matahari pagi tersenyum hangat mengiringi langkah kaki Zeni memasuki ruang Tata Usaha Fakultas Ekonomi. "Permisi pak, apakah pak Seno sudah datang? Ini ada tiga surat untuk pak Seno terkait pelaksanaan kegiatan orientasi mahasiswa baru?" Sapa Zeni kepada pak Anto dengan menyerahkan tiga amplop beserta suratnya."Beliau sedang rapat saat ini, besok akan ada konfirmasi terkait surat ini" jelas pak anto dengan menerima surat dan mulai membaca perihal surat tersebut. "Baik pak Anto, terima kasih informasinya," senyum Zeni mengakhiri percakapan dengan pak Anto."Aku harus menyelesaikan distribusi surat kepanitian hari ini," pikir Zeni. Raut wajah Zeni terkejut melihat jam di ponsel menunjukkan pukul 08.30 pagi, sebentar lagi kelas Analisis Laporan Keuangan (ALK). Segera Zeni berjalan menuju ruang jurusan. Terlihat Rian sedang berkumpul dengan beberapa mahasiswa didepanvruang kepala jurusan. Zeni menghampiri Rian dan mahasiswa lainnya, "Apakah pak Pramono berada di ruangan?" "Beliau ada
Zeni sedang menunggu antrian untuk melengkapi berkas persyaratan tugas pengabdian masyarakat. Vilia masih bersikeras belum ingin pulang, dan masih setia menemani Zeni. "Terima kasih Vilia mau menemanku, aku masih antri dua mahasiswa lagi, ini rasanya enak kamu beli dimana? Seru Zeni sambil memakan snack yang tersedia. "Dikantin dekat perpus pusat, jam segini masih buka, biasanya sudah tutup ya? Apa ini karena pengumuman di Auditorium ya?" "Mungkin mengikuti kondisi sekarang, dimana masih banyak mahasiswa di gedung auditorium, aku merasa aneh Vil, memang ada berkas persyaratan untuk mengikuti tugas pengabdian masyarakat ya? kamu keliatan tidak mengurus berkas apapun Vil? Aku cuma isi RKS saat ambil tugas pengabdian masyarakat," tegas Zeni "Iya, Zen, aku tadi sempat tanya Rian dan Giant mereka juga sama sepertiku cuma isi KRS saja beserta SKS?" Mungkin ada kebijakan terbaru Zen?" "Semoga saja dipermudah ya Vil. Rian dan Giant apa masih sempat ketemu Pak Pramono?" Zeni melihat
Vilia tersenyum saat membaca pesan dari Giant. Saat ini Giant dan Rian masih antri menunggu pak Pramono. "Keren... luar biasa ... hari ini semua lembur termasuk KaJurnya," gumam Vilia. Dengan tergesa-gesa Zeni menghampiri Vilia. "Vilia kamu ada acara?" "Ada apa Zeni? kamu kelihatan khawatir?" Vilia mencoba menelisik raut wajah Zeni. "Aku minta tolong antar ke Stasiun ya?" pinta Zeni menunjukkan raut wajah yang memelas. "Kamu mau kemana? Ini sudah sore lho?" selidik Vilia. "Aku disuruh pulang sekarang, ada kepentingan mendesak?" Zeni berbicara dengan nada cemas. "Oke, kamu mau ke kos dulu atau terus ke stasiun?" tawar Vilia. "Terus ke stasiun saja Vil, ini aku sudah pesan tiket kereta secara online.""Oke," jawab Vilia. Keduanya segera berjalan menuju parkiran motor di depan gedung Auditorium.Sepeda motor metic membawa keduanya menuju stasiun yang terbesar di kota Surabaya. Lalu lintas sore ini macet sehingga membutuhkan waktu agak lama menuju ke stasiun. "Aku antar sampai dep
