“Livia?”Krystal bergumam pelan kala melihat sosok wanita yang tak asing yang mendekat padanya adalah Livia. Tampak Krystal bingung melihat keberadaan Krystal di rumah sakit.“Aku ingin bicara denganmu, Krys,” ucap Livia dingin dan ketus.“Kenapa kamu di sini, Livia?” tanya Krystal dengan suara tenang dan pelan.“Tidak perlu bertanya kenapa aku bisa ke sini. Yang pasti tujuanku adalah bicara denganmu,” jawab Livia dengan nada yang begitu dingin dan terdengar angkuh.Krystal terdiam sesaat. “Apa kamu membuntutiku ke sini?” tanyanya yang menduga. Pasalnya, tidak mungkin secara tiba-tiba Livia berada di rumah sakit ini.Livia tersenyum sinis. “Itu tidaklah penting. Sekarang lebih baik kamu jangan membuang waktuku. Kita di bicara di sana,” ucapnya seraya mengalihkan pandangan pada taman belakang rumah sakit.Ya, Krystal tak menyadari kalau tadi mobil Livia memang membuntutinya dari belakang. Tepat di saat mobil Krystal keluar dari rumah dan mobil Kaivan telah berbelok arah; mobil Livia se
Kaivan duduk di kursi kebesarannya seraya memejamkan mata lelah. Dia baru saja selesai meeting, dan memiliki sedikit waktu sebelum nanti menjemput Krystal di rumah sakit. Ya, Kaivan tidak ingin Krystal pulang sendiri dari rumah sakit. Meski area rumah sakit sudah aman, karena banyak anak buahnya yang berjaga-jaga demi tidak ada lagi yang mengejar Krystal tapi tetap saja Kaivan tidaklah tenang.Suara ketukan pintu terdengar, membuat Kaivan segera membuka mata dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu serta menginterupsi untuk masuk.“Tuan Kaivan, permisi. Apa benar Anda memanggil saya?” tanya Doni dengan ramah dan sopan.Kaivan mengangguk singkat. Setelah meeting memang Kaivan meminta sekretarisnya menghubungi Doni untuk menghampirinya. “Aku ingin kamu melakukan sesuatu,” ucapnya dingin dengan raut wajah datar.“Ada apa, Tuan? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Doni lagi.Kaivan terdiam sejenak. Dia menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya. Lalu mengetuk meja kerjanua dengan telunjukn
“Aku mau cerai darimu! Aku ingin kita berpisah, Kai!”Kalimat yang lolos di bibir Krystal, seketika membuat Kaivan langsung menghunuskan tatapan tajam dan penuh peringatan. Sepasang iris mata Kaivan memendung amarah. Rahang pria itu mengetat. Dia mengepalkan tangannya dengan kuat.“Bicara apa kamu ini, Krystal! Ada apa denganmu!” seru Kaivan meninggikan suaranya.“Aku tidak mau lagi denganmu, Kai! Kamu membohongiku!” Krystal memukul keras dada Kaivan. Meluapkan semua kemarahannnya. Rasa putus asa. Kecewa. Semua menjadi satu. Tangis Krystal mendera. Ya, Krystal kecewa karena Kaivan membohinginya. Bukan membenci kenyataan. Tapi Krystal membenci di mana dirinya dibohingi oleh Kaivan.“Apa maksudmu, Krys? Aku tidak pernah membohongimu!” Kaivan menangkup kedua tangan Krystal yang tengah memukulnya itu. “Jelaskan padaku, ada apa sebenarnya?”Krystal menangis kencang. “Kamu masih bertanya ada apa? Jelas kamu sudah berbohong padaku, Kai!”“Aku tidak berbohong, Krystal! Apa yang kamu maksud!”