Zeni masih heran melihat reaksi berlebihan Frans. "Apa cuma perasaanku saja ya?" pikir Zeni. Keduanya hening sesaat, yang terdengar hanya helaan nafas lembut ditambah semilirnya angin malam. Dengan memasang ekspresi wajah setenang mungkin, dan menekan gejolak hati yang kacau, Frans memberanikan diri untuk mulai membuka percakapan kembali yang sesaat terhenti. " Ayo Zen, kita berangkat sekarang, nanti malam bertambah semakin larut," ajak Frans dengan nada suara setenang mungkin. "Oke, Frans." spontan jawaban keluar dari mulut Zeni. Keduanya pun berjalan beriringan menuju area parkir stasiun. Frans segera menghubungi supir yang menjemputnya. Area parkir stasiun cukup lenggang, yang terlihat hanya beberapa hilir mudik kendaraan yang lalu lalang. Pukul 23.00 malam hari, keduanya sudah meluncur meninggal stasiun menuju Rumah sakit kota. Supir dengan leluasa membawa mobil Pajero hitam dengan kecepatan tinggi melintasi area jalan yang sepi. Lobi rumah sakit cukup sepi. Hanya ter
Baskoro masih diam membisu, pikirannya dibiarkan bebas berkelana, lebih memilih memanjakan matanya untuk menikmati nuansa malam di apartemen miliknya. Dengan posisi duduk di balkon, ditemani semilir angin malam, belum mampu membius kedua matanya untuk terlelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun perasaannya masih gusar. Informasinya dari kaki tangannya terkait ledakan di sebuah proyek masih mengganggunya. "Aneh, kenapa proyek seperti itu bisa meledak? Dan sepertinya polisi angkat tangan terhadap kasus tersebut." pikir Baskoro. "Profil pemiliknya juga misterius, Ayyas! Apa dia pemain baru di bisnis ini." gumam Baskoro. Bunyi ponsel di atas nakasnya terdengar, segera Baskoro melangkahkan kakinya menuju sumber suara tersebut. Terlihat sebuah nama Garvin muncul di layar ponselnya. Segera dia meraih benda pipih tersebut dan menekan tombol berlogo telepon warna hijau. Terdengar suara familiar diseberang telepon. "Hallo Bas, kamu besok ada agenda? Aku rencana besok t
Zeni berlari-lari kecil menuju ruang ICU. Hampir sepuluh menit dia menghabiskan waktu menuju ruangan tersebut. Jarak tempuh yang agak jauh dari Musholla, saat Zeni menghabiskan waktu pagi harinya disana. Terlihat Tante Denti sedang duduk didepan ruang ICU. Zeni segera menghampiri dan memposisikan duduk bersebelahan dengannya. "Tante, apa yang terjadi." Terlihat raut wajah cemas di wajahnya, perlahan tangan Zeni menggenggam tangan Tante Denti. Nafas Tante Denti tersengal-sengal setelah menangis. Dia berusaha mengatur nafasnya sebaik mungkin untuk menjawab pertanyaan dari Zeni. "Tadi kedua orangtuamu sempat kritis, patient monitor tidak menunjukkan detak jantung. Sekarang sedang dilakukan tindakan oleh perawat." Mendengar jawaban dari Tante Denti, Zeni hanya beristighfar didalam hati. Dia sudah mulai menata hati, pikiran, jiwa dan raga untuk tetap tegar mengatasi kemungkinan terburuk. "Kita pasrah saja Tante, yang penting sudah berikhtiar semaksimal mungkin." ucapan dari Zeni m
Pagi ini aktivitas padat mahasiswa terlihat di kampus, terutama di depan Ruang Kajur Akuntansi sudah terdapat beberapa mahasiswa. Rian masih menunggu satu giliran untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Giant keluar dari ruangan, dan tersenyum melihat Rian. "Sekarang giliranmu. Aku tunggu kamu ya? pinta Giant. "Nanti kita ada kelas pagi." "Iya, Giant. Aku konsultasi sebentar mau urus nilai." tegas Rian sembari memasuki ruang kajur. Desain ruang kajur yang berciri khas ruang kantor bertambah semakin terlihat menawan dengan ornamen lukisan dan logo jurusan yang menempel di dinding. Segera Rian berkonsultasi terkait nilai yang belum keluar sampai semester ini. Dengan ramah Pak Pramono mulai menjelaskan dan memberi instruksi kepada Rian untuk segera membawa surat keterangan yang dibubuhi tanda tangannya, meminta TU jurusan untuk mengeluarkan nilai mata kuliah sesuai jumlah SKS serta Dosen pengampu yang tertera di surat tersebut. Setelah selesai berkonsultasi, Rian keluar dari
Zeni mengambil ponselnya dan menghubungi Baskoro. Sesaat panggilan mulai terhubung.“Hallo Zeni. Apakah kamu sudah bertemu dengan driver?” tanya Baskoro melalui sambungan telepon.“Aku sudah bertemu dengan driver dan saat ini sedang dalam perjalanan. Baskoro, aku akan pergi ke kantor sebentar untuk melakukan absensi online dan bertemu dengan pak Leon. Apakah kamu tidak keberatan?”“Tentu saja aku tidak keberatan. Driver akan mengantarkanmu ke kantor sebelum pergi ke rumah sakit.”“Baiklah… Bagaimana kondisi bapak Hutama?”“Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan tadi malam. Saat ini bapak sedang sarapan pagi ditemani oleh Ibu dan Om Laksana.”“Syukurlah jika kondisi pak Hutama semakin baik. Sebentar lagi aku akan sampai di kantor, aku tutup teleponnya sekarang Baskoro.”“Siapa yang meneleponmu Baskoro?” tanya Galuh tepat berada didepan Baskoro.“Tante!” kata Baskoro dengan terkejut. “Kapan tante Galuh datang ke balkon ini? Kenapa aku tidak menyadari kedatangan tante?”“Aku baru saja d
Laksana dan Galuh masuk ke dalam ruang perawatan. Dia melihat Baskoro sedang berbicara dengan seorang perawat yang berdiri tak jauh dari Hutama. Galuh segera duduk disamping Indraswari.“Kak, bersabarlah! Aku yakin kak Hutama segera sembuh. Jika kak Indraswari sudah lelah, istirahatlah! Biarkan aku dan Laksana yang menjaga kak Hutama.”“Aku belum lelah Galuh. Nanti saja sekalian aku menunggu Ardiansyah.” ucapnya dengan sedih.“Kak Hutama memiliki semangat hidup yang tinggi, tentu dia akan lekas sembuh. Kak Indraswari tidak perlu larut dalam kesedihan.”“Benar apa yang kamu katakan Laksana, Hutama memang tipe orang yang bersemangat dan memilki optimis yang tinggi. Aku hanya merasa shock atas kesehatan Hutama yang tiba-tiba jatuh sakit. Selama aku hidup berumah tangga dengannya dia tidak pernah sakit parah. Ini adalah pertama kalinnya.”“Kak Hutama sudah tidak muda lagi, tentu energinya tidak seperti dulu. Yang sama hanyalah semangat hidupnya yang masih berjiwa muda. Kemarin dia sakit s
“Tidak tante Galuh. Aku hanya terkejut saja atas pertanyaan yang tiba-tiba menyudutkanku untuk segera menikah. Aku benar-benar belum memilki teman dekat laki-laki yang cocok dan sesuai dengan kriteriaku.”“Apakah kamu memiliki masalah? Tante berpikir jika kamu memiliki pergaulan yang luas, sehingga tidaklah sulit untuk mendapatkan pasangan hidup.”“Itu tidak semudah yang tante lihat. Aku merasa belum waktunya untuk menikah, usiaku juga belum memasuki kepala tiga, jadi aku masih memiliki waktu untuk menikmati masa lajangku.”“Tidak seperti itu Adiratna, kamu adalah anak perempuan satu-satunya dari kak Hutama, jadi kedua orang tuamu tentu lebih memperhatikan masa depanmu. Mungkin tante dan om Laksana bisa membantumu untuk mengenalkan beberapa lelaki yang pantas untukmu.”“Lakukan saja Galuh! Aku juga pernah memikirkan hal tersebut dengan Hutama, namun karena kami jarang bertemu ditambah dengan kesibukan masing-masing, rencana kami belum terlaksana sampai saat ini.”“Apakah kak Indraswar