“Sherly, kamu luar biasa. Aku menyukai permainanmu tadi malam.”Liam menatap pantulan cermin, sosok wanita yang tak memakai sehelai benag pun di tubuhnya. Hanya selimut tebal yang membungkus tubuh indah wanita itu. Ya, kini Liam tengah memasang dasi. Dia memuji permainan Sherly—teman kencannya. Well… Menghabiskan malam bersama dengan wanita yang berbeda sudah menjadi kesenangan Liam. Hidup Liam akan terasa mati jika hanya bersenang-senang dengan satu wanita saja.Wanita yang bernama Sherly itu bangkit berdiri, dengan santai wanita itu memungut kemeja putih yang dipakai oleh Liam tadi malam untuk menutupi tubuh polosnya. Kemudian, dia melangkah mendekat pada Liam. Pun Liam menyeringai melihat Sherly memakai kemeja putihnya. Tubuh wanita itu tercetak begitu jelas. Puncak dadanya yang berwarna merah jambu begitu menggugah selera Liam. Ingin rasanya Liam kembali menyerang wanita itu. Membuat wanita itu tak berdaya di bawahnya. Namun, sayangnya ingatan Liam berputar bahwa hari ini pria itu
Suara ketukan pintu membuat Kaivan yang tengah tertidur pulas langsung terbangun dari tidurnya. Kaivan mengerjapkan mata beberapa kali. Sesaat Kaivan mengembuskan napas kesal ketika mendengar suara ketukan pintu. Didetik selanjutnya, tatapan Kaivan teralih pada Krystal yang terlelap dalam pelukannya. Biasanya Krystal sangat mudah terbangun jika mendengar suara-suara. Tapi kali ini sepertinya, Krystal begitu terlelap. Perlahan, Kaivan sedikit menggeser tubuh Krystal. Dia menarik selimut menutupi tubuh istrinya itu.“Hmmm…” Krystal menggeliat ketika Kaivan menggeser tubuhnya. Kaivan langsung mengusap lembut punggung Krystal agar Krystal kembali tidur lelap.Hingga ketika Krystal kembali terlelap, Kaivan bangkit berdiri. Pria itu mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Melihat ke layar—waktu menunjukan pukul satu pagi. Tidak biasanya pelayan membangunkannya di pagi buta seperti ini.Dengan raut wajah kesal, Kaivan melangkah menuju pintu dan segera membuka kenop pintu kamarnya itu.Cekle
Kaivan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Raut wajah pria itu begitu dingin dan sorot matanya tajam dan tegas. Pagi ini Kaivan lebih dulu bangun dari pada Krystal. Dia meninggalkan note di atas nakas untuk Krystal—yang mengatakan hari ini dirinya berangkat lebih awal karena urusan pekerjaan. Padahal hari ini Kaivan ingin menemui seorang pria yang sejak kemarin ingin dia temui.Hingga detik ini, Kaivan masih belum memberitahu pada Krystal tentang laporan yang diberikan Doni tadi malam. Dia tidak akan mungkin menceritakan jika bukti belum terkumpul. Dan beruntung, Krystal tidak lagi membahas tentang kehamilan Livia. Krystal menuruti perkataannya. Meski sering adanya kecanggungan di antaranya dan Krystal. Namun, Kaivan mampu mengatasi. Paling tidak saat ini yang Kaivan butuhkan adalah Krystal mau mengerti. Itu sudah lebih dari cukup membantu Kaivan melupakan sejenak masalah yang terus dia pikirkan belakangan ini.Tak berselang lama, mobil yang dilajukan oleh Kaivan mulai memasuk
“Nyonya, ada apa, Nyonya? Kenapa Anda terlihat cemas?” Suara Dita bertanya kala melihat wajah gelisa Livia. Ditambah sejak tadi Livia mondar-mandir tidak jelas disertai dengan umpatan-umpatan kasar keluar dari mulutnya. Terlihat Dita bingung melihat Livia yang marah dan kesal.Livia menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lalu dia memejamkan mata kesal. Jika ibu hamil duduk dengan berhati-hati. Lain halnya dengan Livia yang tak memedulikan lagi.“Nyonya, Anda sedang hamil. Ibu hamil dilarang memikirkan beban berat, Nyonya. Terakhir dokter mengatakan, Anda harus menjaga dengan baik kandungan Anda, Nyonya,” tutur Dita mengingatkan Livia.“Aku tidak peduli lagi dengan anak sialan ini. Lebih baik mati saja tidak apa-apa!” tukas Livia dengan penuh emosi. Sorot matanya menajam. Rahang mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Amarah dalam dirinya benar-benar tak mampu tertahan. Livia bagaikan sebuah benda yang terkena bensin dan terbakar api.Tampak kerutan di kening Dita melihat kemarahan Livia y
“Siapa pria itu, Livia?”Suara Elisa bertanya dengan nada pelan dan tersirat tegas. Tatapannya tak lepas menatap sosok pria yang melangkah mendekat padanya. Elisa bisa melihat sosok pria itu terus menatap menantunya. Tatapan yang terlihat seperti begitu mengenal Livia.Livia pucat mendengar pertanyaan ibu mertuanya. “Ah, itu—”“Selamat siang, Nyonya Elisa Mahendra. Suatu kehormatan bagiku bertemu denganmu. Aku tidak menyangka kamub tengah bersama dengan Livia.” Pria itu menyapa Elisa. Memotong ucapan Livia.‘Sialan!’ umpat Livia yang memendung emosinya.Elisa mengamati lekat-lekat pria yang ada di hadapannya. “Maaf, kamu siapa? Apa kita pernah mengenal sebelumnya?” tanyanya yang bingung kala pria yang ada di hadapannya ini mengenal dirinya.“Mama, dia—”“Liam Baskara. Putra tunggal Juan Baskara.” Liam kembali memotong ucapan Livia. Tampak pria itu begitu santai kala mengenalkan dirinya sendiri.Livia tak henti mengumpat dalam hati kala Liam begitu berani memperekenalkan diri di depan