Baskoro dan pak Archery segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Mereka segera menuju ke lift yang membawanya menuju ke lantai dua.“Apakah kamu sudah mengetahui di ruang mana Hutama menjalani perawatan?” “Sudah pak Archery, prof. Jack telah mengirim pesan mengenai ruangan yang digunakan untuk perawatan bapak.”“Oh… benar! Aku hampir lupa. Kamu adalah calon dokter. Apakah kamu sebentar lagi akan menuntaskan kuliahmu?”“Kemungkinan tahun ini aku akan wisuda. Bulan depan aku akan menjalani sidang skripsi.”“Aku salut kepadamu Baskoro. Hutama dan Indraswari pandai mendidik kamu. Selain kamu kuliah saya dengar kamu juga sudah memiliki bisnis. Di usiamu yang cukup muda kamu sudah mendulang kesuksesan.” “Apa yang pak Archery katakan itu sungguh berlebihan. Aku merasa posisiku masih stagnan dan belum ada perkembangan apapun. Bisnis yang aku geluti pun belum berkembang dengan pesat dan masih berskala nasional.”“Apa kamu pikir aku tidak mengetahui bisnismu Baskoro? Kamu telah bekerjasama
Ibu Indraswari mulai menguraikan pelukannya. Perlahan dia mengusap bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya.“Ibu tidak tahu mengapa tiba-tiba bapakmu sakit. Tadi saat sedang minum teh di ruang tengah ibu meninggalkan bapakmu sebentar untuk mengambil kudapan di dapur. Saat itu dia masih sehat, kami memang sedang menunggu kerabat dari keluarga bapak yang akan berkunjung ke rumah. Ibu terkejut melihat bapakmu sudah pingsan sekembali dari dapur. Segera ibu memanggil pelayan untuk membawanya menuju ke kamar.”“Setahuku bapak sehat selama ini. Apa ibu menyembunyikan sesuatu dari ku? Apa bapak menderita penyakit tertentu? Tidak mungkin bapak pingan secara tiba-tiba.”“Sudahlah Baskoro! Kamu jangan menyudutkan ibu dengan berbagai pertanyaanmu. Ibu juga tidak tahu sama seperti kita. Sebaiknya kita menunggu dokter memeriksa bapak.” kata Ardiansyah.Om Laksana yang baru saja masuk ke dalam kamar, melihat sedikit keributan yang muncul antara Baskoro dan Ardiansyah. Dia segera berjalan mende
Sesampainya di kamar kos, Lisa mengajak Zeni duduk. “Sebentar mba Zeni, tunggulah disini. Aku menaruh barangnya di motor.” Lisa bergegas keluar dari kamar.Tak lama kemudian Lisa kembali dengan membawa satu buah paper bag dan meletakkannya di atas meja.“Ini mba Zeni, terimalah. Aku tadi sempat mampir ke butik dan aku lihat ini cocok untuk mba Zeni. Cobalah!”“Aku tidak mau merepotkanmu Lisa. Kenapa kamu membelikan ini untukku? Apakah ini kado pernikahan darimu?” kata Zeni sembari membuka paper bag tersebut.Lisa segera duduk disamping Zeni. “Itu bukan kado pernikahan untuk mba Zeni, tapi kenang-kenangan dariku. Mba Zeni sebentar lagi akan melakukan tugas pengabdian masyarakat selama satu bulan dan setelah itu pasti mba sibuk untuk mempersiapkan pernikahan dan tentunya akan mengambil libur kuliah beberapa hari kan? Setelah itu kita pasti jarang bertemu, apalagi fakultas kita berbeda. Aku pasti merindukan mba Zeni.”“Apa yang kamu katakan Lisa? Kamu jangan lebay seperti Lintang, seol
Siang hari Zeni masih berkutik didepan laptop sampai suara nada dering ponsel membuyarkan konsentrasi Zeni. Dia segera mengambil ponselnya dan menjawab panggilan telepon dari Lintang.“Assalamu’alaikum Lintang? Bagaimana kabarmu?” “Wa’alaikumussalam Zeni. Apakah kamu saat ini berada di kos? Aku sekarang sedang di kampus, rencananya aku mau menemuimu karena kamu tidak berangkat ke kampus?”“Iya Lintang, aku ingin rehat sebentar. Aku tunggu kamu di kos. Datanglah sekarang!”“Oke Zeni. Aku akan segera ke kosmu sekarang.” Tak berapa lama kemudian Lintang sudah berada didepan kos. Dia mengetuk pintu kos Zeni sembari mengucapkan salam. Zeni segera berjalan menuju ke ruang tamu saat mendengar ucapan salam. Dibukanya pintu kos, dia tersenyum melihat Lintang sudah berada didepannya.“Masuklah! Aku senang akhirnya kamu datang ke kos?”Lintang segera masuk ke dalam kos. Zeni menutup pintu kos dan menguncinya. Dia memandu Lintang untuk berjalan menuju ke kamarnya.“Kenapa kosmu sepi sekali? Dim
Tepat pukul 20:30 malam Zeni sampai di kos. Dia segera masuk ke dalam kamar dan meletakkan paper bag di atas meja. Diambilnya baju didalam lemari dan segera melangkahkah kakinya berjalan keluar dari dalam kamar menuju ke kamar mandi.Lisa masuk ke dalam kamar. Dia melihat kamarnya kosong tidak menemukan Zeni.Dia bergumam : “Kemana mba Zeni? Sepertinya tadi mba Zeni sudah pulang ke kos?” sesaat pandangan matanya tertuju pada paper bag di atas meja.“Berarti benar jika mba Zeni sudah pulang.” bisiknya lirih.Zeni muncul dari balik pintu. Dia melihat Lisa sudah duduk di depan meja.“Dari mana kamu Lisa? Kenapa aku baru melihatmu?” tanya Zeni sembari masuk ke dalam kamar.“Tadi aku baru menemani Nina untuk memfotokopi beberapa tugas kelompok. Aku tadi melihat ada mobil yang keluar dari halaman kos kita. Berarti benar, tadi mba Zeni diantar oleh Baskoro?”“Benar Lisa. Apakah kamu melihat Baskoro?”Lisa menggelengkan kepalanya.“Tidak mba. Saat itu mobilnya melaju dengan cepat, aku tidak s
“Hallo Baskoro! Ibu sekarang sudah berada di depan café. Keluarlah! Ibu mau bertemu dengan kamu dan Zeni. Ibu tunggu sekarang!” kata Ibu Indraswari melalui sambungan telepon.“Baiklah ibu. Aku dan Zeni akan segera menemui ibu.” Baskoro segera menutup panggilan telepon.“Kami akan pulang terlebih dahulu, ibu sudah menunggu kami di depan Café. Bill nya biar aku yang bayar.” ucap BaskoroBaskoro segera melambaikan tangannya kepada pelayan café. Seorang pelayan café datang.Dia berkata : “Ada yang perlu aku bantu Tuan?”“Tolong berikan bill untuk seluruh pesanan pada meja ini?” “Baiklah Tuan. Tunggu sebentar aku akan ke kasir untuk mengambilkan catatan billnya.” pelayan segera berlalu dari hadapan Baskoro. Sesaat kemudian pelayan datang sembari menyerahkan kertas bill kepada Baskoro.Baskoro segera mengelurkan sejumlah uang untuk membayar pesanan makanan tersebut.“Aku akan pulang nanti Baskoro. Ada hal yang masih ingin aku bicarakan dengan Frans. Berhati-hatilah selama dalam perjalanan